Kirana menyibak rambut bagian sampingnya yang lepas dari ikatannya saat dia tertunduk. Dia mengaduk sop yang sedang dimasaknya. Setelah meyakinkan bahwa semua sayuran sudah matang, Kirana mematikan kompor.
"Mbak, aku duduk dulu, ya," ujar Kirana sambil menoleh pada Gayatri yang sedang menyiapkan ayam untuk digorengnya, "aku capek."
"Iya, Dik. Istirahatlah. Nanti aku selesaikan semua." Gayatri hanya menoleh sekilas lalu melanjutkan kesibukannya memotong-motong ayam.
"Tolong sekalian sambelnya ya, Mbak."
"Beres ... kamu tenang aja."
Kirana beringsut mengambil segelas air yang sudah disiapkannya di meja. Dia membiarkan air yang sebelumnya diambil dari kulkas itu di sana supaya tidak din
Mohon dukungannya dengan memberi bintang dan komentar. Farhan baru saja turun dari motoradventure-nya. Narto menghampirinya lalu menganggukkan kepala sambil membungkukkan badannya sekilas. "Baru pulang, Mas?" Narto tersenyum ramah dan gerak tubuhnya terlihat sangat sopan. "Iya, Mas." Farhan membalas basa-basi Narto. "Kalau Mas tak keberatan, kita ngopi dulu, Mas. Ada hal penting yang mau saya sampaikan." Sikapnya yang masih sangat sopan, tetapi ada mimik serius di wajahnya. "Ada apa, Mas?" Farhan belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia berusaha menerka apa yang akan disampaikan Narto.
Semilir angin dingin bertiup lembut menerpa teras pondok. Pondok kecil itu terletak di tengah kebun yang cukup luas. Farhan tengah beristirahat menunggu waktunya makan siang. Dia duduk di kursi kayu yang ada di teras pondok itu sambil merokok. Pondok kayu itu hanya terdiri dari teras dan satu ruangan di dalam. Ruang yang tak terlalu besar itu berisi meja dapur tempat memasak air untuk membuat kopi dan hamparan tikar tempat dia biasa makan siang dan tiduran di saat tubuhnya lelah. Di teras, terdapat empat buah kursi dan satu meja untuk bersantai dan ngobrol. Dia biasa ngobrol dengan istrinya, Kirana di sana. Terkadang juga dia ngobrol dengan para pekerja yang kebetulan mampir ke sana. Meskipun pondok itu sederhana, Farhan merasa betah dan nyaman beristirahat di sana di sela-sela pekerjaannya mengurusi sawah dan kebun yang sudah seperti miliknya sendiri. Sebetulnya masih agak lama waktunya makan siang tapi Farhan merasa lelah setelah berkeliling di kebun memeri
Kedatangan Farhan untuk tinggal di desa itu semata-mata untuk membangun kehidupannya yang baru dalam bidang pertanian dan agrobisnis sambil mengobati luka hatinya akibat perceraiannya. Dia sama sekali tak pernah berniat mengusik kehidupan pribadi keluarga Narto. Petualangan cintanya justru dipicu oleh Narto yang memohon agar Farhan menikahi Kirana, anak semata wayangnya. Pribadi Farhan yang dinilainya baik serta keberhasilan Farhan mengelola kebun miliknya hingga menjadi jauh lebih maju membuat Narto sangat menyukai Farhan. Bukan hanya Narto, semua warga desa itu juga menyukai keberadaan Farhan yang mulai mengupayakan kemajuan di desa itu. Farhan kerap mengadakan penyuluhan kepada warga desa untuk bertani dan berkebun dengan cara yang lebih baik. Seluruh warga desa menyambut gembira ketika Narto mengabarkan bahwa dia akan menikahkan Farhan dengan Kirana, putrinya. Mereka semua bergotong-royong mempersiapkan pesta perkawinan yang meriah bagi pasangan pengantin itu. Se
