Bab : 17
POV RAMA
Samar-samar kudengar suara berisik pagi ini. Aku mengerjap, pelan kubuka mata, nampak Sania sedang memainkan boneka barunya. Dia berbicara sendiri seolah-olah boneka itu bisa ngomong. Ah, anakku memang lucu kadang-kadang.
Tapi aku heran, uang dari mana Salma bisa membeli boneka sebanyak itu? Juga barang-barang Sania yang lain. Aku harus bertanya sama Salma.
"Sal, Sania punya boneka sebanyak itu dari mana?" tanyaku.
"Pokoknya bukan pake uangmu, Mas,"
"Kalau bukan dariku, terus dari mana?" Aku ikutan meninggi karena ulah Salma.
Bab : 18POV RAMA"Duh, Rama, Ibu sudah membayangkan nanti kalau kamu menikah dengan Silvia, pasti hidupmu akan bahagia. Pokoknya nanti pestanya harus dibikin mewah!," ujar Ibu yang kelihatan bersemangat sekali.Ya, sekarang kita sedang menuju ke tempat dimana Ibu dan Bu Sandra janjian. Ibu memintaku untuk menyewa mobil, biar kelihatan keren dimata Bu Sandra, katanya. Tadinya aku mengajak naik ojek online saja, namun Ibu menolak."Gengsi dong, Rama, mau ketemu calon besan kaya masa naik motor. Ibu gak mau! Udah tenang aja sih, nanti kalau kamu sudah menikah dengan Silvia juga pasti dibelikan mobil sendiri. Mereka lo, orang kaya. Apalagi Silvia wanita karir, sudah pasti apa yang kamu mau pasti akan diberikan." Teringat ucapa
Bab : 19POV RAMA"Tunggu, Bu Sandra! Ini makanannya belum dibayar!" ucapku mencegah Bu Sandra pergi, namun senyuman sinis Bu Sandra membuat jantungku berdetak lebih cepat."Anggap saja itu ganti rugi karena Ibumu telah membohongiku, Rama. Ayo Silvia, kita pergi!" Sejenak Silvia menoleh ke arahku, lantas Bu Sandra menarik tangan Silvia berlalu meninggalkan kita disini.Sungguh, aku bingung sekali dengan keadaan ini. Bagaimana membayar semua makanan ini? Aku sudah tak memegang uang sama sekali. Duh, malu sekali rasanya jika nanti benar-benar tak bisa membayarnya."Gimana ini, Bu?" tanyaku pada Ibu berharap dapat solusi.
Bab : 20Ucapan Fera seperti memberi harapan baru dalam semua kekalutan ini. Ya, sepertinya Salma bisa membantuku. Biarlah, nanti aku minta bantuan Salma. Kasihan juga Vino yang sudah mulai ngantuk.Ketika kita sedang berjalan sambil menunggu mobil online yang sudah dipesan oleh Fera, nampak disana ada seekor anjing yang lepas. Kemudian anjing tersebut lari ke arah sini. Aku semakin deg-degan kala anjing itu semakin mendekat."Ini sepertinya bukan anjing liar, tapi kemana tuannya?" Gumamku pelan. Nampak Ibu dan Fera semakin ketakutan.Guk … guk!Hus … hus!Aku beru
Bab : 21Sungguh, kesal sekali dengan Salma. Suami lagi bingung, bukannya dibantu malah dibikin semakin pusing. Bicara dengan Salma bukannya dapat solusi malah jadi semakin nyut-nyutan rasanya."Yaudah, Mas. Sekarang nikmatilah masalah yang kamu bikin sendiri dengan keluargamu. Terserah kamu mau melakukan apapun diluar sana, aku tak peduli. Jangan libatkan aku lagi, aku tak mau ikut campur dalam masalahmu," ujar Salma tenang."Kamu itu istriku Sal, gimana bisa kamu ngomong seperti itu. Masalahku, masalahmu juga. Kalau kamu tak bisa membantuku, terus apa artinya ada kamu. Iya kan?""Itu yang aku sesalkan, Mas! Entah apa yang merasukiku dulu hingga aku mau menikah den
Bab : 22Aku menegang mendengar ucapan dari arah sana. Nampak Ibu juga sama tercengang. Duh, apalagi ini?"Hei, mantu sialan! Seharusnya kamu yang pergi dari sini. Kamu jadi istri udah gak becus ngurusin suami. Suami baru pulang malah disuruh tidur diluar. Istri macam apa itu?" Sambil melotot Ibu berucap seperti itu.Tapi nampaknya Salma santai sekali. Dia keluar kamar sambil membawa gelas. Lantas mengisi gelas tersebut dengan air yang berada di dalam kulkas, lalu menenggaknya hingga tandas. Sepertinya dia kehausan setelah gelut dengan Fera tadi. Dan sekarang mau lanjut lagi perang dunia yang disponsori oleh Ibu. Duh, mau istirahat saja kok susah sekali rasanya. Tengah malam begini masih saja ribut. Membuat kepalaku pusing saja.
Bab : 23Setelah selesai membersihkan diri, aku harus segera menemui Aldo. Semoga nanti dia bisa membantuku. Biarlah, untuk saat ini ijin dulu mengajukan cuti ke kantor. Gara-gara ide gila Salma aku hampir tak bisa berpikir jernih. Salma hampir membuat kewarasanku hilang.Aku segera mengeluarkan motor kesayangan ke rumah Aldo. Ini masih pagi, sepertinya Aldo juga belum berangkat ke kantor. Seperti biasa, Ibu dan Fera tak mungkin bangun sepagi ini.Setelah sampai dirumah Aldo, aku langsung mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Nampak istrinya Aldo yang membukakan pintu rumah, semoga Aldo masih berada dirumah saat ini."Eh, Mas Rama. Ayo silahkan masuk. Tumben pagi-pagi sudah sampai sini. Sa
Bab : 24Bip … bip ….Tiba-tiba hapeku bergetar, nampak nama yang tertera memanggil membuatku kembali menegang. Ada apa Mama mertua nelpon?"Bu, Mamanya Salma telpon," ucapku yang memberitahu Ibu.Aku yang dibuat bingung pun lantas meminta saran pada Ibu. Ada masalah apa hingga Mama mertua telpon? Apakah Salma mengadu sama Mamanya?"Udah angkat aja, tapi di loudspeaker! Mungkin istrimu yang tak tahu diri itu sudah ngadu sama Mamanya," ucap Ibu yang tak kalah penasaran denganku." Assalamualaikum, Ma," ucapku setelah
Bab : 25Kelihatan berbinar sekali muka Ibu. Sungguh, perubahan Ibu kali ini membuatku sangat bahagia. Apakah ini akan menjadi awal yang baik?"Lah, kok aku? Gak mau ah, Bu! Aku disuruh bersih-bersih di rumah ini emangnya aku pembantu?" ucap Fera lantang. Matanya nampak melotot. Aku sendiri gemes dengan Fera yang beda jauh dengan Salma."Fera, kamu harus bisa mengambil hati Salma. Lihatlah, selama ini Salma sendiri yang membersihkan rumah. Apa kamu membantunya? Gak kan? Udah jangan membantah, pokoknya kamu kerjakan perintah Ibu. Salma itu rapi, kamu harus bisa mengikutinya, Ibu mau masak!" titah Ibu sambil berlalu kedapur.Fera yang merasa tak punya pilihan la
BAB : 154.ENDING.***Suasana pernikahan begitu ramai dan ceria, terlihat di wajah cerah sang pengantin. Daffa dan Lean, yang begitu banyak melewati jurang terjal, akhirnya mencapai kebahagian, dengan mengikat janji suci sakral kebahagiaan mereka. Zeanna mendekat, dengan wajah bahagia plus haru, memandang sendu pada sang menantu.“Duh, mantu Mama cantik banget sih. Iya kan Pah?” ujar Mama mertua yang kini tengah berada di depan Lean.“Makasih, Ma, Pa,” sahut Lean dengan senyum malu malu. “Selamat Lean sayang, kamu sekarang udah jadi istri orang, Nak. Jadi tidurnya udah nggak sendiri lagi, udah nggak sama Bibi juga. Jadi Bibi minta, kamu kalau tidur nggak boleh ngigau ya,” ujar Bibi sambil memeluk Lean.Mendengar ucapan Bibi spontan mertua Lean tertawa. “Bibi mah kalau ngucapin selamat ya udah, selamat aja! Nggak usah bahas tidurnya Lean juga kali!” Lean menggerutu, pura pura manyun.“Ye, Bibi kan cuma bilangin.” Mulut Bibi mencebik, membuat Lean sendiri gemas lantas memeluknya.“Le,
BAB : 153Ketika Pernikahan Terjadi.***~Lima Bulan Kemudian.“Mbak Lean cantik banget. Subhanallah, cantiknya…!” puji MUA yang menangani Lean saat ini. “Soalnya Mbak Lean tuh dari sananya udah cantik, jadi dipoles sedikit aja udah luar biasa cantiknya. Aku yakin, nanti suami Mbak Lean nggak berkedip lihatnya!” Imbuhnya lagi, sembari merapikan baju yang dikenakan oleh Lean kali ini. “Ah, Mbak terlalu berlebihan deh, semua wanita kalau dirias seperti pasti cantik, kan.” Sambil tersenyum di depan cermin Lean berucap.“Itu mah pasti. Tapi nggak tau lo Mbak, sebagai MUA aku seneng rias Mbak Lean tuh. Cantik!” ucap MUA lagi.“Saya keluar sebentar ya, Mbak. Bentaran!” Pamitnya, lantas berlalu pergi meninggalkan Lean yang masih mematut diri di cermin.Perempuan cantik dengan berbalut kebaya putih nan megah itu tengah mematut diri di cermin. Ya, Leandita Herlambang kini akan segera melepas masa lajangnya hari ini. Mengikrarkan janji suci di depan penghulu dengan seseorang yang dicintai adal
