Bill dengan begitu tenangnya menjawab, "Adik iparku menikah. Apa aku tidak boleh hadir?""Tidak ada yang mengundangmu datang dan tak ada yang mengharapkan kedatanganmu," ucap Shirley sambil menatap malas pada kakak iparnya itu."Aku ingin dia hadir," ujar Cassandra.Bill tersenyum, senang istrinya berkata demikian."Cassie! Jadi, kau yang memberitahunya?" giliran Christopher yang bertanya.Peter Green yang melihat situasi sedang menegang, tidak terlalu memperhatikan. Ia masih setia dengan piringan emas yang selalu dia bawa ke mana-mana."Tidak, Kek. Aku-""Kek, keluarga Wood itu cukup terpandang. Kabar dengan mudahnya menyebar," kata Bill.Christopher mendengus keras, sangat kesal. "Dari mana kau dapatkan piringan emas itu? Awas saja, kalau kau membawa masalah pada kami.""Mengenai hal itu, aku tidak bisa memberitahumu. Tapi, yang pasti benda itu aman," ujar Bill.Peter Green tiba-tiba saja berkata, "Well, Bill. Kau tahu, Jenderal Mackenzie itu idolaku. Aku selalu mengikuti beritanya.
"Tidak. Itu sudah menjadi milikmu," ujar Bill.Peter tersenyum senang, "Kalau begitu, aku akan tetap berada di kamar saja.""Peter!" Shirley mendelik kesal, tapi suaminya bahkan tidak meliriknya sedikit pun. Pria itu malah naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarny.Amarah Shirley pun kian memuncak, dengan jengkel ia mendorong tubuh Bill dengan kekuatan penuh. Tapi Bill itu laki-laki perkasa yang memiliki tubuh yang kokoh sehingga dorongan itu tak membuatnya bisa berpindah satu inci pun. Shirley yang gagal itu semakin menjadi-jadi."Ini semua gara-gara kau! Aku benci padamu!" ucap wanita cantik itu sebelum berlari naik ke atas, menyusul suaminya.Christopher mendesah lelah, "Kalau pernikahan mereka terganggu gara-gara hadiah kecilmu itu, jangan harap aku akan membiarkanmu bernapas dengan tenang, Bill.""Sesungguhnya, itu bukan hadiah kecil, Kek."Tentu saja. Piringan emas itu adalah simbol kemenangannya. Ia tidak sembarangan memberikannya pada orang. Awalnya, Andrew Reece terliha
Bill dibawa dengan mulut terbungkam serta tangan terikat lalu dinaikkan ke dalam mobil oleh anak buah Jody Gardner. Ia tidak sempat mengucapkan selamat tinggal sementara pada istrinya. Tapi, ia tidak mempermasalahkan hal itu sekarang. Yang terpenting baginya malah jika terjadi kekerasan, setidaknya itu tidak terjadi di rumah keluarga istrinya. Mobil itu perlahan mulai membawanya menjauh dari rumah keluarga istrinya. Bill lega luar biasa."Heh, apa kau tidak ingin memberontak lagi?" ujar salah satu anak buah Jody.Bill tidak menjawab dan hanya duduk tenang."Apa kau bisu? Tidak bisa menjawab?" Bill hanya mengerling dan tetap masih tidak ingin menjawab.Sang anak buah mengerang jengkel. "Sombong sekali! Rasakan ini!" Ia lalu berniat memukul kepala Bill. Tapi, Bill dengan sigap menghindar lalu menghantamnya dengan kedua tangannya yang masih terikat. Pria itu terlonjak kaget dengan serangan Bill dan hendak membalas tapi lagi-lagi ia malah kini mendapat tendangan dari Bill.Pria itu han
