Happy Reading*****"Hati-hati kalau makan, Mas. Keselek gini kan sakit." Jelita berdiri dan mengelus punggung Mahesa. Hati si lelaki menghangat. Andai Jelita mau menerima cintanya pasti dia orang yang paling bahagia. "Sudah ... sudah. Kayak anak kecil saja. Aku nggak bakal mati cuma karena kesedak." Mahesa mengibaskan tangan Jelita dari punggungnya. Merutuki dirinya sendiri saat melihat kekecewaan di wajah gadisnya. "Bisa nggak kalau ngomong dipikir dulu. Ngapain bawa-bawa kematian. Emangnya sudah banyak bekal buat akhirat nanti? Sembarangan aja kalau ngomong." Jelita kembali duduk, tetapi pandangannya tak lagi mau menatap Mahesa. "Aku cuma khawatir sama kaget aja tadi. Lagian kenapa, sih? Mas tahu salon Kencana, ya atau kenal sama pemiliknya? Bisa, dong, direkomendasikan biar aku dapat diskon.""Nggak. Aku nggak tahu dan nggak kenal siapa pemiliknya." Tatapan Mahesa tajam. Setelah pulang dari restoran, dia harus meminta maaf oada bundanya karena tidak mengakui keberadaan perempuan
Happy Reading. *****Malam menjelang, Jelita sudah akan merebahkan tubuhnya, lelah setelah beraktivitas seharian. Ponselnya berdering nyaring. Nomer tak tak dikenal terlihat di layar. Dibiarkan saja ponsel itu berdering hingga mati sendiri. Jelita terlalu takut untuk menerima panggilan nomor tak dikenal. Jaman sudah semakin canggih, penipuan melalui telepon juga semakin merajalela. Jika memang penting, orang yang menghubungi tadi pasti mengirim chat padanya. Begitulah pikiran Jelita. Namun, beberapa detik kemudian, ponselnya kembali berdering. Terus berulang seperti itu hingga dia yakin bahwa orang yang menghubungi saat ini pastilah punya kepentingan padanya. "Halo," sapa Jelita."Halo, selamat malam. Apakah benar dengan Jelita Putri?" tanya seorang perempuan di seberang sana. "Benar saya sendiri. Ini dengan siapa, ya?" tanya balik Jelita. "Saya Kenis Putri Sasongko. Salah satu staf pengajar yang nanti akan memandu Mbak Jelita kursus merias. Tadi pagi, kita sudah bertemu dan se
Happy Reading*****"Hah!?" jawab Jelita terkejut dengan pertanyaan perempuan cantik di depannya. "Ngapunten, Bu. Maksudnya gimana itu?""Eh, maaf, Mbak. Saya salah ngomong." Candini segera memutar otak mencari alasan yang tepat. Setelah itu, dia pun berkata, "Maksudnya, anak saya mau privat menari sama Mbak. Mohon diterima jadi muridnya. Bisa nggak?"Jelita tampak berpikir, hari ini mengapa begitu banyak tawaran pekerjaan untuknya. Jika dia mengambil semua tawaran itu, tenaganya akan habis terkuras dan konsentrasi kuliah akan berkurang. Dia memang butuh uang untuk segala keperluan hidupnya, tetapi jika sampai menelantarkan tujuannya datang ke kota ini. Ya, tidak mungkin hal itu dilakukannya. "Ngapunten, Bu. Saya nggak bisa memberikan privat buat putrinya. Mungkin, bisa dengan pengajar lain, apa njenengan mau?"Candini berpura-pura kecewa. "Yah, padahal anakku sukanya sama Mbak Jelita.""Maaf, nggih, Bu. Bukannya saya menolak, tapi kalau diterima saya susah bagi waktu. Tadi sudah ada
Happy Reading*****Candini memanggil satu per satu nama dari calon peserta kursus. Tepat pada nama Jelita, dia sengaja pura-pura terkejut."Lho, Mbak ini yang di sanggar tari tadi, bukan?" Aksi Candini kali ini membuat semua orang fokus pada mereka berdua. "Inggih, Bu. Bener itu saya," jawab Jelita disertai anggukan, membenarkan perkataan Candini. "Oh, selamat datang di kelas saya kalau gitu, Mbak." Setelah menyapa Jelita, Candini mengeluarkan modul dari tas yang dibawanya tadi. Membagikan pada para peserta kursus. Materi-materi dasar tentang cara merias sudah disampaikan. Hampir dua jam, Candini menjelaskan semuanya hingga tiba giliran sesi tanya jawab. Ibu dua anak itu sengaja menyalakan kamera ponselnya dan merekam kegiatan kelasnya hari ini. Selesai sesi tanya jawab, Candini membubarkan sesi pertama pertemuan mereka. "Untuk pertemuan selanjutnya, saya harap kalian sudah siap alat make up. Sambil menerangkan fungsi dan cara menggunakan perkakas tempur mempercantik diri, kita
Happy Reading*****"Aku sudah cukup sopan, Kek. Mengapa Papa sama Mama tetap bersikeras menjodohkan kami. Aku nggak suka perjodohan," kata Wandra sedikit melunak melihat kemarahan Wirawan. "Kami datang kemari bukan untuk membicarakan tentang perjodohan, Ndra. Aku bukan pengemis yang selalu mengaharapkan cintamu," tutur gadis bermata biru karena memakai softlens, Arsyana. "Kamu dengar itu, Nda. Bahkan Arsyana sudah nggak peduli lagi tentang perjodohan itu. Kakek, hanya akan membicarakan masalah bisnis. Cepat kamu mandi dan bergabung bersama kami," titah Wirawan yang tak lagi bisa dibantah oleh Wandra. Melangkah malas, Wandra masuk ke kamar. Bukannya langsung mandi, dia malah menghubungi Mahesa sesuai dengan janjinya tadi. "Hei, muka gantengnya kusut banget. Ada apa?" tanya Mahesa ketika wajah Wandra terlihat di layar ponsel. "Males banget aku, Sa. Ada Arsya di bawah," cerita Wandra. "Wah. Diapeli si cantik rupanya. Terus, kenapa jadi males?""Alasan ngomongin usaha, ujung-ujung
Happy Reading*****Di dalam mobil, Mahesa diam cukup lama. Dia seperti melihat hantu saja saat berpapasan dengan Jelita tadi. Apa yang dipikirkan sang gadis pujaan saat melihatnya berpenampilan rapi, sedangkan dia selalu bercerita bahwa pekerjaannya tidak mengharuskan menggukan kemeja dan jas apalagi cuma pegawai rendahan. Mana mungkin menggunakan setelen serapi yang dia kenakan saat ini. Mahesa pun mengumpat dalam hati. Mahesa masih mengamati gerak-gerik Jelita sampai motor miliknya berjalan keluar area parkir. Setelah memastikan sang gadis pergi, dia kembali masuk ke pabrik. Pergi ke ruang HRD. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" kata manajer HRD. Terkejut juga ketika atasannya mendatangi ruangan secara langsung. Biasanya Mahesa, hanya menyuruh asisten pribadinya. Terkait pekerjaan para bawahan. Jarang sekali terjun langsung menemeui di ruangan seperti sekarang. "Hari ini Bapak menerima mahasiswa magang?" tanya Mahesa berwibawa setelah duduk tepat di depan manajer HRD. "Iya, Pak.
Happy Reading*****Jelita meneruskan langkah karena tidak mungkin Mahesa ada di perusahaan itu. Semalam, si lelaki sudah menjelaskan bahkan mengirim foto serta lokasi kerjanya. Tidak mungkin si gadis meragukannya lagi.Lagian siapa Jelita sampai harus mengurusi kehidupan pribadi Mahesa. Padahal keduanya tidak terikat hubungan spesial kecuali pertemanan. Setelah menyelesaikan hajatnya, Jelita kembali mencari ruang manajer administrasi. Papan kecil yang menunjukkan bahwa itu adalah ruangan administrasi membuat Jelita mengetuk pintunya. "Masuk!" kata suara dari dalam. Jelita tersenyum menyadari keterlambatannya. Perempuan berkacamata dengan jilbab maroon itu menatapnya. Jelita memperkirakan bahwa perempuan itulah sang empunya ruangan. "Maaf, Bu. Saya terlambat karena ke toilet sebentar," terang Jelita."Tidak masalah. Duduklah!" pinta sang manajer, "siapa namamu? Biar mudah memberi penilaian nantinya. Sekalian biar nggak salah saat memangil kalian untuk diberi pekerjaan.""Saya Jeli
Happy Reading*****"Sial! Tumben Jelita minta video call. Apa mungkin dia melihatku di ruangan tadi. Ah, bodoh... bodoh. Kenapa juga aku mesti duduk di sebelah Yano. Harusnya aku langsung ngumpet di kamar mandi." Mahesa masih sibuk bicara dengan dirinya sendiri. Agak lama dia baru membalas chat yang dikirimkan Jelita setelah melepaskan kemeja dan jas. Tinggallah kaos dalaman tipis warna putih yang dikenakan lelaki itu. Sedikit menjauh dari meja kerja dan mendekati kamar mandi. Hanya, tempat itu yang memungkinkan bagi Mahesa untuk melakukan panggilan pada Jelita. Rambut sang lelaki juga sedikit diacak-acak seperti penampilan Mahesa sehari-hari. "Hai, Lit. Tumben minta VC? Kangen, ya?" ucap Mahesa ketika panggilannya sudah diangkat.Jelita mengerucutkan bibir. "Sembarangan kalau ngomong. Ngapain aku kangen sama, Mas? Aku tuh cuma memastikan, Mas, beneran kerja apa nggak?""Udah kayak istri-istri posesif aja kamu, Lit. Kayaknya sudah nggak tahan aku lamar, ya," goda Mahesa. Wajah Jeli
Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per
Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya
Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg
Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon
Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu
Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja
Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu
Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya
Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka