Share

6. Perjuangan

Author: pramudining
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Happy Reading

****

Keluar dari kediaman keluarga Wandra dengan penuh air mata, lengan Jelita ditarik Setiawan.

"Mau berapa kali kamu akan menyakiti dirimu sendiri? Sudah tahu kalian nggak mungkin bersama. Kenapa masih ngeyel?" bentak Setiawan, "ayo pulang!"

"Mas Wawan kenapa bisa ada di sini?" kata Jelita tergagap. Belum selesai dengan pengakuan Wandra tadi. Kini, kehadiran Setiawan malah membuatnya bingung.

"Aku sengaja mengikutimu. Mas, nggak mau kamu ambil resiko berbahaya lagi. Ayo naik," perintah Setiawan kasar dan sedikit memaksa.

Jelita yang memang sedang kalut menurut saja pada permintaan sepupunya. Sepanjang perjalanan, hanya isakan yang terdengar oleh indera Setiawan. Sungguh membuat lelaki itu miris dan jengkel sekaligus. Mengapa bisa Jelita dibutakan oleh cinta. Jelas-jelas dirinya dan Wandra tidak bisa bersama.

"Mas bisa nggak kalau kita nggak pulang dulu?"

"Pengen ke mana?"

"Pengen ke taman. Setidaknya, mataku nggak sembab dan mengeluarkan air lagi. Kasihan Ibu jika sampai melihatku seperti ini."

"Iya, tapi Mas nggak bisa nemenin. Harus kembali kerja karena jam istirahat sudah habis. Sengaja tadi Mas ijin buat jemput kamu. Nggak tahunya kamu malah pergi sama Wandra."

"Sudah nggak perlu bahas Mas Wandra lagi."

Sepeninggal Jelita, di rumah Wandra terjadi percekcokan.

"Apa kamu sudah nggak waras, Ndra? Seenaknya saja ngomong." Ajeng membulatkan mata secara sempurna.

"Ya, aku memang sudah hilang akal. Mama sama Papa terus saja mendikte hidupku. Aku harus ambil jurusan ini, harus berteman dengan anak ini bahkan untuk pendamping hidup saja kalian yang mengatur. Aku capek, Pa, Ma. Pengen hidup bebas seperti teman-teman yang lain. Kuliah sesuai dengan jurusan yang disukai. Berteman dengan siapa saja tanpa memandang status sosial maupun kepintarannya. Bahkan bisa berpacaran dengan gadis yang dicintai." Wandra menjatuhkan tubuhnya pada sofa ruang tamu.

Semua uneg-uneg yang selama ini terpendam di hati, disampaikan secara gamblang.

"Apa dengan meniduri Jelita kamu bisa menikah dengannya? Itu pikiranmu, Ndra? Tidak semudah itu. Di mana kewarasanmu saat berbuat hal buruk? Apa kamu sudah lupa bahwa kami, orang tuamu adalah panutan di desa ini dan juga desa sekecamatan." Pambudi menarik napas panjang, emosinya meluap.

Bukan, hanya karena perkataan Wandra, tetapi tulisan Jelita di map yang disodorkan tadi juga memicu kemarahan sang pemimpin.

"Aku yakin Jelita akan hamil anakku. Mama sama Papa nggak berhak memaksa untuk memutuskan hubungan kami." Wandra meninggalkan kedua orang tuanya tanpa peduli bagaimana perasaan mereka.

Terlahir sebagai putra sulung pasangan Pambudi dan Ajeng bukanlah sesuatu yang membahagiakan bagi Wandra. Sejak kecil, siapa yang akan menjadi temannya sudah ditentukan oleh orang tua bahkan untuk memilih sekolah saja, dia tidak bisa. Wandra memaklumi semua itu hingga dia berkenalan dengan Jelita ketika mereka sama-sama menjadi panitia pentas seni di sekolah.

Jelita adalah gadis pertama yang menarik hatinya. Saat itu, si gadis baru masuk menjadi siswa baru di sekolah Wandra. Seseorang yang memiliki segudang prestasi selain menari Gandrung, wajah cantiknya adalah perpaduan sempurna ciptaan Sang Maha Kuasa.

Ah, sejak saat itu memang Wandra telah jatuh sejatuh-jatuhnya pada Jelita. Walau banyak gadis cantik di kampusnya sekarang, pesona sang penari tetap menjadi primadona di hati.

Lelaki itu mencoba menghubungi Jelita ketika sudah berada di kamar. Namun, ponsel sang gadis tidak aktif.

Penuh emosi, Wandra membuang ponselnya ke sembarang arah. Sekali ini, dia dibuat kecewa oleh kekasihnya. Padahal ada banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Jelita. Termasuk perjanjian yang telah disepakati dengan papanya tadi.

*****

Jelita masih sesenggukan di taman Blambangan. Sendiri tanpa seorang pun menemani hingga seseorang penepuk pundaknya.

"Mau sampai kapan nangis? Sudah saatnya kamu bangkit dan buktikan bahwa kamu layak bersanding dengan Wandra," kata seseorang yang ternyata adalah Sularso.

"Bapak kenapa tahu aku di sini?" Jelita menengok pada Sularso.

"Wawan khawatir kamu kenapa-kenapa. Jadi, dia minta Bapak jemput. Ternyata kamu masih di sini, nangis lagi." Sularso mendaratkan bokong pada rumput, tempat si gadis merenungi nasib percintaannya.

"Lita nggak papa padahal, Pak." Tangan Jelita tak mau diam. Mencoba mengalihkan kesedihan dengan mencabuti rumput di sekitar duduknya.

"Nggak papa gimana? Matamu saja sudah bengkak gitu." Sularso menatap langit biru yang begitu cerah. "Mau tak mau kamu memang harus berpisah dari Wandra, Lit. Selama kamu masih jadi penari Gandrung. Orang tuanya nggak bakalan merestui hubungan kalian. Kecuali kamu mampu membuktikan pada mereka bahwa ada pergeseran ke arah positif tentang tarian itu dan caranya cuma satu. Kamu harus menerima tawaran Bapak tempo hari."

Jelita berdiri dan membersihkan celana dari rumput kering yang menempel. Lalu, dia berkata, "Aku nggak bisa ninggalin Ibu sendirian, Pak. Lagian sudah satu tahun berlalu. Apa mungkin aku masih bisa lulus tes dengan baik nantinya."

Sularso mengikuti anak buahnya yang sudah dianggap seperti putri kandungnya sendiri yang tak pernah dia miliki. "Kamu itu cerdas, Lit. Bapak yakin kamu bisa lulus ujian itu. Tentang ibumu, bisa kamu titipkan pada pamanmu atau kalau beliau mau bisa bekerja, sama Bapak. Bantu-bantu di toko Ibu."

"Tapi, Pak?"

"Nggak ada kata tapi. Kalau kamu nggak mau dicap negatif terus-menerus, maka kamu harus memperjuangkan semua ini. Di mulai dari dirimu dan kualitas pendidikan yang kamu peroleh." Sularso merangkul si gadis, menguatkan. "Allah nggak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri ingin berubah. Bukankah begitu ayat yang selalu kamu ucapkan untuk menyemangati Bapak?"

Keduanya terkekeh. Bersama semenjak Jelita masih berumur lima tahun membuat lelaki itu paham karakternya.

"Baiklah, Pak. Lita janji akan memperjuangkan semuanya hingga nanti tarian Gandrung nggak dipandang sebelah mata lagi."

"Pulang, Yuk! Ibumu pasti sudah nunggu dengan kekhawatiran seperti yang sudah-sudah setiap kali kamu manggung."

*****

Hari keberangkatan Wandra ke Surabaya tiba. Sampai detik dia berada di stasiun Karangasem tak dilihatnya wajah Jelita. Berkali-kali dihubungi ponsel si gadis selalu tidak aktif. Wandra benar-benar dibuat jengkel oleh gadis itu. Menunda seminggu keberangkatan ke Surabaya, nyata tak membuat Wandra bisa bertemu kekasihnya.

"Mau sampai kapan kamu nunggu perempuan itu, Ndra. Papa sudah menunjukkan bukti tentang kesepakatan dengan Jelita. Mengapa masih tidak percaya?"

"Tetep Wandra nggak percaya, Pa. Jelita nggak akan bisa ngelakuin itu. Surat itu pasti akal-akalan Papa saja supaya aku benci sama dia." Wandra mencengkeram rambutnya, frustasi.

"Silakan kamu tidak percaya dengan ucapan Papa, tapi jangan pernah menyesal jika ternyata apa yang Papa katakan benar."

Suara sirine dari kereta api yang menandakan bahwa kendaraan besi itu akan memasuki stasiun, terdengar. Berat hati, Wandra meninggalkan tanah kelahirannya untuk meneruskan pendidikan guna meraih gelar sarjana. Membawa sejuta pertanyaan tentang kebenaran sang kekasih yang tega mengkhianatinya.

Baru masuk gerbong kereta, kelebat bayangan Jelita terlihat oleh Wandra.

"Lita, tunggu!" teriak lelaki dengan jaket boomber. Setengah berlari, Wandra mencoba mengejar kekasihnya.

Related chapters

  • Sang Penari Pujaan Hati   7. Perjuangan 2

    Happy Reading*****Setengah berlari, Wandra mencoba mengejar perempuan itu. Tangannya segera menyentuh pundak si wanita. Namun, ketika menoleh alangkah kecewanya hati Wandra. "Siapa, ya? Jangan berani-beraninya melecehkan saya," ucap wanita itu tak terima. "Maaf, Mbak. Saya kira sampeyan adalah teman saya." Cepat Wandra meminta maaf dengan wajah penuh penyesalan serta kedua tangannya yang menangkup di depan dada. "Jangan sembarangan menyentuh perempuan lain jika nggak kenal, Mas. Sampeyan bisa kena pasal pelecehan. Inget itu!" Si wanita segera berlalu, meninggalkan Wandra yang cuma bisa terdiam. Dilihat dari belakang, memang postur tubuh dan juga siluet perempuan itu mirip sekali dengan Jelita. Namun, wajah mereka sangat jauh berbeda. Wandra berbalik arah dan mencari tempat duduk yang sesuai dengan tiketnya. Sementara di belahan bumi lain, tepatnya di sebuah intstitut. Risma mengikuti test masuk perguruan tinggi seni. Demi mewujudkan impiannya dan juga memperbaiki citra negatif

  • Sang Penari Pujaan Hati   8. Terpasung di Hati

    Happy Reading*****"Siapa namanya?""Nama lengkapnya aku nggak Tahu, Lit. Cuma para atasan sering banget manggil Wandra."Jantung Jelita serasa copot mendengar nama itu disebut. Setelah sekian lama baru kali ini ada yang memanggil nama itu. Meneguhkan hati bahwa belum tentu adalah orang yang sama. Jelita tersenyum kecut menatap Mahesa. "Oh," jawab Jelita."Ada yang aneh dengan nama itu? Kenapa mukamu langsung berubah. Jangan-jangan kamu punya hubungan spesial dengan seseorang bernama Wandra. Bener gitu, Non?"Jelita merutuki dirinya sendiri karena telah bereaksi berlebihan tadi. Harusnya, dia ingat bahwa Mahesa terlalu peka dengan orang di sekitarnya. Apalagi jika menyangkut tentangnya. Bukan tidak tahu dengan segala perhatian yang diberikan cowok itu selama ini. Namun, hati Jelita telah membeku, baginya urusan cinta menjadi nomor kesekian. "Ditanya malah melamun. Pacarmu namanya Wandra, ya?"Seketika Jelita menggeleng. "Sembarangan kamu, Mas. Mana ada aku punya pacar. Emang kamu l

  • Sang Penari Pujaan Hati   9. Tarian itu Mengingatkanmu

    Happy Reading*****Selain bekerja, di kita Yogyakarta ini, Wandra juga terus berusaha mencari keberadaan Jelita. Hampir seminggu, tetapi jejak sang gadis masih belum terdeteksi sama sekali. Harus dengan cara apalagi lelaki itu mengetahui keberadaan kekasihnya.Tak banyak yang Wandra minta, cukup bisa bertemu dengan Jelita dan bertanya tentang kebenaran surat itu. Jika memang benar Jelita sudah menikah dan bahagia dengan lelaki pilihannya, mungkin Wandra akan mundur. Namun, dia tak akan pernah berniat melupakan gadis itu. Biarlah tak menikah selamanya jika bukan dengan Jelita. Itulah prinsipnya. Wandra mengaduk-aduk jus jeruk yang sejak tadi ada di hadapannya. Sementara, sahabatnya yang tak lain adalah Mahesa masih menerima telepon. Sejak tadi, Mahesa terus saja tertawa dan berkata-kata romantis, seolah-olah orang yang diajaknya bicara adalah kekasihnya. Makan siang mereka jadi terganggu akibat perbuatan masing-masing. "Ngelamun terooss," goda Mahesa melihat pandangan kosong lelaki

  • Sang Penari Pujaan Hati   10. Awal Pertemuan

    Happy Reading*****Suara sorak sorai dan tepukan tangan menggema seantero gedung bahkan sampai keluar. Wandra mematung di tempatnya berdiri. Segera masuk kembali ingin melihat siapa sebenarnya yang membawakan tarian khas tanah kelahirannya sampai seluruh penonton bertepuk tangan. Akan tetapi, sesampainya di dalam gedung kembali. Sang penari telah turun dari panggung. "Kenapa seperti orang bingung, Ndra? Ada yang sedang kamu cari?" tanya Shinta. Perempuan itu memegang lengan si lelaki yang sudah dianggap ponakan sendiri. "Iya, Tan. Saya penasaran sama tarian yang dibawakan penari barusan. Apa tarian Gandrung yang berasal dari Banyuwangi?" tanya Wandra."Iya benar. Memang tari Gandrung yang dibawakan barusan." Shinta mengerutkan kening. Mencoba membaca apa yang sedang Wandra pikirkan. "Siapa penarinya, Tan?""Salah satu pengajar di sanggar Tante. Mahasiswa di perguruan tinggi Seni fakultas seni pertunjukan program studi tari," jelas Shinta panjang lebar seolah dia ingin menunjukkan

  • Sang Penari Pujaan Hati   11. Kecewa

    Happy Reading*****Wandra membulatkan mata dengan perkataan gadisnya. Lalu, dia tersenyum miris. Beginikah sikap Jelita yang sesunguhnya?"Bagus, rupanya ada maling teriak maling. Kamu yang berkhianat, tapi aku yang kamu tuduh," kata Wandra penuh penekanan pada setiap ucapannya. "Harusnya, jika kamu memang ingin menikah, maka katakan langsung bukan melalui orang lain."Jelita menatap tak percaya pada sang kekasih. Mengapa Wandra malah berkata demikian? Harusnya Jelita yang menanyakan hal itu. Sang kekasih sudah berkhianat dengan menikahi gadis lain. Bukankah apa yang dilakukan Jelita saat ini adalah demi memantaskan diri untuk menjadi pendampingnya kelak? Namun, Wandra malah menikah dengan orang lain dan hal itu disampaikan lewat surat balasan. "Sebaiknya kalian selesaikan kisah yang belum tuntas. Aku nggak mau dengar pertengkaran sepele seperti ini," kata seorang lelaki yang memeluk Jelita tadi. "Tunggu, Mas Yan! Aku ikut, urusanku sudah selesai dengannya." Jelita melihat ke ara

