"Hahh..! K-kamu pengendara motor yang mogok di jalan kemarin kan.?!” seru Barja yang kaget saat melihat Elang. “Benar Kang Barja, kemarin saya mencoba memagari Kang Barja dari pengaruh susuk Marini. Syukurlah akhirnya Kang Barja bisa berpikir sehat kembali saat tiba di rumah,” sahut Elang tersenyum. “Kapan dan dengan apa kamu memagari aku, Elang ?” tanya Barja, yang merasa Elang tak melakukan apa-apa padanya kemarin. “Saat saya memegang pundakmu Kang Barja,” sahut Elang tenang. “Dan saat ini, pagaran yang saya buat sedang di serang oleh sesuatu yang cukup mengerikkan Kang Barja. Apakah Marini tidak berada di rumah sekarang ?” tanya Elang. “Dia sudah keluar rumah sejak jam 8 pagi, dan belum pulang saat aku datang ke sini Elang,” jawab Barja agak bingung. “Hmm. Sepertinya dia pergi ke orang pintar yang memasang ‘susuk’nya. Dia bermaksud melenyapkan ‘pagaran’ yang saya buat pada Kang Barja. Apakah sekarang tubuh kang Barja seperti di tusuk-tusuk dengan hawa dingin ?” tanya Elang.
“Ahh, itu siasat yang bagus sekali kang Barja. Benar kata teman Kang Barja, jalankan saja rencana itu Kang Barja,” ucap Elang. “Baik Elang, akan kujalankan rencana itu. Kalau begitu saya pamit dulu,” ucap Barja. Usai berpamitan, Barja pun lalu beranjak menaiki mobilnya, untuk kembali ke rumahnya. *** Marini telah sampai di rumah, beberapa saat setelah Barja pergi ke rumah ibu Sekar. Dia benar-benar tak sadar, kalau Barja telah pulang ke rumah sebelumnya. Tiin.. Tiin..! Barja membunyikan klaksonnya di halaman rumah. Tak lama kemudian pintu rumahnya pun terbuka. Nampak Marini muncul dan tersenyum manis ke arahnya di depan pintu. ‘Huhh..! Senyummu palsu Marini..!’, maki kesal Barja, dalam hatinya. Barja turun dari mobilnya dan dia pun bersandiwara dengan membalas senyum Marini padanya. Barja membiarkan tangannya dicium oleh Marini, saat dia mau masuk ke dalam rumahnya. “Capek ya Kang Barja..?” tanya basa basi Marini, dia bermaksud mengetes reaksi Barja padanya. Ki Suwita ta
"Tak ada yang berlebihan, untuk nilai persaudaraan kita dan juga buatmu Elang. Uang 2 miliar masih terlalu sedikit, dibanding nilai persahabatan dan bantuanmu pada Paman, Elang. Terimalah dan pergunakan sebaik-baiknya dalam perantauanmu Elang,” ucap pak Bernard. “Baik Paman. Terimakasih,” ucap Elang terharu. “Baiklah Elang. Jagalah dirimu baik-baik di perantauan anakku. Dan cepatlah kembali jika sudah menemukan apa yang kau cari. Paman selalu berdo’a untukmu,” ucap Bernard. Klik.!Elang termenung sesaat, setelah menerima telepon dari pak Bernard, yang kini sudah dianggap Paman olehnya. Elang juga terpikir untuk mentranfer dana ke pantinya. Sebagai bukti rasa sayang dan terimakasih dirinya pada orang-orang panti, setelah urusannya di desa Gunungsari ini selesai. Elang sangat ingin, agar adik-adiknya bisa mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Dan tidak seperti dirinya, yang hanya tamatan SMA. ‘Akan kumasukkan uang 10 miliar rupiah pada rekening panti besok’, janji hat
Blarrgk..!!Dari bawah tubuh Elang melesat hawa pukulan jarak jauh. Hal yang membuat pasir pantai, yang tadi dipijak Elang terbongkar ke atas. Terkuak lubang seukuran tubuh manusia dewasa. Pasir pantai muncrat deras ke atas, lalu jatuh berhamburan. Taphh..! "Hahahaa..! Boleh juga kau anak muda..! Tapi jangan sebut Ki Suwita, jika kau bisa pergi dari sini hidup-hidup..!” seru Ki Suwita, yang mendarat mantap di tepi pantai. “Hahaa..! Apa keahlian lainmu selain membokong Pak Tua..?!” seru Elang sambil tertawa. “Hmm. Bocah sombong..!” dengus Ki Suwita marah. Seth..! Sosok Ki Suwita langsung melesat cepat ke arah Elang, sambil mengeluarkan jurus ‘Walet Merah Menyambar’ warisan ayahnya. Wesh.! ... Wersh.!! Tiga buah serangan langsung mengarah ke bagian mata, jantung, dan alat vital Elang. Dua tangan Ki Suwita membentuk seperti paruh burung, tangan kiri menyerang mata, tangan kanannya mengarah jantung, dan kaki kirinya menendang ke arah pangkal paha Elang. Cepat dan ganas sekali s
"Kang Elang masih akan menginap di sini besok kan..?” tanya Sekar. “Maaf, Mbak Sekar. Saya harus melanjutkan perantauan saya besok,” sahut Elang. “Kalau begitu, ini adalah malam terakhir kita Kang Elang sayang,” ucap Sekar sedih, sambil menarik lepas celana pendek dan celana dalam Elang dengan cekatan. “Akhs..! Mbak Sekar nakal,” lenguh Elang nikmat. Saat merasakan sesuatu yang kesat, hangat, dan basah, menyapu dan melumat ‘milik’nya dengan lembut. Pada akhirnya Elang harus kembali melayani Sekar, yang bagai kuda binal lepas dari kandangnya malam itu. Berkali-kali Sekar mengejang dan berdesah keras tertahan, karena takut terdengar oleh ibunya. “Akhs..! Kang E..lang, kenapa makin lama makin e..nakss..oughh..!” erang terbata Sekar. Saat kembali tubuh Sekar yang berada di atas Elang bergoyang kencang. Beberapa bulir keringat nampak bergulir di dahinya. Terlihat seksi, saat Sekar sedang berusaha menahan rasa nikmat, yang seolah hendak jebol dari dalam bagian bawah tubuhnya. “Akkh
"Sekar jangan begitu. Jangan memaksakan kehendakmu pada Barja, jika kau akan kembali padanya. Ibu sungguh tak apa-apa tinggal sendiri, asalkan kalian baik-baik saja. Dan ingat, jangan sampai peristiwa seperti kemarin terulang lagi,” ucap sang ibu, dia tak ingin Barja menerimanya karena terpaksa. “Saya rasa hari ini semua masalah dalam rumah tangga Mbak Sekar akan terpecahkan. Dan saya merasa ikut gembira karenanya. Namun perantauan saya masih jauh dan panjang. Untuk itu saya mohon pamit pada Ibu dan juga Mbak Sekar. Saya akan melanjutkan perjalanan saya kembali,” ucap Elang dengan sopan. Sang ibu dan Sekar sontak terdiam, sesungguhnya dalam hati mereka merasa berat melepaskan Elang pergi. Setelah banyak jasa dan kebaikkan Elang, yang telah ditanam untuk mereka berdua. Namun mereka berdua sadar, setiap perjumpaan pasti ada perpisahan. “Baiklah jika memang itu keinginanmu Elang. Ibu tak bisa menahanmu. Terimakasih atas segala bantuan dan pertolonganmu pada kami Elang. Yang past
Seorang lelaki kecil usia belasan, nampak tengah menggendong seorang anak perempuan di tepi jalan raya. Usia anak perempuan yang digendong itu sekitar 5 tahunan. Wajah anak lelaki itu terlihat sangat lelah dan penat, di terpa matahari senja di kota Gombong. Keringat juga tercetak di bajunya yang lusuh. Kakinya pun menapak tanpa alas di trotoar jalan, yang masih terasa hangat akibat terik di siang hari tadi. “Kita mau ke mana lagi Mas?” tanya Dila, sang adik yang digendongnya. “Mas sendiri nggak tahu Dek. Kita jalan saja mencari warung makan ya,” sahut sang kakak, dengan wajah agak bingung. Ya, sudah hampir 3 hari ini mereka berdua berjalan. Meninggalkan gubuk yang selama ini mereka tempati bersama ibu mereka, di wilayah Purworejo. Setelah ibu mereka meninggal 4 hari yang lalu, akibat penyakit paru-paru yang dideritanya. Maka mereka berdua benar-benar bagai anak ayam kehilangan induk. Bapak mereka bahkan telah mendahului meninggal dunia, tiga tahun yang lalu. Kini mereka adala
“Mas turunin Dila. Dila sudah kuat jalan lagi kok,” ucap sang adik. “Ohh, nama adik cantik Dila ya, kalau Masnya siapa?” tanya Elang, sambil menuntun motornya, menyamai langkah kedua bocah kecil itu. “Saya Supandi, Om, di panggilnya Pandi,” sahut si bocah laki-laki. “Ok, Pandi, Dila. Kita sudah sampai. Kalian cuci tangan dulu di kran situ ya,” ucap Elang sambil menunjuk kran, tempat si tukang sate mencuci alat makannya. “Pak, saya pesan sate ayamnya 3 porsi dan 3 gelas es teh manis ya,” ucap Elang pada pedagang sate itu. “Baik Mas, silahkan tunggu sebentar ya,” ucap pedagang sate, sambil menyiapkan pesanan Elang. Mereka pun menunggu sambil berbincang hangat, wajah Pandi dan Dila terlihat sangat ceria malam itu. “Pandi sudah sekolah belum?” tanya Elang. “Belum Om. Ibu nggak punya uang buat masukkin sekolah Pandi,” sahut Pandi. Teringat sesuatu Elang segera mengangkat ponselnya, dicarinya sebuah nomor, Tuttt...Tuttt..!Klik.! "Halo Elang, di mana kamu Nak?” sahut Bu Nunik di
Klikh..! "Ya halo," sapa Elang. "Assalamualaikum. Benarkah ini nomor Mas Elang..?" tanya suara wanita di sana. "Wa'alaikumsalam. Ya benar, ini Elang Prayoga," insting Elang langsung mengatakan, jika wanita itu adalah orang yang ditunggunya. "MasyaAllah..! Ternyata mimpi itu benar..! Ini Maya Lestari Mas Elang. Ibu Bimo. Tsk, tskk..!" Suara terkejut di iringi isak tangis terdengar di sana. "Baik Bu Maya, datang sajalah ke Jogjakarta ya. Katakan saja Ibu naik apa dari sana, biar nanti saya jemput di terminal atau di stasiun Tugu." Elang tersenyum senang, saat mengetahui ibu Bimo mau mengikuti 'sugesti', yang diberikan lewat mimpinya dua malam yang lalu. Ya, dengan kemampuannya yang sekarang. Elang memang memiliki kemampuan, untuk masuk ke dalam mimpi seseorang. Layaknya Ki Buyut Sandaka dulu, yang merasuk ke mimpinya. Elang telah men'sugesti' pada Maya Lestari, untuk menghubungi nomor ponselnya yang diberikan lewat mimpi. Dia juga menyatakan Bimo putra Maya berada bersamanya.
"Mas Elang, mmhh.." Nadya langsung mencium tangan Elang lalu memeluknya. Tak lama kemudian, Elang pun pamit kembali ke rumah sang Nenek. Dia ingin beristirahat sejenak, dari kesibukkannya yang melelahkan akhir-akhir ini. Hari menjelang senja, saat dia tiba di rumah sang Nenek. Diparkirkannya motor sport biru, yang baru dibelinya dua hari yang lalu, di garasi samping rumah sang Nenek. Kemarin sebelum keberangkatannya ke Bogor, Elang memang menitipkan motor itu di rumah Nadya. Ya, Elang menganggap tak perlu lagi mengambil motornya di rumah Reva. 'Biarlah, motor itu jadi kenang-kenangan untuk Reva', bathinnya. "Ehh, Om Elang sudah pulang," Wiwik yang melihat Elang pulang langsung menghampiri, dan mencium tangan Elang. Elang langsung masuk dan mencium tangan sang Nenek dan Bibinya. Lalu dia melangkah masuk ke kamarnya. Namun baru saja Elang hendak merebahkan dirinya di ranjang, 'Elang, apakah kau sedang sibuk..?' suara bathin Permadi menyapanya, dari kediamannya di Surabaya. Ela
