BAB : 110Hati yang mulai mencair, dan mulai ada rasa ketergantungan, membuat hidup Daffa kembali berwarna.***Macet yang menemani Daffa selama dalam perjalanan membuat ia tak bisa bergerak dengan leluasa. Kota memang tempatnya macet, ia menyadari itu. Namun Daffa terlihat gelisah karena masih banyak yang harus diurusnya. Daffa ingin segera sampai rumah, agar bisa menjalankan misi berikutnya. Daffa termenung sejenak, saat berada dalam kemacetan. Entah apa yang dipikirkan, ia ingin segera sampai ke rumah. ia mengambil ponselnya, lalu menelpon seseorang setelah memasang Handsfree headset untuk menelpon seseorang. Ia ingin menghubungi Restu mengenai rencananya hari ini. Di sisi lain, nampak Sumi tengah sibuk membersihkan rumah, sedangkan Bi Nina tengah mempersiapkan makan malam seperti biasa. Majikan mereka akhir akhir ini sibuk sehingga rumah pun sering sepi, hanya ada Sumi dan Bi Nina yang tengah beberes. “Kamu itu kenapa toh, Sum, dari tadi kok kelihatan murung terus. Adakah yang
BAB : 111Cukup kamu saja, tak mau yang lain!***Entah apa yang dirasa oleh gadis malang lagi cantik itu, namun pikirannya selalu tertuju pada laki laki yang baru saja menelponnya tadi. Ya, siapa lagi kalau bukan Daffa Biantara. Apakah ini yang namanya cinta? Ia tak tahu, yang jelas ia baru merasakannya sekarang.Pun Daffa yang terus tersenyum dengan mengendarai mobilnya. Hidupnya pun kembali berwarna setelah ada Sumi yang kini tinggal di rumahnya. Ia seakan menemukan lagi semangat hidupnya. Padahal Sumi selalu membuatnya kesal setiap saat, namun ia sendiri tak menyangka kalau rasa bisa berubah seiring berjalannya waktu.“Hemm …hemm….”Sumi terkesiap melihat Bi Nina berdehem di belakangnya. Ia pun menghampiri sang Bibi lalu memberikan ponselnya.“Ciee… yang lagi senang karena habis ditelpon sama sang pujaan,” ledek Bi Nina.“Ish, apaan sih Bi, nggak ah biasa aja.” kilah Sumi dengan pipinya yang tersenyum mengembang.“Yakin, nanti Mas Daffanya diambil orang lo. Eh nggak ding, Mas Daff
BAB : 112Hadirnya cinta di antara mereka.***Kata orang jawa, Tresno jalaran soko kulino. Cinta yang hadir karena terbiasa, begitulah kira-kira artinya. Apakah cinta sudah mulai hadir di hati mereka? Nyatanya justru hidup Daffa dan Lean terlihat lebih bersemangat dan penuh rasa.***“Kamu kenapa Sum? Kok senyum senyum gitu? tanya sang Bibi setelah melakukan sholat subuh. Ia melipat mukena yang masih tergeletak di lantai.“Hah? Nggak, siapa yang senyum senyum sih Bi,” sangkal Sumi, ia beranjak untuk membuka jendela agar udara pagi masuk ke dalam kamarnya. “Sumi tuh seneng karena semalam mimpi bertemu sama Mas Rio Dewanto. Bibi tau kan kalau aku ngefans sama dia,” imbuhnya lagi.“Mimpi? Bukannya semalem udah bertemu dengan Mas Rio Dewanto-mu?” “Hah?” Sumi gelagapan, pura pura tidak mendengar pertanyaan Bibinya.“Iya, bukannya semalem kamu udah bertemu dengan sang pujaan hatimu?” Bibi mengulangi pertanyaannya lagi.“Hah! Bertemu? Semalem kan Sumi tidur sama Bibi. Ah lama lama Bibi ane
BAB : 113Kecurigaan Zeanna pada anak lelakinya. ***Ponsel Daffa berdering, membuat Daffa sedikit berjingkat. Daffa mengernyitkan dahi, siapa yang menelponnya sepagi ini? Daffa mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas, tak lama senyumnya mengembang menyadari siapa yang telah menghubunginya kali ini.“Rama,” gumamnya. “Ada apa Rama telpon sepagi ini?” tanyanya penasaran.“Assalamualaikum, Ram, ada apa? Tumben telpon,” tanya Daffa setelah sambungan telepon terhubung.“Waalaikumsalam, Daff. Tolong kirim alamat rumahmu sekarang! Aku mau ke sana.” “Kamu mau ke sini? Tapi, ada apa? Tumben mendadak seperti ini,” tanya Daffa yang heran dengan rencana Rama yang mendadak.“Kamu katanya habis kecelakaan, Daff, benar?”“Hu’um, tapi udah sembuh. Ini udah mau aktivitas lagi.” “Ada yang mau aku omongin dan tanyain sama kamu, Daff. Aku tetap akan ke rumahmu hari ini juga!” “Oke, aku tunggu!”Daffa mendesah pasrah setelah Rama menutup teleponnya. Ia pun mengurungkan niatnya untuk ke kantor ha
