[‘Istriku, meminta pisah dariku, padahal aku sudah memperlakukannya dengan baik, coba dia sedikit bersabar sepertimu, Anjani’]
Apalagi ini, dia menceritakan semua aib keluarganya dengan wanita itu, pintar sekali kamu, Mas Abidin!
Ting...
Pesan masuk lagi gegas kulihat aplikasi berwarna hijau kulihat nama Anjani lagi, berani sekali wanita tersebut mengganggu suamiku terus menerus.
[‘Mas.’]
Pesan Anjani membuat darahku mendidih, ingin sekali rasanya jiwa ini menjambak dan mencabik kulitnya namun, kubiarkan saja, gegas ku letakan kembali gawai suamiku keatas nakas.
Ting...
Ting...
Ting...
Aku mendengus kesal, mungkin itu semua pesan dari wanita tersebut gegas kuraih gawai suamiku lagi tanganku gatal untuk membuka pesan dari Anjani.
[‘Mas, balas’.]
[‘Mas.’]
Tanganku bergemetar aku sangat emosi saat ini, mengambil napas dalam-dalam mengeluarkan dengan rileks, aku mencoba menetralisir amarahku, kucoba meredam jiwa emosiku, ingin sekali aku membalas pesan Anjani tapi buat apa jika tuan tami saja menpersilahkannya masuk.
‘Cukup, Mas Abidin, kamu keterlaluan!” kutaruh ponsel tersebut dengar kasar keatas nakas.
Kuraih gamai miliku, tanpa kuketahui Mas Bima menghubungiku melalui pangilan masuk beberapa kali dan beberapa pesan darinya.
[‘Hay, Sorry, Sin. Bagaimana lukamu apa masih sakit?’]
[‘Aku menginap disini, Sin.’]
[‘Sin, Sorry, ya.’]
[‘Angkat, ya. Aku mau bicara penting.’]
Aku mendengus kesal Mas Bima nekat mengirimkan pesan sebanyak ini, padahal ia tahu jika suamiku saat ini sedang sensitif.
Gegas kubalas pesan dari Mas Bima.
[‘Mas, tolong jangan hubungi aku dulu, Mas Abidin sedang marah, aku baik-baik saja, Mas.]
Teks trkirim.
Kurebahkan tubuh ini di pembaringan, badanku terasa lelah, entah kenapa hati dan jiwa ini terasa sakit, aku kembali meraih gawaiku, kubuka gallery foto. Melihat foto Mas Abidin saat menikahiku rasanya tak tega jika aku harus memutuskan sepihak seperti ini, namun hatiku benar-benar tidak sanggup lagi.
Cairan bening keluar dari pelupuk mataku, “Jika kamu tidak seperti ini, mungkin pernikahan kita masih bisa di pertahankan, Mas! Kesalan kamu fatal, Mas!” Dadaku sesak mengingat perbuatan Mas Abidin yang selalu mengabaikanku.
Pove Abidin.
Malas sekali Mas Bima menginap disini, kalau bukan karena Ibu, sudah kuhabiskan tadi dia, beraninya ia menyentuh istriku, padahal dulu sudah kutegaskan jika ia menyentuh istriku akanku kubur hidup-hidup.
Tubuh ini terasa penat, setelah pulang dari Bandung ada saja masalah, Apa mungkin Sindi sudah bosan denganku, Ah... Entahlah..
“Nak....” Ibu memangilku, reflek tubuhku menoleh kesumber suara.
“Iya, Bu.” Jawabku malas.
“Sudah, jangan dipikirkan lagi kejadian tadi.” Ibu duduk disampingku.
“Tidak, Bu. Bagaimana keadaan, Ibu?” tanyaku.
“Ibu, baik-baik saja.” Ia tersenyum padaku, Ibu yang melahirkanku beliu selalu sabar menghadapi sifat anak-anaknya. Aku sangat menghormatinya.
"Nak, ke kamar susul, Sindi. Kasihan dia, semenjak kejadian tadi, ia berdiam diri di kamar," ucapan Ibu seolah-olah mengingatkanku, bahkan aku lupa jika ia sedang tersakiti. Gegas aku menuju kamar.