"Hahhhh...!!!" seruan kaget terdengar serentak, dari seluruh anggota GASStreet di pertemuan itu. "Boss Permadi, jangan tinggalkan kami...!!" terdengar beberapa teriakkan dari mereka. "Kami akan tetap ikut bos Permadi, walau GASStreet dibubarkan..!!" "Kami siap mati untukmu Boss..! Jangan pergi..!!" Kini bahkan ada sebagian yang hadir mulai berteriak dengan suara serak dan mata berair. Ya, bagi mereka semua, Permadi adalah pendobrak pintu 'kejayaan'. Sosok yang memberikan mereka rasa keyakinan dan kebanggaan diri, untuk bergerak lebih maju ke depannya. Dengan dibubarkannya GASStreet dan mundurnya Permadi. Maka mereka semua bagai merasakan, 'pintu kejayaan dan kebanggaan' tertutup kembali untuk mereka. 'Suram..!' pikir mereka semua. Kembali Permadi mengangkat tangannya, dan suasana kembali hening seketika. "Namun saya juga membuka pintu. Bagi kalian yang masih ingin bergabung dengan usaha yang akan saya rintis. Saya dan sahabat saya akan membuka sebuah usaha yang bergerak di b
"Baik Ibu, Elang pamit dulu. Jaga juga kesehatan Ibu ya," ucap Elang, sambil beranjak meninggalkan panti. Diiringi lambaian tangan dan ucapan selamat jalan dari penghuni panti. Elang pun balas lambaikan tangannya, dan tersenyum pada mereka. Akhirnya dia masuk ke mobil, yang akan membawanya ke bandara Soetta, lalu naik pesawat menuju bandara Adisucipto di Jogja. Setibanya di area kedatangan bandara Adisucipto, sudah menunggu Yudha Satria dan Ahmad Syauban di sana. Rupanya kemarin mereka telah mendapat kabar dari Bambang, tentang Elang yang sudah kembali ke Jogjakarta. Maka segera saja Yudha dan Ahmad cus ke Jogjakarta, dan menanti Elang di Bandara. Karena mendapat kabar dari Bambang, bahwa Elang sedang dalam perjalanan kembali ke Jogjakarta. Ya, Elang memang belum sempat menyimpan kembali kontak-kontaknya, setelah ponselnya hancur dalam pertarungan di selat Naruto lalu. Padahal dia sudah membeli ponsel baru, tepat setelah Elang membeli lahan kosong tempat makam Ayah Bimo. Persi
Agak lama suasana paseban pertemuan itu menjadi sunyi. Semua penasehat yang berjumlah 5 orang itu termenung, dan berpikir keras mencari cara terbaik. Untuk menghadapi 'puncak kemelut' yang sudah diramalkan Resi Salopa akan terjadi, pada 7 tahun mendatang dari sekarang. "Ampun Kanda Prabu. Bukankah Resi Salopa dulu juga meramalkan, akan adanya 'gerbang dimensi' yang terbuka. Pada saat 'kemelut puncak' itu terjadi. Gerbang dimensi yang diramalkan Resi Salopa, akan mendatangkan sosok dari peradaban di masa mendatang dan masuk ke negeri ini. Apakah putra angkatku Srenggana Maruthi perlu kutempatkan bertapa di sana. Untuk menjaga gerbang dimensi, agar tidak dimasuki orang yang salah Kanda Prabu..? Karena kita tidak tahu, apakah 'orang dari peradaban masa depan' itu akan menjadi lawan atau kawan, bagi negeri Kalpataru ini Kanda Prabu. Kita harus memastikannya dulu Kanda Prabu," ucap Ki Jagadnata, seorang penasehat yang mumpuni di bidang kanuragan dan kesaktian. Dia jugalah yang menja
Awalnya, setelah mendengar kisah Permadi. Seruni merasa sangat shock dan marah pada Permadi. Namun setelah Seruni bèrpikir kembali. Awal kisah percintaannya dengan Permadi, juga bukanlah berawal dari sesuatu yang baik. Perlahan Seruni pun bisa menerima cerita itu, dan segera mengajak Permadi untuk menengok rumahnya di Surabaya. 'Biarlah ini menjadi hukuman dan pencucian atas dosa-dosa kami Ya Allah. Ijinkan kami membenahi ini semua Ya Rabb', rintih bathin Seruni. Dan betapa terkejutnya mereka, saat tiba di kediaman Permadi. Mereka mendapati kondisi Shara, yang lemah terbaring tanpa daya di pembaringan. Tubuh Shara yang dulu nampak sekal dan aduhai, kini berganti kurus tanpa gairah hidup. Bahkan sepertinya jika mereka terlambat datang 3 hari kemudian, Shara mungkin hanya tinggal nama saja. Nampak mata Shara berbinar gembira, walau tubuhnya tak mampu bergerak saking lemahnya. Bi Sutri yang menjaganya siang malam, saat itu hanya bisa terisak sedih. Menangisi kepedihan dan keputus
