Riley sontak berkata, "Kamu yang melakukannya?"James membalas, "Melakukan apa?""Memberitahu mereka tentang putra dari Jenderal Mackenzie ada di sini?" ucap Riley masih mencoba menahan emosi.James mengangkat bahu, "Aku hanya memberitahu mereka tentang kemungkinan itu. Ya siapa yang tahu kalau ternyata mereka mempercayainya?"Alen Smith mendengus, "Kamu sengaja melakukannya karena ingin menemukan putra dari Jenderal Mackenzie kan?"Diego berujar, "Kau pikir kau bisa memancing anak dari jenderal besar itu muncul?"Sekali lagi, James Gardner terlihat menyeringai dan membalas, "Tentu saja. Orang itu pasti akan muncul sendiri. Dan ... aku akan mengalahkannya dalam setiap pertandingan, apapun.""Bermimpi saja terus, selama kau bisa," ujar Alen.Riley berkata, "Kau seperti kurang kerjaaan saja."Senyum sombong lenyap dari wajah James. "Terserah apa katamu, tapi kalian bertiga lihat saja. Aku akan mengalahkannya."Alen dan Diego tidak menanggapi tapi Riley malah berkata, "Baiklah, selamat be
Beberapa orang lainnya juga berteriak hal yang sama. "Anak jenderal pengkhianat!" "Pergi dari sini! Kau tidak pantas ada di sini." "Pergi!" "Usir dia dari sini!" Mary Kesley yang menjadi salah satu penanggung jawab kegiatan itu pun segera mengangkat tangan. "Mohon tenanglah!" Sayangnya perkataan Marry sama sekali tidak digubris oleh orang-orang itu. Mereka tetap saja berteriak heboh meminta James Gardner untuk pergi. Teriakan-teriakan itu juga memenuhi seluruh area di bagian depan pintu gerbang itu. Bisa dibilang hanya segelintir orang saja yang tidak berteriak, termasuk Riley Mackenzie. Pria muda itu seakan tak ingin memperkeruh suasana dan hanya diam saja di sana sambil menunggu mereka berhenti sendiri. Namun, seolah memang sengaja menulikan pendengarannya, James Gardner dengan penuh percaya diri berjalan ke arah depan. Pria itu lalu mengangguk pada Mary Kesley yang masih tampak berusha meredakan kegaduhan yang sayangnya masih gagal itu. Setelah mengambil tas ransel milikn
Riley cukup terkesan dengan cara James memandang masalah perebutan posisi prajurit itu. Pria muda itu bahkan menyungging sebuah senyum ramah, "Kau benar. Kita akan bersaing sengit." James dengan cepat menanggapi, "Aku tidak akan mudah kau kalahkan." "Ya, memang kau harus begitu. Kalau kau mudah aku kalahkan, lalu bagaimana mungkin kau bisa menghadapi orang yang sedang kamu cari itu?" ucap Riley. James mendengus sebal tapi di dalam hati dia bertekad akan mengerahkan seluruh tenaganya untuk bisa lebih unggul dari semua saingannya. "Apa kita akan tetap berada di sini sampai semuanya terpanggil?" tanya Alen smith. "Sepertinya begitu," jawab Diego Greco yang sudah terlihat bosan. Riley ikut berkata, "Tidak akan lama. Tas di depan sudah hampir habis." "Benar. Menurutmu, berapa kira-kira jumlah calon prajurit tahun ini?" Diego bertanya pada ketiga orang di sekitarnya. Alen langsung mencoba mengingat-ingat, tapi Riley lebih cepat, "Tahun lalu ada sekitar 3200 orang mendaftar dan mereka
Riley membalas dengan cepat, "Apa yang kau katakan? Dia saja mungkin tidak tahu kalau kau itu ada." James menaikkan sebelah alisnya dan menatap sinis pada Riley, "Bagaimana mungkin dia tidak tahu?" Riley tersenyum sebal, "Dia bisa saja tidak memiliki waktu untuk mengurusi hidup orang lain." James mendecakkan lidah. Alen Smith berkata, "Astaga! Jangankan putra dari Jenderal Mackenzie yang tidak memiliki waktu untuk mencari tahu tentang kau, kami saja juga tidak punya." "Benar. Kami bahkan tidak mengira kalau Jenderal Gardner memiliki seorang putra," ucap Diego jujur. James Gardner menatap ketiga orang yang satu asrama dengannya itu, tetapi dia tidak menemukan sebuah kebohongan di mata ketiganya. Pemuda berusia 22 tahun itu pun mendesah lelah. "Ibuku memang tidak pernah menikah dengan ayaku." Riley amat sangat terkejut mendengar pengakuan yang terlalu jujur itu. Sungguh dia tidak pernah mengira bila James akan langsung terbuka seperti itu. Alen dan Diego saling berpandangan, t
Alen langsung maju dengan penuh emosi tapi Riley cepat-cepat mencegah pemuda itu dengan berkata, "Tahan dirimu!" Alen berusaha melepaskan diri dari Riley tapi Riley tetap menahan lengannya. "Kenapa harus aku yang menahan diri, sementara dia seenaknya sendiri berkata-kata yang membuat orang kesal?" ucap Alen, terlihat tidak terima. Riley berucap pelan, "Karena dia hanya memancing kemarahanmu saja. Paham tidak?" Alen terdiam sehingga Riley pria muda itu sudah lebih tenang dan kemudian dia pun melepaskan diri. Diego pun sudah hampir kehilangan kesabaran menghadapi James tapi belum bertindak apapun. James malah sudah berdiri dan bersedekap, seakan menantang Alen untuk berkelahi. Riley segera berdiri di depan Alen dan berkata dengan nada tajam, "Apa hanya ini yang kau bisa lakukan?" James menatap Riley dengan ekspresi bingung. "Kau melakukan ini, membuat orang lain kesal dan menantang mereka untuk berkelahi denganmu agar kau tidak terlalu banyak mendapatkan musuh di seleksi penerima
Seseorang bahkan memberanikan diri mengangkat tangannya. "Jenderal." Andrew Reece segera ikut mengangkat tangan dan meminta para calon prajurit lain diam dan mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh pria muda yang sedang berdiri itu. "Ya, silakan!" Andrew mempersilakan si penanya. "Jenderal, apa itu semacam program khusus?" Calon prajurit itu bertanya dengan penuh semangat. "Ya. Prajurit yang aku latih langsung di bawah pengawasanku akan secara otomatis ikut dalam pemilihan jenderal perang berikutnya," jelas Andrew. Penjelasan Andrew itu tentu semakin membuat mereka semakin heboh. Begitu banyak yang ingin bertanya tapi Keannu meminta mereka untuk diam dan tenang dulu sebelum membiarlan Andrew kembali melanjutkan penjelasannya. Setelah mereka kembali tenang, Andrew berkata, "Jadi, ada tiga kandidat yang akan menjadi calon jenderal perang berikutnya, menggantikan aku yang akan segera mundur dari jabatan ini satu tahun dari sekarang." Para calon prajurit terlihat semakin kaget
Andrew Reece membalas, "Yang Mulia, menurut saya semua ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Anda." "Bagaimana bisa tidak ada hubungannya denganku? Sejak dia keluar dari istana, dia langsung menghilang. Perusahaan-perusahaan miliknya juga dijual dan dia pasti membangun perusahaan baru. Keluarga istrinya juga tak pernah membicarakan dia, lalu kenapa kalau bukan karena tak ingin diketahui oleh istana? Olehku tepatnya," jelas Keannu dengan nada kecewa dan juga sedih. Andrew Reece menoleh pada sang raja dan berkata dengan nada menenangkan, "Yang Mulia, jika Jenderal Mackenzie membenci Anda, tidak mungkin di akhir-akhir kepempinannya Anda bisa dekat dengannya. Saya yakin Anda pun merasakan bila Jenderal Mackenzie malah berteman dengan Anda kala itu." "Iya, tapi hanya sebentar," balas Keannu. Andrew mengangguk, mengerti, "Tapi itu sudah cukup menunjukkan bila hubungan Anda dan Jenderal Mackenzie sudah membaik sejak saat itu. Sehingga tidak mungkin hal itu menjadi alasan utama." K
"Iya, Yang Mulia," jawab Andrew Reece tegas, seakan memang tak ada keraguan akan keputusannya. Keannu menatap jenderal perangnya dengan tatapan aneh, seolah orang yang duduk di sampingnya itu sudah kehilangan akal sehatnya. "Kau sudah gila atau bagaimana, Reece?" ucap Keannu dengan sorot mata bingung. "Yang Mulia, saya masih sangat waras. Mohon dengarkan penjelasan saya dulu," kata Andrew Reece. Keannu mendengus jengkel tapi raja yang memiliki dua orang anak itu tetap berkata, "Katakan!" Andrew Reece pun mengangguk, penuh semangat, "James Gardner dikatakan sedang mencari putra dari Jenderal Mackenzie. Tekadnya pastilah sangat kuat. Ini pasti berhubungan dengan kejadian di masa lalu, di mana Jody Gardner, ayahnya dibunuh oleh Jenderal Mackenzie." "Aku sudah tahu. Justru itu masalahnya, Reece," kata Keannu dengan mengertakkan gigi, berusaha keras menahan rasa jengkelnya pada Andrew Reece. "Ya, saya mengerti, Yang Mulia. Namun, hal itu juga yang kita inginkan, bukan?" tanya Andrew.
Bukannya menjawab pertanyaan James Gardner, Xylan Wellington malah berkata, “Aku … aku tahu apa yang sedang ingin kau katakan, Jenderal Gardner.”Baguslah, jadi apa jawabannya? Reiner membatin, mulai merasa malas.James menaikkan alis, “Iya, Yang Mulia?”Xylan mendesah pelan, lalu memejamkan mata selama beberapa detik. Setelah berhasil menguasai dirinya lagi dia pun menjawab, “Ini kelalaianku, Jenderal Gardner.”“Kelalaian? Soal apa, Yang Mulia?” James bertanya, terdengar meminta jawaban yang lebih jelas.“Kakak perempuanku. Aku … tahu dia sudah berbuat salah,” kata Xylan pelan.Sang raja muda itu menundukkan kepala selama beberapa detik, sementara James masih terdiam, menunggu dia berbicara lagi.Dan tanpa James mendesaknya, Xylan berujar, “Sesungguhnya aku sudah memperhatikan ada sesuatu yang aneh tentang dia. Ini … bahkan, sebelum kau berangkat mencari kakak iparku lagi, Jenderal Gardner.”Mata James melebar seketika, tapi dia masih menahan diri untuk berkomentar.Xylan berdehem pe
Mendengar pertanyaan sang jenderal perang baru itu, Xylan Wellington seketika tertawa canggung.Tawa itu sungguh tidak lepas, bahkan malah terdengar aneh sehingga membuat siapapun yang mendengar tawa sang raja muda itu menjadi bingung.Reiner pun menatap Xylan dengan tatapan aneh sedangkan James malah tidak berkedip. Sorot matanya menunjukkan sebuah tuntutan.Tuntutan mengenai penjelasan dari Xylan berkaitan apa yang baru saja dikatakan oleh dirinya.Ketika melihat sorot penuh tanya yang mendesak itu akhirnya Xylan menghentikan tawanya. Dia berdeham pelan sebelum kemudian berkata, “Hm … aku tahu dari prajurit utama.”“Prajurit utama?” ulang James seraya mengernyitkan dahi.Xylan menelan ludah dan tersenyum kikuk, “Prajurit istana raja, Jenderal Gardner.”Oh, sesungguhnya bukan itu yang dimaksud oleh James. Dia tanpa bertanya pun juga tahu jika prajurit utama adalah prajurit istana yang
James Gardner malah hanya terdiam, tidak memberikan jawaban yang jelas pada pertanyaan Reiner.Sebuah kecemasan langsung mendera sang komandan perang darat. Tidak mau diabaikan oleh james, maka Reiner kembali bertanya, “James, katakan padaku. Apa kau akan tetap tinggal di istana? Kau tidak akan pergi kan?”Dia menatap James yang sedang menatap ke arah luar jendela mobil dengan cemas. Tetapi, setelah dia cukup bersabar menunggu dia akhirnya mendengar James menjawab, “Aku tidak tahu.”Hati Reiner seperti dihantam oleh batu seketika.“Jadi … kau akan pergi?” pria itu bertanya dengan nada terdengar kecewa.“Tergantung.”Reiner yang masih menatap James pun menaikkan alis, tampak bingung, “Tergantung pada apa?”James mendesah pelan, “Tergantung pada jawaban Raja Xylan.”Reiner semakin kebingungan. Namun, dia tidak memiliki waktu untuk bertanya lebih lanjut lantaran mobil yang mereka naiki telah memasuki gerbang utama istana Kerajaan Ans De Lou. Meskipun begitu, Reiner tetap tidak mau menye
Pada awalnya Michelle Veren tidak memahami apa yang ditanyakan oleh James Gardner. Namun, ketika dia melihat air muka sang jenderal, dia langsung tahu yang dimaksud tentu saja waktu tentang kepergian tiga orang yang sedang mereka cari.Sehingga, sang pemilik butik Veren itu pun menjawab, “Sekitar satu jam yang lalu, Jenderal Gardner.”Mendengar jawaban itu, Reiner langsung lemas. Tapi, itu berbanding terbalik dengan James yang malah penuh semangat. Hal tersebut bisa terlihat dari James yang malah berkata, “Ayo, Rei. Kita kejar dia.”Reiner menatap sedih ke arah sahabat baiknya itu dan membalas, “Tidak akan terkejar, James. Itu sudah terlalu lama.”James malah tidak mendengarkan ucapan Reiner dan memerintah beberapa anak buahnya, “Siapkan mobil, kita kejar mereka.”“James,” Reiner memanggil pelan.James mengabaikan panggilan itu dan tetap berkata pada anak buahnya yang masih diam menunggu, “Cari tahu melalui CCTV saat ini mereka sudah berada di daerah mana. Mereka … pasti terlihat ji
Sayangnya semuanya itu telah terlambat disadari oleh gadis muda itu. Semua perkataan dari gadis bernama Alice Porter itu jelas-jelas didengar oleh Reiner Anderson dan James Gardner.Dengan raut wajah menggelap James pun berkata, “Nona, kau-”“Tidak, tidak. Aku hanya salah berbicara, aku … aku tidak tahu apapun. Kalian salah dengar,” kata Alice yang wajahnya kian memucat. Apalagi ketika dia melihat bagaimana aura James Gardner, sang jenderal perang yang menakutkan itu, dia semakin kesulitan untuk bernapas.Reiner pun juga sudah tidak bisa menahan diri sehingga berkata dengan nada jengkel, “Katakan apa saja yang kau ketahui atau kau … akan tahu betapa mengerikannya jika kau berhadapan dengan kami berdua.”“Aku tidak peduli kau itu seorang wanita. Aku masih bisa mencarikan sebuah hukuman yang pantas diterima olehmu,” lanjut Reiner dengan dingin.Alice menelan ludah dengan kasar. Tentu gadis muda itu sangat kebingungan. Terlebih lagi, saat itu tidak ada yang mencoba membantu dirinya sam
Pertanyaan James tersebut seketika membuat Reiner terdiam selama beberapa saat. Dia terpaku menatap ke arah butik itu dengan air muka bingung.Sementara James tidak ingin membuang waktu lebih banyak sehingga tanpa kata dia berjalan cepat menuju ke arah butik yang dimiliki oleh Michelle Veren, seorang desainer wanita berusia empat puluh tahun yang cukup terkenal di negara itu.Reiner pun tidak hanya bengong dan berdiam diri, meratapi ketidaktelitiannya. Dia mengikuti James dengan berlari-lari kecil tepat di belakang James tanpa kata.Begitu James lebih cepat darinya mencapai pintu, dia langsung melihat dua penjaga butik yang membukakan pintu itu untuk mereka.“Ada yang bisa saya bantu?” salah satu penjaga butik itu bertanya pada James.“Saya mencari Putri Rowena. Di mana dia sekarang?” James balik bertanya tanpa basa-basi seraya mengedarkan dua matanya ke segala penjuru lantai satu butik itu.Meskipun saat itu ada sebuah rasa curiga yang mencuat di dalam kepala James, pria muda itu leb
Reiner tidak kunjung menjawab pertanyaan James. Dia malah menampilkan ekspresi wajah yang terlihat ragu-ragu sekaligus bingung.Tentu saja hal itu membuat James menjadi semakin kesal. “Ayolah, katakan cepat! Apa yang aneh dari Putri Rowena?” desak James dengan tidak sabar.Reiner menelan ludah dan menggaruk telinganya sebelum menjawab, “Yah, aku tidak yakin apa ini memang aneh buatmu. Tapi … menurutku ini sangat aneh.”James menggertakkan giginya lantaran semakin jengkel dan tidak sabar.Beruntunglah, dia tidak perlu bertanya lagi karena Reiner menambahkan, “Jadi, menurut laporan dia pergi ke luar istana.”Mendengar jawaban Reiner, James sontak mendengus kasar. “Apa yang aneh dari hal itu? Setahuku dia memang sering pergi ke luar istana.”Reiner mendesah pelan, “Memang. Tapi, kali ini … beberapa jam yang lalu, dia pergi tanpa pengawal. Dan dia … pergi membawa putra mereka, Pangeran Kharel.”Seketika James melotot kaget, “Apa? Kau … yakin?”“Iya, James. Dan-”“Bagaimana mungkin? Raja
Gary Davis tidak menjawab pertanyaan Xylan. Dia hanya memasang ekspresi memelas. Hal itu seketika menimbulkan rasa bersalah pada diri Xylan Wellington.Oh, tidak. Apa yang sudah aku lakukan? Apa … aku sudah berlebihan karena telah menaruh curiga pada asisten pribadiku sendiri? Xylan membatin seraya menatap wajah polos Gary.Sang raja muda itu mendesah pelan. Dia pun kembali berpikir keras. Dia mencoba mengingat segala hal tentang Gary. Dia tidak pernah membuat kesalahan, tak sekalipun. Dia juga tidak pernah melakukan hal yang mencurigakan selama ini. Astaga, apa aku sudah salah mencurigai seseorang? pikir Xylan.Akan tetapi, dia menggelengkan kepalanya dengan cepat saat dia menyadari sesuatu.Tapi, tunggu dulu. James Gardnerlah yang mencurigai dia. Dia tidak mungkin berbicara sembarangan. Kalau tidak, tidak mungkin dia bisa terpilih menjadi wakil jenderal perang. Instingnya pasti sangat kuat sehingga dia memiliki kecurigaan pada Gary Davis, Xylan berpikir serius.Dia lalu menatap k
Ben tidak tahu bagaimana dia harus menanggapi perkataan temannya itu, tapi yang bisa dia lakukan hanyalah pergi mendekati James lalu menepuk punggungnya dengan perlahan berulang kali dengan tujuan menenangkan sang sahabat.“Dia benar-benar tidak akan kembali, Ben.”“Tidak. Itu hanya-”“Dia tidak akan memberi pesan semacam itu jika dia tidak serius dengan ucapannya,” James memotong ucapan Ben.Ben mendesah pelan, “James, yang aku maksud adalah … dia mungkin tidak ingin dicari lagi karena dia ingin pulang sendiri ke istana.”Perkataan Ben tersebut membuat James yang semula begitu sangat kalut menegakkan punggungnya. Jenderal perang itu kemudian menoleh ke arah Ben dan menanggapi, “Apa maksudmu?”Ben sebetulnya tidak yakin atas apa yang dia pikirkan tapi dia tetap menyampaikan buah pikirnya itu, “Menurutku … dia hanya mau pulang sendiri.”James terdiam, berusaha mencerna ucapan temannya.“Begini saja … bagaimana kalau kita pulang saja ke istana, siapa yang tahu kalau mungkin Riley benar-