Sesampai kamar aku melihat istriku sudah berbaring meringkuk menyusui anak kami, ia memejamkan mata mungkin ia sudah tertidur atau hanya berpura-pura, bahkan perutnya masih kosong, kubelai pucuk rambutnya dengan lembut kukecup keniningnya aku berbisik pelan, "Maafkan, Mas, Sayang." Ia tidak bergeming.
Layar gawaiku menyalah, kuraih benda pipih itu di atas nakas, kupencet tombol hijau, tampaknya Anjani menelponku berulang kali bahkan dia banyak mengirim pesan untukku. Apakah Sindu membacanya? Ah.... Tidak mungkin dia kan tidak mengetahui psword ponselku.
Kuangkat telepon Anjani, kami mengobrol kesana-kemari ia menghiburku sesekali aku terkekeh mwndengar ucapannya, ia berusaha menghiburkan, kulirik Sindi masih tidak bergeming mungkin dia benar tidur.
"Baiklah, Anjani, Mas, tidur dulu ya," ujarku sembari menutup pangilan telepn, kuletakan gawaiku kembali keatas nakas, entah kenapa rasanya aku ingin meraziah ponsel Sindi.
Kuraih ponsel milik Sindi, mataku terbelalak melihat pesan masuk dari Kak Bima, walaupun tidak di balas oleh istriku ia bersih kekeuh.
['Hay, bisa keluar sebentar gak? Mas mau bicara'.]
[Sin, Mas di depan rumah bisa kesini nggak?]
[Jangan sedih, sini curhat sama, Mas.]
Darahku mendesir, rahangku mengeras aku mengepalkan tangan geram, berani-beraninya ia masih mengoda isrriku setelah kejadian tadi, dasar setan.
Apa lagi mengingat kejadian tadi, ia menyeka air mata istriku, memang tidak tahu malu kakak-ku ini, gegas kubalas pesan dari kak Bima. [Sory, sibuk, mas Abidin, meminta untuk dilayani, jadi tidak sempat balas chat, kamu]Centang satu, lalu centang hijau, sengaja kukirim pesan seperti itu, agar dia tidak keganjenan sama istri orang. Kusungingkan senyum kemenangan.Pove Bima.Duduk di teras rumah sambil menyesap kopi, angin sepoy-sepoy menemaniku malam ini, malam yang begitu dingin, hati yang kesepian.Ting.Ponselku berdering, gegas kuambil benda pipih tersebut, mataku terbelalak melihat pesan yang baru saja kubaca. Aku tidak yakin jika Sindi mengirim pesan tersebut, bahkan tulisan Sindi tidak seperti itu biasanya, tulisan jadul yang di singkat-singkat, sudah pasti ini yang menjawab pesanku Abidin, adik kesayanganku. Memang hatiku sakit dengan Abidin, bahkan aku terus mengga
Sindi tidur membelakangi Abidin, kali ini Sindi sudah merasa yakin, jika berpisah adalah jalan satu-satunya."Sampai mati, aku tidak akan menceraikan kamu, Sin. biarkan, mas Bima, dalam imajinasinya, bahkan untuk menyentuhmu saja aku tidak akan mengizinkannya." ucap Abidin santai, ia tidur di belakang istrinya, ia memainkan rambut sang istri.Sindi mendengus kesal, ia menarik napas panjang, bahkan di dalam pikirannya sama sekali tidak tertarik dengan Kak Bima, apa lagi menikahi bekas ipar."Sin, untuk kejadian tadi, Mas, minta maaf," ucap Abidin, ia mencium pungung Sindi, merangkul istrinya. "Sudah terlambat, Mas, bahkan sama sekali aku tidak ingin memaafkan, mu." batin Sindi, ia menitihkan air mata. "Sin, Mas, tahu kalau kamu masih terjaga, Sin, Maafkan, Mas," ucap Abidin."Dan, sayangnya aku tidak akan memaafkan, kamu." Jawab Sindi, ia menepis tangan Abidin yang melingkar di perutnya. "Sin, kamu
