Share

7. Perjuangan 2

Author: pramudining
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Happy Reading

*****

Setengah berlari, Wandra mencoba mengejar perempuan itu. Tangannya segera menyentuh pundak si wanita. Namun, ketika menoleh alangkah kecewanya hati Wandra.

"Siapa, ya? Jangan berani-beraninya melecehkan saya," ucap wanita itu tak terima.

"Maaf, Mbak. Saya kira sampeyan adalah teman saya." Cepat Wandra meminta maaf dengan wajah penuh penyesalan serta kedua tangannya yang menangkup di depan dada.

"Jangan sembarangan menyentuh perempuan lain jika nggak kenal, Mas. Sampeyan bisa kena pasal pelecehan. Inget itu!" Si wanita segera berlalu, meninggalkan Wandra yang cuma bisa terdiam.

Dilihat dari belakang, memang postur tubuh dan juga siluet perempuan itu mirip sekali dengan Jelita. Namun, wajah mereka sangat jauh berbeda. Wandra berbalik arah dan mencari tempat duduk yang sesuai dengan tiketnya.

Sementara di belahan bumi lain, tepatnya di sebuah intstitut. Risma mengikuti test masuk perguruan tinggi seni. Demi mewujudkan impiannya dan juga memperbaiki citra negatif seorang penari gandrung yang terlanjur buruk. Dia menerima tawaran untuk melanjutkan jenjang pendidikannya.

Besok adalah hari terakhir Jelita melakukan tes. Harapan terbesarnya dia akan diterima di perguruan tinggi tersebut. Selain memang sudah menjadi cita-citanya selama ini. Jelita juga berharap rentang jarak yang cukup jauh mampu melupakan kisah percintaannya dengan Wandra.

Sedang melamunkan lelaki itu, tanpa sengaja Jelita menabrak seseorang. "Aduh!" ucapnya ketika kepala mereka berbenturan. Jelita menatap cowok itu sekilas, lalu menunduk dan membantu mengambil barang-barang yang berserakan.

"Maaf ... maaf," kata seorang lelaki dengan rambut berwarna kecoklatan dan menggunakan hoodie. Tingginya sekitar 170 cm. Beberapa barang yang dibawanya berserakan.

Jelita merasa bersalah karena kehilangan fokus saat berjalan yang menyebabkan menabrak seseorang. "Saya yang harusnya minta maaf, Mas. Maaf, saya sedikit melamun ketika berjalan tadi."

Si pria masih memunguti alat-alat lukisnya dibantu Jelita. Setelah itu baru mendongakkan kepala menatap si gadis. Mata mereka bertemu beberapa saat tanpa berkedip.

"Mas, apa baik-baik saja?" tanya Jelita, memutus pandangan mereka.

"Eh, iya. Aku baik-baik saja, kok," ucap lelaki itu, "Sorry, aku juga nggak fokus tadi."

"Iya, nggak masalah. Saya permisi duluan." Jelita segera melenggang menjauhi lelaki itu, tetapi beberapa langkah kemudian. Si cowok berteriak.

"Boleh kenalan, nggak?"

Jelita berbalik dan tersenyum. "Saya Jelita," katanya.

"Aku Mahesa Agni." Si lelaki berjalan mendekat. "Kamu anak baru, ya?"

"Masih belum kuliah di sini, Mas. Saya lagi ikut tes."

"Oh," ucap Mahesa, "salam kenal. Semoga saja tesnya lulus. Jadi, kita bisa ketemu lagi. Aku kuliah di sini jurusan seni rupa. Sudah semester akhir, sih. Tinggal buat skripsi dan lulus, deh," jelasnya tanpa Jelita minta.

"Saya tinggal dulu, Mas."

Mahesa tersenyum dan menganggukkan kepala. Dalam hati, dia memgumpat. Mengapa bisa ada perempuan secuek itu ketika diajak ngobrol. Padahal selama ini tak ada perempuan yang menolak untuk berbincang lama-lama dengannya. Ya, walau wajah Mahesa pas-pasan, tetapi banyak cewek yang mengagumi kegantengannya.

"Lihat saja nanti. Setelah kamu di terima di sini. Pasti akan takluk juga denganku," ucap Mahesa jumawa.

