Christopher terhenyak untuk sesaat. Kata-kata yang dilontarkan oleh Bill terdengar begitu dingin dan membuatnya merinding. Ini pertama kalinya Bill seperti itu. Christopher bahkan merasa jika aura Bill tampak berbeda. Lebih memiliki power dan sanggup membuat orang lain terdiam.Kakek tua itu bahkan harus menelan ludah dan membasahi bibirnya guna mengatasi ketidaknyamanannya saat mendengar perkataan Bill."Kau ... tetap-""Tidak. Aku tidak akan pernah menceraikan Cassie. Dan Kakek tidak berhak menyuruh Cassie melakukan itu. Ayolah, jangan menjilat ludah sendiri, Kek!"Christopher membelalakkan mata, "Kurang ajar. Aku tidak-""Tidak menjilat ludah sendiri tapi pura-pura lupa akan kesepakatan yang baru saja diucapkan sekitar satu jam yang lalu?" sela Bill."Atau memang tidak menganggap kata-kata tadi serius?" lanjut Bill.Christopher menjawab, "Kau sekarang pintar sekali memainkan kata-kata. Apa ini yang kau dapat dari menghilang selama satu bulan lebih?"Bill tersenyum dingin, "Anggap s
"Apakah aku perlu memberitahumu soal ini, Gardner?" tanya Keannu.Jelas sekali ini sangat buruk. Keannu Wellington dikenal memiliki tingkat kesopanan yang cukup tinggi dan tidak akan mungkin menyinggung orang lain dengan mulutnya. Jody Gardner pun tersadar jika saat ini sang raja sedang tidak suka dengannya sampai hanya memanggil nama belakangnya saja tanpa titelnya.Tak mau membuat keadaan malah semakin tidak mengenakkan, Jody buru-buru berkata, "Tidak, Yang Mulia. Anda tidak perlu ... memberitahu saya. Ini urusan Anda dengan Jenderal Mackenzie."Sudut bibir Keannu terangkat sedikit, tampak senang dengan jenderalnya yang cepat tanggap."Bagus, kalau kau sudah mengerti," kata Keannu."Terus, ada lagi yang ingin kau tanyakan?" lanjut Keannu."Tidak ada, Yang Mulia," jawa Jody dan ia pun segera undur diri dari istana pribadi sang raja.Ia sedang menahan kemarahannya hingga tidak berbicara sepatah kata pun selama berjalan.Sang jenderal dengan tergesa-gesa ke luar bersama Steven yang se
"Eh, itu ... itu ... tak usah kau hiraukan lagi, aku hanya sedang linglung," jawab Steven tergesa-gesa.Ia baru saja tersadar jika ia terlalu banyak bicara. Bagaimanapun juga, ia adalah anak buah langsung Jenderal Gardner, tidak seharusnya ia membicarakan permasalahan itu dengan orang lain. Ia bisa saja dituduh menyebarkan rahasia sang jenderal.Astaga, apa yang baru saja ia lakukan? Ia sudah menjadi bawahan sang jenderal perang selama 2 tahun lamanya dan selama itu tidak pernah berbuat kesalahan sedikit pun. Lantas, mengapa sekarang ia malah berbuat salah? Sungguh, Steven ingin menjahit mulutnya sendiri agar tak lagi membocorkan keburukan jenderalnya. Meskipun hanya secuil."Ah, tapi tadi kau bilang Jenderal Gardner baru saja melakukan sesuatu. Apa itu? Apakah dia membuat-""Tidak, tidak. Aku salah bicara. Baiklah, aku akan pergi dulu. Ada tugas yang harus aku selesaikan," pamit Steven dengan segera. Wallace terlihat menaruh curiga, tetapi ia memilih untuk tidak memikirkan hal itu d
Bill dengan begitu tenangnya menjawab, "Adik iparku menikah. Apa aku tidak boleh hadir?""Tidak ada yang mengundangmu datang dan tak ada yang mengharapkan kedatanganmu," ucap Shirley sambil menatap malas pada kakak iparnya itu."Aku ingin dia hadir," ujar Cassandra.Bill tersenyum, senang istrinya berkata demikian."Cassie! Jadi, kau yang memberitahunya?" giliran Christopher yang bertanya.Peter Green yang melihat situasi sedang menegang, tidak terlalu memperhatikan. Ia masih setia dengan piringan emas yang selalu dia bawa ke mana-mana."Tidak, Kek. Aku-""Kek, keluarga Wood itu cukup terpandang. Kabar dengan mudahnya menyebar," kata Bill.Christopher mendengus keras, sangat kesal. "Dari mana kau dapatkan piringan emas itu? Awas saja, kalau kau membawa masalah pada kami.""Mengenai hal itu, aku tidak bisa memberitahumu. Tapi, yang pasti benda itu aman," ujar Bill.Peter Green tiba-tiba saja berkata, "Well, Bill. Kau tahu, Jenderal Mackenzie itu idolaku. Aku selalu mengikuti beritanya.
"Tidak. Itu sudah menjadi milikmu," ujar Bill.Peter tersenyum senang, "Kalau begitu, aku akan tetap berada di kamar saja.""Peter!" Shirley mendelik kesal, tapi suaminya bahkan tidak meliriknya sedikit pun. Pria itu malah naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarny.Amarah Shirley pun kian memuncak, dengan jengkel ia mendorong tubuh Bill dengan kekuatan penuh. Tapi Bill itu laki-laki perkasa yang memiliki tubuh yang kokoh sehingga dorongan itu tak membuatnya bisa berpindah satu inci pun. Shirley yang gagal itu semakin menjadi-jadi."Ini semua gara-gara kau! Aku benci padamu!" ucap wanita cantik itu sebelum berlari naik ke atas, menyusul suaminya.Christopher mendesah lelah, "Kalau pernikahan mereka terganggu gara-gara hadiah kecilmu itu, jangan harap aku akan membiarkanmu bernapas dengan tenang, Bill.""Sesungguhnya, itu bukan hadiah kecil, Kek."Tentu saja. Piringan emas itu adalah simbol kemenangannya. Ia tidak sembarangan memberikannya pada orang. Awalnya, Andrew Reece terliha
Bill dibawa dengan mulut terbungkam serta tangan terikat lalu dinaikkan ke dalam mobil oleh anak buah Jody Gardner. Ia tidak sempat mengucapkan selamat tinggal sementara pada istrinya. Tapi, ia tidak mempermasalahkan hal itu sekarang. Yang terpenting baginya malah jika terjadi kekerasan, setidaknya itu tidak terjadi di rumah keluarga istrinya. Mobil itu perlahan mulai membawanya menjauh dari rumah keluarga istrinya. Bill lega luar biasa."Heh, apa kau tidak ingin memberontak lagi?" ujar salah satu anak buah Jody.Bill tidak menjawab dan hanya duduk tenang."Apa kau bisu? Tidak bisa menjawab?" Bill hanya mengerling dan tetap masih tidak ingin menjawab.Sang anak buah mengerang jengkel. "Sombong sekali! Rasakan ini!" Ia lalu berniat memukul kepala Bill. Tapi, Bill dengan sigap menghindar lalu menghantamnya dengan kedua tangannya yang masih terikat. Pria itu terlonjak kaget dengan serangan Bill dan hendak membalas tapi lagi-lagi ia malah kini mendapat tendangan dari Bill.Pria itu han
"TUTUP MULUTMU!" bentak Jody Gardner, memberang marah. Urat nadinya di bagian leher terlihat jelas dan wara kulitnya telah berubah merah padam."Kenapa? Apa itu benar? Anda berbuat curang, Jenderal? Dengan cara apa?" tanya Bill beruntun, sengaja memancing semua emosi Jody keluar."DIAM!" teriak Jody dengan suara yang begitu menggelegar. "Anda tidak menjawab, berarti Anda-""Kupotong lidahmu kalau kau masih berani berbicara!" ucap Jody tajam dengan kemarahan yang masih menguasai.Suaranya bahkan terdengar bergetar hingga semua orang yang telah mengikutinya selama bertahun-tahun itu bisa merasakan kemarahannya yang sedang memuncak. Tetapi, di ruangan dengan cahaya temaram itu, Bill yang memiliki nama asli William Mackenzie sama sekali tidak merasa takut kepadanya. Tak ada emosi terpancar dari wajah Bill. Justru ia saat ini menjadi semakin tertarik dengan Jody Gardner. Ia ingin tahu bagaimana sifat asli laki-laki itu lebih banyak lagi. Bagaimana pun juga, ia akan bersama dengan lelaki
Jake malah tertawa begitu mendengar ucapan Charlie. "Kenapa malah tertawa? Ada yang lucu memangnya?" balas Charlie kesal telah ditertawakan.Jake mengangkat tangan, seakan meminta maaf. "Maaf, aku tidak tahan."Charlie mendengus keras. "Kenapa tidak tahan?""Astaga, Charlie. Kau lupa atau bagaimana?"Charlie hanya memutar bola mata malas."Jenderal Mackenzie itu mundur sendiri. Maksudku, tidak ada yang memberhentikan dia. Jadi, kalau dia aja mundur secara suka rela ya mana mungkin dia akan datang kembali dan merebut posisi Jenderal Perang?" ujar Jake.Pria itu menggeleng pelan, menatap Charlie dengan tatapan seolah terlihat mencibir.Sementara Charlie tidak ingin argumennya dipatahkan. Ia membalas dengan segera, "Ya justru itu, karena Jenderal Mackenzie mundur sendiri jadi kan bisa saja beliau datang lagi dan meminta jabatan miliknya dulu?""Apa yang kau katakan? Memangnya kau pikir jabatan Jenderal Perang itu bisa dengan mudah dialihkan atau diminta?" balas Jake tidak mau kalah."Me
Pada awalnya Michelle Veren tidak memahami apa yang ditanyakan oleh James Gardner. Namun, ketika dia melihat air muka sang jenderal, dia langsung tahu yang dimaksud tentu saja waktu tentang kepergian tiga orang yang sedang mereka cari.Sehingga, sang pemilik butik Veren itu pun menjawab, “Sekitar satu jam yang lalu, Jenderal Gardner.”Mendengar jawaban itu, Reiner langsung lemas. Tapi, itu berbanding terbalik dengan James yang malah penuh semangat. Hal tersebut bisa terlihat dari James yang malah berkata, “Ayo, Rei. Kita kejar dia.”Reiner menatap sedih ke arah sahabat baiknya itu dan membalas, “Tidak akan terkejar, James. Itu sudah terlalu lama.”James malah tidak mendengarkan ucapan Reiner dan memerintah beberapa anak buahnya, “Siapkan mobil, kita kejar mereka.”“James,” Reiner memanggil pelan.James mengabaikan panggilan itu dan tetap berkata pada anak buahnya yang masih diam menunggu, “Cari tahu melalui CCTV saat ini mereka sudah berada di daerah mana. Mereka … pasti terlihat ji
Sayangnya semuanya itu telah terlambat disadari oleh gadis muda itu. Semua perkataan dari gadis bernama Alice Porter itu jelas-jelas didengar oleh Reiner Anderson dan James Gardner.Dengan raut wajah menggelap James pun berkata, “Nona, kau-”“Tidak, tidak. Aku hanya salah berbicara, aku … aku tidak tahu apapun. Kalian salah dengar,” kata Alice yang wajahnya kian memucat. Apalagi ketika dia melihat bagaimana aura James Gardner, sang jenderal perang yang menakutkan itu, dia semakin kesulitan untuk bernapas.Reiner pun juga sudah tidak bisa menahan diri sehingga berkata dengan nada jengkel, “Katakan apa saja yang kau ketahui atau kau … akan tahu betapa mengerikannya jika kau berhadapan dengan kami berdua.”“Aku tidak peduli kau itu seorang wanita. Aku masih bisa mencarikan sebuah hukuman yang pantas diterima olehmu,” lanjut Reiner dengan dingin.Alice menelan ludah dengan kasar. Tentu gadis muda itu sangat kebingungan. Terlebih lagi, saat itu tidak ada yang mencoba membantu dirinya sam
Pertanyaan James tersebut seketika membuat Reiner terdiam selama beberapa saat. Dia terpaku menatap ke arah butik itu dengan air muka bingung.Sementara James tidak ingin membuang waktu lebih banyak sehingga tanpa kata dia berjalan cepat menuju ke arah butik yang dimiliki oleh Michelle Veren, seorang desainer wanita berusia empat puluh tahun yang cukup terkenal di negara itu.Reiner pun tidak hanya bengong dan berdiam diri, meratapi ketidaktelitiannya. Dia mengikuti James dengan berlari-lari kecil tepat di belakang James tanpa kata.Begitu James lebih cepat darinya mencapai pintu, dia langsung melihat dua penjaga butik yang membukakan pintu itu untuk mereka.“Ada yang bisa saya bantu?” salah satu penjaga butik itu bertanya pada James.“Saya mencari Putri Rowena. Di mana dia sekarang?” James balik bertanya tanpa basa-basi seraya mengedarkan dua matanya ke segala penjuru lantai satu butik itu.Meskipun saat itu ada sebuah rasa curiga yang mencuat di dalam kepala James, pria muda itu leb
Reiner tidak kunjung menjawab pertanyaan James. Dia malah menampilkan ekspresi wajah yang terlihat ragu-ragu sekaligus bingung.Tentu saja hal itu membuat James menjadi semakin kesal. “Ayolah, katakan cepat! Apa yang aneh dari Putri Rowena?” desak James dengan tidak sabar.Reiner menelan ludah dan menggaruk telinganya sebelum menjawab, “Yah, aku tidak yakin apa ini memang aneh buatmu. Tapi … menurutku ini sangat aneh.”James menggertakkan giginya lantaran semakin jengkel dan tidak sabar.Beruntunglah, dia tidak perlu bertanya lagi karena Reiner menambahkan, “Jadi, menurut laporan dia pergi ke luar istana.”Mendengar jawaban Reiner, James sontak mendengus kasar. “Apa yang aneh dari hal itu? Setahuku dia memang sering pergi ke luar istana.”Reiner mendesah pelan, “Memang. Tapi, kali ini … beberapa jam yang lalu, dia pergi tanpa pengawal. Dan dia … pergi membawa putra mereka, Pangeran Kharel.”Seketika James melotot kaget, “Apa? Kau … yakin?”“Iya, James. Dan-”“Bagaimana mungkin? Raja
Gary Davis tidak menjawab pertanyaan Xylan. Dia hanya memasang ekspresi memelas. Hal itu seketika menimbulkan rasa bersalah pada diri Xylan Wellington.Oh, tidak. Apa yang sudah aku lakukan? Apa … aku sudah berlebihan karena telah menaruh curiga pada asisten pribadiku sendiri? Xylan membatin seraya menatap wajah polos Gary.Sang raja muda itu mendesah pelan. Dia pun kembali berpikir keras. Dia mencoba mengingat segala hal tentang Gary. Dia tidak pernah membuat kesalahan, tak sekalipun. Dia juga tidak pernah melakukan hal yang mencurigakan selama ini. Astaga, apa aku sudah salah mencurigai seseorang? pikir Xylan.Akan tetapi, dia menggelengkan kepalanya dengan cepat saat dia menyadari sesuatu.Tapi, tunggu dulu. James Gardnerlah yang mencurigai dia. Dia tidak mungkin berbicara sembarangan. Kalau tidak, tidak mungkin dia bisa terpilih menjadi wakil jenderal perang. Instingnya pasti sangat kuat sehingga dia memiliki kecurigaan pada Gary Davis, Xylan berpikir serius.Dia lalu menatap k
Ben tidak tahu bagaimana dia harus menanggapi perkataan temannya itu, tapi yang bisa dia lakukan hanyalah pergi mendekati James lalu menepuk punggungnya dengan perlahan berulang kali dengan tujuan menenangkan sang sahabat.“Dia benar-benar tidak akan kembali, Ben.”“Tidak. Itu hanya-”“Dia tidak akan memberi pesan semacam itu jika dia tidak serius dengan ucapannya,” James memotong ucapan Ben.Ben mendesah pelan, “James, yang aku maksud adalah … dia mungkin tidak ingin dicari lagi karena dia ingin pulang sendiri ke istana.”Perkataan Ben tersebut membuat James yang semula begitu sangat kalut menegakkan punggungnya. Jenderal perang itu kemudian menoleh ke arah Ben dan menanggapi, “Apa maksudmu?”Ben sebetulnya tidak yakin atas apa yang dia pikirkan tapi dia tetap menyampaikan buah pikirnya itu, “Menurutku … dia hanya mau pulang sendiri.”James terdiam, berusaha mencerna ucapan temannya.“Begini saja … bagaimana kalau kita pulang saja ke istana, siapa yang tahu kalau mungkin Riley benar-
Ricky Drilon hanya bisa terbengong-bengong saat mendengarkan pertanyaan itu.Oh, dia sering kali mendapati dirinya dalam sebuah situasi yang membingungkan. Tapi, dia tidak pernah merasa tertekan sekalipun.Padahal dia pun sangat sering dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit. Namun, lagi-lagi hal-hal semacam itu bisa diselesaikannya dengan baik tanpa adanya pergolakan batin.Akan tetapi, satu pertanyaan yang dilontarkan oleh Riley Mackenzie berhasil membuatnya berada di dalam fase tersulitnya. “Kenapa kau diam saja? Siapa yang akan kau patuhi? Aku atau Jenderal Gardner?” Riley mengulang kembali pertanyaannya itu.Ricky menelan ludah dengan kasar, semakin bingung.Dahinya pun berkerut, jelas menunjukkan sebuah kebimbangan yang sangat besar. Berulang kali dia merapikan rambutnya hanya dalam satu menit saja. Hal itu membuat Riley tersenyum aneh, “Jadi, bagaimana? Kau akan memilih untuk mematuhi siapa?” Ricky menggigit giginya sendiri.Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Dan k
Ricky tidak langsung menjawab pertanyaan James, dia justru kembali menoleh ke arah Steven, saudara laki-lakinya. Dari tatapan matanya, terlihat sangat jelas laki-laki muda itu meminta persetujuan dari Ricky.Rupanya, kebiasaan itu disadari oleh James Gardner sehingga dengan raut wajah jengkel dia pun berkomentar, “Ayolah! Apa kalian harus berdiskusi terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan sederhana seperti yang aku tanyakan tadi?”“Apa kalian tidak memiliki pendapat kalian sendiri?” James melanjutkan dengan nada dingin.Wajah Ricky dan Steven memerah dengan sempurna.Ben meringis melihat ketegasan James itu tapi dia tidak membuat sebuah interupsi. Tidak ingin membuat James menjadi semakin marah, pada akhirnya Ricky pun menjawab, “Jika itu orang biasa, kemungkinan besar kita masih bisa mengejarnya. Namun, jika itu Jenderal Mackenzie, saya ….”Pria muda itu tidak berani melanjutkan perkataannya. Dari raut wajahnya dia terlihat ragu-ragu hingga James yang melanjutkan perkataannya deng
Benedict Arkitson seketika terdiam membeku seperti sebuah patung seolah tidak berani menggerakkan badannya sedikitpun. Prajurit senior kelas satu yang usianya telah menginjak tiga puluh empat tahun itu hanya bisa terhenyak tanpa bisa mengeluarkan sebuah bantahan apapun terhadap penjelasan prajurit junior itu.Dia berpikir jika dia tidak memiliki alasan lagi untuk meragukan perkataan Lory Blackwell. Sedangkan James Gardner yang anehnya luar biasa terlihat muram itu malah membuang muka ke arah lain, seakan enggan menatap mata Lory Blackwell yang sedang menatap dirinya dengan tatapan polos. Sang jenderal perang muda itu kemudian berkata, “Itu Riley. Itu pasti dia, tidak mungkin salah.”Lory tersenyum puas dan mengangguk dengan penuh kelegaan. Pemuda itu menghela napas panjang setelah pernyataannya tidak diragukan lagi.Akan tetapi, dia justru melihat raut wajah sedih James Gardner yang tidak bisa disembunyikan oleh sang jenderal perang.Dia bahkan mendengar James bergumam pelan, “Itu