Apa sih maunya, kak Bima?Coba aku keluar sebentar apa sebenarnya yang mau ia katakan. Gegas kulangkahkan kaki menuju kak Bima, ia tersenyum lebar menyambutku tanpa basa-basi langsung kutanya apa yang mau ia katakan. “Ada apa, kak Bima, menyuruhku kesini?”Kak Bima tersenyum lagi ia memperlihatkan gigi rapihnya dan berkata, “Sorry, mengangumu, Sin. Btw apa lukamu masih Sakit?” tanyanya, netraku membulat sempurna hanya karena mau bertanya ini katanya penting ya ampun kak Bima, membuang waktu istirahatku saja.“Ya ampun, kak Bima, hanya mau bertanya seperti ini lewat chat, Kan. Bisa?” aku mendengus kesal, ia malah memperlebar senyumanya, entah apa yang berada di pikirannya saat ini.“Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi, sepertinya aku harus kembali ke kamar. Tidak baik jika kita berada di sini hanya berdua jika, Ayah, Ibu, mbak Ayu, ataupun Mas Abidin lihat nanti akan berasumsi yang tidak-tidak,” ujarku pel
Kubopong Sindi, ia sudah lemas bibirnya pucat. "Auh... Sakit." Sindi memegangi perutnya."Sin, buka matamu! Sadar, Sin." Jujur aku sangat panik melihat Sindi seperti ini. "Sin!" Teriakanku keras mengundang penghuni rumah keluar dari tempat tidur masing-masing."Sindi kenapa?" Ayu keluar disusul juga suaminya."Kenapa, Dia?" Ayah bersama ibu juga menghampiri kami."Kamu apakan istriku, mas!" Bima mencengkeram kera bajuku aku mencoba tenang, buakannya dibawa lari ke RS, justru Abidin memarahiku membuang waktu saja."Kamu apakan istriku, Mas!" Kata Abidin lagi."Matamu tidak melihat atau memang kamu buta, istrimu sedang sekarat bukan langsung diangkat justru kamu Marah tidak jelas." Bug... Abidin memukulku lagi emosiku semakin memuncak aku tersunggur jatuh menindihi Sindi, Abidin mengangkatku lalu memukulku lagi. Bug... Bug... Bug... Pipi kiri-kanan Abidin memukuliku lagi, aku masih terdiam setelah emosiku memuncak kubalas pukulan tadi mendarat
~Di rumah sakit~ Sindi berbaring lemah, selang bantu pernafasan susah terpasang rapi di hidungnya, dan jarum infus menyatu dengan telapak tangannya. “Dok, bagaimana keadaan istri saya?” tanya Abidin. “Dia mempunyai asam lambung, karena kebanyakan pikiran istri Anda menjadi stres, sebaiknya biarkan di rawat inap terlebih dahulu di sini.” Nasihat Dokter, Abidin hanya mengangguk patuh. “Baik, Dok. Terimakasih.” Dokter tersebut melengang keluar, barulah Bima dan Ayu masuk ke kamar rawat Sindi. Bima menatap tajam adik kandungnya—Abidin, ia menatap nyalang laki-laki yang berdiri dan mengelus punggung tangan istrinya. “Kalau sudah begini baru tahu rasa, kan?” tanya Bima sedikit mengejek. Abidin menarik napas, ia mencoba tak menghiraukan apa yang Kakak kandungnya—Bima, katakan. “Jaga baik-baik istrimu itu, Jika tidak ingin kehilangannya.” Kata Bima kembali, sedangkan Ayu ia menggeleng tak mengerti dengan Kakak dan adiknya, entah mengapa kedua laki-laki tersebut justru memperebutkan
Istriku terisak, ia menangis sambil membelakangiku, berkali-kali aku menepuk bahunya namun tetap saja ia terdiam. "Ma," ucapku ia malah semakin tergugu keras aku semakin bingung kenapa istriku seperti ini."Kamu, egois, mas!" ucapnya. Apa salahku kenapa aku egois ada yang salah denganku? Jujur aku tidak mengerti apa yang ia ucapkan aku menjawab istriku, "Egois apa maksudmu?" nada bicaraku tak kalah nyaring darinya, ia semakin tergugu aku semakin dibuat bibgung olehnya."Aku masu kita cerai!" Mataku terbelalak ia meminta cerai dariku, apa sekalahanku bahkan selama ini aku sudah mempperlakukannya dengan baik."Mkasudmu apa, Sin?" tanyaku, dia tetap tergugu aku semakin tidak mengerti."Plis jangan membuat, aku bingung, Sin." Kataku lagi, ia tetap tergugu."Ya cerai, ya cerai aja, mas!" Nadanya lantang namun juga bergetar, aku pusing kenapa dia seperti ini ada yang tida beres darinya."Lepaskan aku dan hidup berbahagi