Berbekal uang saku yang diberikan oleh Sularso dan ibunya, Jelita mencari kos-kosan. Di kota asing itu dia tak mengenal atau memiliki siapa pun, hanya mengandalkan kemampuan sendiri. Sengaja mengambil kota yang tak terjangkau oleh Wandra dan keluarganya. Jelita ingin fokus menata dan meraih semua cita-citanya.

Selama seminggu ini, dia menginap di kos salah satu kenalan Sularso. Si Bapak sengaja menitipkan Jelita. Namun, gadis itu lama-lama tak enak juga terus menumpang apalagi orang yang ditumpangi juga ngontrak.

Selesai tes tadi, dia sengaja mencari kamar kos yang termurah sekitar kampus. Namun, perkiraannya salah. Kos-kosan yang dekat kampus ternyata harganya mahal.

Di sebuah warung es kelapa muda, Jelita duduk sekedar menghilangkan dahaga sekaligus penat yang mendera. Sampai siang hari, dia belum menemukan kos-kosan yang cocok.

"Hai ketemu lagi," sapa seseorang.

Jelita menengok, terlihatlah wajah pria yang ditabraknya tadi di lorong kampus. "Hai."

"Lagi ngapain? Kelihatannya galau banget. Boleh aku duduk di sebelah sini," cerocos cowok yang bernama Mahesa.

"Lagi ngadem, Mas." Sekenanya Risma menjawab.

"Wah sama dong." Tanpa permisi, Mahesa duduk di sebelah si gadis. "Kusut banget mukanya. Ada yang bisa kubantu?"

Jelita merenung, menimbang-nimbang apakah dia akan menceritakan kegalauannya saat ini. Secara, Mahesa baru saja dikenalnya. Bukan hitungan hari, melainkan jam. Sudah sering mendengar nasihat ibunya agar berhati-hati dengan orang yang baru dikenal membuat Risma waspada.

"Kesambet, Non? Ditanya diem aja. Awas kerasukan setan, lho." Mahesa terus saja menggoda Jelita. Setelah memesan minuman, dia kembali menatap Risma.

"Bisa nggak kalau diem aja."

"Galak amat, sih."

"Aku nggak galak, ya."

"Terus?"

Jelita berdiri dan meninggalkan Mahesa yang tercenung. Mengambil kesempatan sebanyak mungkin, si cowok membiarkan pesanannya begitu saja demi mengejar sang gadis.

"Hei, tunggu!"

"Apa sih?" Jelita mulai jengah dengan sikap Mahesa.

"Kamu tuh kelihatan bingung banget. Lagi nyari kos?"

Jelita tersenyum. Mengapa Mahesa bisa menebak penyebab kekalutannya. "Kok kamu bisa tahu?"

"Kelihatan kali dari mukamu yang kusut."

Sejak pertemuan itu keduanya semakin dekat bahkan saat pengumuman seleksi. Mahesa yang mengantar gadis itu untuk melihat. Kamar kos yang ditempati Jelita saat ini juga atas rekomendasinya. Si gadis bersyukur ada seseorang yang begitu baik di kota yang tak dikenalnya.

Sudah hampir setahun Jelita tak pulang kampung, sejak menerima surat yang dititipkan Wandra pada ibunya. Dia sengaja menghindari pertemuan dengan lelaki itu bahkan mungkin berniat tak kembali sampai pernikahan Wandra dilaksanakan.

"Lagi ngelamunin apa? Sampai-sampai aku manggil-manggil dari tadi nggak direspon." Mahesa langsung duduk di sebelah Jelita tanpa permisi terlebih dahulu.

Mereka sudah janjian untuk bertemu di sebuah kafe dekat kos keduanya. Ada kabar yang ingin disampaikan Mahesa terkait keinginan Jelita untuk bekerja paruh waktu.

"Eh, Mas. Udah dari tadi manggilnya?"

"Sudah ada sejak setahun lalu, tapi nggak pernah direspon," jawab Mahesa asal. Sengaja menyindir tentang ketidakpekaan Jelita terhadap perasaannya.

Jelita menggaruk kepala, bingung dengan perkataan Mahesa. "Ngomong apa, sih, Mas?"

