Mohon dukungannya dengan memberi bintang dan komentar.
Farhan baru saja turun dari motor adventure-nya. Narto menghampirinya lalu menganggukkan kepala sambil membungkukkan badannya sekilas.
"Baru pulang, Mas?" Narto tersenyum ramah dan gerak tubuhnya terlihat sangat sopan.
"Iya, Mas." Farhan membalas basa-basi Narto.
"Kalau Mas tak keberatan, kita ngopi dulu, Mas. Ada hal penting yang mau saya sampaikan." Sikapnya yang masih sangat sopan, tetapi ada mimik serius di wajahnya.
"Ada apa, Mas?" Farhan belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia berusaha menerka apa yang akan disampaikan Narto.
Lelaki sopan di hadapannya itu hanya terpaut satu tahun lebih muda darinya yang sudah berumur 40 tahun. Saat itu dia hanya menumpang tinggal di paviliun rumah Narto dan membantunya mengelola seluruh pekerjaan sawah dan kebun milik Narto.
"Saya mohon, Mas Farhan tak keberatan," mohon lelaki itu sambil membungkukkan badannya lagi.
Sebagai orang Sumatera, Farhan tidak terbiasa dengan laku sopan seperti itu. Dia sadar sikapnya kalah sopan jika berhadapan dengan kesopanan keluarga Narto dan penduduk sekitar yang bersuku Jawa.
"Baik, Mas." Farhan menyetujui permintaan Narto lalu mengikutinya ke ruang tamu rumah utama.
Rumah itu terbilang besar untuk ukuran masyarakat desa di kaki bukit itu. Penduduk di situ banyak yang kehidupannya sangat sederhana dengan rumah-rumah kayu. Rumah Narto tampak berbeda dengan dinding dari batu dan ukuran yang lebih besar dari rumah-rumah lainnya. Kakek buyutnya adalah orang yang pertama tinggal di daerah itu dan mempunyai tanah yang luas di sana.
"Buuu ...." Narto memanggil Surti istrinya.
Tak lama keluar perempuan dengan kulit sawo matang dan bertubuh sintal. Tubuhnya padat dengan dibalut kain kebaya khas orang Jawa tradisional. Tingginya sedang dan badannya tampak terawat meskipun dia adalah perempuan kampung. Sikapnya tak kalah sopannya dengan suaminya.
Meski sebagian besar orang Jawa sudah berpakaian modern, tetapi di desa itu mereka masih berpakaian tradisional dan tampak agak kuno. Baik lelaki maupun perempuannya masih bertahan dengan segala tradisi Jawa termasuk cara mereka berpakaian.
"Tolong buatkan kopi, Bu!" Perintah suaminya lalu dengan cepat disambut dengan anggukan di kepalanya. Dengan tubuh agak membungkuk dan tangan kanan diturunkannya dia berbalik ke dalam.
"Tampaknya ada hal serius yang Mas Narto ingin sampaikan." Farhan sudah tak sabar ingin menebus rasa penasarannya.
"Nggih, Mas," jawab Narto sambil menganggukkan kepalanya. Tampangnya menyiratkan bahwa dia sedang mencari kata yang tepat untuk menyampaikan keinginannya.
"Tentang sawah atau kebun?" tanya Farhan memancing karena melihat Narto tampak kesulitan untuk memulai.
"Bukan, Mas. Ada hal pribadi yang ingin saya sampaikan," jawab Narto.
"Silahkan, Mas." Farhan semakin penasaran dengan apa yang akan disampaikan Narto. Dia berusaha menerka-nerka apa yang hendak dikatakan Narto tapi tak mendapatkan petunjuk dalam pikirannya.
"Begini, Mas. Sebelumnya saya mohon maaf." Narto mulai mengawali omongannya.
"Saya ada permohonan pada Mas Farhan. Saya tahu permohonan ini terlalu berlebihan tapi setelah saya pikir-pikir, tak ada salahnya saya mencoba mengutarakannya." Narto berusaha mulai menyampaikan maksudnya dengan hati-hati.