Pove Sindi.Egois, keras kepala mau menang sendiri, aku menyesal menikahimu, Mas. Kamu tidak akan pernah berubah aku yakin. Aku terdiam di kamar suamiku keluar entah kemana setelah pertengkaran tadi, aku yakin dia sedang menyalakan batang rokok dan menyesap benda itu di depan rumah, jika kami sedang bertengkar suamiku selalu menghindar dan menyesap benda itu."Ya Allah, kenapa mas Abidin, tidak mau melepaskan aku, jika dia tahu kalau orang tuanya selalu kasar denganku. Aku yakin dia tidak akan tinggal diam, tapi aku tidak mau mengadu takut jika hubungan anak dan orang tua itu hancur gara-gara aku," aku bergumam sendiri di dalam kamar, kamar yang dulunya terasa nyaman sekarang mendadak terasa sempit. Bahkan mertuaku menyuruh mas Abidin menikah lagi, apa yang kurang dariku, padahal kami sudah mempunyai putra-putri lucu lantas apa? apa karena aku mengangur tidak bekerja?Aku terisak sendiri di kamar setelah beberapa hari terakhir Mas Abidin juga berubah tidak seperti d
Setelah dua hari Abidin tidak pulang Sindi merasa yakin bahwa ada yang tidak beres. Sindi menarik napas panjang lalu membuang dengan perlahan mungkin itu terapi agar ia tidak terlalu Stres. “Kok, mas Abidin belum pulang, Bu?” tanya Sindi dengan nada kesal, padahal Abidin sudah tahu kalau Riri sakit, tapi kenapa tidak sampai-sampai bahkan perjalanan Jakarta-Bandung tidak selama itu, Sindi yakin Suaminya itu sedang bersenang-senang dengan temannya. “Coba Ibu telepon sekali lagi,”pinta Sindi terhadap Mertuanya. Riri dan Raka semakin rewel ia menangis, dan tak mau makan, Sindi dibuat bingung oleh kedua anaknya apa lagi suaminya tidak memberi kabar sama sekali. Hani menggeleng, Sindi terdiam berarti suaminya masih belum bisa dihubungi. Sindi mengentakkan kaki ke lantai sekeras mungkin darahnya sudah mendidih, setiap keluar bersama teman-temanya Abidin selalu lupa dengan keluarga. Sindi mendengus kesal padahal dua hari ini Riri rewel, dan itu sudah menguras ban
~Di rumah sakit~ Sindi berbaring lemah, selang bantu pernafasan susah terpasang rapi di hidungnya, dan jarum infus menyatu dengan telapak tangannya. “Dok, bagaimana keadaan istri saya?” tanya Abidin. “Dia mempunyai asam lambung, karena kebanyakan pikiran istri Anda menjadi stres, sebaiknya biarkan di rawat inap terlebih dahulu di sini.” Nasihat Dokter, Abidin hanya mengangguk patuh. “Baik, Dok. Terimakasih.” Dokter tersebut melengang keluar, barulah Bima dan Ayu masuk ke kamar rawat Sindi. Bima menatap tajam adik kandungnya—Abidin, ia menatap nyalang laki-laki yang berdiri dan mengelus punggung tangan istrinya. “Kalau sudah begini baru tahu rasa, kan?” tanya Bima sedikit mengejek. Abidin menarik napas, ia mencoba tak menghiraukan apa yang Kakak kandungnya—Bima, katakan. “Jaga baik-baik istrimu itu, Jika tidak ingin kehilangannya.” Kata Bima kembali, sedangkan Ayu ia menggeleng tak mengerti dengan Kakak dan adiknya, entah mengapa kedua laki-laki tersebut justru memperebutkan
