Aku memandangi tubuh Bang Adi hingga menghilang di ujung jalan. Seperti hari-hari sebelumnya, dia pamit kerja tanpa ritual yang dulu aku lakukan. Apalagi tadi aku sempat membangunkannya untuk Salat Subuh, tetapi yang kuterima malah bentakan. Membuat aku tergugu di sudut dapur. Pisang goreng di wajan menjadi hangus, tak kuperdulikan padahal itu makanan kesukaan Bang Adi.
Setelah Bang Adi berangkat, aku segera bersiap. Tujuanku hari ini, ingin memeriksakan kandungan. Jadwal ke Bidan yang seharusnya kulakukan dua hari lalu.
Aku merasa langkah menjadi pendek, tempat praktek Bu Bidan terasa jauh dari rumahku. Padahal biasanya hanya ditempuh tidak lebih lebih dari lima belas menit, tetapi kenapa sekarang terasa lama? Aku terus saja berjalan, perasaanku semakin tidak enak karena sejauh ini tidak ada orang atau kendaraan lewat, biasanya jam-jam seperti ini ramai.
Keringat mulai membasahi kening dan tubuhku. Aku menghapusnya dengan ujung jilbab yang kukenakan. Perut pun
Alhamdulillah, setelah aku lanjutkan terus membacanya. Lambat laun suara-suara tersebut menghilang seiring azan Ashar berkumandang. Gegas, aku melanjutkan menunaikan salat karena masih dalam keadaan suci.Tak lama Bang Adi pulang kerja, tetapi balik lagi katanya ada barang yang harus diantar kembali. Dari dalam rumah kulihat truk putih yang terparkir di halaman terlihat berasap dan warna putihnya penuh bercak darah. Aku mengucap kalam Ilahi serta mengkerjapkan mata. Sontak pemandangan mengerikan itu hilang."Sum, aku jalan, ya!" Bang Adi berjalan cepat ke arah truk, setelah menepuk bahuku."Bang, tunggu! Ada yang mau kuceritakan!" Aku berteriak seraya menyusul Bang Adi tetap dia seakan tak menghiraukan, menutup pintu truk, menyalakannya dan berlalu meninggalkanku.Bang, kenapa kamu sekarang berbeda? Aku meratap dalam hati. Melangkah pelan memasuki rumah, duduk di kursi panjang sambil melihat foto pernikahan kami yang terpajang di dinding. Otakku berpikir,
Aku berjalan tergesa-gesa pulang ke rumah, tetapi anehnya langkahku malah memutar melewati kebun tempat Mpok Lela gantung diri. Entah mengapa bukannya berjalan, aku malah berhenti dan memandang pada pohon kecapi besar yang di dahannya melambai-lambai seutas tali tambang."Sumiii ...." lirih terdengar suara yang kukenali.Aku memejamkan mata berusaha menetralisir diri bahwa pendengaranku salah, tetapi kini sosok yang kukhawatirkan muncul di hadapanku. Sama penampakannya seperti malam itu, wajah pucat menyeramkan dengan tali tambang terikat di lehernya. Tubuhku lemas tidak bisa menahan ketakutan."Mbak, ngapain di situ?"Sosok laki-laki bertopi menegurku, sepertinya dia pencari rumput. Aku tidak menjawab, mengedarkan pandangan. Hantu Mpok Lela telah menghilang. Hati terasa lega, buru-buru pulang ke rumah. Sebentar lagi senja datang.Rasa lega menghampiri saat seiring azan Magrib, aku tiba di rumah. Setelah mandi dan salat, aku merenung di kamar
Ketika kami asik bercengkrama, suara deru mesin mobil terdengar dari ujung jalan. Truk putih yang tampak gahar mendekat ke rumah."Bang, kok, dibawa truknya?" tanyaku sesaat, Bang Adi memarkirkan kendaraannya."Iya , aku malas balik ke perusahaan. Sudah tenang, ada aku ini," ujar Bang Adi yang langsung masuk ke rumah setelah berbasa-basi sebentar pada Tini.Hatiku rasanya jadi tidak tenang, teringat peristiwa mengerikan saat awal truk putih datang. Aku pun berprasangka penyebab kejadian-kejadian di rumah adalah berasal dari makhluk tak kasat mata penunggu truk."Sum, aku pamit pulang, ya. Oh, iya sudah diminum ramuan dari Nyi Retno?" tanya Tini sesaat dia hendak pulang. Aku hanya mengangguk, lidah tak mampu berbohong."Bang, makan dulu. Tadi aku buat kue sama telur balado," ucapku saat Bang Adi keluar kamar mandi."Entar saja, Sum. Aku capek banget." Bang Adi masuk ke kamar. Memang terlihat sekali kelelahan di wajahnya. Khawatir mengan
Benar saja, tak lama terdengar teriakan panik dari sahabatku, Tini. Entah dapat kekuatan dari mana, dia mengangkat tubuhku dan meletakkan di jok belakang mobil yang dibawanya."Sabar, ya, Sum! Tenang yang penting kamu sudah minum ramuan Nyi Retno pasti semua akan baik-baik saja." Aku terkejut mendengar ucapan Tini, sempat-sempatnya dia berkata seperti itu di saat aku dalam keadaan menahan sakit. Tanpa menunggu jawabanku, Tini segera menyalakan mesin mobil, mengendarai dengan kecepatan penuh diiringi pandangan aneh orang-orang di jalan."Suami ibu, mana? Biar azanin anaknya dulu!" Seorang wanita muda berpakaian perawat menghampiri dan bertanya padaku. Aku menggeleng lemah sambil berkata, "Kerja." Untung saja semua orang di rumah sakit sigap serta baik. Perawat laki-laki menggendong anakku sambil mengucapkan Kalam Illahi.Air mataku berderai menyaksikan pemandangan di hadapanku. Di saat moment mengharukan itu, tiba-tiba Tini menerobos masuk. Matanya terbelalak mel
"Astagfirullah!" Aku berlari menghampiri Rizky, meraih dalam gendongan sambil membaca surah-surah pendek. Setelah tidak menangis, aku menyusuinya dan kembali tertidur. Namun kali ini aku tidak berani meninggalkannya apalagi azan Magrib telah berkumandang. Sepanjang malam aku terjaga, khawatir terjadi sesuatu hal tidak diinginkan.Pagi harinya, setelah memandikan Rizky, aku berniat mencari sarapan sambil melihat-lihat keadaan sekitar tempat tinggalku yang baru agar bisa lebih mudah bersosialisasi sekaligus mencari pelanggan jasa jahitan."Teteh, orang baru, ya?" tanya seorang wanita memakai daster kuning saat aku mengantre nasi uduk di warung dekat rumah."Iya, Mbak," jawabku sambil tersenyum. Wanita itu menjulurkan tangannya sambil berkata, "Panggil saja Dewi, Teh. Sepertinya usianya di atas saya.""Oh, iya maaf.""Enggak apa-apa, Teh. Omong-omong rumah saya, pas di depan rumah Teteh. Kalau ada perlu datang saja ke rumah, ya. Pemilik kontraka
Aku pun segera berlalu, untung saja ada tukang ojek sehingga dapat lebih cepat sampai ke rumah. Setelahnya, aku meluruskan badan, lumayan lelah kali ini.Rizky kuletakkan di atas kasur kecil di ruang tamu bermain dengan guling kecilnya, sedangkan aku merapikan barang-barang yang tadi kubeli. Setelah salat Zuhur, aku tertidur di ruang tamu sambil memeluk anak tersayang.Tok! Tok! Tok!Mataku terbuka saat mendengar ketukan di pintu, aku mengintip dari balik gorden. Ternyata Dewi dengan kedua orang tuanya. Aku segera memindahkan Rizky ke dalam kamar dan membuka pintu."Apa kabar, Dek Sumi?" Pak Dodo dan Ibu Astuti, pemilik kontrakan yang merupakan orang tua Dewi menyapa."Alhamdulillah, baik Pak-Bu. Sudah hampir tiga bulan tidak bertemu, ya." Memang terakhir kali aku berjumpa dengan mereka saat membayar kontrakan untuk setahun kedepan."Oh, sukurlah. Betah
Kekisruhan yang terjadi kepada keluarga Adi dan Sumi membuat sepasang suami istri itu, memegang teguh pendapatnya masing-masing. Adi menyalahkan Sumi karena lalai terhadap kandungannya, sehingga melahirkan anak tak sempurna, sedangkan Sumi yang merasa selau diabaikan, membuatnya pergi dari kehidupan Adi. Meninggalkan biduk rumah tangga."Sumi pergi dari rumah, Mas." Adi menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil mengadu kepada Mas Gondo."Bagaimana dia tidak pergi, Di. Kamu seminggu ini telah meninggalkannya, belum lagi tuduhanmu kepada Sumi yang tidak becus menjaga kandungan. Pasti istrimu itu sakit sekali." Mas Gondo terus berbicara, sedangkan Adi memeluk lutut. Sesekali menghisap rokoknya. Kepanikan melandanya, setelah dia balik ke rumah dalam keadaan kosong. Bagaimana pun, dia masih mencintai Sumi dan anak dilahirkan istrinya. Emosi sesaat membuat Adi salah langkah, malah meninggalkan rumah. Bukannya menghibu
Itulah yang terjadi pada pengabdi Sang Junjungan, bukan minta nyawa manusia saja, tetapi harus memenuhi nafsu birahinya. Terkadang hal tersebut membuat muak beberapa pengikut lamanya karena tahu yang mereka cumbu adalah iblis, terperangkap dalam jeratnya dan susah lepas.Sama seperti yang dirasakan Mas Gondo saat ini, akibat terjebak dalam rayuan Yudhis agar menjadi abdi iblis, dia harus banyak kehilangan. Terutama orang-orang dicintainya. Istri dan anak-anaknya.Mas Gondo menjambak rambutnya, lalu melanjutkan perjalanannya. Kali ini dia harus menemani supir baru untuk mencari tumbal pertama kalinya."Ayo, jalan, Pri!" Mas Gondo menyuruh supir baru yang bernama Supri menjalankan kendaraannya, truk tanah yang haus darah."Iya, Mas. Saya mau cerita. Ada yang aneh dengan truk ini. Apa pernah menabrak orang, ya?" tanya Supri dengan suara pelan.Mas Gondo terdiam sesaat, melirik ke sa