BAB : 152Rahasia Tentang Kinara.***Daffa langsung mengambil ponselnya ketika ada pesan yang masuk. Ia membuka pesan tersebut, senyumnya mengembang karena ternyata Restu yang berkirim pesan. Namun matanya seketika membulat setelah melihat apa isi pesan tersebut."Kenapa, Daff?" tanya Zeanna ketika melihat raut wajah Daffa yang terlihat tak bersahabat."Kinara, Mah. Ternyata Kinara selama ini menjadi istri simpanan Koswara. Ini Restu yang baru saja mengabari." Papar Daffa, yang membuat sang Mama tercengang seketika."Kinara, Daff?" tanya Zeanna seakan tak percaya. Lean memilih diam, karena sebelumnya sudah menduga ke arah situ. Jika tidak ada sesuatu, mana mungkin Kinara terus dibelanya. Ternyata ini rahasianya."Mama mending baca sendiri, deh! Restu sudah menyita semua yang dimiliki oleh Kinara, termasuk rumah mewah yang ia tempati saat ini. Karena semua adalah milik Lean." Daffa melirik ke arah Lean seraya memberikan ponselnya pada Mamanya."Dan media sosial adalah hukuman yang pa
BAB : 151Mengunjungi orang yang kita cintai dalam keadaan sudah berada di pusara, itu sangatlah mengiris hati.***“Mama, semoga Mama tenang di sana, Ma! Lean ikhlas melepas Mama!” ucap Lean di depan pusara sang Mama.Pagi ini Lean dengan ditemani oleh Daffa sedang berziarah di makam sang Mama. Air mata Lean kembali luruh melihat sang Mama yang kini benar benar telah tiada. Sedangkan sejak tadi Daffa menenangkan Lean dengan terus mengelus punggungnya. Setelah lima hari pasca pulang dari rumah sakit, Daffa baru berani membawa Lean bepergian. Selain takut Lean kelelahan, ia juga takut luka Lean masih belum sembuh benar.“Sabar ya, Le.” Daffa terus menguatkan Lean yang terlihat rapuh. Ia mengelus pundak Lean yang sejak tadi berguncang. Sungguh, ia tak kuasa melihat Lean yang terus menangis seperti ini. Hatinya perih, melihat orang terkasihnya sedih. Sudah banyak air mata yang Lean tumpahkan, dan sekarang kembali ditumpahkan di pusara sang Mama.“Lean pamit ya, Ma,” Lean mencium pusara
BAB : 150Setelah Kepulangan Lean.***~Satu minggu kemudian.Pagi ini terlihat sangat cerah, secerah hati Daffa dan Lean karena sedang berkemas pulang. Daffa sedang berkemas, sedangkan Lean baru saja keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Namun masih ada yang mengganjal hati Daffa, sehingga wajahnya terlihat murung. Lean yang menyadari itu langsung mendekat.“Mas kenapa? Kok kayak sedih gitu?” tanyanya.“Kamu yakin, mau pulang ke rumahmu Le? Lukamu masih belum sembuh banget lo, nanti kalau ada apa apa dengan kamu gimana?” tanya Daffa khawatir.“Lean nggak enak lah, Mas, sama Mama. Kalau dulu Lean ke rumahmu kan karena menjadi Sumi, terus sekarang apa alasanku untuk tetap bertahan di sana?” tanya Lean.“Ya tapi kan ada Bi Nina yang pasti juga kangen sama kamu Le. Mama aja nggak papa kok, kamu tinggal di rumah,” Rayu Daffa yang merasa berat pisah dengan Lean.“Nanti kalau Bibi kangen, tolong anterin ke rumah ya Mas! Bi Nina sangat sayang dengan Lean, ya… walaupun ia m