Kubopong Sindi, ia sudah lemas bibirnya pucat. "Auh... Sakit." Sindi memegangi perutnya."Sin, buka matamu! Sadar, Sin." Jujur aku sangat panik melihat Sindi seperti ini. "Sin!" Teriakanku keras mengundang penghuni rumah keluar dari tempat tidur masing-masing."Sindi kenapa?" Ayu keluar disusul juga suaminya."Kenapa, Dia?" Ayah bersama ibu juga menghampiri kami."Kamu apakan istriku, mas!" Bima mencengkeram kera bajuku aku mencoba tenang, buakannya dibawa lari ke RS, justru Abidin memarahiku membuang waktu saja."Kamu apakan istriku, Mas!" Kata Abidin lagi."Matamu tidak melihat atau memang kamu buta, istrimu sedang sekarat bukan langsung diangkat justru kamu Marah tidak jelas." Bug... Abidin memukulku lagi emosiku semakin memuncak aku tersunggur jatuh menindihi Sindi, Abidin mengangkatku lalu memukulku lagi. Bug... Bug... Bug... Pipi kiri-kanan Abidin memukuliku lagi, aku masih terdiam setelah emosiku memuncak kubalas pukulan tadi mendarat
Apa sih maunya, kak Bima?Coba aku keluar sebentar apa sebenarnya yang mau ia katakan. Gegas kulangkahkan kaki menuju kak Bima, ia tersenyum lebar menyambutku tanpa basa-basi langsung kutanya apa yang mau ia katakan. “Ada apa, kak Bima, menyuruhku kesini?”Kak Bima tersenyum lagi ia memperlihatkan gigi rapihnya dan berkata, “Sorry, mengangumu, Sin. Btw apa lukamu masih Sakit?” tanyanya, netraku membulat sempurna hanya karena mau bertanya ini katanya penting ya ampun kak Bima, membuang waktu istirahatku saja.“Ya ampun, kak Bima, hanya mau bertanya seperti ini lewat chat, Kan. Bisa?” aku mendengus kesal, ia malah memperlebar senyumanya, entah apa yang berada di pikirannya saat ini.“Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi, sepertinya aku harus kembali ke kamar. Tidak baik jika kita berada di sini hanya berdua jika, Ayah, Ibu, mbak Ayu, ataupun Mas Abidin lihat nanti akan berasumsi yang tidak-tidak,” ujarku pel
Sindi tidur membelakangi Abidin, kali ini Sindi sudah merasa yakin, jika berpisah adalah jalan satu-satunya."Sampai mati, aku tidak akan menceraikan kamu, Sin. biarkan, mas Bima, dalam imajinasinya, bahkan untuk menyentuhmu saja aku tidak akan mengizinkannya." ucap Abidin santai, ia tidur di belakang istrinya, ia memainkan rambut sang istri.Sindi mendengus kesal, ia menarik napas panjang, bahkan di dalam pikirannya sama sekali tidak tertarik dengan Kak Bima, apa lagi menikahi bekas ipar."Sin, untuk kejadian tadi, Mas, minta maaf," ucap Abidin, ia mencium pungung Sindi, merangkul istrinya. "Sudah terlambat, Mas, bahkan sama sekali aku tidak ingin memaafkan, mu." batin Sindi, ia menitihkan air mata. "Sin, Mas, tahu kalau kamu masih terjaga, Sin, Maafkan, Mas," ucap Abidin."Dan, sayangnya aku tidak akan memaafkan, kamu." Jawab Sindi, ia menepis tangan Abidin yang melingkar di perutnya. "Sin, kamu
Apa lagi mengingat kejadian tadi, ia menyeka air mata istriku, memang tidak tahu malu kakak-ku ini, gegas kubalas pesan dari kak Bima. [Sory, sibuk, mas Abidin, meminta untuk dilayani, jadi tidak sempat balas chat, kamu]Centang satu, lalu centang hijau, sengaja kukirim pesan seperti itu, agar dia tidak keganjenan sama istri orang. Kusungingkan senyum kemenangan.Pove Bima.Duduk di teras rumah sambil menyesap kopi, angin sepoy-sepoy menemaniku malam ini, malam yang begitu dingin, hati yang kesepian.Ting.Ponselku berdering, gegas kuambil benda pipih tersebut, mataku terbelalak melihat pesan yang baru saja kubaca. Aku tidak yakin jika Sindi mengirim pesan tersebut, bahkan tulisan Sindi tidak seperti itu biasanya, tulisan jadul yang di singkat-singkat, sudah pasti ini yang menjawab pesanku Abidin, adik kesayanganku. Memang hatiku sakit dengan Abidin, bahkan aku terus mengga