"Sudahlah lupain," pinta si cowok, "tentang niatmu untuk bekerja paruh waktu. Ada sanggar tari milik sahabatku. Kebetulan dia butuh tari tradisional. Kamu coba aja naruh CV ke sana."

"Di mana, Mas? Kalau jauh aku nggak sanggup. Kuliahku mulai padet semester ini. Lagian aku nggak ada kendaraan pribadi untuk mempercepat pergerakan."

"Agak jauh, sih, tapi nggak masalah kayaknya. Secara ngajar tarinya kan nggak setiap hari. Paling seminggu tiga kali. Masalah kendaraan, kamu bisa pake motorku kalau memang mendesak." Mahesa segera menyeruput kopi yang sudah dipesankan oleh Jelita sebelum kedatangannya tadi.

"Buru-buru banget kayaknya."

"Iya. Aku harus menjemput seseorang. Ini tuh penting banget, nggak boleh sampai telat." Mahesa berdiri.

"Siapa?"

"Salah satu tim audit di kantor."

"Oh. Ya, sudah sana berangkat!"

"Eh, dia juga berasal dari Banyuwangi sama sepertiku. Jangan-jangan kalian kenal."

Deg ... jantung Jelita bergerak lebih cepat. "Siapa namanya?"

Related chapters

  • Sang Penari Pujaan Hati   8. Terpasung di Hati

    Happy Reading*****"Siapa namanya?""Nama lengkapnya aku nggak Tahu, Lit. Cuma para atasan sering banget manggil Wandra."Jantung Jelita serasa copot mendengar nama itu disebut. Setelah sekian lama baru kali ini ada yang memanggil nama itu. Meneguhkan hati bahwa belum tentu adalah orang yang sama. Jelita tersenyum kecut menatap Mahesa. "Oh," jawab Jelita."Ada yang aneh dengan nama itu? Kenapa mukamu langsung berubah. Jangan-jangan kamu punya hubungan spesial dengan seseorang bernama Wandra. Bener gitu, Non?"Jelita merutuki dirinya sendiri karena telah bereaksi berlebihan tadi. Harusnya, dia ingat bahwa Mahesa terlalu peka dengan orang di sekitarnya. Apalagi jika menyangkut tentangnya. Bukan tidak tahu dengan segala perhatian yang diberikan cowok itu selama ini. Namun, hati Jelita telah membeku, baginya urusan cinta menjadi nomor kesekian. "Ditanya malah melamun. Pacarmu namanya Wandra, ya?"Seketika Jelita menggeleng. "Sembarangan kamu, Mas. Mana ada aku punya pacar. Emang kamu l

  • Sang Penari Pujaan Hati   9. Tarian itu Mengingatkanmu

    Happy Reading*****Selain bekerja, di kita Yogyakarta ini, Wandra juga terus berusaha mencari keberadaan Jelita. Hampir seminggu, tetapi jejak sang gadis masih belum terdeteksi sama sekali. Harus dengan cara apalagi lelaki itu mengetahui keberadaan kekasihnya.Tak banyak yang Wandra minta, cukup bisa bertemu dengan Jelita dan bertanya tentang kebenaran surat itu. Jika memang benar Jelita sudah menikah dan bahagia dengan lelaki pilihannya, mungkin Wandra akan mundur. Namun, dia tak akan pernah berniat melupakan gadis itu. Biarlah tak menikah selamanya jika bukan dengan Jelita. Itulah prinsipnya. Wandra mengaduk-aduk jus jeruk yang sejak tadi ada di hadapannya. Sementara, sahabatnya yang tak lain adalah Mahesa masih menerima telepon. Sejak tadi, Mahesa terus saja tertawa dan berkata-kata romantis, seolah-olah orang yang diajaknya bicara adalah kekasihnya. Makan siang mereka jadi terganggu akibat perbuatan masing-masing. "Ngelamun terooss," goda Mahesa melihat pandangan kosong lelaki