"Ya, gak apa-apa, Mas. Katakan saja. Siapa tahu saya bisa memenuhinya," jawab Farhan.
"Mas tahu bahwa Kirana, putri tunggal kami sudah dewasa. Dia sudah berumur 21 tahun. Para perempuan di desa ini, biasa menikah sejak remaja. Kirana tergolong perawan tua di desa ini. Dengan kekurangannya, tak ada lelaki yang mau menikahinya." Narto tertunduk dan berhenti sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya.
Farhan mulai menerka lagi apa yang diinginkan Narto untuk putrinya. Gadis itu cantik meskipun dia tuna rungu. Di mata Farhan, Kirana gadis yang sopan dan rajin membantu orang tuanya. Tatapan mata gadis itu menunjukkan kecerdasan meski dia hanya mengenyam pendidikan sampai lulus SMA. Gadis itu terpaksa bersekolah di sekolah biasa karena sekolah luar biasa hanya ada di kota.
"Lalu, apa rencana Mas?" tanya Farhan.
"Saya mohon agar Mas Farhan mau mempersunting anak kami," tukas Narto sambil membungkukkan badannya lagi pertanda memohon dengan hormat.
Meski sudah bisa menduga arah omongan Narto, Farhan cukup kaget dengan permintaan itu. Tak pernah dia menyangka sebelumnya bahwa seorang duda sepertinya dimohon untuk menikahi seorang gadis muda yang cantik seperti Kirana.
Melihat sikap Farhan yang terdiam tanpa langsung menjawab, Narto merasa tak enak. Dia menduga bahwa permohonannya telah menyinggung perasaan Farhan.
"Maaf, Mas, kalau perkataan saya menyinggung perasaan Mas Farhan. Saya sadar kalau permohonan saya kelewatan." Narto bangkit dari tempat duduknya lalu duduk bersimpuh di hadapan Farhan. Dia telah merendahkan dirinya.
Farhan masih terdiam ketika Surti datang membawakan dua cangkir kopi dengan pisang goreng. Melihat suaminya bersimpuh di hadapan Farhan, diletakkannya suguhannya di meja lalu dia ikut bersimpuh di samping suaminya. Dia sudah mendengar dari dalam apa yang dimohonkan suaminya pada Farhan.
"Mas, saya jadi tak enak melihat Mas dan Mbak bersikap begini." Farhan menjadi canggung diperlakukan dengan penuh hormat oleh sepasang suami-istri itu di rumah mereka sendiri.
"Mas, Mbak, saya ini belum lama bercerai dengan istri saya. Tentu Mas dan Mbak masih ingat dengan cerita saya ketika setahun lalu saya datang ke sini untuk tinggal di sini. Saya sangat terluka dengan perkawinan saya sebelumnya makanya saya rela membuang diri ke desa ini. Maaf, Saya belum mau menikah lagi." Farhan berusaha menjelaskan jawabannya.
"Apakah karena putri kami tuna rungu hingga Mas Farhan tak sudi menikahinya?" tanya Narto.
Farhan merasa tak enak dengan pertanyaan itu. Dia sungguh tak bermaksud demikian. Rasa sakit karena perceraiannyalah yang menjadi alasannya belum mau menikah lagi.
"Bukan begitu, Mas. Saya belum siap," jawab Farhan hati-hati.
"Mas, saya mohon jangan tolak permohonan saya. Tolong saya, Mas. Saya tahu, Mas Farhan orang yang baik." Narto pantang menyerah menghadapi penolakan Farhan.
"Saya takut kecewa kalau saya menikah lagi, Mas." Farhan berusaha berterus terang.
"Saya jamin, putri kami tidak akan mengecewakan Mas Farhan. Nanti ibunya akan mengajari Kirana bagaimana mengurus suami dengan baik."
"Mas, Mas pasti tahu. Perkawinan itu tak sesederhana itu. Saya sudah menjalani 15 tahun perkawinan waktu saya bercerai."
"Tapi Mas, kami mohon. Kirana adalah satu-satunya harapan kami. Kami rela melakukan apa saja asal dia bahagia. Kalau Mas mau menikahi putri kami, semua yang saya miliki akan saya serahkan pada Mas Farhan asal bisa membahagiakan putri kami. Bahkan, kalau perlu, saya akan mengabdikan hidup saya pada Mas Farhan." Narto semakin merendahkan dirinya demi kebahagiaan putri semata wayangnya. Kedua pasangan suami-istri itu menundukkan kepalanya di hadapan Farhan.
Farhan menghela napas panjang. Dia sudah berusaha untuk menolak dengan cara sesopan mungkin. Dia merasa sungkan dengan perlakuan suami-istri yang masih bersimpuh di hadapannya. Farhan semakin sulit menolak. Terpikir olehnya untuk memberikan syarat yang berat untuk dipenuhi. Mungkin dengan begitu, mereka akan mengurungkan niatnya, pikir Farhan.
"Tolong panggil putrimu, Mbak." pinta Farhan sopan. Surti mengangguk lalu masuk ke ruang dalam.
Farhan berpikir keras tentang syarat apa yang akan dia berikan. Narto tetap menunduk sambil menunggu istri dan putrinya datang tanpa berbicara sepatah kata pun. Keduanya membisu dengan pikiran masing-masing.
Tak lama, Kirana masuk ke ruang tamu mengiringi ibunya dan ikut duduk bersimpuh di hadapan Farhan. Mereka bertiga seolah para pembantu yang sedang menghadap majikan mereka. Setelah keduanya duduk, Farhan mulai bicara.
"Aku cuma mau menikah dengan beberapa syarat," ujar Farhan pelan tapi tegas. Dia mulai kehilangan gaya basa-basinya dan mulai ber-aku menyebut dirinya. Suami-istri itu menunggu lawan bicaranya menyampaikan syaratnya.
Surti menepuk tangan Kirana. Dia memberi tanda agar putrinya memperhatikan orang yang sedang berbicara di depan mereka. Kirana mengangkat wajahnya memperhatikan Farhan agar dia mengerti kata-kata Farhan karena telinganya tak bisa mendengar secara normal. Untuk mengerti apa yang lawan bicaranya katakan, dia harus memperhatikan gerak bibir lawan bicaranya.
"Pertama, aku hanya mau menikah dengan perawan. Kedua, dia harus mengabdi kepadaku sebagai suaminya seumur hidupnya. Ketiga, dia harus melayaniku dengan baik sebagai istri. Keempat, dia harus mau ikut ke mana aku pergi." Farhan merasa syarat-syarat yang diberikannya sudah cukup berat. Dia berharap mereka bertiga akan mengurungkan niat mereka.
"Baik, Mas. Syarat pertama pasti terpenuhi. Putri kami tidak pernah didekati lelaki apalagi dijamah lelaki. Syarat kedua, sudah sewajarnya dia mengabdi pada suaminya. Syarat ketiga, tentu saja sebagai istri harus melayani suaminya dengan baik. Saya cuma menawar syarat keempat. Saya mohon agar Kirana jangan dipisahkan dari kami."
Meski Narto hampir memenuhi semua syarat yang diajukannya, Farhan masih merasa bisa memenangkan tantangannya.
"Baiklah. Untuk syarat pertama sampai ketiga, bagaimana kalau putri kalian tak memenuhinya?" tanya Farhan.
"Saya yakin putri kami masih perawan. Untuk syarat kedua dan ketiga, istriku sendiri yang akan mengajari putri kami caranya agar menjadi istri yang baik," jawab Narto.
"Aku minta, istrimu jadi saksi di malam pertama kami," tegas Farhan. Dia yakin Narto takkan mengizinkan istrinya ada di kamar pengantin saat dirinya meniduri anaknya.
Narto berpikir beberapa saat, "Baiklah, saya setuju," jawab Narto mantap.
Farhan kaget mendengar jawaban Narto. Dia tak menyangka Narto akan memenuhi syarat yang diajukannya. Tinggal satu senjata yang dimilikinya untuk menghindar.
