Malam semakin larut, angin yang berembus semakin terasa dingin saat menyentuh kulit. Jika kebanyakan orang pada larut malam sibuk mengarungi mimpi, tetapi tidak bagi Mudah Ayunda. Wanita itu sudah seperti Kelelawar saja. Siang dijadikan malam begitu pun sebaliknya. Tak ada kata lelah dalam hidupnya.
Dia mengira kehidupannya akan mudah untuk dijalani seperti nama yang telah diberikan orang tuanya dulu. Namun, nyatanya dunia tak sebaik yang dia kira. Perjalanan hidupnya begitu sulit, bahkan bisa dikatakan seperti membunuhnya perlahan.
Di tengah ingar-bingar suara musik yang memekakkan telinga, wanita yang akrab disapa Ayu itu, tengah meliukkan tubuhnya mengikuti alunan musik. Beberapa pria hidung belang mengelilinginya. Tangan nakal mereka dengan bebas menjamah tubuh Ayu. Parasnya yang cantik dan tubuh bak gitar Spanyol, siapa yang takkan tergoda dengan makhluk sempurna seperti Ayu.
"Kamu free enggak malam ini?" tanya salah seorang pria.
"Iya, mau boking gue?" sahut Ayu to the point.
"Tarif elu berapa?"
"Dua juta. Minimal segitu. Kalo lo gak berani, mundur aja!" ujarnya asal.
"Gue bayar lu tiga juta!" jawabnya sombong.
Ayu tersenyum tipis. Akhirnya malam ini dia akan mendapatkan uang lebih banyak. Biasanya, dia akan memasang tarif satu juta limaratus. Terkadang, banyak Om-om yang keberatan dengan harga yang Ayu sebutkan. Namun, demi mendapatkan kepuasaan sesaat mereka rela merogoh kocek cukup dalam.
Bukan karena ingin menjalani profesi seperti ini. Namun, karena keterpaksaan. Ayu hanyalah seorang ibu tunggal bagi anaknya yang kini sudah berusia tujuh belas tahun. Ayah sang anak pergi dengan wanita lain sepuluh tahun yang lalu. Ayu frustrasi saat itu, dia tak dapat melakukan banyak hal. Dia hanya bisa menjadi buruh cuci dan setrika dari pintu rumah yang satu ke pintu rumah yang lain.
Sehingga, pada sore hari ditemani rinai gerimis, Ayu dan anaknya sedang menahan lapar. Sebab, seharian hujan turun dengan derasanya. Ayu tidak bisa melakukan pekerjaannya. Agni sang putri merengek meminta makan. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan kepiluan hatinya. Matanya sudah memerah, air mata lolos dengan sempurna dari pelupuk matanya.
Agni-bocah kecil berumur tujuh tahun itu masih terus menangis meminta makanan. Ayu hanya bisa mendekap dan mengelus rambut si kecil. Tetiba pintu rumahnya diketuk. Ayu beranjak dari kursi pelastik yang didudukinya. Membuka selot pintu yang terbuat dari paku.
Ditatapnya tamu yang sedang berdiri di ambang pintu. Seorang wanita cantik dan seksi. Rambutnya yang berwarna marun dan kulitnya serupa susu, membuat aura kecantikannya semakin terpancar. Ayu melihat dirinya sendiri. Betapa bedana penampilan dia dengan wanita itu. Bagaikan bumi dan langit. Ayu hanya mengenakan daster lusuh bermotif batik dan rambut yang diikat asal.
"Hei! Kenapa kau menatapku seperti itu, Yu?" tanya wanita itu membuyarkan lamunan Ayu.
"Anda siapa? Kenapa bisa tahu nama dan alamat rumah saya?" Ayu balik bertanya.
Wanita itu tertawa sehingga menampilkan deretan giginya yang putih.
"Kamu serius gak ngenalin aku? Coba kamu perhatikan dengan seksama, Yu!" dia mencoba menyadarkan Ayu.
Ibu muda itu tampak berpikir. Mencoba mengingat siapa wanita yang kini ada di hadapannya. Tidak mungkin bukan seorang putri raja mengenal dirinya? Ini mustahil!
"Saya sungguh tidak mengenal Anda!" ketus Ayu.
"Aku Marta, Yu. Teman Sekolah Dasarmu dulu. Masa kamu lupa?" ujar wanita itu.
Seketika mata Ayu membulat sempurna. Ya, tentu saja Ayu tidak akan mengenal wanita yang tengah memandangnya itu. Sebab, seingat dia, Marta--temannya itu bertubuh gemuk dan memiliki kulit berwarna sawo matang. Namun, lihatlah sekarang! Marta berubah menjadi gadis cantik bak putri raja.
"Marta! Aku rindu sekali padamu," sahut Ayu kemudian. Lantas memeluk sahabatnya itu erat.
"Ayok masuk, Mar! Maaf gubukku berantakan dan sempit." Sesal Ayu seraya melangkah mendahului Marta.
Marta duduk di kursi kayu yang sudah reyot. Begitu memprihatinkan keadaan Ayu sekarang. Hati Marta begitu tersayat kala melihat seorang gadis kecil sedang tesedu di kursi pelastik di sudut ruangan.
Ayu segera menuju dapur untuk mengambil dua gelas air putih. Marta tak henti menatap gadis cantik yang tengah tersedu itu. Hatinya merasa nyeri melihat bulir bening yang tak hentinya terjatuh.
"Ini diminum dulu, Mar. Maaf, aku hanya bisa menyuguhkan segelas air putih saja," ujarnya penuh sesal.
"Tidak apa-apa, Yu. Oh iya, Yu, itu anak kamu? Kenapa dia menangis seperti itu?" tanya Marta lirih. Mata wanita itu sudah berembun.
"Dia putriku, Mar. Dia ...." Ayu tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Tenggorokannya terasa tercekik saat akan menjelaskan pada Marta.
"Sini, Sayang. Tante punya sesuatu buat kamu," panggil Marta pada Agni. Gadis kecil itu segera beranjak dari kursi lantas menghampiri Marta.
Direngkuhnya Agni dan mendudukannya di pangkuan. Gadis kecil itu tersenyum hangat.
"Ini, Tante punya cokelat buat kamu. Dimakan, ya? Ini enak lho," ucap Marta lembut.
"Terima kasih, Tante. Agni lapar, apa Tante punya makanan selain cokelat?" tanya Agni polos. Marta membulatkan matanya sempurna.
Hati Ayu terasa tercabik-cabik mendengar ucapan putrinya. Air matanya luruh seketika. Marta menoleh ke arah ibu dari anak tersebut. Wanita itu menundukkan kepalanya seraya tersedu, pun dengan perasaan Marta. Hati wanita itu bagai tertancap belati tak kasat mata. Agni-gadis kecil yang seharusnya mendapatkan asupan gizi yang banyak, tetapi keadaannya memaksa untuk dia berpuasa. Entah perasaan apa yang menyelimuti perasaan Marta. Mata wanita itu menganak sungai.
"Sayang, kamu belum makan?" tanya Marta seraya mengusap lembut kepala Agni.
"Iya, Tante. Aku makan kemarin sore. Ibu mengatakan tidak punya uang untuk membeli makanan," papar bocah polos itu.
"Kamu ke kamar dulu, ya! Nanti Tante akan ajak kamu makan enak di restoran. Tante mau bicara dulu sama ibu kamu," pintanya dengan lembut. Agni mengangguk seraya berjalan menuju kamarnya.
Marta menatap Ayu yang masih setia dengan isaknya. Wanita itu begitu prihatin melihat keadaan sahabatnya.
"Ayu ... kenapa hidupmu seperti ini? Maafkan aku yang datang terlambat. Aku memang bukan teman yang baik untukmu," ucapnya lirih. Marta terisak di tempatnya.
"Tidak, Marta! Kamu teman paling baik di dunia ini. Mungkin, ini sudah guratan takdirku," disela isaknya Ayu menjawab.
"Sekarang, bersiaplah, Yu! Kita pergi jalan-jalan. Kasihan anakmu kelaparan. Oh iya, mulai sekarang kamu harus ikut denganku!" ucap Marta tegas.
Ayu mengangkat wajahnya. Menatap netra cokelat itu. Ada ketulusan di sana. Ayu bisa merasakannya. Memang, sedari dulu, Marta lah yang paling peduli padanya. Ayu mengangguk patuh, lantas menyiapkan dirinya dan Agni untuk ikut bersama Marta.
******
Suara serak dari lelaki di sampingnya membuyarkan semua lamunan Ayu. Lelaki itu memeluk tubuh polosnya. Sepertinya akan ada 'permainan' lagi yang mengaharuskan Ayu untuk segera bersiap. Lelaki itu menggeliat. Ayunda menghapus air matanya kasar.
"Kau kenapa?" tanya lelaki itu.
Ayu terperanjat, baru kali ini ada seseorang yang menanyakan tentang keadaannya. Biasanya, ketika dia sedang menangis, lelaki yang membayarnya akan meminta untuk berhenti menangis. Tak jarang tangan mereka dengan mudahnya menampar pipi mulus Ayu.
"Aku tidak apa-apa!" sahutnya datar.
Pria itu bangun dari posisinya. Menatap mata milik Ayu. Ada luka yang mendalam, dia bisa merasakannya. Lelaki itu merasa kasihan. Dia ingin sekali mengusap kepala wanita Ayunda. Lantas,memeluknya erat dan memberikannya kekuatan. Ini sungguh aneh bukan?
"Kemarilah! Menangislah agar semua beban yang ada di hatimu berkurang," titahnya seraya merentangkan kedua tangannya.
Ayu terdiam seketika. Lelaki ini begitu lembut. Bahkan saat mereka bergumul dalam satu selimut pun pria ini memperlakukannya layaknya seorang manusia. Menjamah tubuhnya dengan kehati-hatian. Ayu merasa sedang bercumbu dengan seseorang yang mencintainya.
"Kenapa kau diam saja? Kemarilah!" ucapnya lagi. Dengan ragu, Ayu pun mendekat.
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Ayu masih terisak di dada bidang milik lelaki yang menyewa jasanya. Sudah lama sekali, Ayu tak merasakan kehangatan dari seorang pria. Semenjak sepuluh tahun yang lalu suaminya pergi bersama wanita lain. Kehangatan itu luruh seketika. Ayu seakan mati rasa. Tak ada warna putih, biru atau pun merah. Di hidupnya hanya ada warna hitam dan abu-abu saja.Semenjak itulah, Ayu bertekad untuk membentuk dirinya yang baru. Tak ada lagi Ayu yang penyabar dan lembut. Kini, dia akan menantang kejamnya dunia. Jika dunia bisa menenggelamkannya ke dasar bumi, maka dia akan lebih dulu menggenggamnya.Ayu mengangkat wajahnya. Hangat napas lelaki itu menyapu anak rambut milik Ayu. Dia segera menjauhkan wajahnya. Mengusap lembut bulir bening yang membasahi pipinya."Tidurlah lagi! Ini masih jam tiga. Nanti, jam enam pagi aku akan mengantarmu pulang," ujar lelaki itu.Ayu menatap netra hitam milik pria yang menur
#30HariMenulisNovelBatch5#Day4#SangKupuKupuMalam#Part3Sub judul: Lelaki MisteriusGenre: Romance sadNama: Rita JuwitaJumkat: 985Jam menunjukkan sembilan pagi. Ayu masih saja bergeming di tempat tidur. Rasa lelah, muak dan sedih bercampur menjadi satu. Kantuk sudah hinggap sedari tadi. Namun, wanita cantik itu masih sulit untuk memejamkan matanya. Dia masih terus memikirkan ucapan Agni. Bagaimana perasaan anak gadisnya selama ini? Apakah tersiksa seperti yang dia rasakan?Ayu menyandarkan kepalanya ke kepala ranjang. Memejamkan matanya, setetes air mata jatuh membasahi bajunya. Dadanya terasa sesak. Tak ada yang lebih menyakitkan dari ini selain melihat air mata yang jatuh dari netra indah putrinya.Ayu tidak mungkin meninggalkan pekerjaan ini. Meski pun ini sebuah dosa besar, kotor dan hina, biarlah. Toh, semenjak dia memutuskan untuk mengambil jalan pintas ini, dia sudah tahu resiko apa yang ak
Mereka memasuki mobil dan Bram segera melajukan kendaraannya. Memecah jalanan yang sudah cukup lenggang. Mungkin sebagian orang sedang mengatur posisi untuk tidur. Namun, pada jam menuju tengah malam, Ayu harus bergegas keluar untuk mencari rezeki. Ya, meskipun cara yang dia pakai salah adanya. Ayu tak peduli! Dia seorang ibu yang harus bekerja keras untuk masa depan putrinya. Kalau tidak begini, dia bisa apa? Menjadi buruh cuci, tidak bisa menutupi semua kebutuhan hidupnya. Apalagi hidup di kota besar seperti Jakarta. Biarlah orang menganggap dia sebagai wanita murahan, karena memang itu benar adanya. Meskipun ada rasa sakit saat mendengar kata itu. Dia pun ingin hidup normal layaknya seorang perempuan. Berdiam diri di rumah menunggu suami dan anak pulang. Namun, mimpi itu terlalu sulit untuk dia gapai.Baginya tak ada yang lebih penting selain masa depan Agni. Dia tak ingin Agni menjadi wanita bodoh sepertinya. Dulu, pada usia tujuhbelas tahun, orang tua Ayu menikahka
Bram menatap Ayunda lamat-lamat. Sungguh sedari dulu, Bram sangat mengagumi wajah cantik Mudah Ayunda. Tanpa diduga, lelaki itu menyatukan keningnya dengan kening Ayu. Merasakan setiap debaran di hatinya. Ayu dan Bram memejamkan mata mereka. Rasa yang mereka tepis kuat-kuat, kini membuncah tak tertahankan.Ayu merasakan bahwa di masa lampau dia pernah sangat dekat dengan lelaki itu. Tak pernah Ayu terbuai dengan segala perlakuan manis para 'buaya' yang mendekatinya. Namun, berbeda dengan Bram. Pria yang menjamah tubuhnya dengan penuh cinta. Menyiram hatinya yang telah lama kering, kini terasa sejuk semenjak malam itu. "Jangan seperti tadi lagi, Mudah!" ucapnya parau."Itu memang resiko dari pekerjaanku," sahutnya cepat.Bram mengangkat wajah. Dia tak berkutik mendapatkan jawaban dari Ayunda. Memang benar bukan itu adalah resiko dari pekerjaannya? Lantas Bram bisa apa? Dia bukan siapa-siapa Ayunda. Tidak punya hak apa pun.
Agni teringat kembali kejadian kemarin pagi. Saat dia akan memasuki kelas, tetiba ada tiga orang siswi yang menghadangnya. Menyeret, lalu menyudutkan Agni di dinding. Gadis pendiam itu hanya bisa merintih saat tangannya dicekal begitu kencang."Heh! Dasar cewek mur-ah-an! Lo itu ya, harusnya sadar diri. Lo mau rebut Arbani dari gue?" sentaknya seraya melototkan matanya."Kamu salah paham. Aku tak pernah berniat merebut Arbani dari kamu. Kemarin dia--""Halah, mana ada maling ngaku!" potongnya cepat.Jemari lembut itu beralih pada pipi Agni. Mencengkeram rahang Agni kuat-kuat. Gadis itu sudah banjir air mata. Perih dan sakit bercampur menjadi satu."Guys, enaknya kita apain bocah ini?" tanyanya pada kedua temannya. Mereka mengetukkan jari ke kening, berpikir keras."Kita kunci dia di toilet pria," usulan pertama datang dari wanita yang berambut ikal."Jangan! Terlalu biasa. Gimana kalau kita ..
Agni teringat kembali kejadian kemarin pagi. Saat dia akan memasuki kelas, tetiba ada tiga orang siswi yang menghadangnya. Menyeret, lalu menyudutkan Agni di dinding. Gadis pendiam itu hanya bisa merintih saat tangannya dicekal begitu kencang."Heh! Dasar cewek mur-ah-an! Lo itu ya, harusnya sadar diri. Lo mau rebut Arbani dari gue?" sentaknya seraya melototkan matanya."Kamu salah paham. Aku tak pernah berniat merebut Arbani dari kamu. Kemarin dia--""Halah, mana ada maling ngaku!" potongnya cepat.Jemari lembut itu beralih pada pipi Agni. Mencengkeram rahang Agni kuat-kuat. Gadis itu sudah banjir air mata. Perih dan sakit bercampur menjadi satu."Guys, enaknya kita apain bocah ini?" tanyanya pada kedua temannya. Mereka mengetukkan jari ke kening, berpikir keras."Kita kunci dia di toilet pria," usulan pertama datang dari wanita yang berambut ikal."Jangan! Terlalu biasa. Gimana kalau kita ..
Bram menatap Ayunda lamat-lamat. Sungguh sedari dulu, Bram sangat mengagumi wajah cantik Mudah Ayunda. Tanpa diduga, lelaki itu menyatukan keningnya dengan kening Ayu. Merasakan setiap debaran di hatinya. Ayu dan Bram memejamkan mata mereka. Rasa yang mereka tepis kuat-kuat, kini membuncah tak tertahankan.Ayu merasakan bahwa di masa lampau dia pernah sangat dekat dengan lelaki itu. Tak pernah Ayu terbuai dengan segala perlakuan manis para 'buaya' yang mendekatinya. Namun, berbeda dengan Bram. Pria yang menjamah tubuhnya dengan penuh cinta. Menyiram hatinya yang telah lama kering, kini terasa sejuk semenjak malam itu. "Jangan seperti tadi lagi, Mudah!" ucapnya parau."Itu memang resiko dari pekerjaanku," sahutnya cepat.Bram mengangkat wajah. Dia tak berkutik mendapatkan jawaban dari Ayunda. Memang benar bukan itu adalah resiko dari pekerjaannya? Lantas Bram bisa apa? Dia bukan siapa-siapa Ayunda. Tidak punya hak apa pun.
Mereka memasuki mobil dan Bram segera melajukan kendaraannya. Memecah jalanan yang sudah cukup lenggang. Mungkin sebagian orang sedang mengatur posisi untuk tidur. Namun, pada jam menuju tengah malam, Ayu harus bergegas keluar untuk mencari rezeki. Ya, meskipun cara yang dia pakai salah adanya. Ayu tak peduli! Dia seorang ibu yang harus bekerja keras untuk masa depan putrinya. Kalau tidak begini, dia bisa apa? Menjadi buruh cuci, tidak bisa menutupi semua kebutuhan hidupnya. Apalagi hidup di kota besar seperti Jakarta. Biarlah orang menganggap dia sebagai wanita murahan, karena memang itu benar adanya. Meskipun ada rasa sakit saat mendengar kata itu. Dia pun ingin hidup normal layaknya seorang perempuan. Berdiam diri di rumah menunggu suami dan anak pulang. Namun, mimpi itu terlalu sulit untuk dia gapai.Baginya tak ada yang lebih penting selain masa depan Agni. Dia tak ingin Agni menjadi wanita bodoh sepertinya. Dulu, pada usia tujuhbelas tahun, orang tua Ayu menikahka
#30HariMenulisNovelBatch5#Day4#SangKupuKupuMalam#Part3Sub judul: Lelaki MisteriusGenre: Romance sadNama: Rita JuwitaJumkat: 985Jam menunjukkan sembilan pagi. Ayu masih saja bergeming di tempat tidur. Rasa lelah, muak dan sedih bercampur menjadi satu. Kantuk sudah hinggap sedari tadi. Namun, wanita cantik itu masih sulit untuk memejamkan matanya. Dia masih terus memikirkan ucapan Agni. Bagaimana perasaan anak gadisnya selama ini? Apakah tersiksa seperti yang dia rasakan?Ayu menyandarkan kepalanya ke kepala ranjang. Memejamkan matanya, setetes air mata jatuh membasahi bajunya. Dadanya terasa sesak. Tak ada yang lebih menyakitkan dari ini selain melihat air mata yang jatuh dari netra indah putrinya.Ayu tidak mungkin meninggalkan pekerjaan ini. Meski pun ini sebuah dosa besar, kotor dan hina, biarlah. Toh, semenjak dia memutuskan untuk mengambil jalan pintas ini, dia sudah tahu resiko apa yang ak
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Ayu masih terisak di dada bidang milik lelaki yang menyewa jasanya. Sudah lama sekali, Ayu tak merasakan kehangatan dari seorang pria. Semenjak sepuluh tahun yang lalu suaminya pergi bersama wanita lain. Kehangatan itu luruh seketika. Ayu seakan mati rasa. Tak ada warna putih, biru atau pun merah. Di hidupnya hanya ada warna hitam dan abu-abu saja.Semenjak itulah, Ayu bertekad untuk membentuk dirinya yang baru. Tak ada lagi Ayu yang penyabar dan lembut. Kini, dia akan menantang kejamnya dunia. Jika dunia bisa menenggelamkannya ke dasar bumi, maka dia akan lebih dulu menggenggamnya.Ayu mengangkat wajahnya. Hangat napas lelaki itu menyapu anak rambut milik Ayu. Dia segera menjauhkan wajahnya. Mengusap lembut bulir bening yang membasahi pipinya."Tidurlah lagi! Ini masih jam tiga. Nanti, jam enam pagi aku akan mengantarmu pulang," ujar lelaki itu.Ayu menatap netra hitam milik pria yang menur
Malam semakin larut, angin yang berembus semakin terasa dingin saat menyentuh kulit. Jika kebanyakan orang pada larut malam sibuk mengarungi mimpi, tetapi tidak bagi Mudah Ayunda. Wanita itu sudah seperti Kelelawar saja. Siang dijadikan malam begitu pun sebaliknya. Tak ada kata lelah dalam hidupnya.Dia mengira kehidupannya akan mudah untuk dijalani seperti nama yang telah diberikan orang tuanya dulu. Namun, nyatanya dunia tak sebaik yang dia kira. Perjalanan hidupnya begitu sulit, bahkan bisa dikatakan seperti membunuhnya perlahan.Di tengah ingar-bingar suara musik yang memekakkan telinga, wanita yang akrab disapa Ayu itu, tengah meliukkan tubuhnya mengikuti alunan musik. Beberapa pria hidung belang mengelilinginya. Tangan nakal mereka dengan bebas menjamah tubuh Ayu. Parasnya yang cantik dan tubuh bak gitar Spanyol, siapa yang takkan tergoda dengan makhluk sempurna seperti Ayu."Kamu free enggak malam ini?" tanya salah seorang pria.&nb