[‘Istriku, meminta pisah dariku, padahal aku sudah memperlakukannya dengan baik, coba dia sedikit bersabar sepertimu, Anjani’]Apalagi ini, dia menceritakan semua aib keluarganya dengan wanita itu, pintar sekali kamu, Mas Abidin!Ting...Pesan masuk lagi gegas kulihat aplikasi berwarna hijau kulihat nama Anjani lagi, berani sekali wanita tersebut mengganggu suamiku terus menerus.[‘Mas.’]Pesan Anjani membuat darahku mendidih, ingin sekali rasanya jiwa ini menjambak dan mencabik kulitnya namun, kubiarkan saja, gegas ku letakan kembali gawai suamiku keatas nakas.Ting...Ting...Ting...Aku mendengus kesal, mungkin itu semua pesan dari wanita tersebut gegas kuraih gawai suamiku lagi tanganku gatal untuk membuka pesan dari Anjani.&nbs
Pove Sindi.Kenapa aku yang selalu disalahkan, bahkan darah di bibirku masih segar, Mas Abidin tidak mempedulikanku sedikitpun, apalagi membelaku, sudah cukup, Mas! Keputusanku sudah bulat aku ingin berpisah saja darimu."Sindi." Mbak Ayu datang, ia meraih tanganku, aku masih shock memperhatian dua bersodara dan ibunya yang sedang bermanja setelah apa yang terjadi."Maafkan, Ayah, Sin." Ayu duduk di sampingku, aku masih terdiam hatiky masih sakit setelah apa yang terjadi kepadaku, tanpa alasan Mas Abidin semarah itu, ia tidak sadar perbuatannya tadi justru mengundangku dari masalah."Iya, Mbk, aku tidak apa-apa," ucapku, aku mencoba tersenyum walapun hati ini pedih, "Mbak Ayu, nginap disini?" Tanyaku, ia mengangguk."Sini aku obati luka di bibirmu." Mbak ayu membawa kota P3K."Sudah jangan diobati, Yu, biarkan saja dia mati!"Deg, jantungku serasa berhenti berdetak,
"Kalian, tidak menghargai undangan, Bima." Ayah mertua Sindi akhirnya angkat bicara ia tampak menghela napas menetralisir amarahnya agar tidak memuncak."Oh, jadi yang ngundang ini, Kak Bima? Bukan Ayah atau Ibu? Jika dari awal kalau, Kak Bima, yang ngundang lebih baik kami tidak ikut hadir." Abidin meraih kunci mobil miliknya ia mencengkram tangan Sindi."Mas, kamu kenapa? Mas lebih baik kita makan, dari tadi kamu belum makan, kan?""Aku sudah kenyang. Ayo pulang!" Abidin mencengkram tangan Sindi sampai berdarah."Mas ... lepas sakit!" Ucap Sindi ia melihat tangannya berdarah, namun Abidin engan untuk melepaskan tangannya."Abidin, apa ini caramu memperlakukan wanita. Aku bilang lepas!" Bima mulai angkat bicara ia meraih tangan Abidin, dan melepaskan cengkramannya, lalu ia meraih tangan Sindi dan berkata, "Apa ini sakit, maafkan adikku, yang tidak becus menjadi
Pove Sindi.‘Kasihan, kak Bima. Masak iya laki-laki tampan dan memanjakan istri justru dikhianati, lalu apakabar dengan aku yang selama ini sabar menghadapi suamiku.’Aku menatap jenggah Mas Abidin, ia tampak sewot setelah aku duduk di depan Kak Bima, padahal kami hanya mengobrol sudah lama tidak berjumpa.“Jadi mau pesan apa ini? Biar aku pesankan, tuh lihat Ayu sudah kelaparan nunggu, Ibu.” Kata-kata Kak Bima membuyarkan lamunanku, ia menyodorkan sehelai kertas menu.“Ma, mau pesan apa?” Tanya Mas Abidin.“Terserah,” sahutku, iya memang aku masih marah sama dia soal tadi, sebenarnya malas juga ikut acara ini, apa lagi harus bersih tatap sama Ayah mertuaku.“Sama suami itu harus sopan, tidak boleh bicara seperti itu. Ayu, kamu kalau bicara harus sopan ya sama, Ditto.” Kata laki-laki yang kusebut den