  • Sang Penari Pujaan Hati   10. Awal Pertemuan

    Happy Reading*****Suara sorak sorai dan tepukan tangan menggema seantero gedung bahkan sampai keluar. Wandra mematung di tempatnya berdiri. Segera masuk kembali ingin melihat siapa sebenarnya yang membawakan tarian khas tanah kelahirannya sampai seluruh penonton bertepuk tangan. Akan tetapi, sesampainya di dalam gedung kembali. Sang penari telah turun dari panggung. "Kenapa seperti orang bingung, Ndra? Ada yang sedang kamu cari?" tanya Shinta. Perempuan itu memegang lengan si lelaki yang sudah dianggap ponakan sendiri. "Iya, Tan. Saya penasaran sama tarian yang dibawakan penari barusan. Apa tarian Gandrung yang berasal dari Banyuwangi?" tanya Wandra."Iya benar. Memang tari Gandrung yang dibawakan barusan." Shinta mengerutkan kening. Mencoba membaca apa yang sedang Wandra pikirkan. "Siapa penarinya, Tan?""Salah satu pengajar di sanggar Tante. Mahasiswa di perguruan tinggi Seni fakultas seni pertunjukan program studi tari," jelas Shinta panjang lebar seolah dia ingin menunjukkan

  • Sang Penari Pujaan Hati   11. Kecewa

    Happy Reading*****Wandra membulatkan mata dengan perkataan gadisnya. Lalu, dia tersenyum miris. Beginikah sikap Jelita yang sesunguhnya?"Bagus, rupanya ada maling teriak maling. Kamu yang berkhianat, tapi aku yang kamu tuduh," kata Wandra penuh penekanan pada setiap ucapannya. "Harusnya, jika kamu memang ingin menikah, maka katakan langsung bukan melalui orang lain."Jelita menatap tak percaya pada sang kekasih. Mengapa Wandra malah berkata demikian? Harusnya Jelita yang menanyakan hal itu. Sang kekasih sudah berkhianat dengan menikahi gadis lain. Bukankah apa yang dilakukan Jelita saat ini adalah demi memantaskan diri untuk menjadi pendampingnya kelak? Namun, Wandra malah menikah dengan orang lain dan hal itu disampaikan lewat surat balasan. "Sebaiknya kalian selesaikan kisah yang belum tuntas. Aku nggak mau dengar pertengkaran sepele seperti ini," kata seorang lelaki yang memeluk Jelita tadi. "Tunggu, Mas Yan! Aku ikut, urusanku sudah selesai dengannya." Jelita melihat ke ara

  • Sang Penari Pujaan Hati   12. Tekad Jelita

    Happy Reading*****"Sudah setahun lebih, tapi kamu nggak mau mampir ke rumah Eyang, Lit," kata seseorang lelaki yang sedang mengemudi.Seseorang yang telah disangka suami si gadis oleh Wandra. Sampai saat ini, Jelita masih belum memahami tuduhan yang dilayangkan padanya. Berusaha menjelaskan pun, tak ada artinya. Wandra, meskipun sangat menyayangi dan mencintainya, tetapi sifat dan wataknya keras."Aku belum berani menemui Eyang, Mas. Nggak sanggup saat melihat kebencian di matanya.""Eyang sudah memaafkan Ayah sama ibumu asal kamu tahu, Lit. Beliau sangat menyayangkan Tante Ajeng keluar dari rumah dengan keadaan seperti itu.""Aku nggak tahu mana yang benar dan salah, Mas. Dulu, sebelum Ayah wafat, setiap kali kami mengunjungi Eyang. Wajahnya selalu terlihat membenciku dan Ibu.""Sekarang Eyang lagi sakit. Apa kamu nggak mau jenguk beliau?"Jelita terdiam, terus terang dia masih sangat takut jika berhadapan dengan Eyangnya. "Mungkin suatu hari nanti, Mas. Kalau aku sudah siap dan ng