"Tapi, bagaimana dengan syarat keempat? Aku berhak membawa istriku ke mana aku mau." Farhan merasa belum kalah. Kali ini dia yakin Narto takkan mengizinkan putri semata wayang mereka dibawa pergi.
"Untuk syarat keempat itu berat kami penuhi. Kami tak mau terpisah dari putri kami."
Farhan merasa menang mendengar apa yang dikatakan Narto. Dia mulai yakin bisa menghindari permintaan Narto.
"Begini, Mas. Seperti yang Mas tahu, saya punya enam petak sawah dan kebun yang luas. Kalau Mas mau, Mas boleh mengambil semuanya asal putri kami jangan dibawa jauh dari kami dan tetap tinggal di sini bersama kami."
Narto telah menawarkan segalanya demi putrinya dinikahi Farhan. Surti tak membantah keinginan suaminya karena dia juga ingin putrinya menikah dan hidup bahagia. Kirana juga pasrah dengan keinginan bapaknya.
Mendengar itu, Farhan merasa kalah. Dia harus memenuhi permintaan Narto. Bagaimanapun, Narto telah menolongnya dengan memberikan tempat tinggal dan pekerjaan. Di samping itu, keluarga ini telah bersikap sangat baik terhadapnya. Terlintas rasa tak enak hati mengingat keempat syarat yang diajukannya barusan, tapi dia memang terpaksa mencari jalan agar tak sekedar menolak permintaan Narto.
"Baiklah, aku setuju asal kalian pegang janji kalian," ujar Farhan. Bagaimanapun, dia tetap menang dalam negosiasi ini. Dirinya di atas angin.
"Kalau begitu, saya akan mulai persiapan acara pernikahan Mas Farhan dengan putri kami, Kirana." kata Narto senang.
Narto merasa lega karena akhirnya putrinya akan menikah. Surti juga merasa gembira. Kirana sendiri juga merasa gembira dan siap mematuhi kehendak orang tuanya.
"Bu, Bapak akan bikin pesta tujuh hari tujuh malam," ujar Narto pada istrinya. Ucapannya tak berlebihan, dia adalah orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik di desa itu. Meski keseharian mereka hidup sederhana, Narto memiliki tabungan yang banyak untuk persiapan pernikahan putrinya yang tak kunjung tiba.
"Menurutku tak perlu begitu, Mas. Kalau boleh usul, cukup acara satu hari saja yang meriah," pinta Farhan.
"Baiklah kalau begitu." Narto mengalah meski dirinya tak benar-benar puas dengan permintaan Farhan. Kirana adalah putrinya satu-satunya. Sudah sewajarnya dia membuat pesta semeriah mungkin untuk acara yang cuma sekali seumur hidup bagi putrinya.
"Mas, Mbak, aku gak enak lihat Mas dan Mbak duduk bersimpuh begitu. Kalian sebentar lagi jadi mertuaku," ujar Farhan berusaha bersikap tahu diri.
Mendengar itu, Narto tertawa. Surti dan Kirana tersenyum malu-malu. Mereka bertiga lalu bangkit dari duduknya. Narto dan Surti duduk di kursi sementara Kirana meletakkan kopi yang masih tergeletak di nampannya ke hadapan Farhan dan bapaknya.
"Silaa..kaan..Mas..." ujar Kirana terbata dengan suara yang tak pas namun bisa dimengerti. Kirana hanya bisa berbicara dengan terbata-bata mengucapkan kata-kata dan terkadang menggunakan isyarat dengan tangannya.
Farhan memandangi Kirana yang sebentar lagi jadi istrinya. Sejak awal, Farhan suka dengan gadis itu meski tak pernah berpikir mempersuntingnya. Kirana gadis yang cantik. Kulitnya lebih putih dibandingkan kebanyakan perempuan desa itu. Tubuhnya cukup tinggi dengan berat yang ideal. Yang kurang darinya hanyalah kemampuan bicara dan mendengarnya. Selebihnya, dia gadis yang sempurna.