"TUTUP MULUTMU!" bentak Jody Gardner, memberang marah. Urat nadinya di bagian leher terlihat jelas dan wara kulitnya telah berubah merah padam."Kenapa? Apa itu benar? Anda berbuat curang, Jenderal? Dengan cara apa?" tanya Bill beruntun, sengaja memancing semua emosi Jody keluar."DIAM!" teriak Jody dengan suara yang begitu menggelegar. "Anda tidak menjawab, berarti Anda-""Kupotong lidahmu kalau kau masih berani berbicara!" ucap Jody tajam dengan kemarahan yang masih menguasai.Suaranya bahkan terdengar bergetar hingga semua orang yang telah mengikutinya selama bertahun-tahun itu bisa merasakan kemarahannya yang sedang memuncak. Tetapi, di ruangan dengan cahaya temaram itu, Bill yang memiliki nama asli William Mackenzie sama sekali tidak merasa takut kepadanya. Tak ada emosi terpancar dari wajah Bill. Justru ia saat ini menjadi semakin tertarik dengan Jody Gardner. Ia ingin tahu bagaimana sifat asli laki-laki itu lebih banyak lagi. Bagaimana pun juga, ia akan bersama dengan lelaki
Jake malah tertawa begitu mendengar ucapan Charlie. "Kenapa malah tertawa? Ada yang lucu memangnya?" balas Charlie kesal telah ditertawakan.Jake mengangkat tangan, seakan meminta maaf. "Maaf, aku tidak tahan."Charlie mendengus keras. "Kenapa tidak tahan?""Astaga, Charlie. Kau lupa atau bagaimana?"Charlie hanya memutar bola mata malas."Jenderal Mackenzie itu mundur sendiri. Maksudku, tidak ada yang memberhentikan dia. Jadi, kalau dia aja mundur secara suka rela ya mana mungkin dia akan datang kembali dan merebut posisi Jenderal Perang?" ujar Jake.Pria itu menggeleng pelan, menatap Charlie dengan tatapan seolah terlihat mencibir.Sementara Charlie tidak ingin argumennya dipatahkan. Ia membalas dengan segera, "Ya justru itu, karena Jenderal Mackenzie mundur sendiri jadi kan bisa saja beliau datang lagi dan meminta jabatan miliknya dulu?""Apa yang kau katakan? Memangnya kau pikir jabatan Jenderal Perang itu bisa dengan mudah dialihkan atau diminta?" balas Jake tidak mau kalah."Me
Kurang dari 30 menit kemudian, Jody Gardner telah sampai ke gedung itu dengan raut wajah yang sama sekali tidak bersahabat. Ia menatap satu per satu anak buahnya dengan tatapan mematikan hingga tak satupun di antara mereka ada yang berani bergerak meski hanya sekedar mengangguk atau menggeleng. Pengawal yang jumlahnya lebih dari 20 orang itu hanya menunduk dalam. "Sampah!" teriak Jody dengan suara yang menggelegar. Beberapa dari mereka terlonjak kaget tapi segera memperbaiki posisinya kembali. "Menjaga satu orang saja tidak becus. Masih berani kalian menyebut diri kalian sebagai prajurit?" bentak Jody. Jody berkacak pinggang, "Kalian memalukan." Charlie memberanikan diri mengangkat kepala, "Ampun, Jenderal. Orang itu cukup berpengalaman." Jody tertawa sinis, "Berpengalaman? Jangan membuat lelucon seperti itu, Charlie." Charlie pun kembali terdiam. "Kau sudah ikut denganku selama beberapa tahun dan dia? Memangnya apa yang sudah dia lakukan? Identitasnya bahkan masih tidak me
"Tidak masalah. Mereka hanya akan membawaku kembali ke gudang itu dan menggantungku," ujar Bill.Andrew ternganga, "Anda digantung, Jenderal?"Bill tertawa aneh, justru merasa apa yang dilakukan oleh jenderal perang baru itu sangatlah konyol. "Iya, begitulah."Andrew Reece tentu saja kebingungan, tak tahu di mana letak kelucuan yang ditertawakan oleh seorang William Mackenzie. Ia pun hanya bisa menunggu penjelasan dari jenderalnya itu."Jody Gardner sungguh tak berpengalaman mengenai hal culik-menculik, Reece.""Maksud Anda?" tanya Andrew tidak tahan lagi."Dia mengancamku, ingin mengetahui hubunganku dengan William Mackenzie tapi caranya ah ... sungguh sama sekali tidak profesional.""Anda diancam?" ujar Andrew syok.Bill menjawab, "Hm. Dia menggantungku, ingin memotong lidahku dan sebagainya.""Apa? Dia berani melakukan itu pada Anda? Kurang ajar sekali dia! Dia-""Reece, Reece. Ingat! Dia tidak tahu siapa aku," potong Bill cepat.Andrew Reece membalas, "Tapi, tetap saja, ini keter