"Hahaha..! Baiklah Nak Permadi, kamu sudah dengar sendiri jawaban dari Seruni. Kini tinggal menentukan hari baik untuk pernikahan kalian. Dan sebaiknya kau mencari orang yang bisa kau percaya, sebagai teman pendamping untuk pernikahanmu Nak Permadi. Karena bagi laki-laki, tak ada wali pun pernikahan kalian sesungguhnya akan tetap syah," ujar Pak Jatmiko menjelaskan. "Baik Ayah, Ibu. Kalau begitu Permadi mohon diri dulu," ucap Permadi yang sudah mulai berkeringat, walau hawa ruang tamu cukup sejuk berAc. Namun Permadi langsung mendapat isyarat kedipan mata, sambil menggelengkan kepala dari Seruni. Karena langsung pulang setelah melamar, itu tidak sopan menurut Seruni. Karuan Permadi yang baru setengah berdiri, dia langsung duduk kembali di kursinya. Hehe. "Ahh, Nak Permadi jangan buru-buru pulang dulu. Ibu sudah menyiapkan makan malam bersama untuk kita. Kita makan bersama dulu ya. Hihihi," ucap Riyanti sang ibu, seraya terkikik kecil, melihat kekikukkan Permadi. Ya, Riyanti se
"Bimo. Om Elang bangga pada ketegaran Bimo, saat dulu kamu hidup di jalan seorang diri. Om tahu, sekarang kamu pasti sedang kangen sama Ibu dan Kakakmu di Madiun sana. Tapi Om juga kesal sama Bimo," ucap Elang pelan. "Om Elang kesal kenapa sama Bimo, Om..? Bimo minta maaf kalau sudah mengecewakan Om Elang," Bimo berkata penuh ketakutan. Ya, hal yang ditakuti oleh Bimo memang hanya satu. Yaitu mengecewakan Elang, orang terbaik yang selalu ada di hatinya dan menjadi teladannya itu. "Om kesal, karena Bimo tak pernah memberitahu pada Om, kalau makam ayah Bimo tidak dikubur di tempat yang layak. Sekarang katakan pada Om. Di mana tempat ayah Bimo dikubur..?" tanya Elang serius pada Bimo. "Bimo dan tukang rokok menguburkan Ayah di lahan kosong milik orang Om Elang. Lokasinya di pinggir jalan Tentara pelajar. Tapi sekarang tanah itu sedang dijual Om," sahut Bimo akhirnya terus terang. 'Bimo, tak kusangka kehidupan masa lalumu begitu pedih. Seusia kau menguburkan jenasah Ayahmu hanya b
"Tidak, Mas Elang tidak salah dengar. Itu memang murni keinginan Nadya, Mas. Tsk, tskk..!" sahut Nadya terisak. 'Andai Mas Elang menolak menikahi Nanako, maka aku juga tak akan menikah seumur hidupku..', desah bathin Nadya. Dan, itu semua 'terdengar jelas' oleh 'Wisik Sukma' Elang. "Hhhh. Nadya, sebenarnya seberapa dekat kau dengan Nanako..? Mas memang simpati padanya, tapi itu bukan berarti Mas cinta atau ingin menjadikannya istri, Nadya. Mas hanya mencintaimu Nadya, bukan yang lain. Soal Nanako memilih tak menikah seumur hidupnya, itu adalah pilihan jalan hidupnya. Takdir berada di atas semua itu. Jika Nanako ditakdirkan bersuami nantinya, maka pasti dia akan menikah juga, Nadya. Dan lagi, kamu juga belum bicara tentang hal ini pada kedua orangtuamu Nadya, pikirkanlah baik-baik. Biar bagaimana pun juga, orangtuamu harus tahu tentang 'keinginan anehmu' ini Nadya," Elang akhirnya berkata menjelaskan pada Nadya dengan tenang. Walau sebenarnya Elang agak kesal juga, dengan pola