Mohon dukungannya dengan memberi rating dan komentar. Jangan lupa tambahkan dalam pustaka kalian
Semilir angin dingin bertiup lembut menerpa teras pondok. Pondok kecil itu terletak di tengah kebun yang cukup luas. Farhan tengah beristirahat menunggu waktunya makan siang. Dia duduk di kursi kayu yang ada di teras pondok itu sambil merokok. Pondok kayu itu hanya terdiri dari teras dan satu ruangan di dalam. Ruang yang tak terlalu besar itu berisi meja dapur tempat memasak air untuk membuat kopi dan hamparan tikar tempat dia biasa makan siang dan tiduran di saat tubuhnya lelah. Di teras, terdapat empat buah kursi dan satu meja untuk bersantai dan ngobrol. Dia biasa ngobrol dengan istrinya, Kirana di sana. Terkadang juga dia ngobrol dengan para pekerja yang kebetulan mampir ke sana. Meskipun pondok itu sederhana, Farhan merasa betah dan nyaman beristirahat di sana di sela-sela pekerjaannya mengurusi sawah dan kebun yang sudah seperti miliknya sendiri. Sebetulnya masih agak lama waktunya makan siang tapi Farhan merasa lelah setelah berkeliling di kebun memeri
Kedatangan Farhan untuk tinggal di desa itu semata-mata untuk membangun kehidupannya yang baru dalam bidang pertanian dan agrobisnis sambil mengobati luka hatinya akibat perceraiannya. Dia sama sekali tak pernah berniat mengusik kehidupan pribadi keluarga Narto. Petualangan cintanya justru dipicu oleh Narto yang memohon agar Farhan menikahi Kirana, anak semata wayangnya. Pribadi Farhan yang dinilainya baik serta keberhasilan Farhan mengelola kebun miliknya hingga menjadi jauh lebih maju membuat Narto sangat menyukai Farhan. Bukan hanya Narto, semua warga desa itu juga menyukai keberadaan Farhan yang mulai mengupayakan kemajuan di desa itu. Farhan kerap mengadakan penyuluhan kepada warga desa untuk bertani dan berkebun dengan cara yang lebih baik. Seluruh warga desa menyambut gembira ketika Narto mengabarkan bahwa dia akan menikahkan Farhan dengan Kirana, putrinya. Mereka semua bergotong-royong mempersiapkan pesta perkawinan yang meriah bagi pasangan pengantin itu. Se
Surti menatapnya dari kejauhan lalu dia berdiri dan mendekat. Diamatinya bagian yang dimaksud Farhan. Sudah janjinya akan menjadi saksi bahwa putrinya masih perawan. Mau tak mau dia harus menjalankan tugasnya. Bagian tubuh itu tegang mengkilap basah oleh cairan dari putrinya. Tak tampak noda darah di sana. Mata Surti masih memandanginya dengan teliti mencari noda darah di sana, tetapi tak ditemukannya. Dengan putus asa dipegangnya benda itu sambil terus mengamatinya. Tanpa sadar darahnya berdesir berhadapan dengan benda yang tegang dan berukuran cukup besar itu. Naluri kewanitaannya bangkit dari tidurnya. Surti mulai terangsang. "Mbak sudah janji untuk mengajari Kirana bagaimana menjadi istri yang baik. Lihatlah, dia belum bisa melaksanakan tugasnya memuaskan suaminya." Farhan mulai terangsang melihat tubuh sintal dengan tampang polos di hadapannya. Nafsunya sudah kepalang naik. Dia berpikir keras bagaimana caranya bisa merasakan kenikmatan dari tubuh
Kalian mungkin bilang aku dungu, tetapi aku hanyalah tuna rungu. Tuna rungu bukan berarti dungu. Aku memang kadang ragu dan malu. Ragu yang membuatku hanya menunggu. Menunggu datangnya sang waktu. Waktu untuk menunjukkan apa yang kumampu. Kini kalian mungkin belum tahu. Nanti kalian lihat siapa diriku.~ Kirana Ayudia ~Purnama emas mengintip di puncak bukit. Satwa malam bernyanyi dalam sejuk dan embun. Namun, suaranya lenyap dalam hening. Malam bulan purnama adalah malam yang biasa digunakan oleh satwa untuk bercinta. Melepaskan hasrat berahi mereka. Kirana duduk sendiri di teras rumah ditemani pena dan kertas. Dia sedang menulis syair.Saat-saat seperti itu biasanya Kirana membuat puisi atau syair. Dalam dir
Terimakasihsudahmembacasejauhini.Kasih rating dankomentarnya, ya!Farhan dan Kirana sedang dalam perjalanan ke Solo dengan mobil yang disetir Farhan. Sebuah mobillow MPVyang dibelinya setelah menikah. Narto menyuruhnya membeli mobil itu dari uang hasil panen agar Farhan dan Kirana bisa lebih nyaman kalau perlu bepergian. Bagi Narto itu tak masalah, tiga kali panen cabe dan tomat terakhir menghasilkan cukup banyak uang.Hari masih pagi ketika mereka sampai di rumah Gayatri yang s
Gayatri terbangun. Dilihatnya jam tangan yang melingkar di tangan kirinya menunjukkan pukul sebelas kurang. Dia teringat belum menyuruh pembantunya untuk menyiapkan makan siang. Segera dia bergegas memakai pakaiannya. Dia biarkan Farhan yang masih tertidur dispring bed.Kirana sedang duduk di ruang tengah ketika Gayatri muncul di sana. Pakaian Gayatri tak tampak rapi seperti sebelumnya. Rambutnya juga agak acak-acakan."Ma ... na ... Mas Far ... han ...?" tanya Kirana."Masih tidur kali," jawab Gayatri sambil tersenyum dan berlalu ke dapur.Kirana menoleh ke arah kamar tempat Gayatri keluar tadi. Dari celah gorden yang dibiarkan Gayatri terbuka saat dia keluar kamar tadi, Kirana bisa melihat suaminya terbaring di
Pekerjaan memasak pagi itu baru saja usai. Semur ayam, sayur sop, dan tahu goreng sudah selesai semua dimasak. Kirana juga sudah selesai membuat sambal terasi. Pagi itu dia masak sendiri di dapur. Ibunya sedang memanen sayuran di halaman belakang rumah.Matahari sudah tinggi ketika Kirana selesai memasak. Tubuhnya yang berkeringat menimbulkan rasa gerah. Dia ingin mandi dulu sebelum mengantarkan makan buat suaminya di pondok kebun tempat biasa suaminya beristirahat siang.Setelah meletakkan tahu goreng dan sambal di meja makan, Kirana masuk ke kamarnya di paviliun. Sebelum mereka menikah, dibuatkan pintu dalam untuk masuk ke paviliun dari ruang tengah. Semula paviliun itu hanya bisa diakses dari depan.Rumah itu mereka cukup besar dibandingkan rumah-rumah lain di desa itu. Rumah berdin
"Wah, pondoknya bagus sekali, Mbak." Kirana hanya tersenyum menanggapinya.Ratih terkagum-kagum melihat pondok yang arsitekturnya berbeda dari pondok-pondok yang ada di desa itu.Kirana mengajaknya beranjak dari motor ATV yang baru saja mereka kendarai. Dia menuntun Ratih ke ujung teras pondok di tepi tebing itu. Dia penasaran apakah hanya dirinya sendiri yang takut melihat ke bawah atau Ratih juga begitu."Iiih ... serem lihat ke bawah, Mbak."Ratih berpegang erat pada pagar pengaman teras. Dia mengalihkan pandangannya dari sungai deras di bawah mereka lalu menatap ke arah sumber bunyi di sampingnya. Aliran air penggerak generator yang terjun ke sungai yang ada di samping kiri pondok itu diamatinya.
Kirana menyibak rambut bagian sampingnya yang lepas dari ikatannya saat dia tertunduk. Dia mengaduk sop yang sedang dimasaknya. Setelah meyakinkan bahwa semua sayuran sudah matang, Kirana mematikan kompor."Mbak, aku duduk dulu, ya," ujar Kirana sambil menoleh pada Gayatri yang sedang menyiapkan ayam untuk digorengnya, "aku capek.""Iya, Dik. Istirahatlah. Nanti aku selesaikan semua." Gayatri hanya menoleh sekilas lalu melanjutkan kesibukannya memotong-motong ayam."Tolong sekalian sambelnya ya, Mbak.""Beres ... kamu tenang aja."Kirana beringsut mengambil segelas air yang sudah disiapkannya di meja. Dia membiarkan air yang sebelumnya diambil dari kulkas itu di sana supaya tidak din
Udara dingin tiba-tiba terasa menusuk ke dalam pori-pori tubuh. Kabut putih merebak menyergap menggigilkan tubuh dan menggoda mencari kehangatan untuk melawannya. Farhan menarik retsliting jaket gunungnya yang berwarna biru cerah sampai ke atas. Tangannya bersedekap di dada.Sementara itu, Arini juga melakukan hal yang sama. Pandangannya terpaku pada sosok tampan yang matang dan tampak terduduk kaku serta tenggelam dalam kesendiriannya tanpa menghiraukan Arini yang duduk dekat dengannya. Dengan pandangan lekat, Arini mengagumi wajah berhidung mancung dengan kulit berwarna sedang itu yang seakan begitu tenang tanpa bisa dibacanya apa yang sedang dipikirkan lelaki itu."Bapak pernah mendaki gunung?" tanya Arini memecah kesunyian.Farhan bergeming. Tubuhnya masih mematung tanpa gerak deng
"Pak, nggak jauh lagi di depan ada pos satu. Kita mampir dulu ke situ, lapor." Arini mengingatkan Farhan sambil terus memeluk pinggang Farhan."Iya, nanti kita mampir."Kalau letak pos satu, tentu Farhan ingat karena dia sesekali ke sana mengontrol petugas yang merupakan warga desa yang dia tugaskan dan bekerja untuknya. Pos itu digunakan untuk mengontrol orang-orang yang naik ke bukit. Sebelumnya, bukit itu sangat jarang didaki oleh orang dari luar daerah sekitar situ. Para pendaki cenderung lebih memilih mendaki gunung dibanding mendaki bukit.Farhan memanfaatkan bukit itu untuk digunakan sebagai tempat belajar mendaki atau sekedar berwisata ke punggung bukit yang terdapat dataran. Bukit itu relatif aman untuk didaki dan pemandangannya indah. Itu yang jadi alasan utama Fa
"Aku pergi dulu, ya." Farhan berpamitan pada Kirana dan Gayatri yang tengah duduk di teras. Kedua istrinya itu lalu bergantian mencium punggung tangannya."Hati-hati, ya, Mas.""Iya. Asalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Kirana dan Gayatri berbarengan.Tak lama berselang, motoradventureyang dikendarai Farhan sudah menderu meninggalkan halaman rumah. Kirana dan Gayatri masih memandangi Farhan sampai hilang dari pandangan."Dik, perutmu sudah gede banget," komentar Gayatri ketika melihat perut Kirana dari samping saat Kirana berbalik menuju kursi teras tempat mereka semula duduk."Iya, ya, Mbak. Sudah tuj
Pemandangan pagi dari balkon terasa menyejukkan mata. Kabut tipis masih mengambang di udara menyelimuti pepohonan yang hijau. Gayatri duduk di kursi teras yang terbuat dari kayu sonokeling, jenis kayu yang jadi bahan pembuat hampir semua perabot di rumah itu kecuali kursi ruang tamu dan lemari-lemari yang terbuat dari kayu jati. Farhan sudah memesan semua perabot itu pada pengrajin kayu dari desa sekitar sebelum rumah itu selesai.Di bawah, di halaman depan, Farhan sedang melihat-lihat dan memunguti potongan kayu yang tersisa dan meletakkannya pada tumpukan sisa kayu bekas pembangunan rumah itu di pojok kiri depan di luar halaman depan. Meski para pekerja sudah mengumpulkan sisa potongan kayu, tetapi ada saja potongan-potongan kecil yang masih tersisa di halaman.Dari balkon itu, Gayatri memandang ke arah Farhan yang sedang bercakap-cak