BAB : 149Pengusiran Brenda dan Laura. Dan di sini, Laura merasakan pontang panting karena tak mempunyai pegangan.***"Maaf, para Bapak ke sini mau mencari siapa?" tanya Brenda yang kini merasa menjadi tuan rumah. "Perkenalkan, kami adalah orang suruhan Bu Lean. Boleh kami masuk?" tanyanya dengan menatap Brenda.Brenda merasa tercekat mendengar nama Lean. Bagaimana bisa Lean masih hidup? Bukankah waktu itu Koswara telah menembaknya? Walaupun akhirnya Koswara tertangkap polisi, dan kini Brenda yang menjadi pemenangnya. Ia hanya mematung di tempat karena syok. Syok menghadapi kenyataan, bahwa ternyata Lean masih hidup."Boleh kami masuk, Bu?" Brenda tersentak mendengar laki laki berumur 40 tahunan itu kembali memanggil."Bo-boleh, silahkan!" Brenda mempersilahkan mereka masuk, walau dengan tergagap.Mereka yang berjumlah empat orang pun kini masuk ke dalam rumah dan duduk berhadap hadapan dengan Brenda. "Begini, Bu. Kami mendapat tugas dari Bu Lean bahwa Bu Brenda dan juga Laura sege
BAB : 148Amarah yang Masih Memuncak.***“Iya benar, Ma? Kemarin Salma ke sini?” Kini sang Papa yang bertanya, membuat kuping Daffa berdengung seketika.“Iya benar lo, Pa. Salma itu temannya Lean ternyata. Dan suami Salma, yang dulu pernah menjadi saingan Daffa, sekarang justru berteman baik. Dunia ini kadang lucu ya, Pa, hahaha….” Zeanna tertawa, diikuti sang Papa yang juga tertawa.Perempuan cantik yang sedari tadi diam mendengarkan pun terkikik pelan, karena merasa lucu. Walaupun sejujurnya ia pun kaget, tak menyangka Salma yang anggun kalem seperti itu dulu pernah punya hubungan spesial dengan seorang Daffa.“Daffa mau keluar dulu, Mah, gerah!” Daffa keluar meninggalkan keluarganya yang sedang berkumpul. Lelaki tampan yang merupakan mantan Salma itu merasa malu sama Lean ketika masa lalunya terbongkar begitu saja.“Daffa kayaknya ngambek deh, Mah. Mama sih, pake membahas Salma. Tuh anaknya jadi ngambek kan?” protes Pak Aksa pada Zeanna.“Kan Mama cuma mau berbagi cerita dengan Le
BAB : 147Kedatangan sang calon mertua, serta kabar masa lalu yang membuat Lean terkejut.***“Mas, Lean pengen ke kamar mandi. Lean pengen pipis,” keluh Lean malam ini. Daffa yang sedang memainkan HP nya langsung menghampiri Lean.“Yaudah, sama Mas aja ke kamar mandinya.” tawar Daffa yang berusaha membangunkan Lean dari pembaringannya.“Masa sama Mas, sih! Ntar Mas lihat dong, panggilin suster aja deh!” pinta Lean setelah berhasil duduk, walaupun kadang meringis menahan rasa sakit.“Iya, bentar.” Daffa memencet tombol untuk memanggil suster agar segera menghampirinya.Memang jika Lean ingin ke kamar mandi, Daffa selalu memanggil suster untuk membantunya. Selain takut terkena lukanya, mana mungkin Lean mengizinkan. Seperti sekarang ini mereka tengah menunggu suster, dan tak lama, suster pun berada di depan mereka.“Ada yang bisa dibantu?” tawar suster tersebut. Suster mendekati Lean yang membutuhkan pertolongan.“Ini pengen ke kamar mandi katanya, Sus,” jelas Daffa pada suster. Dan su
BAB 146. Hilang Percaya Diri.***Keadaan Lean sudah semakin membaik, dan ia sekarang sudah dipindahkan ke ruangan perawatan. Daffa yang tak beranjak sedikitpun selalu menemaninya. Restu yang sudah selesai mengurus tugasnya, siang ini langsung meluncur ke rumah sakit menemui Lean dan tentunya, Daffa.“Alhamdulillah, Lean, kamu sudah melewati masa kritis juga masa koma. Tak terbayang gimana perasaan Daffa kemarin,” Restu melirik Daffa yang sedang menikmati pemandangan lewat jendela.“Lo kalau mau ngucapin cepet sembuh, ucapin aja langsung. Nggak usah melebar kemana mana!” protes Daffa. Ia tahu Restu memang tujuannya meledek, walaupun memang yang diucapkannya benar.“Yee, memang benar kan? Maaf Lean, baru ini aku bisa menjenguk kamu. Kemarin benar benar sibuk ngurusin kasus, jadi baru sempat sekarang,” Sesal Restu.“Iya, nggak papa, Bang. Toh sekarang juga bisa menjenguk Lean kan, Lean nggak papa,” ucap Lean. “Oh ya, Daff, besok lo jangan cari gue ya, gue ada acara besok. Jadi mungkin