Andrew mengangkat wajah, merasa tidak seharusnya ia bersikap lemah meski ia dihina sekali pun. "Saya bertemu dengan sanak saudara saya, Jenderal.""Benarkah?" tanya Jody, tidak yakin."Iya. Memang apa yang Anda pikirkan, Jenderal?" Jody bersedekap, "Aku pikir kau baru saja menemui temanmu, Bill Stewart itu, Andrew Reece."Andrew menjawab dengan tenang, "Oh, tidak, Jenderal. Dia sedang menjenguk istrinya. Saya-""Yakin kau tidak bertemu dengannya di suatu tempat, Reece?" desak Jody, menatap tajam Andrew."Tidak, Jenderal."Jody mengamati sikap tenang Andrew dan menurutnya tak ada tanda-tanda Andrew menyembunyikan sesuatu.Andrew berkata lagi, "Apa perlu saya hubungi keluarga saya untuk-""Tidak perlu!" potong Jody cepat, sudah malas.Andrew bersorak dalam hati. Ia telah berhasil mengelabuhi Jody Gardner. Bukankah itu sebuah prestasi yang cukup bagus?"Apa saya sudah boleh pergi, Jenderal?" tanya Andrew."Ya, pergilah!" ucap Jody.Andrew segera membungkuk perlahan, lalu angkat kaki dar
“Iya, benar. Asisten pribadiku yang … sekarang ini berada di luar pintu kediaman ayahku,” jawab Xylan, terlihat tidak merasa ada yang aneh dengan jawabannya.James masih terlalu kaget hingga dia sampai terdiam, bingung apa yang harus dia katakan untuk menanggapi penjelasan Xylan.“Kenapa, Jenderal Gardner?” Xylan bertanya karena dia melihat James yang tidak kunjung berbicara.James membasahi bibir bawahnya, masih berpikir untuk menyusun kata-kata yang tepat.Namun, Xylan tidak sabar menunggunya sehingga dia berbicara lagi, “Jenderal Gardner, aku tahu apa yang sedang kau pikirkan.”James mengedipkan matanya, tampak terpana.Xylan menghela napas panjang, “Ini pasti status Gary Davis yang merupakan asisten pribadiku, bukan?”Mata James melebar sedikit hingga dia kemudian menatap sang putra mahkota dengan tatapan heran.Itu yang aku maksud, mengapa kau bisa berpikir menjadikan seorang asisten pribadi sebagai seorang penasihat raja? Apakah kau … sudah kehilangan akal, Yang Mulia? James mem
“Katakan pada saya, agar saya bisa melakukan apa yang seharusnya saya lakukan, Yang Mulia,” James menambahkan.Xylan membalas tatapan sang jenderal perang dengan tatapan yang terlihat begitu sangat serius. Pria muda yang semula telah menetapkan salah satu keputusan besar itu pun akhirnya membuka mulut, “Ini berkaitan dengan … penentuan pejabat istana baru setelah aku menjabat sebagai raja.”James terdiam sejenak, terlihat sedikit terkejut. Sebetulnya sangat wajar bila Xylan Wellington telah memikirkan mengenai pemerintahannya kelak. Akan tetapi, menurutnya saat itu adalah waktu yang kurang tepat.Ayahnya bahkan belum dimakamkan. Mengapa dia sudah berpikir hal lain? Tidakkah dia masih bersedih? James berpikir.Xylan berdeham kecil hingga membuat James menatapnya dengan tatapan aneh. Lantaran tidak mau James berpikir aneh tentangnya atau bahkan malah salah paham terhadapnya, Xylan buru-buru menjelaskan, “Jenderal Gardner, ini tidak seperti apa yang sedang kau pikirkan.”James tidak la