  • Sang Penari Pujaan Hati   13. Fakus Kebahagiaan Masing-masing

    Happy Reading*****Wandra bernapas lega, ternyata bukan Broto yang datang berkunjung, tetapi bundanya Mahesa. "Esa kenapa, Ndra?" tanya Candini, bundanya Mahesa. Dia memegang kening putranya yang masih berada dalam rangkulan sopir online dan Wandra. "Katanya tadi sedikit pusing, Tan. Kirain tadi bohong, nggak tahunya beneran. Jalan saja sampai nggak kuat. Makanya saya minta tolong sopir bantuin."Candini mengerutkan kening. "Kamu ndak lagi bohong kan, Ndra? Pak Minto ke mana, kenapa ndak dia yang jemput kalian?""Pak Minto kan libur, Tan. Tadi sore pamit.""Sepertinya ada yang kamu sembunyikan, Ndra. Tante ndak suka, ya, kalau kalian sampai berbuat sesuatu yang melanggar apalagi mencemarkan nama baik keluarga.""Kami nggak berbuat apa-apa, kok, Tan." Wandra merutuki dirinya sendiri karena berbohong pada orang yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Andai Mahesa mau menuruti perkataannya tadi, pasti tidak akan pernah ada kejadiaan memalukan ini. "Ya, sudah. Bawa Esa ke kamarnya.

  • Sang Penari Pujaan Hati   14. Sama-sama Berusaha Melupakan

    Happy Reading*****Tak sampai satu jam, Wandra sudah sampai di bandara kebanggaan Banyuwangi. Sebuah bandara yang masuk 20 besar arsitektur terbaik di dunia. Mendapat kategori green airport desain unik pada ajang Aga Khan Award for Architekture (AKAA) 2022. Langkahnya mantap dengan membawa koper.Menghubungi seseorang untuk menjemputnya nanti setelah sampai di bandara Soekarno-Hatta. "Sampaikan sama Kakek. Siang ini, saya sudah di Jakarta nggak sampai makan siang."Setelah mengatakan hal itu, Wandra pergi ke loket pemeriksaan tiket.*****Di tempat berbeda, Jelita kuliah seperti hari-hari biasa. Walau masih sedikit terluka mengingat kata menyakitkan yang diucapkan Wandra, tetapi dia sudah berjanji akan merelakan lelaki itu bahagia dengan istri pilihannya. Kuliah 3 SKS sudah selesai hari ini. Dia melangkahkan kaki ke kantin. Perutnya mulai meronta minta diisi. Sejak pagi, dia hanya meminum susu setelah itu ke sanggar dan siang kuliah. "Hai, Lit?" sapa seorang gadis berkerudung yang

  • Sang Penari Pujaan Hati   15. Hubungan

    Happy Reading*****"Oke, kita bicara di tempat lain," jawab Mahesa tegas. Sengaja mempertahankan wajah datar, tetapi di dalam hati, dia bersorak bahagia. Hubungan spesial yang dimaksud Risma tentu pacaran. Jika dua orang berbeda jenis menawarkan sebuah hubungan spesial tentunya akan menjurus pada hal itu, bukan? Mahesa merasa menang dan terbang ke awang-awang. Jelita pasti sangat kehilangan dengan ketidakhadirannya selama seminggu ini. "Di mana enaknya?" Jelita menampilkan senyum terbaiknya. "Terserah kamulah." Suara Mahesa sedikit melunak walau senyum itu masih belum tampak."Warung biasa kita janjian, ya. Aku laper, Mas. Belum sempat makan mulai pagi," rengek Jelita manja. Persis seperti anak kecil dan hal itulah yang selalu membuat Mahesa tak bisa jauh dari si gadis. "Ya, sudah. Ayo ke sana. Kamu bawa motor, kan?" Walau wajah Mahesa masih datar, tapi suaranya sudah tak sedingin tadi. "Bawa motor punya seseorang yang sangat spesial. Terima kasih sudah meminjamkannya untukku."

Latest chapter

  • Sang Penari Pujaan Hati   122. Menua Bersama

    Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per

  • Sang Penari Pujaan Hati   121. Panik 2

    Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya

  • Sang Penari Pujaan Hati   120. Panik

    Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg

  • Sang Penari Pujaan Hati   119. Pangeran Kecil

    Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon

  • Sang Penari Pujaan Hati   118. Bayi Mungil

    Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu

  • Sang Penari Pujaan Hati   117. Positif Hamil

    Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja

  • Sang Penari Pujaan Hati   116. Tanda-tanda

    Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu

  • Sang Penari Pujaan Hati   115. Pulang

    Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya

  • Sang Penari Pujaan Hati   114. Bulan Madu 2

    Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka

DMCA.com Protection Status