Happy Reading*****"Sudah setahun lebih, tapi kamu nggak mau mampir ke rumah Eyang, Lit," kata seseorang lelaki yang sedang mengemudi.Seseorang yang telah disangka suami si gadis oleh Wandra. Sampai saat ini, Jelita masih belum memahami tuduhan yang dilayangkan padanya. Berusaha menjelaskan pun, tak ada artinya. Wandra, meskipun sangat menyayangi dan mencintainya, tetapi sifat dan wataknya keras."Aku belum berani menemui Eyang, Mas. Nggak sanggup saat melihat kebencian di matanya.""Eyang sudah memaafkan Ayah sama ibumu asal kamu tahu, Lit. Beliau sangat menyayangkan Tante Ajeng keluar dari rumah dengan keadaan seperti itu.""Aku nggak tahu mana yang benar dan salah, Mas. Dulu, sebelum Ayah wafat, setiap kali kami mengunjungi Eyang. Wajahnya selalu terlihat membenciku dan Ibu.""Sekarang Eyang lagi sakit. Apa kamu nggak mau jenguk beliau?"Jelita terdiam, terus terang dia masih sangat takut jika berhadapan dengan Eyangnya. "Mungkin suatu hari nanti, Mas. Kalau aku sudah siap dan ng
Happy Reading*****Wandra bernapas lega, ternyata bukan Broto yang datang berkunjung, tetapi bundanya Mahesa. "Esa kenapa, Ndra?" tanya Candini, bundanya Mahesa. Dia memegang kening putranya yang masih berada dalam rangkulan sopir online dan Wandra. "Katanya tadi sedikit pusing, Tan. Kirain tadi bohong, nggak tahunya beneran. Jalan saja sampai nggak kuat. Makanya saya minta tolong sopir bantuin."Candini mengerutkan kening. "Kamu ndak lagi bohong kan, Ndra? Pak Minto ke mana, kenapa ndak dia yang jemput kalian?""Pak Minto kan libur, Tan. Tadi sore pamit.""Sepertinya ada yang kamu sembunyikan, Ndra. Tante ndak suka, ya, kalau kalian sampai berbuat sesuatu yang melanggar apalagi mencemarkan nama baik keluarga.""Kami nggak berbuat apa-apa, kok, Tan." Wandra merutuki dirinya sendiri karena berbohong pada orang yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Andai Mahesa mau menuruti perkataannya tadi, pasti tidak akan pernah ada kejadiaan memalukan ini. "Ya, sudah. Bawa Esa ke kamarnya.
Happy Reading*****Tak sampai satu jam, Wandra sudah sampai di bandara kebanggaan Banyuwangi. Sebuah bandara yang masuk 20 besar arsitektur terbaik di dunia. Mendapat kategori green airport desain unik pada ajang Aga Khan Award for Architekture (AKAA) 2022. Langkahnya mantap dengan membawa koper.Menghubungi seseorang untuk menjemputnya nanti setelah sampai di bandara Soekarno-Hatta. "Sampaikan sama Kakek. Siang ini, saya sudah di Jakarta nggak sampai makan siang."Setelah mengatakan hal itu, Wandra pergi ke loket pemeriksaan tiket.*****Di tempat berbeda, Jelita kuliah seperti hari-hari biasa. Walau masih sedikit terluka mengingat kata menyakitkan yang diucapkan Wandra, tetapi dia sudah berjanji akan merelakan lelaki itu bahagia dengan istri pilihannya. Kuliah 3 SKS sudah selesai hari ini. Dia melangkahkan kaki ke kantin. Perutnya mulai meronta minta diisi. Sejak pagi, dia hanya meminum susu setelah itu ke sanggar dan siang kuliah. "Hai, Lit?" sapa seorang gadis berkerudung yang
Happy Reading*****"Oke, kita bicara di tempat lain," jawab Mahesa tegas. Sengaja mempertahankan wajah datar, tetapi di dalam hati, dia bersorak bahagia. Hubungan spesial yang dimaksud Risma tentu pacaran. Jika dua orang berbeda jenis menawarkan sebuah hubungan spesial tentunya akan menjurus pada hal itu, bukan? Mahesa merasa menang dan terbang ke awang-awang. Jelita pasti sangat kehilangan dengan ketidakhadirannya selama seminggu ini. "Di mana enaknya?" Jelita menampilkan senyum terbaiknya. "Terserah kamulah." Suara Mahesa sedikit melunak walau senyum itu masih belum tampak."Warung biasa kita janjian, ya. Aku laper, Mas. Belum sempat makan mulai pagi," rengek Jelita manja. Persis seperti anak kecil dan hal itulah yang selalu membuat Mahesa tak bisa jauh dari si gadis. "Ya, sudah. Ayo ke sana. Kamu bawa motor, kan?" Walau wajah Mahesa masih datar, tapi suaranya sudah tak sedingin tadi. "Bawa motor punya seseorang yang sangat spesial. Terima kasih sudah meminjamkannya untukku."
