Itulah yang terjadi pada pengabdi Sang Junjungan, bukan minta nyawa manusia saja, tetapi harus memenuhi nafsu birahinya. Terkadang hal tersebut membuat muak beberapa pengikut lamanya karena tahu yang mereka cumbu adalah iblis, terperangkap dalam jeratnya dan susah lepas.
Sama seperti yang dirasakan Mas Gondo saat ini, akibat terjebak dalam rayuan Yudhis agar menjadi abdi iblis, dia harus banyak kehilangan. Terutama orang-orang dicintainya. Istri dan anak-anaknya.
Mas Gondo menjambak rambutnya, lalu melanjutkan perjalanannya. Kali ini dia harus menemani supir baru untuk mencari tumbal pertama kalinya.
"Ayo, jalan, Pri!" Mas Gondo menyuruh supir baru yang bernama Supri menjalankan kendaraannya, truk tanah yang haus darah.
"Iya, Mas. Saya mau cerita. Ada yang aneh dengan truk ini. Apa pernah menabrak orang, ya?" tanya Supri dengan suara pelan.
Mas Gondo terdiam sesaat, melirik ke sa
"Eh, kok, jadi bengong, sih, Sayang?" tanya Mas Gondo memandangi Tini. Wanita yang mampu mengisi hatinya kembali, bukan karena nafsu seperti hubungannya dengan Mbak Yuli, atau wanita di warung remang-remang tersebut, tetapi ketulusan hati. Apalagi wajah Tini mirip mendiang istri pertamanya yang sangat dia cintai."Eh, enggak Mas. Ya, sudah kita ke rumah sakit tempat Sumi melahirkan, ya! Kali saja dapat info di sana." Tini segera memasuki mobil dan duduk di samping Mas Gondo yang langsung menggenggam erat tangannya."Baik ratu hatiku."****Rasa kecewa harus diterima Tini, saat mendapat info bahwa alamat yang tertera di formulir pendataan Sumi di rumah sakit adalah rumah lama."Bagaimana, Mas? Aku tidak mendapatkan info tentang Sumi.""Nanti kita coba lagi, atau nanti aku tanyakan kepada Yudhis. Dia mempunyai kemampuan melihat keturunan para pengabdi San
Di ujung perkampungan tempat Sumi berdiam, Mas Gondo dicegat empat orang. Di tangan mereka masing-masing memegang cambuk terbuat dari bulu kuda."Hoi, turun!" perintah seorang pria yang lebih tua dari pria satunya. Sedangkan dua perempuan merupakan kawanan itu, memukul mobil Mas Gondo dengan cambuknya.Pecutan dari cambuk seketika menyambut Mas Gondo yang keluar dari mobil, tetapi bagi Mas Gondo hal tersebut tidak mampu membuat takut. Mulutnya komat-kamit dan dari balik baju, dia keluarkan keris kecil yang bersinar.Keris tersebut melayang mengikuti gerakan tangan Mas Gondo yang menyerang balik keempat penyerang tersebut. Tidak butuh lama, orang-orang itu terjatuh dengan luka bakar."Ampuni kami." Lirih suara pria yang terlihat lebih tua. Tampaknya dia pemimpin para penyerang Mas Gondo."Aku akan mengampuni kalian jika membantuku. Kalau tidak, aku akan membinasakan sampai ke anak cucu kalian!" Suara Mas Gondo yang berat dikeluarkannya d
Selesai memeriksakan kandungan Dita, Adi mengantarkan Bu Yayuk dan keponakannya itu balik pulang. Ketika mengembalikan kunci Bu Yayuk mengepalkan uang, tetapi Adi tegas menolaknya."Apaan ini, Bu?""Terima saja, Di. Hitung-hitung ucapan terima kasih."Adi merasa terhina diperlakukan seperti itu, jiwa arogannya kembali muncul karena rata-rata pengabdi Sang Junjungan mempunyai darah panas."Jangan menghina saya, Bu! Uang saya jika dibandingkan Ibu, jauh lebih banyak!" Adi berlalu meninggalkan Bu Yayuk yang tampak shock, tidak biasanya Adi bersikap seperti itu. Padahal rencananya dia ingin menjodohkan Adi dengan Dita, tetapi setelah peristiwa tadi dia memutuskan membatalkannya."Adi, sebegitu sedihnya dirimu ditinggalkan Sumi. Padahal Sumi cuma perempuan sederhana." Bu Yayuk berucap pelan, setidaknya sebagai orang yang lebih lama menjalani biduk rumah tangga pasti mengerti ada tak b
Persiapan operasi Rizky hampir 100 persen, dari berat badan yang sudah mencukupi hingga uang untuk pelaksanaannya. Tinggal Sumi menyiapkan mentalnya. Dia sedikit khawatir anaknya baru berusia enam bulan harus merasakan meja operasi."Teh, nanti kalau mau ke rumah sakit biar diantar Armand, ya?" Dewi menawarkan jasa. Awalnya Sumi menolak, selain khawatir menjadi bahan pergunjingan tetangga, Dia ada perasaan tidak nyaman terhadap keluarga Bu Astuti serta Pak Dodo karena mereka terlihat akrab dengan Mas Gondo dan Tini. Namun, akhirnya Sumi menerima tawaran tersebut karena melihat kondisi Rizky. Tidak tega jika anaknya itu harus turun naik angkot, padahal pisau bedah sudah menunggu.Senyum tak pernah lepas dari bibir Armand, dari menjemput Sumi hingga mengantarkannya ke rumah sakit."Dek Armand, kalau mau pulang silakan ... saya masih menunggu, bisa jadi menginap kalau Rizky hari ini jadi operasi," kata Sumi halus.&n
Di lain tempat, suara ketukan di pintu mengagetkan Adi yang sedang membuat kopi di dapur. Dia melongok jam dinding, waktu menunjukkan pukul sebelas malam."Siapakah yang bertamu malam-malam seperti ini?" Terbersit pertanyaan dalam hati Adi.Baru saja hendak membuka pintu, tiba-tiba angin bertiup kencang hingga pintu terbuka dengan sendirinya. Padahal seingat Adi, dia sudah menguncinya."Bang Adi ...." Suara lembut menyapa dari balik pintu yang terbuka lebar."Sum! Sayangku ...." Adi terkesiap melihat sosok yang muncul di hadapannya adalah orang yang sangat dia rindukan.Tampak Sumi menggendong sesuatu dalam kain jarik lusuh. Buru-buru Adi menghampiri, hati kecilnya sebagai ayah juga sangat merindukan anak yang belum pernah disentuhnya. Namun, semakin Adi mendekat, sosok Sumi seakan terbang tertiup angin. Jauh masuk ke dalam kegelapan malam. Adi berlari mengejar Sumi, tetapi hanya
Selesai mengantarkan barang, seperti biasa Adi melapor diri dulu ke bagian administrasi. Mas Gondo sudah sampai terlebih dahulu dan sudah menyelesaikan laporannya, duduk menunggu Adi di depan kasir."Di!" sapa Mas Gondo yang langsung menghampiri Adi. Adi menghentikan langkahnya."Ya, Mas." Kali ini Adi mulai melunak karena merasa tak enak hati Mas Gondo berusaha berdamai dengannya."Nanti senja, kita berangkat. Trukmu taruh saja di parkiran, kita akan melakukan ritual itu seminggu lamanya. Aku siapkan mobilku dulu," ujar Mas Gondo dengan suara pelan."Iya, Mas. Aku nunggu di kantin saja." Adi berkata singkat kemudian berlalu, sedangkan Mas Gondo mengeluarkan dan memanaskan mobil mewahnya yang sengaja diparkirkan di salah satu bangunan di pabrik tersebut."Di, Adi ... kamu masih saja keras hatimu. Pantas Sang Junjungan masih penasaran," gumam Mas Gondo sambil mengelap kaca m
Masing-masing beranjak dari posisinya, menggunakan jubah hitam serta menuju altar. Sesosok pria muda bertubuh tegap, berbaring serta tangannya terikat. Sama persis dengan keadaan Adi dulu.Orang-orang berjubah hitam termasuk Mas Gondo dan Adi mengelilingi pria tersebut yang tampak ketakutan.Tampak Pak Steven memanggil seorang wanita yang mempunyai kekerabatan dengan si pria untuk menggoreskan pisau ke lengannya hingga mengeluarkan darah. Si pria terpaksa meneguk darah yang di berikan kepadanya, walau beberapa dia hampir muntah."Aku mohon, lepaskan!" Isak tangis serta nada permohonan keluar dari bibir pria yang tak pantas diucapkannya, mengingat fisik si pria yang gagah."Sudah, masukkan dia ke dalam patung Sang Junjungan. Kita lihat apakah pantas menjadi generasi penerusmu, Rukmi!" Pak Steven berkata keras kepada wanita yang memberikan darahnya kepada si pria.Pria itu terus berteriak histeris, apa lagi saat tubuhnya dimasukkan ke peti yang
Mas Gondo terus saja memikirkan bagaimana kematiannya nanti, sedangkan Adi bingung tentang siapa penerusnya nanti. Anak yang dilahirkan Sumikah? Pertanyaan itu terus saja mengusik pikiran Adi, mungkin saja karena Adi tak senang mempunyai anak dengan kekurangan fisik."Di, opo kowe tidur neng omahku saja, ya?" Mas Gondo berusaha memecah kesunyian dengan membuka percakapan dengan Adi.Adi menggeleng lemah lalu menjawab, "Pulang saja, Mas. Besok' kan libur kerja, pagi-pagi aku mau mencari Sumi lagi." Mas Gondo langsung terdiam mendengar jawaban sahabatnya itu, dia pun menuruti keinginan Adi."Oh, iya, Mas. Boleh tahu nomor telepon Bu Retno?" tanya Adi. Mas Gondo merasakan panik hingga mengerem mendadak."Mas, hati-hati!" teriak Adi yang kepalanya hampir menghantam kaca depan karena tidak memakai sabuk pengaman."Eeh, maaf, Di. Tadi ada kucing lewat." Mas Gondo menjawab a