Tetapi, sebelum James Gardner bisa berpikir lebih lanjut mengenai hal itu, Monica Wilhelm, sang ratu yang baru saja kehilangan suaminya itu berkata, “Sudahlah, tidak perlu diperpanjang lagi.”Setelahnya, Monica memutar tubuhnya dan menghadap para pejabat istana yang masih berada di istana. Dia menghela napas pelan sebelum berujar, “Seperti yang aku inginkan tadi, apa kalian bersedia membiarkan kami meratapi kepergian raja kalian sebelum kita menyelenggarakan upacara kematian untuknya?”Tanpa ragu semua pejabat istana itu kompak menjawab, “Iya, Yang Mulia.”Satu per satu pejabat istana itu pun meninggalkan area kediaman raja hingga benar-benar hanya menyisakan para prajurit khusus yang melindungi raja, ratu, putri dan putra mahkota. Sementara itu, beberapa anak buah James Gardner juga tetap berada di daerah tersebut sesuai perintah James. “Jenderal Gardner, mohon bantuannya,” kata Monica. James mengangguk dan segera melakukan tugasnya sebagai jenderal perang kerajaan itu untuk menyi
“Ah, kalau kau tidak siap melepas jabatan penting itu, bukankah kau seharusnya berhati-hati ketika berbicara, Perdana Menteri? Ingatlah, yang kau bicarakan itu bukanlah hal yang pantas,” kata James dengan nada tajam.Siapapun yang mendengar suara James yang penuh ancaman itu pastilah akan takut.Dan tidak disangka-sangka, ancaman James Gardner ternyata berhasil membungkam si tua Philip. Philip tak lagi berani berbicara dan hanya diam saja. Tetapi, tatapannya yang penuh kekesalan itu masih bisa dilihat oleh James.Tentu saja, kau pasti sangat kesal padaku, Perdana Menteri. Namun, kau sudah pasti tidak mau kehilangan jabatanmu hanya karena tuduhan konyol itu, James membatin.Hal tersebut membuat Monica Wilhelm dan kedua anak-anaknya merasa sedikit lebih tenang.“Y-Yang Mulia, saya … saya ….” Philip berusaha berbicara lagi, tapi kegugupannya terlihat sangat jelas sehingga James pun tahu orang tua itu tidak mungkin berani berkata hal ngawur lagi. James pun segera menanggapi, “Kenapa, Per
Philip Crawford terbatuk-batuk begitu mendengar perkataan James Gardner.James menaikkan alis kanan, tampak menanti penjelasan Philip.Philip pun berdeham kecil dan membalas tanpa berani melihat ke arah James, “Bukan saya yang menuduh Anda, Jenderal Gardner. Hanya saja … seluruh penghuni Kerajaan Ans De Lou membicarakan hal ini. Anggap saja saya hanya menyampaikan apa yang sedang dipikirkan oleh mereka.”James tertawa pelan, membuat Philip seketika menoleh ke arah dirinya. Begitu juga dengan Monica dan kedua anaknya yang tampak terkejut melihat reaksi sang jenderal perang.“A-apa yang lucu dari perkataan saya sampai Anda tertawa, Jenderal Gardner?” Philip berkata dengan nada tersinggung.James menghentikan tawanya dan mendesah pelan sebelum berkata, “Tidak ada yang lucu. Hanya saja aku merasa kau sangat pengecut sekali, Perdana Menteri.”“Pe-pengecut? Apa maksudmu, Jenderal?” Philip membelalakkan mata, jelas semakin tersinggung.“Benar. Tentu saja kau hanyalah seorang pengecut. Kau m
“Jadi, kalian bisa memberi kami waktu untuk meratapi anggota keluarga kami, bukan? Kalian tidak lupa bukan bahwa Keannu Wellington bukan hanya seorang raja negeri ini, tapi dia adalah kepala keluarga kami. Dia suamiku, ayah dari kedua anakku dan seorang kakek dari cucuku,” kata Monica dengan nada datar tapi tegas.Perkataan sang ratu rupanya berhasil membuat para pejabat istana itu saling lirik dan akhirnya terbungkam.Beberapa di antara mereka tampak mundur beberapa langkah seakan memang benar-benar tidak ingin mengganggu lagi anggota keluarga kerajaan. James Gardner sendiri tersenyum melihat para pejabat istana yang sebagian merupakan jajaran menteri penting itu tidak berkutik di hadapan sang ratu. James tidak bisa tidak terkesan pada kemampuan sang ratu yang mampu membuat orang-orang tunduk atas perintahnya. Hal itu karena menurut James sangatlah langka dan jarang terjadi.Sebelum dia melepaskan jabatannya sebagai seorang wakil jenderal perang, dia telah bertemu dengan begitu ba
Dikarenakan James tidak kunjung bergerak dari tempatnya berdiri dan malah terdiam seperti sebuah patung, Rowena langsung melirik ke arah Xylan.Xylan tentu saja mengerti maksud dari kakak perempuannya itu sehingga dia cepat-cepat berkata, “Jenderal Gardner, apa … kau baik-baik saja?”James sontak tersadar dari lamunannya dan mengangguk pada Xylan. Dengan kebingungan yang sedang menguasai pikirannya, dia tetap melangkah masuk ke dalam kamar sang raja.Begitu dia memasuki area itu untuk pertama kalinya, James bisa melihat jasad raja Kerajaan Ans De Lou yang terbaring kaku di atas tempat tidur mewah itu. Dia hanya bisa menghembuskan napas pelan melihat orang yang pernah bertanggung jawab atas kerumitan hubungan antara ayahnya dan juga ayah Riley itu. Akibat kesalahan raja yang telah wafat itu, hubungannya dengan Riley pun meregang.Akan tetapi, sang raja telah meminta maaf kepadanya dan dia pun telah memaafkan segala kesalahannya sehingga saat itu sudah tidak ada rasa amarah ataupun dend
Sebelum James memberikan jawaban atas perkataan Xylan Wellington, sang putra mahkota yang masih sangat muda itu, Xylan telah kembali berbicara, “Jenderal Gardner, aku tahu permintaanku ini sangat berlebihan.”“Dan aku tahu … tujuanmu bersedia kembali ke istana ini adalah demi kakak iparku, namun … aku sangat membutuhkan bantuanmu, Jenderal Gardner,” Xylan menambahkan dengan raut wajah penuh permohonan.James menghela napas panjang dan kemudian menggelengkan kepalanya.Hal itu membuat Xylan lemas dan juga kecewa. Tetapi, itu hanya berlangsung sementara karena tidak lama kemudian Xylan mendengar James berkata, “Anda tidak perlu meminta saya sampai seperti ini, Yang Mulia.”Xylan terhenyak. Terlebih lagi James melanjutkan dengan berkata, “Sebagai seorang Jenderal Perang Kerajaan Ans De Lou, tugas saya tidak hanya melindungi negeri ini. Tapi juga melindungi kepala pemimpin kerajaan ini.”Mulut Xylan terbuka sedikit karena terkejut mendengar jawaban James yang tanpa sedikitpun keraguan it
“Apa yang sedang terjadi sebenarnya?” Reiner terlihat semakin bingung.Biasanya, jika mereka memenangkan sebuah peperangan, mereka akan disambut dengan begitu meriah.Tidak hanya sejumlah prajurit istana saja yang menyambut mereka, namun juga para pejabat istana serta anggota keluarga kerajaan akan menyambut kedatangan mereka.Akan tetapi, saat itu hanya ada sejumlah prajurit dan prajurit pengawal pangeran saja yang ada di lapangan tempat pesawat mereka akan segera mendarat.Hal itu tentu saja menimbulkan berbagai pertanyaan yang akhirnya mencuat di kepala para prajurit yang baru kembali dari pertempuran antara hidup dan mati itu. “Apa mereka tidak mendengar kabar kemenangan kita?” celetuk salah seorang prajurit kelas satu dengan nada penuh rasa kecewa.Seorang prajurit kelas dua menanggapi, “Tidak mungkin. Mereka pasti mendengarnya. Ini sebuah kemenangan besar yang ditunggu-tunggu. Mereka tidak mungkin tidak tahu.”“Betul. Istana pasti telah mengumumkan berita paling membahagiakan i