Happy Reading*****Suara ketukan dan panggilan dari teman-temannya membuat Jelita membuka mata. Meraih ponsel dan melihat jam. Sudah pukul empat rupanya. Ternyata cukup lama dia tertidur. "Ya, sebentar." Jelita turun dari ranjang dengan muka berantakan. "Lit, ada pangeranmu di depan, nyariin," kata salah satu keman kos Jelita yang berbandan tambun. Jelita menggaruk kepala dan menguap. "Pangeran siapa yang kamu maksud?""Mas ganteng yang biasanya nyariin kamu.""Siapa, sih? Cowok ganteng yang nyariin aku kan banyak. Sebutin nama kenapa. Lagi males mikir, nih. Nyawaku belum jangkep untuk mengingat siapa saja yang pernah ke sini.""Mas Mahesa, elah dasar pikun." Gadis itu menjawab dengan jengkel."Suruh tunggu sebentar, aku mau mandi sama salat.""Ya."Kurang dari lima belas menit, Jelita sudah menemui Mahesa di teras kosnya. Pada sebuah bangku di pojok kanan pintu keluar. Kos Jelita memang tidak memperbolehkan seorang lelaki masuk sehingga setiap ada tamu lelaki datang, pasti menung
Happy Reading*****"Hati-hati kalau makan, Mas. Keselek gini kan sakit." Jelita berdiri dan mengelus punggung Mahesa. Hati si lelaki menghangat. Andai Jelita mau menerima cintanya pasti dia orang yang paling bahagia. "Sudah ... sudah. Kayak anak kecil saja. Aku nggak bakal mati cuma karena kesedak." Mahesa mengibaskan tangan Jelita dari punggungnya. Merutuki dirinya sendiri saat melihat kekecewaan di wajah gadisnya. "Bisa nggak kalau ngomong dipikir dulu. Ngapain bawa-bawa kematian. Emangnya sudah banyak bekal buat akhirat nanti? Sembarangan aja kalau ngomong." Jelita kembali duduk, tetapi pandangannya tak lagi mau menatap Mahesa. "Aku cuma khawatir sama kaget aja tadi. Lagian kenapa, sih? Mas tahu salon Kencana, ya atau kenal sama pemiliknya? Bisa, dong, direkomendasikan biar aku dapat diskon.""Nggak. Aku nggak tahu dan nggak kenal siapa pemiliknya." Tatapan Mahesa tajam. Setelah pulang dari restoran, dia harus meminta maaf oada bundanya karena tidak mengakui keberadaan perempuan
Happy Reading. *****Malam menjelang, Jelita sudah akan merebahkan tubuhnya, lelah setelah beraktivitas seharian. Ponselnya berdering nyaring. Nomer tak tak dikenal terlihat di layar. Dibiarkan saja ponsel itu berdering hingga mati sendiri. Jelita terlalu takut untuk menerima panggilan nomor tak dikenal. Jaman sudah semakin canggih, penipuan melalui telepon juga semakin merajalela. Jika memang penting, orang yang menghubungi tadi pasti mengirim chat padanya. Begitulah pikiran Jelita. Namun, beberapa detik kemudian, ponselnya kembali berdering. Terus berulang seperti itu hingga dia yakin bahwa orang yang menghubungi saat ini pastilah punya kepentingan padanya. "Halo," sapa Jelita."Halo, selamat malam. Apakah benar dengan Jelita Putri?" tanya seorang perempuan di seberang sana. "Benar saya sendiri. Ini dengan siapa, ya?" tanya balik Jelita. "Saya Kenis Putri Sasongko. Salah satu staf pengajar yang nanti akan memandu Mbak Jelita kursus merias. Tadi pagi, kita sudah bertemu dan se
Happy Reading*****"Hah!?" jawab Jelita terkejut dengan pertanyaan perempuan cantik di depannya. "Ngapunten, Bu. Maksudnya gimana itu?""Eh, maaf, Mbak. Saya salah ngomong." Candini segera memutar otak mencari alasan yang tepat. Setelah itu, dia pun berkata, "Maksudnya, anak saya mau privat menari sama Mbak. Mohon diterima jadi muridnya. Bisa nggak?"Jelita tampak berpikir, hari ini mengapa begitu banyak tawaran pekerjaan untuknya. Jika dia mengambil semua tawaran itu, tenaganya akan habis terkuras dan konsentrasi kuliah akan berkurang. Dia memang butuh uang untuk segala keperluan hidupnya, tetapi jika sampai menelantarkan tujuannya datang ke kota ini. Ya, tidak mungkin hal itu dilakukannya. "Ngapunten, Bu. Saya nggak bisa memberikan privat buat putrinya. Mungkin, bisa dengan pengajar lain, apa njenengan mau?"Candini berpura-pura kecewa. "Yah, padahal anakku sukanya sama Mbak Jelita.""Maaf, nggih, Bu. Bukannya saya menolak, tapi kalau diterima saya susah bagi waktu. Tadi sudah ada
Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per
Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya
Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg
Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon
Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu
Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja
Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu
Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya
Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka