Happy Reading*****Di dalam mobil, Mahesa diam cukup lama. Dia seperti melihat hantu saja saat berpapasan dengan Jelita tadi. Apa yang dipikirkan sang gadis pujaan saat melihatnya berpenampilan rapi, sedangkan dia selalu bercerita bahwa pekerjaannya tidak mengharuskan menggukan kemeja dan jas apalagi cuma pegawai rendahan. Mana mungkin menggunakan setelen serapi yang dia kenakan saat ini. Mahesa pun mengumpat dalam hati. Mahesa masih mengamati gerak-gerik Jelita sampai motor miliknya berjalan keluar area parkir. Setelah memastikan sang gadis pergi, dia kembali masuk ke pabrik. Pergi ke ruang HRD. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" kata manajer HRD. Terkejut juga ketika atasannya mendatangi ruangan secara langsung. Biasanya Mahesa, hanya menyuruh asisten pribadinya. Terkait pekerjaan para bawahan. Jarang sekali terjun langsung menemeui di ruangan seperti sekarang. "Hari ini Bapak menerima mahasiswa magang?" tanya Mahesa berwibawa setelah duduk tepat di depan manajer HRD. "Iya, Pak.
Happy Reading*****Jelita meneruskan langkah karena tidak mungkin Mahesa ada di perusahaan itu. Semalam, si lelaki sudah menjelaskan bahkan mengirim foto serta lokasi kerjanya. Tidak mungkin si gadis meragukannya lagi.Lagian siapa Jelita sampai harus mengurusi kehidupan pribadi Mahesa. Padahal keduanya tidak terikat hubungan spesial kecuali pertemanan. Setelah menyelesaikan hajatnya, Jelita kembali mencari ruang manajer administrasi. Papan kecil yang menunjukkan bahwa itu adalah ruangan administrasi membuat Jelita mengetuk pintunya. "Masuk!" kata suara dari dalam. Jelita tersenyum menyadari keterlambatannya. Perempuan berkacamata dengan jilbab maroon itu menatapnya. Jelita memperkirakan bahwa perempuan itulah sang empunya ruangan. "Maaf, Bu. Saya terlambat karena ke toilet sebentar," terang Jelita."Tidak masalah. Duduklah!" pinta sang manajer, "siapa namamu? Biar mudah memberi penilaian nantinya. Sekalian biar nggak salah saat memangil kalian untuk diberi pekerjaan.""Saya Jeli
Happy Reading*****"Sial! Tumben Jelita minta video call. Apa mungkin dia melihatku di ruangan tadi. Ah, bodoh... bodoh. Kenapa juga aku mesti duduk di sebelah Yano. Harusnya aku langsung ngumpet di kamar mandi." Mahesa masih sibuk bicara dengan dirinya sendiri. Agak lama dia baru membalas chat yang dikirimkan Jelita setelah melepaskan kemeja dan jas. Tinggallah kaos dalaman tipis warna putih yang dikenakan lelaki itu. Sedikit menjauh dari meja kerja dan mendekati kamar mandi. Hanya, tempat itu yang memungkinkan bagi Mahesa untuk melakukan panggilan pada Jelita. Rambut sang lelaki juga sedikit diacak-acak seperti penampilan Mahesa sehari-hari. "Hai, Lit. Tumben minta VC? Kangen, ya?" ucap Mahesa ketika panggilannya sudah diangkat.Jelita mengerucutkan bibir. "Sembarangan kalau ngomong. Ngapain aku kangen sama, Mas? Aku tuh cuma memastikan, Mas, beneran kerja apa nggak?""Udah kayak istri-istri posesif aja kamu, Lit. Kayaknya sudah nggak tahan aku lamar, ya," goda Mahesa. Wajah Jeli
Happy Reading*****Kini giliran para karyawan di dalam toilet itu yang membulatkan mata. Bingung dengan jawaban Jelita. Mengapa sang gadis malah menyebut nama Pak Yano. Mereka saling pandang tak mengerti. Masitah menaikkan kedua bahunya. "Kenapa lari ke Pak Yano. Ibu itu tanya Pak direktur bukan Pak Yano." Sang kepala Admin menepuk kening. "Ya, kan, Pak Yano direktur di sini, Bu. Aduh, kok mendadak saya pusing sama pertanyaan Ibu, ya. Boleh saya pamit keluar duluan?" Jelita berlalu begitu saja. Mau tak mau, Masitah membiarkan Jelita keluar. Dia dan seluruh karyawan di sana saling pandang. Bertanya-tanya dalam hati, sejak kapan Pak Yano menjadi direktur mereka. *****Desas-desus kedekatan Jelita dengan sang direktur makin santer terdengar. Walau si gadis heran kenapa bisa hal itu terjadi, tetapi semangatnya tak goyah apalagi sampai luntur.Jelita tak mau ambil pusing dengan berita yang beredar dan hal itulah yang membuat Mahesa semakin yakin dengan pilihan hatinya. Jelita bak dind
Happy Reading*****Candini masih termangu dengan kelakuan Jelita. Pikirnya, Mahesa yang merekomendasikan tempat magang ini untuk sang pujaan. Nyatanya, Candini tak pernah tahu hal yang sebenarnya terjadi. Sebuah tepukan terasa di bahunya. "Bunda ngapain di sini?" tanya si sulung. Niatnya tadi mengejar Jelita, tetapi sampai di lantai paling bawah perusahaannya, si gadis tak juga ditemukan. "Mas, tahu kalau Jelita ada di pabrik?"Mahesa menganggukkan kepala. "Dia magang di sini bersama mahasiswa lainnya. Sepertinya dia marah besar sama Mas, Bun.""Kenapa?"Mengalirlah cerita Mahesa. Semua dia ceritakan tanpa satu pun yang terlewati hingga kemarahan Jelita saat ini. Candini menarik napas dalam-dalam. Sepertinya, dia sudah salah mengatakan bahwa sang direktur adalah putranya. "Apa karena itu, dia lari menjauh saat Bunda berkata bahwa putraku direktur di sini." Rasa sesal mulai merayap."Sepertinya begitu, Bun. Aku sudah membuatnya sangat kecewa." Mahesa menyandarkan tubuhnya lemah. "
Happy Reading*****"Hati-hati di jalan, Lit. Sampaikan salam Mas buat Ibu. Kalau Nenek sudah sembuh, kami sekeluarga bakalan sambang ke Banyuwangi," ucap Riyan. Dia memeluk sepupunya erat. Berat sekali melepas kepergian gadis itu karena mereka baru bisa akrab kembali setelah lebih satu dekade terpisah. "Makasih, ya, Mas. Sampein salam sama Eyang. Suruh jaga kesehatan dan jangan pernah berpikir bahwa Ibu membenci beliau. Kami berdua sangat sayang sama Eyang." Keduanya berpisah dalam kesedihan. Di dalam pesawat Jelita terus saja memikirkan keadaan Setiawan, istri serta bibinya. Apalagi mendengar cerita Puspa yang mengatakan bahwa pamannya belum sadarkan diri sampai saat ini. Memikirkan putri Setiawan yang masih berumur tiga tahun membuat dadanya begitu sesak. Turun dari pesawat, Jelita segera memesan taksi online. Hampir satu jam kemudian, dia sudah sampai di rumah duka. Puspa menyambutnya dengan tangisan. Memeluk putri semata wayangnya dengan erat bahkan gadis dalam gendongannya i
Happy Reading*****Acara tahlil berjaan lancar. Para tetangga banyak yang datang mengaji untuk mendoakan almarhum dan almarhumah keluarga pamannya. Walau terdengar selentingan yang tak menggenakkan, tetapi Jelita tetap saja diam dan bungkam. Para tetangga sudah pulang ke rumah masing-masing. Tersisa Sularso yang sengaja belum pulang. Berniat membantu si anak didik dan ibunya, lelaki itu mengajak Jelita bebincang. "Kamu sampai kapan di sini, Nduk?" tanya Sularso. Tangannya masih sibum melipat tikar dan karpet yang digunakan untuk acara tadi. "Belum tahu, Pak. Mungkin semingguan atau paling nggak sampai paman keluar dari rumah sakit. Emang kenapa, Pak?""Nggak kenapa-kenapa, Nduk. Kalau kamu nggak sibuk, bapak mau minta tolong untuk ngisi acara."Diam-diam Puspa menguping pembicaraan keduanya. Sebenarnya, perempuan itu sudah tak menginginkan Jelita untuk menari lagi. Dia ingin anaknya mencari pekerjaan yang jauh lebih baik. Tak lagi dipandang sebelah mata oleh para tetangga. Namun,
Happy Reading*****Bagaskara pergi meninggalkan Sularso. Sengaja menunggu Jelita di bawah panggung. Begitu tampak wajah cantik sang penari. Dia mulai menyapa dengan segala kegenitan yang dimiliki. "Hai, cantik. Sudah lama nggak ketemu. Apa kabar?" tanya Bagaskara. Salah satu matanya mengerling nakal. "Maaf, njenengan siapa?" Si gadis mengerutkan kening. Sama sekali tak mengingat sosok lelaki di depannya. Sedikit muak dengan sikap lelaki yang seperti itu. Bagaimana Jelita akan ingat jika mereka cuma sekali saja bertemu. Setelah kejadian tamparan sekitar empat tahun silam, mereka tak pernah berjumpa lagi. Hanya saja, Bagaskara sering kali bertanya pada Sularso di mana keberadaan Jelita setiap kali sanggar milik lelaki paruh baya itu tampil. "Wah ... wah. Ternyata memang aku dilupakan." Bagaskara mengitari tubuh Jelita. Meneliti setiap lekuk tubuh sang penari dengan mata penuh nafsu. "Ngapunten, Pak. Saya memang nggak inget siapa njenengan. Permisi." Demi menghormati seragam yang d
Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per
Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya
Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg
Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon
Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu
Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja
Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu
Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya
Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka