Blaarghkss...!!!Sebuah lidah petir keemasan muncul dari kepalan Bara, saat benturan kedua pukulan mereka terjadi."Arrghhss..!! Arkhs..!" Blakh..!! Klang..!!Keduanya sama-sama terhempas ke belakang dan tertahan menghantam rantai pembatas arena. Rantai pembatas arena itu pun putus dan jebol. Keduanya masih sama-sama tegak berdiri..!Nampak di sudut bibir Bara menetes beberapa bulir darah segar. Sedangkan di pihak Sabri, darah malah mengalir dari sudut bibirnya. Wajah Sabri tampak agak memucat.'Hampir saja aku mengalahkannya sebelum waktunya', bathin Bara, seraya melirik jam digital di sisi arena yang masih di menit ke 10.'Gila..! Energi sambaran petirnya bagai menyengat sekujur tubuhku jadi kaku..!' bathin Sabri memaki kaget. Dia memang masih belum mengerahkan tenaga dalam penuhnya. Hanya tiga perempat bagian tenaga dalamnya, yang dikerahkan dalam serangan 'Surya Dahana'nya tadi.Diliriknya jam digital di sisi arena kini menunjukkan angka waktu 10 menit taruhannya, maka tak ada car
Plokk ..! Plokh..! ... Plokkh..!" suara riuh rendah tepuk tangan bagai menular, hingga akhirnya menjalar daan bergaung membahana di gedung arena itu. "Hidup Bara..!!" Bara sendiri sudah tak menghiraukan lagi gemuruh sorak sorai penonton di gedung arena itu, dirinya melangkah dengan langkah tertunduk menuju kembali ke ruang tunggu. Ya, Bara ingin selekasnya membersihkan tubuh, berganti pakaian, dan pergi sejauh-jauhnya dari gedung itu. Ada sisi dalam hatinya yang terluka dan tak bisa terobati, sisi itu bagai terus mengutuki dirinya dan menudingnya sebagai, 'pembunuh'..! 'Bagaimana kau bisa bersorak gembira Bara..?! Di saat kau baru saja menghilangkan nyawa seseorang yang mungkin ayah dari beberapa anak, suami tercinta dari seorang istri, atau bahkan kakak yang menanggung biaya hidup adik-adiknya..?! Dasar kau pembunuh tanpa hati Bara..!' demikianlah sisi lain di hati Bara, yang terus mengutuki dirinya sendiri. Hal yang membuat jiwa Bara 'goncang' seketika itu juga. Tubuhnya yang t
"O ya Resti. Kabarnya Ayah mas Bara akan kembali ke rumah dalam beberapa hari ini. Benarkah itu Resti..?""Itu benar Vina. Kemarin malam aku sempat berbicara panjang lebar dengan Ibu. Dia mengatakan dalam 3 hari ini Ayah mas Bara sudah diperbolehkan menjalani rawat jalan saja. Sedih juga mendengar kisah kasih mereka Vina, sudah puluhan tahun mereka terpisah dan akhirnya kini dipertemukan lagi.""Kau beruntung memiliki calon mertua yang baik dan pengertian seperti Bu Marini, Resti.""Kamu juga beruntung Vina, aku lihat Mamah Vivian sangat menyukaimu.""Yah, semoga saja kedua orangtua kita bisa merubah pendiriannya, dan bisa lebih memahami 'perasaan' kita pada akhirnya nanti.""Semoga saja begitu Vina. Hoaammmh."Lalu hening, lama tak terdengar lagi kata-kata di kamar itu. Ahh, rupanya dua sahabat itu sudah terlelap dalam mimpinya masing-masing.Keesokkan harinya.Tuttt ... Tuttt ... Tuttt.!Klik."Ya, Paman Tedjo." sapa Marini, menjawab panggilan Tedjo."Pagi Marini. Bagaimana kabarmu.
"Baik Paman sekalian. Sebentar ya," ucap Marini tersenyum, seraya melangkah ke dalam rumah."Bi Ijah, tolong buatkan 4 gelas kopi hitam dan sediakan camilannya sekalian ya," pesan Marini pada bi Ijah yang saat itu tengah di dapur."Baik Bu, biar nanti bibi yang antarkan sekalian ke teras," sahut bi Ijah. "Mas Banu. Ada Paman Tedjo dan rekannya datang berkunjung. Mas Banu ikut temui mereka ya," ucap Marini seraya menyiapkan kursi roda, untuk suaminya yang masih belum boleh banyak bergerak itu."Baik Marini. Apakah mereka empat orang anak buah Ayahmu dulu itu ya..?" sahut Banu seraya bertanya. Dia teringat dulu saat dia apel ke rumah Marini ini, dia pernah bertemu dengan para anak buah calon mertuanya itu."Hehee, Mas Banu masih ingat sama mereka rupanya," Marini tersenyum, dia merasa senang suaminya masih mengingat masa-masa mereka masih berpacaran dulu.Tak lama kemudian Marini dan Banu pun tiba dan bergabung dengan ke empat serangkai, mereka berbicara dengan akrab dan penuh canda.S
"Iya Marsha sayang. Mas tunggu ya," sahut Samuel mesra.Setelah berada di dalam kamar mandi kamar, Marsha segera menyalakan shower untuk mengelabui Samuel. Dia pun segera mengeluarkan ponselnya dari saku celana panjang katun relax yang dikenakannya.Dipanggilnya nomor David dan dibiarkannya panggilan menyala, agar suara percakapannya dan Samuel bisa terdengar oleh David dan Bara di luar sana. Lalu dimasukkannya kembali ponsel itu ke dalam saku celananya. Marsha pun keluar dari kamar mandi setelah mematikan showernya."Mas Samuel, seperti yang Marsha katakan kemarin. Bisakah Mas Samuel menandatangani berkas penjaminan atas pinjaman Marsha. Marsha sangat membutuhkan rekomendasi dari perusahaan mas Samuel, agar pinjaman Marsha segera disetujui," ucap Marsha seraya membuka tas ransel yang dibawanya, dan mengeluarkan sebuah map berisi beberapa berkas dari dalamnya.Samuel langsung menerima map berisi berkas dari Marsha dan langsung membukanya."Marsha sayang, kenapa tidak meminjam saja pad
"Ya Tuan Muda." Sahut Hadi, komandan pasukkan Harimau Besi, yang berada di salah satu Avanza hitam paling depan."Dalam hitungan tiga menit, aku akan sampai dan turun dengan tambang dari atas helikopter di lokasi target. Dalam dua menit, kau dan timmu harus sudah masuk dan memborbardir target dengan peredam..! Laksanakan..!"Klik.!Tinn..Tinn..!klakson Avanza hitam yang membawa Hadi sang komandan membunyikan isyaratnya. Maka serentak,Klek.! Klek.! Klek..! Tiga mobil Avanza itu membuka pintunya secara serentak, dan seluruh pasukan Harimau Besi yang 15 orang pun turun dengan cepat. *** Sementara di kediaman Marini."Sebentar ya Paman, sebaiknya Marini menghubungi Bara dulu. Untuk mengabarkan Paman sekalian sudah berada di sini," ucap Marini, seraya beranjak ke dalam rumahnya.Marini segera masuk ke kamarnya dan mengangkat ponselnya dari meja kamar, dipanggilnya nomor putranya tersayang.Tuttt ... Tutt ... Tuttt.!Klikh!"Ya Bu," sahut Bara."Bara. Paman Tedjo dan yang lain sudah sa
"K-kauu..?! Pengkhianat kau Denta..!!" Tedjo meradang murka, seraya menunjuk bergetar wajah Denta."Denta bangsat pengkhianat..!!" Sethh..! Marco berteriak keras, seraya kembali melesat dan melayang hendak menghantam kepala Denta.Denta pun bersiaga kembali memusatkan pandangan matanya, untuk mengendalikan bobot tubuh Marco dengan telekinesisnya dan membantingnya dengan lebih keras ke tanah. Saat..."Hauurrmmhss..!!" Kraatzh..!! Blaaghk..!!Sesosok tubuh mengaum dan melesat turun begitu saja dari helikopter. Sosok itu pun langsung menghajar Marco yang tengah melayang ke arah Denta, dengan ke dua tangannya yang bak cakar harimau. Gerakannya begitu cepatnya hingga tubuh Marco langsung terhantam deras ke tanah.Kraagghk..!!Belum selesai sampai disitu. Tubuh Marco yang sudah terhempas itu masih juga harus menerima hantaman kedua tumit kakinya, yang deras menghujam dada Marco. "Huaarghsk..!!"Tulang dada Marco patah dan remuk amblas seketika, darah pun muncrat dari mulut Marco bersamaan
Nnngunng...!!!"Awass semuaaa..!!"Sosok pengendara motor datang dengan cepat sekali seraya berteriak keras dari jauh, menyuruh massa yang berkerumun di depan gerbang pagar untuk menyingkir.Karuan semua orang yang berada di gerbang pagar menyingkir, memberi jalan bagi pengemudi motor yang mereka anggap gila itu.Nnnggg..!!! Bruuaakh..!! Klaang..!! Klontraang..!!Motor itu menabrak keras pagar besi gerbang hingga hancur, patah, dan roboh, dengan suara berdentang keras. Sosok pengemudinya sendiri telah melesat cepat ke teras rumah itu. Terlihat pengemudi motor itu melepas dan membanting helmnya begitu saja."IBUUUUU....!!! AYAHHH...!!" sosok Bara segera menghambur, memeluk jasad kaku kedua orangtuanya yang telah tewas tak terselamatkan lagi. Tubuh Bara bagai tersentak sentak, dalam isak tangis dan rasa emosi yang tengah ditekannya kuat-kuat."Maafkan Bara terlambat Ibu, Ayah.!" Bara berkata dengan sepenuh-penuh rasa sesal, dan kesedihan yang mendalam. Dia bagai menjadi anak yang tak be