Surti menatapnya dari kejauhan lalu dia berdiri dan mendekat. Diamatinya bagian yang dimaksud Farhan. Sudah janjinya akan menjadi saksi bahwa putrinya masih perawan. Mau tak mau dia harus menjalankan tugasnya. Bagian tubuh itu tegang mengkilap basah oleh cairan dari putrinya. Tak tampak noda darah di sana. Mata Surti masih memandanginya dengan teliti mencari noda darah di sana, tetapi tak ditemukannya. Dengan putus asa dipegangnya benda itu sambil terus mengamatinya. Tanpa sadar darahnya berdesir berhadapan dengan benda yang tegang dan berukuran cukup besar itu. Naluri kewanitaannya bangkit dari tidurnya. Surti mulai terangsang. "Mbak sudah janji untuk mengajari Kirana bagaimana menjadi istri yang baik. Lihatlah, dia belum bisa melaksanakan tugasnya memuaskan suaminya." Farhan mulai terangsang melihat tubuh sintal dengan tampang polos di hadapannya. Nafsunya sudah kepalang naik. Dia berpikir keras bagaimana caranya bisa merasakan kenikmatan dari tubuh
Kalian mungkin bilang aku dungu, tetapi aku hanyalah tuna rungu. Tuna rungu bukan berarti dungu. Aku memang kadang ragu dan malu. Ragu yang membuatku hanya menunggu. Menunggu datangnya sang waktu. Waktu untuk menunjukkan apa yang kumampu. Kini kalian mungkin belum tahu. Nanti kalian lihat siapa diriku.~ Kirana Ayudia ~Purnama emas mengintip di puncak bukit. Satwa malam bernyanyi dalam sejuk dan embun. Namun, suaranya lenyap dalam hening. Malam bulan purnama adalah malam yang biasa digunakan oleh satwa untuk bercinta. Melepaskan hasrat berahi mereka. Kirana duduk sendiri di teras rumah ditemani pena dan kertas. Dia sedang menulis syair.Saat-saat seperti itu biasanya Kirana membuat puisi atau syair. Dalam dir
Terimakasihsudahmembacasejauhini.Kasih rating dankomentarnya, ya!Farhan dan Kirana sedang dalam perjalanan ke Solo dengan mobil yang disetir Farhan. Sebuah mobillow MPVyang dibelinya setelah menikah. Narto menyuruhnya membeli mobil itu dari uang hasil panen agar Farhan dan Kirana bisa lebih nyaman kalau perlu bepergian. Bagi Narto itu tak masalah, tiga kali panen cabe dan tomat terakhir menghasilkan cukup banyak uang.Hari masih pagi ketika mereka sampai di rumah Gayatri yang s
Gayatri terbangun. Dilihatnya jam tangan yang melingkar di tangan kirinya menunjukkan pukul sebelas kurang. Dia teringat belum menyuruh pembantunya untuk menyiapkan makan siang. Segera dia bergegas memakai pakaiannya. Dia biarkan Farhan yang masih tertidur dispring bed.Kirana sedang duduk di ruang tengah ketika Gayatri muncul di sana. Pakaian Gayatri tak tampak rapi seperti sebelumnya. Rambutnya juga agak acak-acakan."Ma ... na ... Mas Far ... han ...?" tanya Kirana."Masih tidur kali," jawab Gayatri sambil tersenyum dan berlalu ke dapur.Kirana menoleh ke arah kamar tempat Gayatri keluar tadi. Dari celah gorden yang dibiarkan Gayatri terbuka saat dia keluar kamar tadi, Kirana bisa melihat suaminya terbaring di
Pekerjaan memasak pagi itu baru saja usai. Semur ayam, sayur sop, dan tahu goreng sudah selesai semua dimasak. Kirana juga sudah selesai membuat sambal terasi. Pagi itu dia masak sendiri di dapur. Ibunya sedang memanen sayuran di halaman belakang rumah.Matahari sudah tinggi ketika Kirana selesai memasak. Tubuhnya yang berkeringat menimbulkan rasa gerah. Dia ingin mandi dulu sebelum mengantarkan makan buat suaminya di pondok kebun tempat biasa suaminya beristirahat siang.Setelah meletakkan tahu goreng dan sambal di meja makan, Kirana masuk ke kamarnya di paviliun. Sebelum mereka menikah, dibuatkan pintu dalam untuk masuk ke paviliun dari ruang tengah. Semula paviliun itu hanya bisa diakses dari depan.Rumah itu mereka cukup besar dibandingkan rumah-rumah lain di desa itu. Rumah berdin
Kirana menyibak rambut bagian sampingnya yang lepas dari ikatannya saat dia tertunduk. Dia mengaduk sop yang sedang dimasaknya. Setelah meyakinkan bahwa semua sayuran sudah matang, Kirana mematikan kompor."Mbak, aku duduk dulu, ya," ujar Kirana sambil menoleh pada Gayatri yang sedang menyiapkan ayam untuk digorengnya, "aku capek.""Iya, Dik. Istirahatlah. Nanti aku selesaikan semua." Gayatri hanya menoleh sekilas lalu melanjutkan kesibukannya memotong-motong ayam."Tolong sekalian sambelnya ya, Mbak.""Beres ... kamu tenang aja."Kirana beringsut mengambil segelas air yang sudah disiapkannya di meja. Dia membiarkan air yang sebelumnya diambil dari kulkas itu di sana supaya tidak din
Udara dingin tiba-tiba terasa menusuk ke dalam pori-pori tubuh. Kabut putih merebak menyergap menggigilkan tubuh dan menggoda mencari kehangatan untuk melawannya. Farhan menarik retsliting jaket gunungnya yang berwarna biru cerah sampai ke atas. Tangannya bersedekap di dada.Sementara itu, Arini juga melakukan hal yang sama. Pandangannya terpaku pada sosok tampan yang matang dan tampak terduduk kaku serta tenggelam dalam kesendiriannya tanpa menghiraukan Arini yang duduk dekat dengannya. Dengan pandangan lekat, Arini mengagumi wajah berhidung mancung dengan kulit berwarna sedang itu yang seakan begitu tenang tanpa bisa dibacanya apa yang sedang dipikirkan lelaki itu."Bapak pernah mendaki gunung?" tanya Arini memecah kesunyian.Farhan bergeming. Tubuhnya masih mematung tanpa gerak deng
"Pak, nggak jauh lagi di depan ada pos satu. Kita mampir dulu ke situ, lapor." Arini mengingatkan Farhan sambil terus memeluk pinggang Farhan."Iya, nanti kita mampir."Kalau letak pos satu, tentu Farhan ingat karena dia sesekali ke sana mengontrol petugas yang merupakan warga desa yang dia tugaskan dan bekerja untuknya. Pos itu digunakan untuk mengontrol orang-orang yang naik ke bukit. Sebelumnya, bukit itu sangat jarang didaki oleh orang dari luar daerah sekitar situ. Para pendaki cenderung lebih memilih mendaki gunung dibanding mendaki bukit.Farhan memanfaatkan bukit itu untuk digunakan sebagai tempat belajar mendaki atau sekedar berwisata ke punggung bukit yang terdapat dataran. Bukit itu relatif aman untuk didaki dan pemandangannya indah. Itu yang jadi alasan utama Fa
"Aku pergi dulu, ya." Farhan berpamitan pada Kirana dan Gayatri yang tengah duduk di teras. Kedua istrinya itu lalu bergantian mencium punggung tangannya."Hati-hati, ya, Mas.""Iya. Asalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Kirana dan Gayatri berbarengan.Tak lama berselang, motoradventureyang dikendarai Farhan sudah menderu meninggalkan halaman rumah. Kirana dan Gayatri masih memandangi Farhan sampai hilang dari pandangan."Dik, perutmu sudah gede banget," komentar Gayatri ketika melihat perut Kirana dari samping saat Kirana berbalik menuju kursi teras tempat mereka semula duduk."Iya, ya, Mbak. Sudah tuj
Pemandangan pagi dari balkon terasa menyejukkan mata. Kabut tipis masih mengambang di udara menyelimuti pepohonan yang hijau. Gayatri duduk di kursi teras yang terbuat dari kayu sonokeling, jenis kayu yang jadi bahan pembuat hampir semua perabot di rumah itu kecuali kursi ruang tamu dan lemari-lemari yang terbuat dari kayu jati. Farhan sudah memesan semua perabot itu pada pengrajin kayu dari desa sekitar sebelum rumah itu selesai.Di bawah, di halaman depan, Farhan sedang melihat-lihat dan memunguti potongan kayu yang tersisa dan meletakkannya pada tumpukan sisa kayu bekas pembangunan rumah itu di pojok kiri depan di luar halaman depan. Meski para pekerja sudah mengumpulkan sisa potongan kayu, tetapi ada saja potongan-potongan kecil yang masih tersisa di halaman.Dari balkon itu, Gayatri memandang ke arah Farhan yang sedang bercakap-cak
Pagi yang sejuk berhias kabut putih tipis terasa menerpa tubuh Gayatri yang berdiri bertumpu tangan pada pagar pengaman teras Pondok Sunyi. Jaket biru terang melapisi kaus putih yang dikenakannya untuk menahan dingin kabut pagi yang menyelimuti alam sekitar dan membelai pipi halusnya. Pandangan mata Gayatri menyimak siluet bukit dan pepohonan di hadapannya.Gayatri mematung nyaris tanpa gerak, hanya sesekali gerakan ringan yang hampir tak terlihat jika tak diperhatikan dalam waktu yang lama. Pikirannya melayang, berselancar di kabut yang mengambang, dan meliuk menari di pucuk pepohonan yang tak tampak hijau tersaput kabut. Suara aliran air sungai jernih di bawahnya menyanyikan tembang damai yang membuat rasanya tersihir dan ikut mengalir menerpa bebatuan cadas yang menghadang.Sosok tubuh perempuan yang tak terlalu tinggi tetapi p
Kepala Gayatri perlahan bergerak, beringsut dari dada Farhan. Matanya terbuka menatap wajah Farhan yang sedang memandangi ke arah depan. Gayatri menoleh dan mendapati Kirana sedang menyuguhkan tontonan erotis bagi Farhan. Senyum tipis terurai di bibir Gayatri yang masih lemas. Digulirkannya tubuhnya ke sisi kanannya dan terlentang di kasur. Diraihnya bantal lalu Gayatri membenamkan kepalanya di sana.Kirana berjalan pelan ke sisi kanan tempat tidur mendekati Farhan yang masih bersandar di kepala tempat tidur itu. Detik demi detik berjalan sangat lambat membuat Farhan tak sabar menanti istrinya bergerak pelan dengan gerakan menggoda. Mata Farhan nyaris tak berkedip memandangi tubuh polos Kirana yang bergerak ke arahnya lalu berlabuh di atas tubuhnya.Farhan menikmati sensasi hangat selangkangan Kirana yang menangkup di selangkangannya. D
Kamar hotel itu terasa sunyi. Hanya terdengar suara film dari televisi yang terdengar pelan. Farhan menyandarkan punggungnya pada bantal yang bertumpu pada kepala tempat tidur berukuran besar. Tubuhnya terbungkus selimut sampai pinggang untuk menahan dingin udara ruangan yang sangat sejuk agar tak membuat kakinya terasa kedinginan.Mata Farhan terfokus pada layar televisi LED berukuran sedang yang terpasang di dinding kamar hotelnya. Penerangan ruangan yang redup hanya berasal dari cahaya luar di balik kaca jendela kamar yang menerobos lewat vetrase. Hal itu membuat pandangan Farhan terasa nyaman saat menonton televisi.Ting ... tong ....Bunyi bel kamar mengalihkan perhatian Farhan. Diloloskannya kedua kakinya dari balutan selimut putih lalu mendarat di karpet lantai kamar. Dia
Dara duduk berhadapan dengan Farhan yang berada di kursi tamu dekat pintu masuk rumah. Kirana dan Gayatri duduk di kursi panjang di sisi kiri Dara. Wajah cantik perempuan keturunan Tionghoa yang putih itu tersenyum ramah memandangi Kirana dan Gayatri secara bergantian."Mas Farhan beruntung dapat dua istri yang cantik," ujar Dara. Farhan hanya tersenyum menanggapinya."Ah, Mbak bisa aja. Mbak juga cantik banget," balas Kirana."Ngomong-ngomong, kamu sedang hamil, ya?" tanya Dara pada Kirana."Iya, Mbak. Ini jalan empat bulan.""Semoga kehamilanmu lancar, ya." Dara melihat selintas ke perut Kirana yang belum terlalu tampak kehamilannya.