BAB : 114Kedatangan Rama ke Rumah.***Bayang bayang masa lalu yang masih menghantui atau hanya menjadi ketakutan semata? Bukankah itu hanya masa lalu? Dan sepertinya Daffa sudah mulai berdamai dengan hatinya.***Zeanna masih dengan kebingungannya. Ia menerka dan terus mencari tahu tentang perempuan terdekat Daffa saat ini. Sumi? Zeanna menggeleng kepala pelan. Tak mungkin itu Sumi, karena Zeanna pun tak pernah melihat Daffa mendekati Sumi."Mah, kok malah ngelamun. Ayo turun, Rama udah nungguin di depan!" Daffa menegur sang Mama yang masih bengong.Zeanna gelagapan. "Ya udah, ayo!" Mamanya beranjak mengikuti Daffa yang berada di depannya.Daffa melangkah cepat untuk segera menemui Rama. Pun dengan sang Mama yang masih membuntuti dari belakang. Senyum Daffa pun mengembang setelah sosok Rama berdiri di depannya."Eh Ram, nggak nyangka kamu sampai sini juga." Daffa menyalami tamunya. "Ayo, masuk dulu!" Daffa mengajak Rama masuk ke dalam rumah. "Perkenalkan saya Rama, Tante," ucap Ra
BAB : 115Drama sebelum kepegian Sumiati.***Daffa menelan saliva dengan susah payah. Sumi, atau Lean, seseorang yang akhir akhir ini selalu dekat dengannya dan bahkan Daffa pun sudah merasa nyaman dengan kedekatannya, ternyata adalah sahabat dari mantan masa lalu yang susah payah ia lupakan. Daffa merunduk dalam merenungi keadaan yang menimpanya. Nasib seperti apa yang tengah dijalani saat ini? Bukankah ini adalah hal yang sangat lucu? Namun lagi lagi, ia menghela nafas panjangnya, setelah dua tahun tak bertemu dengan Rama ia kini justru bertemu kembali dengan Lean berada di tengah tengahnya. Daffa tersenyum, menertawakan kehidupannya yang merasa lucu. Sesempit inikah dunia, bahkan ia yang sudah mulai merasa nyaman dengan perempuan lain kembali dipertemukan dengan masa lalunya. Namun Daffa tak boleh terus merutuki diri sendiri, karena ini adalah bagian dari takdir yang harus dijalankan.“Mas, kok malah ngelamun?” Daffa terkesiap, mendengar suara Sumi. “Terus apa keinginan kamu s
BAB : 116Ketika masa lalu menjadi ambisi.***Masa lalu yang pahit menjadi ambisi dan menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginan, adalah contoh orang serakah ketika mendapat kesempatan.***Bruuuukkk!Nampak seorang laki laki gagah dengan berlagak perlente tengah membanting majalah yang ada di tangannya dengan wajah yang merah padam. Ya, tentu saja kabar tak sedap karena mengguncang jiwanya.“Apa ini? Ada menjelaskan ini apa? Hah?” tanyanya dengan muka yang merah padam karena menahan amarah.Semua anak buahnya yang berjejer rapi terlihat menunduk dalam, tak ada yang berani menampakkan muka melihat bos besarnya marah seperti itu. Mereka semua semakin tertunduk ketika bosnya tengah berkeliling mengamati satu persatu anak buahnya.“Kalian segini banyaknya, hanya menangkap satu orang saja tak becus? Lihat! Kalian lihat, apa yang dilakukan anak sial itu! Kalian lihat!” Prang!Suara pecahan gelas pun menggema seisi rumah karena korban keamukan yang disebabkan oleh Koswara. Koswara
BAB : 117Malangnya nasib Leandita.***Koswara merenung mengingat masa lalunya. Bayangan masa lalu pun kini kembali menari di depan matanya. Laura adalah anak Koswara dengan istrinya terdahulu. Namun karena kemiskinan yang mendera di keluarganya, istri Koswara meninggal karena sakit demam berhari hari. Nyawanya tak terselamatkan karena terhambat oleh biaya. Waktu itu Laura masih kecil, usia lima tahun sudah menjadi yatim karena sang Ibu meninggal. Hidup Koswara semakin pontang panting karena pekerjaan pun tak tetap, apalagi harus membawa Laura yang masih berusia lima tahun. Pekerjaannya yang hanya berjualan mainan sembari berkeliling, tentu merasa tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hari-harinya. Hingga kejadian menyedihkan pun harus Koswara alami juga.“Papa, Laura pengen makan bakso itu. Kayaknya enak, Pah!” Laura kecil menunjuk keledai bakso yang lumayan terkenal di tempatnya.Koswara yang tak memegang uang pun hanya mengelus dadanya pelan, sembari merayu anaknya. Hatinya sangat s