Pagi yang sejuk berhias kabut putih tipis terasa menerpa tubuh Gayatri yang berdiri bertumpu tangan pada pagar pengaman teras Pondok Sunyi. Jaket biru terang melapisi kaus putih yang dikenakannya untuk menahan dingin kabut pagi yang menyelimuti alam sekitar dan membelai pipi halusnya. Pandangan mata Gayatri menyimak siluet bukit dan pepohonan di hadapannya.Gayatri mematung nyaris tanpa gerak, hanya sesekali gerakan ringan yang hampir tak terlihat jika tak diperhatikan dalam waktu yang lama. Pikirannya melayang, berselancar di kabut yang mengambang, dan meliuk menari di pucuk pepohonan yang tak tampak hijau tersaput kabut. Suara aliran air sungai jernih di bawahnya menyanyikan tembang damai yang membuat rasanya tersihir dan ikut mengalir menerpa bebatuan cadas yang menghadang.Sosok tubuh perempuan yang tak terlalu tinggi tetapi p
Kepala Gayatri perlahan bergerak, beringsut dari dada Farhan. Matanya terbuka menatap wajah Farhan yang sedang memandangi ke arah depan. Gayatri menoleh dan mendapati Kirana sedang menyuguhkan tontonan erotis bagi Farhan. Senyum tipis terurai di bibir Gayatri yang masih lemas. Digulirkannya tubuhnya ke sisi kanannya dan terlentang di kasur. Diraihnya bantal lalu Gayatri membenamkan kepalanya di sana.Kirana berjalan pelan ke sisi kanan tempat tidur mendekati Farhan yang masih bersandar di kepala tempat tidur itu. Detik demi detik berjalan sangat lambat membuat Farhan tak sabar menanti istrinya bergerak pelan dengan gerakan menggoda. Mata Farhan nyaris tak berkedip memandangi tubuh polos Kirana yang bergerak ke arahnya lalu berlabuh di atas tubuhnya.Farhan menikmati sensasi hangat selangkangan Kirana yang menangkup di selangkangannya. D
Kamar hotel itu terasa sunyi. Hanya terdengar suara film dari televisi yang terdengar pelan. Farhan menyandarkan punggungnya pada bantal yang bertumpu pada kepala tempat tidur berukuran besar. Tubuhnya terbungkus selimut sampai pinggang untuk menahan dingin udara ruangan yang sangat sejuk agar tak membuat kakinya terasa kedinginan.Mata Farhan terfokus pada layar televisi LED berukuran sedang yang terpasang di dinding kamar hotelnya. Penerangan ruangan yang redup hanya berasal dari cahaya luar di balik kaca jendela kamar yang menerobos lewat vetrase. Hal itu membuat pandangan Farhan terasa nyaman saat menonton televisi.Ting ... tong ....Bunyi bel kamar mengalihkan perhatian Farhan. Diloloskannya kedua kakinya dari balutan selimut putih lalu mendarat di karpet lantai kamar. Dia
Dara duduk berhadapan dengan Farhan yang berada di kursi tamu dekat pintu masuk rumah. Kirana dan Gayatri duduk di kursi panjang di sisi kiri Dara. Wajah cantik perempuan keturunan Tionghoa yang putih itu tersenyum ramah memandangi Kirana dan Gayatri secara bergantian."Mas Farhan beruntung dapat dua istri yang cantik," ujar Dara. Farhan hanya tersenyum menanggapinya."Ah, Mbak bisa aja. Mbak juga cantik banget," balas Kirana."Ngomong-ngomong, kamu sedang hamil, ya?" tanya Dara pada Kirana."Iya, Mbak. Ini jalan empat bulan.""Semoga kehamilanmu lancar, ya." Dara melihat selintas ke perut Kirana yang belum terlalu tampak kehamilannya.