Seseorang bahkan memberanikan diri mengangkat tangannya. "Jenderal." Andrew Reece segera ikut mengangkat tangan dan meminta para calon prajurit lain diam dan mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh pria muda yang sedang berdiri itu. "Ya, silakan!" Andrew mempersilakan si penanya. "Jenderal, apa itu semacam program khusus?" Calon prajurit itu bertanya dengan penuh semangat. "Ya. Prajurit yang aku latih langsung di bawah pengawasanku akan secara otomatis ikut dalam pemilihan jenderal perang berikutnya," jelas Andrew. Penjelasan Andrew itu tentu semakin membuat mereka semakin heboh. Begitu banyak yang ingin bertanya tapi Keannu meminta mereka untuk diam dan tenang dulu sebelum membiarlan Andrew kembali melanjutkan penjelasannya. Setelah mereka kembali tenang, Andrew berkata, "Jadi, ada tiga kandidat yang akan menjadi calon jenderal perang berikutnya, menggantikan aku yang akan segera mundur dari jabatan ini satu tahun dari sekarang." Para calon prajurit terlihat semakin kaget
Andrew Reece membalas, "Yang Mulia, menurut saya semua ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Anda." "Bagaimana bisa tidak ada hubungannya denganku? Sejak dia keluar dari istana, dia langsung menghilang. Perusahaan-perusahaan miliknya juga dijual dan dia pasti membangun perusahaan baru. Keluarga istrinya juga tak pernah membicarakan dia, lalu kenapa kalau bukan karena tak ingin diketahui oleh istana? Olehku tepatnya," jelas Keannu dengan nada kecewa dan juga sedih. Andrew Reece menoleh pada sang raja dan berkata dengan nada menenangkan, "Yang Mulia, jika Jenderal Mackenzie membenci Anda, tidak mungkin di akhir-akhir kepempinannya Anda bisa dekat dengannya. Saya yakin Anda pun merasakan bila Jenderal Mackenzie malah berteman dengan Anda kala itu." "Iya, tapi hanya sebentar," balas Keannu. Andrew mengangguk, mengerti, "Tapi itu sudah cukup menunjukkan bila hubungan Anda dan Jenderal Mackenzie sudah membaik sejak saat itu. Sehingga tidak mungkin hal itu menjadi alasan utama." K
"Iya, Yang Mulia," jawab Andrew Reece tegas, seakan memang tak ada keraguan akan keputusannya. Keannu menatap jenderal perangnya dengan tatapan aneh, seolah orang yang duduk di sampingnya itu sudah kehilangan akal sehatnya. "Kau sudah gila atau bagaimana, Reece?" ucap Keannu dengan sorot mata bingung. "Yang Mulia, saya masih sangat waras. Mohon dengarkan penjelasan saya dulu," kata Andrew Reece. Keannu mendengus jengkel tapi raja yang memiliki dua orang anak itu tetap berkata, "Katakan!" Andrew Reece pun mengangguk, penuh semangat, "James Gardner dikatakan sedang mencari putra dari Jenderal Mackenzie. Tekadnya pastilah sangat kuat. Ini pasti berhubungan dengan kejadian di masa lalu, di mana Jody Gardner, ayahnya dibunuh oleh Jenderal Mackenzie." "Aku sudah tahu. Justru itu masalahnya, Reece," kata Keannu dengan mengertakkan gigi, berusaha keras menahan rasa jengkelnya pada Andrew Reece. "Ya, saya mengerti, Yang Mulia. Namun, hal itu juga yang kita inginkan, bukan?" tanya Andrew.
James Gardner terdiam sesaat, tapi pria muda itu dengan segera membalas, "Tentu saja aku mempelajarinya. Maka dari itu aku tahu siapa yang membunuh ayahku." Beberapa orang yang mulanya juga ingin mengeroyok James dengan kata-kata akhirnya memilih untuk membatalkan niat mereka usai mereka mendengar kepahitan dalam nada suara James. Riley Mackenzie pun kehilangan kata-kata. James berujar lagi, "Kau mungkin lebih tahu semua sejarah kerajaan ini dari pada aku, Riley. Tapi ... aku tentu saja lebih paham darimu jika itu masalah yang berkaitan dengan ayahku, termasuk tentang pembunuh ayahku." Kau salah, James. Aku juga sama pahamnya denganmu mengenai masalah yang satu itu, Riley membatin. Keduanya saling memandanga seakan mereka sudah bermusuhan sejak lama, tapi Riley tak membalas ucapan James yang terakhir itu. "Sudah, tahanlah dirimu sedikit, Riley! Kau tahu kan dia itu gila, tak perlu kau hiraukan!" kata Alen yang hanya dibalas Riley dengan sebuah anggukan kecil. Malam hari di ista
"Riley, kau dengar apa yang Ayah katakan?" kata William. Riley segera tersadar, "Tidak ada, Ayah. Untuk saat ini tidak ada. Lagi pula, ini baru hari pertama. Aku belum terlalu mengenal banyak orang." Pemuda itu merasa tidak nyaman telah menyembunyikan sebuah hal besar dari ayahnya, tapi dia tidak ingin membuat ayahnya berpikir macam-macam dan cemas berlebihan sehingga dia harus mengambil keputusan berat itu. "Baguslah kalau begitu. Tapi ... dengarkan pesan Ayah, kau tak boleh terlalu percaya orang di sekitarmu," kata William. Riley manggut-manggut meskipun dia tahu ayahnya tak bisa melihat gerakan wajahnya. "Dan cari Andrew Reece ketika kau mendapatkan masalah. Dia pasti akan membantumu," lanjut William. Riley mendesah pelan, "Tenang saja, Ayah. Sampai detik ini aku masih bisa menjaga diriku sendiri." "Ya sudah, istirahatlah. Besok kau sudah harus memulai latihan kan?" tanya William. "Iya, Ayah," jawab Riley sambil menguap. "Oh, Rileyku. Kau sudah mengantuk ternyata. Kalau beg
"Ambisimu ternyata terlalu besar menemukan putra sang jenderal," ucap Alen Smith. James menyeringai, "Kau juga akan melakukan apa yang aku lakukan jika terlahir tanpa ayah." Alen seketika membisu, sementara Riley mencengkeram gelas air putihnya. "Eh, sudah muncul," ucap Diego yang berniat mendinginkan suasana. Semua mata para calon prajurit sontak terpaku pada layar berukuran sangat besar. "Aku tak peduli dengan rankingku, yang penting masuk nilai minimal." "Memang ada standard minimal penilaian?" tanya seseorang yang lain. "Dasar bodoh! Memang sebelum mendaftar, kau tidak membaca semua aturan yang dulu?" Mereka pun mulai asyik lempar kata sampai akhirnya mulai terdiam ketika nama-nama mereka mulai bermunculan. Riley melihat James sedang begitu serius memperhatikan layar, sementara dirinya hanya sekilas membaca nama-nama mereka. "Wah! Kau menempati urutan pertama dalam kemampuan berpedang, Riley," ucap Diego. Alen bertepuk tangan, ikut senang, "Luar biasa! Kenapa kau tidak c
"Aku ingin sekali berkata 'iya', tapi kau tahu kalau 'Wood' bukanlah marga yang langka, itu marga yang terlalu umum, Reece," kata Keannu. Wajah Andrew yang semula terlihat cerah itu kini mendadak kembali agak suram. Keannu seketika merasa bersalah. "Aku bukan bermaksud memusnahkan harapanmu, Reece. Aku hanya tak mau kau terlalu kecewa," ucap Keannu perlahan. Andrew mengangguk, "Anda benar, Yang Mulia. Terlalu cepat bila menebak anak itu adalah putra Jenderal Mackenzie hanya dengan melihat beberapa hasil latihan." "Ya. Perhatikan saja dia sama seperti kau memperhatikan si Gardner muda itu. Ah, tapi ... aku memiliki firasat buruk tentang anak itu," ucap Keannu. Sang raja terlihat menampakkan ekspresi kecemasan, hingga Andrew berkata, "Jangan khawatir, Yang Mulia. Anak itu akan saya awasi lebih ketat. Tidak akan saya biarkan dia mengacau." "Sebaiknya memang begitu," balas Keannu. Andrew pun setelah itu memerintah beberapa anak buahnya untuk selalu berjaga-jaga di sekitar James Gard
Tanpa berkedip Riley pun membalas, "Kenapa aku harus bermain tebak-tebakan denganmu? Bukankah kau mengaku paling unggul?" "Jadi, kau bisa menemukan putra Jenderal Mackenzie dengan mudah kan?" tambah Riley. James memberengut kesal, "Tak menyenangkan kalau aku mencarinya sendiri." "Oh, maksudmu dengan kata lain kau mau berkata kalau butuh bantuanku untuk menemukan dia?" tanya Riley dengan mengangkat alis tebal kanannya. Alen terkekeh pelan, sedangkan Diego malah secara terang-terangan berkata, "Saudara satu kamarku, kau sudah bertekad untuk menemukan lalu mengalahkannya. Ya lakukan sendiri." "Kenapa mengajak Riley?" tamya Alen. James yang semula kesal pun kemudian tersenyum, "Padahal aku berniat memberikan uang yang besar untuk permainan ini." Alen dan Diego saling lempar pandang, terlihat kaget. Tapi, Riley dengan cepat berkata, "Siapa yang peduli soal uang di sini?" James menghela napas panjang, "Astaga, Wood. Tidak semua orang yang datang ke kerajaan ini untuk murni mengabd