Salah seorang petinggi perusahaan, yakni Direktur Keuangan, Anggoro Kusuma terlihat berlari-lari kecil mendatangi mobil sports berwarna hitam yang baru saja berhenti tepat di depan gedung bagian depan.
Anggoro membukakan pintu mobil itu dan kemudian membungkuk sopan saat seorang pria muda keluar dari mobil itu. Dia membenarkan jasnya dengan congkak.
"Selamat atas kemenangan Anda, Pak David," ucap Anggoro masih membungkuk.
"Hm. Apa kau yang menyiapkan penyambutan ini?" tanya David masih berdiri di dekat mobilnya.
"Bukan, Pak. Para karyawan antusias sendiri untuk menyambut kedatangan Anda. Mereka sangat bangga karena Anda bisa memenangkan tender besar itu," ucap Anggoro yang sudah mengangkat kepalanya.
"Ah, begitu," ucap David singkat.
Berarti aku harus sering-sering memenangkan tender seperti ini agar aku semakin dipuja-puja, batin David.
David melambaikan tangannya ke arah para karyawan yang berdesakan di depan gedung.
Para karyawan wanita segera menjerit ketika David memamerkan senyumnya. Memang tak bisa dipungkiri, David Araya itu tergolong pria tampan.
"Di mana Agusta?" tanya David yang tidak menemukan manajer umum itu di antara gerombolan orang yang ingin mengucapkan selamat kepadanya.
Sekarang David bersalaman dengan mereka sambil memasang senyum yang terkesan dibuat-buat ramah itu.
"Agusta sedang mengerjakan laporan, Pak. Jadi dia tak ikut turun ke sini!" jawab Anggoro.
"Panggil Agusta! Suruh dia ke ruanganku sekarang juga!" titah David.
"Baik, Pak!" sahut Anggoro.
Anggoro jadi bertanya-tanya kenapa akhir-akhir ini, dia terlihat agak lumayan sering berurusan dengan Agusta. Namun dia tak menanyakan apa-apa.
"Terima kasih atas penyambutannya. Saya senang sekali memiliki karyawan loyal seperti kalian. Tapi mohon maaf, saya tidak bisa lama-lama di sini. Saya harus kembali ke ruangan saya untuk kembali memikirkan lagi tentang pengajuan kerja sama lainnya. Permisi," ucap David.
David kemudian melenggang ke arah lift dan naik ke lantai tempat ruangannya berada.
Valentino atau Aditya yang menyaksikan sikap David itu merasa mual sekarang.
"Eh, kau lihat kan? Memang keren banget ya Pak David itu! Gayanya itu lho elegan!" puji Diana.
"Tampan juga, jangan lupa!" tambah Levi.
Kedua wanita itu cekikikan.
"Kalian naksir ya sama Pak David?" tanya Aditya.
Levi langsung menatap kesal ke arah Aditya.
"Culun, kamu kenapa sih dari tadi suka banget ngurusin urusan orang lain?" ucap Levi.
"Aku kan cuma tanya saja," ucap Aditya.
"Pertanyaan kamu itu aneh. Kita kan juga nggak terlalu akrab, culun," sahut Diana.
Aditya tak pernah kesal dipanggil 'Culun' oleh orang-orang. Dia malah senang karena berarti penyamaran yang dia lakukan itu berhasil.
"Maafkan aku, aku hanya berusaha bersikap ramah kepada kalian. Karena sebagai karyawan baru, aku juga ingin akrab dengan karyawan lain," ucap Aditya dengan suara rendah.
Diana mendecih.
"Kau? Akrab dengan kami? Jangan mimpi ya!" ucap Levi diiringi tawa.
"Eh Dit, kamu itu nggak nyadar ya? Udah diterima di perusahaan ini aja harusnya kamu bersyukur. Lihat tuh penampilan kamu! Benar-benar nggak mencerminkan kalau kamu kerja di perusahaan besar macam AL Group," hina Diana.
"Culun, kamu itu nggak punya kaca ya di rumah? Dengan penampilan kamu seperti ini yang benar-benar kampungan, bisa-bisanya kamu mau akrab dengan kita. Jangan harap!" ucap Levi dengan sinis.
Aditya berusaha sabar. Dia terus mengingatkan dirinya untuk tetap menjalani perannya sebagai pria culun yang dihina oleh orang-orang agar identitas aslinya aman.
Dia tentunya tak ingin apa yang sudah dia rencanakan gagal begitu saja hanya karena identitasnya terbongkar.
"Memang apa salahnya dengan penampilan aku? Aku rapi kok," ucap Aditya.
"Kemeja bermotif norak, celana panjang aneh, rambut di tata aneh, kacamata tebal yang tebal banget, mana punya tahi lalat besar di pipi lagi," ucap Diana sambil mengernyit.
Aditya memandang dirinya sendiri lewat kaca besar.
"Penampilan kamu itu sangat aneh. Jadi kamu jangan mimpi bisa akrab dengan kami ataupun karyawan-karyawan lain. Karena itu nggak mungkin," ucap Levi.
Levi pun menggandeng Diana untuk pergi dari sana.
Aditya mengembuskan napasnya dengan kasar. Kalau saja dia tidak sedang berpura-pura menjadi pria culun yang bodoh, dia pasti sudah membalas hinaan kedua wanita itu.
***
"Anda memanggil saya, Pak?" tanya Agusta.
"Iya, benar. Duduk!" perintah David.
Agusta duduk dengan waspada. Entah kenapa dia seakan memiliki firasat tak baik.
"Agusta, saya mau kamu buat proposal lagi untuk tender besar," ucap David.
Agusta terbelalak.
"Pro-posal tender besar lagi, Pak?" beo Agusta.
"Iya. Tapi tentu saja. Itu harus atas nama saya. Dan kamu harus menjaga rahasia ini lagi. Tapi jangan khawatir! Saya pasti akan kasih kamu bonus yang pantas," ucap David.
Pria itu memilin dagunya. Dia berpikir Agusta pasti akan mau dengan tawarannya.
"Tapi, maaf Pak. Saya tidak sanggup. Itu terlalu berat untuk saya. Dan itu juga bukan bagian dari pekerjaan saya," ucap Agusta.
David langsung menampilkan wajah tak enak dipandang.
"Apa kamu bilang? Kamu menolak apa yang saya perintahkan sama kamu?" ucap David. Nada pria itu yang awalnya santai kini sudah naik.
"Bukan begitu, Pak. Tapi sungguh saya rasa saya tidak mampu," jawab Agusta.
"Omong kosong. Kau kemarin bisa membuat proposal dengan bagus sampai tender besar itu bisa jatuh ke tangan saya. Sekarang kau berlagak nggak tahu," ucap David.
Pria muda itu mengetukkan jarinya di meja.
"Ah, saya tahu. Apa ini soal imbalan? Oh, begini saja. Kalau kamu mau imbalan yang lebih, katakan saja!" ucap David.
Agusta diam saja.
Sialan, ini bukan soal imbalan, bodoh. Masalahnya yang buat itu kemarin saudara tirimu. Dan aku tak mau membuatnya repot karena kau, sialan. Agusta membatin.
"Kenapa diam saja? Sebutkan nominalnya!" desak David.
Agusta menelan salivanya dengan kasar.
Brengsek, aku benci dipaksa begini, batin Agusta.
"Baiklah, baiklah. Apa kau menunggu saya yang menawarkan imbalannya?" tanya David.
Agusta mendongak.
Bukan itu, bodoh. Agusta ingin meneriakkan kata-kata itu langsung kepada pria yang menjabat sebagai presiden direktur itu.
David pun tersenyum mengejek.
Orang rendahan seperti dia pasti mau imbalan lebih, pikir David.
"Saya nggak masalah. Kamu mau minta berapa pun, akan saya kabulkan. Tapi yang pasti, kamu buat aja proposal yang bagus," ucap David.
Agusta masih diam saja.
David mulai tak sabar.
"Saya anggap kamu setuju. Saya tunggu proposal itu dua minggu lagi," putus David.
Dia pun berdiri dan berjalan ke arah kulkas.
"Tapi, Pak ...."
"Saya nggak mau tahu. Dua minggu lagi saya mau proposal itu ada di meja saya," ucap David tak mau dibantah.
Agusta ingin mengumpat.
"Baik, Pak," ucapnya menahan mati-matian agar dia tidak menonjok wajah David yang songong itu.
"Bagus," ucap David puas.
Pria itu membuka kulkas dan berniat mengambil sebuah beer.
Pria gila, di kantor mau minum beer? Sinting, umpat Agusta.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak," pamit Agusta.
David mengibaskan tangannya.
Begitu keluar ruangan David, Agusta memijit pelipisnya. Dia langsung mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan mencari nomer telepon seseorang. Dia langsung menghubungi orang itu.
"Valen, ke ruangan aku ya! Si bodoh itu menyusahkan aku lagi," ucap Agusta.
Valentino menutup telepon dari Agusta dengan perasaan jengkel. Bukan, bukan jengkel terhadap Agusta tentu saja. Namun jengkel terhadap si bodoh yang disebut oleh Agusta. Dia langsung berdiri dan mulai berjalan untuk menuju ruangan Agusta namun saat dia baru berjalan beberapa langkah, seseorang mengagetkan dirinya. "Mau ke mana kau? Pekerjaanmu saja belum beres, kau mau bermain-main?" tanya Alfredo, atasannya di bagian produksi. "Maaf, Pak. Saya diminta oleh Pak Agusta untuk ke ruangannya," jawab Valentino. Mata Alfredo menyipit. "Sebenarnya ada hubungan apa kau dengan Pak Agusta?" tanya Alfredo. Valentino baru tahu kalau ada orang yang terlalu ikut campur terhadap urusan orang. "Tentu saja ini soal pekerjaan, Pak," jawab Valentino santai. "Pekerjaan? Jangan membuat aku tertawa, Aditya! Kau sudah jelas di bagian produksi sedangkan Pak Agusta adalah manajer umum perusahaan ini." "Kau juga pasti tahu kan, menemui Pak Agusta itu tidak mudah. Lalu, bagaimana mungkin beliau malah me
Valentino mengangguk ke semua orang yang dia temui di jalan saat dia menuju ke luar gedung. Pria itu berpura-pura menjadi seorang pria yang agak bungkuk agar membuat semua orang tak mengenalinya. Dan tentu saja dia berhasil. Valentino melenggang bebas tanpa merasa khawatir jika identitasnya ketahuan. Namun, belum sampai dia ke gerbang depan perusahaan dirinya dikagetkan oleh sebuah klakson. Tin... tin... tin... "Woi, minggir!" teriak seorang laki-laki dari dalam mobil. "Mau cari mati ya?" ucap seorang wanita terdengar setengah berteriak dari dalam mobil. Valentino membungkuk dan menyingkir dari jalan. Kaca mobil itu diturunkan dan betapa kagetnya Valentino karena ternyata itu adalah mobil David. Tapi tak ada David di dalam mobil itu, melainkan hanya ada Almyra dan seorang pria yang Valentino tahu pria itu adalah sopir pribadi David. "Eh, si culun lagi. Kamu jangan-jangan mengikuti aku ya? Masa iya kita baru beberapa jam aja ketemu dua kali di lingkungan kantor. Aneh banget!"
"Halo, Ibu. Maaf, aku baru aja sampai rumah," sapa Valentino. "Iya, nggak apa-apa. Bagaimana kabar kamu di sana?" tanya Hera. "Aku baik-baik saja, Ibu. Bagaimana kabar Ibu?" tanya Valentino balik. "Yah, tentu Ibu baik-baik saja. Daddymu seperti biasa masih memanjakan Ibu," ucap Hera. Valentino tertawa pelan. "Tentu saja daddy memanjakan Ibu. Daddy kan cinta mati sama Ibu," goda Valentino. "Hm. Kami udah tua, Valentino. Sudah bukan waktunya lagi untuk memikirkan cinta segala. Yang penting kami hidup berdua rukun aja udah nyaman rasanya," ujar Hera. Valentino tersenyum, namun tentu saja ibunya tak bisa melihat senyum itu. "Aku senang banget karena kalian selalu rukun," ucap Valentino. "Sudah-sudah berhenti membicarakan soal kami. Kamu bagaimana? Kapan kamu menikah? Usia kamu sudah menginjak tiga puluh tahun. Memangnya tidak ada ya wanita yang bisa menarik hati kamu?" tanya Hera. Valentino sebenarnya tak suka dengan arah pembicaraan ibunya ini. Dia sebenarnya juga bosan selalu d
Tak ada yang menyahut ucapan Agusta sama sekali. Mereka semua terdiam. Sebagian karena takut, sebagian lagi karena tak tahu harus bersikap bagaimana. "Kalian semua masih punya mata kan? Bisa melihat dengan jelas kan kalau ada orang lain yang terjatuh di sini? Bisa kan? Tapi kalian malah mengejeknya. Di mana rasa peduli kalian pada sesama rekan kerja kalian?" tanya Agusta tajam. Diana dan Levi saling lirik namun tentu saja mereka tak menjawab sindiran Agusta. Mereka tak mau dipecat hanya gara-gara masalah ini. "Kenapa kalian diam saja?" teriak Agusta kesal karena tak ada satupun dari mereka yang menjawabnya. Valentino memberi isyarat pada Agusta agar tak memperpanjang masalah tersebut. "Kalau kalian tahu dia siapa, kalian pasti tak akan berani menganggunya seperti sekarang," ucap Agusta. Diana mendongak. "Maksud Bapak? Memangnya dia siapa, Pak? Dia cuman karyawan baru bagian produksi yang kerjanya aja lelet," ucap Diana. Agusta menatap tajam Diana. Agusta berjalan mendekati Dia
"Kau tahu, aku ini masih sangat normal, Agusta. Jadi jangan macam-macam!" peringat Valentino.Agusta tergelak."Valen, menurutmu memangnya aku doyan dada rata? Aduh, maaf saja. Aku masih doyan gunung besar," ucap Agusta."Bagus. Karena asal kau tahu saja tipeku cukup tinggi," sahut Valentino.Agusta tertawa."Oh, aku sekarang mengerti kenapa sampai sekarang kau belum memiliki seorang kekasih. Pasti karena tipe yang kau mau itu terlalu tinggi itu. Makanya tak ada yang bisa menarik hati kamu," ucap Agusta."Memang. Aku tentu saja tak ingin menyerahkan hatiku kepada sembarangan wanita. Lagi pula aku juga tak ingin membuang-buang waktuku dengan bersenang-senang dengan wanita yang enggak jelas," terang Valentino.Agusta tersenyum masam. Valentino sedang menyindirnya karena Agusta memang terkenal sebagai seorang player. Dan berkali-kali pria itu terlihat menggandeng wanita yang berbeda hanya dalam beberapa pekan."Kita itu masih muda, man. Tidak masalah kan kalau aku sedang menyeleksi calon
Aryan mengepalkan tangannya untuk menahan rasa kesalnya pada Rosa Melinda.Pemuda itu tak masalah jika dirinya dipanggil dengan sebutan anak kepala pelayan. Baginya itu adalah hal yang biasa saja. Karena dia pun juga tak pernah malu akan profesi ibunya dan memang seorang kepala pelayan."Apakah sedang menjenguk ibu tercinta kamu?" tanya Rosa."Iya, Bu. Baiklah, maaf saya harus permisi karena banyak sekali pekerjaan yang harus saya lakukan."Rosa menjadi tak suka karena melihat ada kesombongan di dalam diri anak kepala pelayan itu."Heh, anak kepala pelayan. Apa kau tak punya sopan santun, hah? Kau datang ke rumahku tanpa permisi kepadaku dan kau pun sekarang seenaknya saja pergi begitu saja."Sriani menahan lengan anaknya agar anaknya itu tidak berbuat yang tidak-tidak. Bagaimanapun juga Sriani mengenal anaknya dengan baik. Dia tentu bisa menduga jika saat ini anaknya sedang mati-matian untuk menahan rasa kesalnya.Sriani menggelengkan kepalanya ke arah Aryan.Aryan mengerti apa yang d
David Araya langsung mendorong Almyra ke dinding dan mengunci tubuh wanita cantik itu.Pria bertubuh padat itu dengan lapar melahap bibir Almyra yang ranum. David tak lupa mengabsen satu per satu gigi yang putih nan rapi milik Almyra.Setelah puas mengeksplor mulut Almyra, David beralih pada leher Almyra dan juga bahunya yang sangat mulus.Namun sayang, sebelum kegiatan panas itu berlanjut ke atas ranjang, David Araya harus mengakhirinya karena ponsel mewahnya yang harganya sama dengan harga motor itu berdering."Oh, shit!" umpat David.Dia menghela napasnya dengan kasar dan bergegas mengambil ponselnya yang dia letakkan di atas meja tamu.Almyra segera merapikan dirinya dan ikut penasaran siapa yang telah menganggu olahraga panasnya dengan David."Iya, Ma. Apa? Sekarang?"David mengambil napas sebelum mengembuskannya dengan perlahan. Rupanya dia harus menunda acara bercintanya dengan Almyra."Maaf, Sayang. Aku tak bisa melanjutkannya. Mama meminta aku untuk segera pulang," ucap David.
Valentino sedang kebingungan sekarang. Dia masih belum keluar dan pergi bekerja karena dia masih agak parno soal Almyra yang tiba-tiba saja kini menjadi tetangganya. Meskipun mereka tidak tinggal di lantai yang sama, Valentino tetap merasa tidak tenang. Kekhawatiran terbesarnya tentu saja berkaitan dengan penyamarannya yang bisa saja terbongkar karena terpergok oleh Almyra. Maka dari itu saat ini dia menunggu Almyra keluar dari unitnya dan pergi dulu ke kantor. Sebagai pemilik gedung Apartemen Gardenia Hills, tentu sangat mudah bagi Valentino untuk meminta anak buahnya mengawasi salah satu penghuni apartemen itu. Valentino tak ingin mengambil resiko karena jika identitas aslinya terbongkar, dia bisa saja gagal untuk mengungkap dibalik kematian ayahnya. Dan Valentino masih belum ingin identitasnya terbongkar. "Tuan, Nona Almyra sudah pergi ke kantor dijemput oleh Pak David," ucap Ruslan. Valentino tak terkejut sama sekali. Dia juga sudah mengetahui jika mereka berdua memang sepasan
Dear, Readers. Terima kasih sudah setia membaca kisah Valentino Araya selama ini. Valentino Araya menjadi salah satu tokoh favorit saya (yah gimana nggak jadi favorit kalau saya sendiri yang menciptakannya) hehe. Ide novel ini tercipta begitu saja dan tidak menyangka jika ternyata banyak yang merelakan waktu dan juga koinnya untuk membaca kisah ini. Sungguh saya tidak pernah menduganya. Mohon maaf jika masih banyak sekali typo.Tapi jangan khawatir, akan segera direvisi agar nyaman dibaca. Season 1 dari Sang Miliarder yang Tersembunyi telah selesai ya readers. Saya akan kembali untuk season 2 ya readers, tapi kemungkinan tidak akan secepat season1 updatenya. Terima kasih,
Beberapa orang terlihat berdiri karena terlalu terkejut sedangkan beberapa lainnya masih duduk dengan ekspresi yang mulai terlihat sangat takut. Mereka saling melihat kearah orang-orang di sekitar mereka karena takut jika mereka duduk disekitar orang yang menjadi pembunuh Misky itu.Ferisha masih terlihat sangat tenang sekali tanpa apa rasa takut sedikitpun. Dia juga telah memerintahkan mantan anak buahnya dan juga bersama-sama dengan polisi untuk menangkap pembunuh itu di gedung itu."Tak perlu khawatir. Pembunuh itu sudah diawasi dengan ketat oleh banyak polisi yang ada di sini jadi Anda tidak perlu mencurigai orang-orang di sekitar Anda," lanjut Valentino.Aryan menatap sahabatnya itu dengan bingung tapi dia tidak mengucapkan apapun.Valentino mengangguk pada Ruslan. Ruslan langsung mengangguk pada ada polisi yang juga berdiri di sampingnya.Petugas polisi itu kemudian mendekat ke arah Aryan."Pak Aryan, Anda ditangkap atas pembunuhan ter
Valentino telah yakin atas apa yang dia lakukan. Ferisha memang tidak memberitahu dirinya mengenai kecurigaan istrinya itu pada salah satu orang yang dianggap benar-benar melakukan pembunuhan itu.Akan tetapi dia ingin mengalihkan pikirannya dulu dan berujar, "Aryan, bersiap-siaplah karena aku akan segera melantik dirimu menjadi direktur pemasaran."Aryan mengangguk kemudian dia keluar dari ruang kerja Valentino. Pria itu tersenyum dan berjalan kembali menuju ruangannya.Setelah pria itu keluar dari ruang kerjanya, Valentino menghubungi istrinya dan mengatakan akan pulang dengan cepat.Ferisha telah menyiapkan makanan untuk sang suami. Saat Valentino di apartemen mereka, dia itu langsung menghambur ke pelukan istrinya."Hei, apakah kau terlalu merindukan aku sampai kau memelukku seperti ini?" tanya Ferisha sambil mengusap punggung suaminya itu.Ferisha melepaskan pelukannya dan menatap suaminya yang terlihat cukup sedih itu."Apa yang
Malam itu Ferisha menemani suaminya hingga suaminya itu bisa tertidur pulas di tempat tidur mereka. Ferisha tidak langsung tidur cantik langsung saya menghubungi anak buahnya untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai kasus pembunuhan terhadap Misky. Wanita itu sedang hamil besar dan kehamilannya telah mencapai usia tujuh bulan. Usia kehamilan yang sudah memasuki usia tua karena sebentar lagi dirinya akan segera melahirkan. Akan tetapi, semangatnya untuk mengungkap kasus itu tidaklah sirna karena dia telah mencurigai seseorang yang mungkin saja menjadi pelaku utama dalam kasus pembunuhan itu. Dia sangat yakin dugaannya itu benar karena banyak hal yang mencurigakan tentang orang itu. Ferisha hanya tidak ingin menyesal di kemudian hari karena tak bisa mengungkap kasus pembunuhan itu. Dia tidak bisa menolong sahabatnya, Almyra saat itu. Dan bahkan dia juga tidak bisa menyelamatkan Misky, suami Almyra. Jadi satu-satunya cara untuk menebus rasa bersalahnya terhadap
Meskipun perkataan Bara dan argumen Valentino dan juga Aryan cukup terdengar meyakinkan, Misky belum bisa mempercayai sepenuhnya dan kemudian dia kembali mencari Stefan Aditama di sekitar daerah tempat dia menemukan Bara. Dia kembali menelusuri apartemen mewah di sekitar tempat itu tapi sayangnya dia tidak menemukan apa-apa.Misky mulai frustrasi ketika hingga hampir satu minggu lamanya setelah kematian Bara, Misky belum juga menemukan setitik terangkan mengenai keberadaan Stefan. Pria itu pintar sekali menyembunyikan dirinya hingga bahkan ketika Valentino mengarahkan semua anak buahnya untuk mencari Stefan, tetap tak ada hasilnya.Misky merasa tidak bisa membalas dendamnya pada pria itu dan langsung saja dia pergi ke makam istrinya.Saat itu sudah sore dan Masih banyak orang yang sedang mengunjungi pemakaman tersebut.Misky terduduk di makam istrinya itu dan dia malah kembali teringat semua kejadian yang telah dia alami. Dia merasa menjadi pria paling sial
Warning! Terdapat adegan kekerasan yang mungkin tidak membuat nyaman, jadi bijaklah dalam membaca. Bara masih belum juga menyerah padahal dia sudah hampir kehabisan napasnya karena terus-menerus berlari tanpa henti. Pada akhirnya Misky tetap saja berhasil mobilnya di depan pemuda itu dan kemudian turun dari mobilnya dengan wajah yang masih tenang. "Kau mau lari ke mana lagi?" Misky bertanya sambil minum susu kotak dengan santainya tanpa menoleh pada Bara yang sudha pucat pasi. "Kenapa kau mengejarku?" tanya Bara mencoba untuk mencari peruntungannya berharap jika mereka tidak mengetahui jika dirinya yang telah membunuh Almyra. Misky tersedak saat minum susu itu dan kemudian melempar kotak susu yang hampir habis itu ke tempat sampah. Saat dia berhasil memasukkan susu kotak itu dia pun berseru, "Wow. Aku hebat, bukan?" Bara menggelengkan kepalanya seakan pria yang sedang ada di depannya itu sudah gila karena bisa-bisanya ma
Misky dengan mudah bisa mendapatkan informasi mengenai Bara Ali yang telah membeli apartemen mewah itu dengan namanya sendiri.Misky sungguh berpikir itu adalah suatu kebodohan terbesar yang pernah dilakukan oleh Bara. Dia benar-benar bingung kenapa kecerobohan yang fatal seperti ini malah dilakukan oleh Bara.Entah karena Bara yang terlalu bodoh tahu mungkin memang dia yang terlalu meremehkan Misky hingga tak mengira mereka bisa menemukan dia.Misky lebih mempercayai kedua alasan itu sekaligus.Ruslan yang menemani pria itu juga merasa sangat bersemangat karena sebentar lagi mereka akan segera menemui Bara, pria yang telah dengan sengaja membunuh Almyra dengan tangannya sendiri."Jangan gegabah!" ucap Ruslan yang mencoba untuk memperingatkan Misky pria itu tetap lebih berhati-hati karena mereka belum tahu apakah Bara memiliki anak buah yang melindunginya atau hanya sendirian saja."Iya, aku tahu. Aku juga tak ingin mati konyol sebelum membala
Bara telah menemukan tempat tinggalnya yang baru dan kemudian segera minta anak buahnya untuk menyiapkan tempat itu.Pria itu takkan pernah memaafkan temannya itu karena lebih membela orang yang tidak dikenalnya dibandingkan dengan dirinya sendiri. Almyra bukankah teman dekat mereka dan mereka hanya mengenal dari situ sebagai kekasih David tanpa pernah terlalu sering terlibat dengannya.Namun Stefan malah membelanya mati-matian hingga membuat hubungan mereka semakin memburuk. Bara masih tidak habis pikir bagaimana bisa dia menyalahkan dirinya tentang penembakan itu padahal Stefan juga menginginkan mereka semua mendapatkan balasan atas perbuatan mereka terhadap David dam kepada mereka sendiri. Tapi anehnya pria itu malah mengecam perbuatannya pada Almyra.Bara tidak bisa menerima semua itu dan dia bahkan tidak menjawab panggilan dari Stefan yang sudah berkali-kali menghubungi dirinya. Pria berambut cepak itu benar-benar telah mengabaikan Bara sepenuhnya dan tak i
Misky mendekatkan dirinya ke arah istrinya itu dan kemudian dia mendengar istrinya berkata, "Bunuh mereka."Misky membeku di tempatnya. Dia kembali menatap istrinya yang menangis dan mulai terlihat semakin lemah tapi dia tetap memaksakan dirinya untuk tetap berusaha mengeluarkan suaranya.Misky mendengar Almyra kembali berkata, "Bunuh mereka. Bunuh mereka untukku, Misky."Wanita itu pun memandang sang suami secara lekat lekat dan kemudian menutup matanya secara perlahan. Almyra mengembuskan napas terakhirnya di dalam mobil ambulans itu.Misky yang melihat istrinya itu sudah udah tak bernyawa hanya bisa menangis frustrasi dan tak henti-hentinya mengecup tangan istrinya dengan rasa sedih yang luar biasa.Ketiga tak bisa berbuat apa-apa karena memang Almyra sudah benar-benar pergi. Peluru itu menembus jantungnya dan tak mungkin bisa dikeluarkan. Perdarahan pun yang terjadi cukup fatal hingga membuat wanita itu tak bisa bertahan. Meskipun mereka tiba t