  • Sang Penari Pujaan Hati   12. Tekad Jelita

    Happy Reading*****"Sudah setahun lebih, tapi kamu nggak mau mampir ke rumah Eyang, Lit," kata seseorang lelaki yang sedang mengemudi.Seseorang yang telah disangka suami si gadis oleh Wandra. Sampai saat ini, Jelita masih belum memahami tuduhan yang dilayangkan padanya. Berusaha menjelaskan pun, tak ada artinya. Wandra, meskipun sangat menyayangi dan mencintainya, tetapi sifat dan wataknya keras."Aku belum berani menemui Eyang, Mas. Nggak sanggup saat melihat kebencian di matanya.""Eyang sudah memaafkan Ayah sama ibumu asal kamu tahu, Lit. Beliau sangat menyayangkan Tante Ajeng keluar dari rumah dengan keadaan seperti itu.""Aku nggak tahu mana yang benar dan salah, Mas. Dulu, sebelum Ayah wafat, setiap kali kami mengunjungi Eyang. Wajahnya selalu terlihat membenciku dan Ibu.""Sekarang Eyang lagi sakit. Apa kamu nggak mau jenguk beliau?"Jelita terdiam, terus terang dia masih sangat takut jika berhadapan dengan Eyangnya. "Mungkin suatu hari nanti, Mas. Kalau aku sudah siap dan ng

  • Sang Penari Pujaan Hati   13. Fakus Kebahagiaan Masing-masing

    Happy Reading*****Wandra bernapas lega, ternyata bukan Broto yang datang berkunjung, tetapi bundanya Mahesa. "Esa kenapa, Ndra?" tanya Candini, bundanya Mahesa. Dia memegang kening putranya yang masih berada dalam rangkulan sopir online dan Wandra. "Katanya tadi sedikit pusing, Tan. Kirain tadi bohong, nggak tahunya beneran. Jalan saja sampai nggak kuat. Makanya saya minta tolong sopir bantuin."Candini mengerutkan kening. "Kamu ndak lagi bohong kan, Ndra? Pak Minto ke mana, kenapa ndak dia yang jemput kalian?""Pak Minto kan libur, Tan. Tadi sore pamit.""Sepertinya ada yang kamu sembunyikan, Ndra. Tante ndak suka, ya, kalau kalian sampai berbuat sesuatu yang melanggar apalagi mencemarkan nama baik keluarga.""Kami nggak berbuat apa-apa, kok, Tan." Wandra merutuki dirinya sendiri karena berbohong pada orang yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Andai Mahesa mau menuruti perkataannya tadi, pasti tidak akan pernah ada kejadiaan memalukan ini. "Ya, sudah. Bawa Esa ke kamarnya.

  • Sang Penari Pujaan Hati   14. Sama-sama Berusaha Melupakan

    Happy Reading*****Tak sampai satu jam, Wandra sudah sampai di bandara kebanggaan Banyuwangi. Sebuah bandara yang masuk 20 besar arsitektur terbaik di dunia. Mendapat kategori green airport desain unik pada ajang Aga Khan Award for Architekture (AKAA) 2022. Langkahnya mantap dengan membawa koper.Menghubungi seseorang untuk menjemputnya nanti setelah sampai di bandara Soekarno-Hatta. "Sampaikan sama Kakek. Siang ini, saya sudah di Jakarta nggak sampai makan siang."Setelah mengatakan hal itu, Wandra pergi ke loket pemeriksaan tiket.*****Di tempat berbeda, Jelita kuliah seperti hari-hari biasa. Walau masih sedikit terluka mengingat kata menyakitkan yang diucapkan Wandra, tetapi dia sudah berjanji akan merelakan lelaki itu bahagia dengan istri pilihannya. Kuliah 3 SKS sudah selesai hari ini. Dia melangkahkan kaki ke kantin. Perutnya mulai meronta minta diisi. Sejak pagi, dia hanya meminum susu setelah itu ke sanggar dan siang kuliah. "Hai, Lit?" sapa seorang gadis berkerudung yang

Latest chapter

  • Sang Penari Pujaan Hati   122. Menua Bersama

    Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per

  • Sang Penari Pujaan Hati   121. Panik 2

    Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya

  • Sang Penari Pujaan Hati   120. Panik

    Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg

  • Sang Penari Pujaan Hati   119. Pangeran Kecil

    Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon

  • Sang Penari Pujaan Hati   118. Bayi Mungil

    Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu

  • Sang Penari Pujaan Hati   117. Positif Hamil

    Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja

  • Sang Penari Pujaan Hati   116. Tanda-tanda

    Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu

  • Sang Penari Pujaan Hati   115. Pulang

    Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya

  • Sang Penari Pujaan Hati   114. Bulan Madu 2

    Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka

DMCA.com Protection Status