Setelah dua hari Abidin tidak pulang Sindi merasa yakin bahwa ada yang tidak beres.
Sindi menarik napas panjang lalu membuang dengan perlahan mungkin itu terapi agar ia tidak terlalu Stres.“Kok, mas Abidin belum pulang, Bu?” tanya Sindi dengan nada kesal, padahal Abidin sudah tahu kalau Riri sakit, tapi kenapa tidak sampai-sampai bahkan perjalanan Jakarta-Bandung tidak selama itu, Sindi yakin Suaminya itu sedang bersenang-senang dengan temannya.“Coba Ibu telepon sekali lagi,”pinta Sindi terhadap Mertuanya.Riri dan Raka semakin rewel ia menangis, dan tak mau makan, Sindi dibuat bingung oleh kedua anaknya apa lagi suaminya tidak memberi kabar sama sekali.Hani menggeleng, Sindi terdiam berarti suaminya masih belum bisa dihubungi.Sindi mengentakkan kaki ke lantai sekeras mungkin darahnya sudah mendidih, setiap keluar bersama teman-temanya Abidin selalu lupa dengan keluarga. Sindi mendengus kesal padahal dua hari ini Riri rewel, dan itu sudah menguras banyak tenaganya di tambah lagi Raka juga ikut-ikutan sakit.“Bu, mana mungkin perjalanan Bandung-Jakarta sembilan jam. Yang benar saja,”Hanya kalimat itu yang Sindi lontarkan karena sudah tidak kuat menahan emosi lagi. Ayah mertuanya turun dari singgasana dan menegurnya.“He, Sindi!” bentaknya di depan kamar Sindi. Sindi hanya terdiam meringkuk di kamar sambil mengeloni Raka putranya sedangkan Riri di gendong Hani.“I-iya, Ayah,” jawab Sindi lembut mau bagaimana pun orang tua tetap orang tua, Sindi sebagai anak harus patuh dengannya. Tekanan jantung Sindi terasa lebih cepat, setelah Ayah mertuanya sudah mulai ikut angkat bicara. Karena ia sudah tahu kalau Ayah mertua angkat bicara akan panas gendang telinganya.“Kamu kira, Bandung-Jakarta tidak jauh, Hah!” kalimat pertama sudah keluar dari bibir laki-laki paruh baya yang disebut mertua itu.“Dari tadi didengerin membuat telingaku gatal saja,”“Kamu, itu harus sadar diri kalau numpang di sini, gedebak-gedebuk kayak rumah sendiri. Ngaca sebelum kamu kesini itu anakku, Abidin. Mungut kamu dari mana? Sekarang hidupmu enak berkat anakku, jaga sikap disini! Kalau tidak mau tinggal disini angkat kakimu, kamu kira aku ikhlas punya menantu seperti kamu, hanya bawa modal raga saja.”Sindi hanya meringkuk menahan pedih di hati tidak satu kali, dua kali, laki-laki yang di sebut mertua itu sudah berkali-kali menghinanya, memang dari dulu ia tidak merestui hubungan Sindi, dan Abidin.Buliran bening keluar setetes, demi setetes di pelupuk mata Sindi. Ia merasa sudah tidak tahan untuk tinggal di rumah itu, Rumah mewah sepeti surga. Namun, neraka bagi Sindi. Setiap hari ia di cibir oleh Mertuanya karena tidak bekerja dan merepotkan saja. Apa lagi Sindi dari keluarga tidak punya.Seperti biasa Sindi hanya diam dan menerima makian dari Ayah suaminya itu, seseorang yang di segani dan dianggap malaikat bagai Suaminya itu.“Kamu kira, aku tidak milih-milih cari menantu? Sudah kusiapkan calon istri sempurna buat, Abidin. Tapi kamu menghalangi, kamu datang begitu cepat seolah-olah anakku kau jebak,”Seperti ingin menjerit tapi tak berani Sindi memilih diam daripada ucapannya menyakiti hati orang tua, bagaimana pun orang tua tetaplah orang tua.“Sudah, Pah. Sudah!” suara baru terdengar dari bibir Hani setelah beberapa kalimat keluar dari bibir suaminya dan membaku hantam hati menantunya.“Sudah, Pah. Biar aku nanti yang kasih tahu, Sindi.” Wanita itu mencoba melerai.“Brak”Terdengar nyaring di telinga, membuat Raka yang tertidur bangun seketika menangis karena kaget.“Ya Allah...,” ucap lirih Sindi, setelah Raka menangis ia kembali mengelus punggung Raka agar tidur kembali. Seperti itulah setiap hari Sindi ia harus senam jantung.Hanya demi keutuhan rumah tangga bersama Abidin, memilih untuk diam dan tetap tinggal bersama mertuanya, walaupun kadang ia merasa lelah, dan ingin mengakhiri semuanya.Semua ini karena Abidin jika ia setuju pisah rumah dengan orang tuanya maka perselisihan tidak akan terjadi, Sindi pun akan merasa nyaman.Seharian menunggu Suami pulang, Sindi merasa bahwa dirinya selama ini terlalu bodoh, ia rela di injak harga diri demi melindungi rumah tangganya.“Sudah bangun, Ma?”Abidin sudah tersenyum meringis di samping Sindi, ia merasa senang tes wawancara lolos bahkan ia akan terbang lagi ke Dubai, entah mengejar Cinta, atau Cita-cita, hanya Tuhan dan Abidin yang tahu.“Kamu, sudah pulang?”Sindi ketiduran setelah ia mendapatkan sidang dadakan dari Ayah mertuanya. Ia merasa capek menangis sehingga ketiduran.“Riri, mana?,” kata Sindi melihat seisi kamar. Namun, putri kecilnya tidak ada.“Di kamar, Ibu,” sahut Abidin.Sindi melangkah keluar sekarang ia sudah berani keluar kamar karena Abidin sudah ada, ia mengambil piring dan menuangkan nasi dengan kecap ditambah kerupuk itu saja yang berada di meja makan.Sindi merasa lapar ia tidak berani mengambil nasi setelah sidang dadakan.Di lahap nasi beserta kecap, dan kerupuk secara brutal, Abidin bergidik ngeri melihat istrinya seperti orang kerasukan.“Ma, pelan-pelan. Nanti keselak,”Sindi melengos tidak menghiraukan Abidin, ia masih sakit hati karena ucapan orang tua yang selama ini ia segani.“Ma, pelan-pelan,” kata Abidin lagi ia takut istrinya keselak.Sindi tetap melengos tidak mau menatap wajah Ayah dari anak-anaknya itu.“Ma, wawancaraku lolos. Mama mau minta apa? Nanti aku belikan,”Sindi tetap bungkam dan melahap nasi yang masih berada di piringnya.Tap__tap__tapHentakan kaki berjalan menuju ke meja makan, Sindi bergegas melangkah ke pencucian piring, meskipun nasi yang berada di piring masih ada ia tetap membuangnya dan mencuci piring.“Gimana, Tesnya?,” Ayah mertua Sindi mendatangi Abidin dan ikut duduk di meja makan.Sindi tetap fokus mencuci piring sesekali ia melengos ke belakang dan melihat Ayah mertuanya beserta Suaminya bercengkerama.Sindi berjalan malas melewati Ayah dan Anak itu di meja makan, ia merasa muak dengan semuanya, ia rasa sudah tidak sanggup lagi. Mending hidup di desa bahagia meskipun rumah sepetak di sayangi keluarga daripada hidup seperti orang kaya. Namun, nyatanya nelangsa.“Ma, sini duduk sama kita,” kata Abidin menepuk kursi kosong di sebelahnya.Netra dingin Ayah Abidin terlihat jelas, sesekali Sindi melirik dan kembali menatap ke sembarang arah. “Mau kasih nen, Riri,” jawab Sindi mencoba menghindar.Rembulan terang menyinari bumi, gemerlap cahaya bintang berkelap-kelip di atas sana, malam ini Sindi sudah tidak tidur sendiri lagi, ia sudah di temani suami tercinta. Bahkan malam itu terasa dingin membuat tubuh bergelora.Abidin membersihkan diri, Sindi menelisik di sembarang tempat lalu ia merogoh saku celana suaminya, ia sedari tadi mencari benda pipih. Sindi penasaran kenapa malam kemarin suaminya Online tapi tidak membalas Chat dan mengangkat teleponnya.Namun, benda pipih itu tidak berada di saku celana, ia kembali menelisik tas berwarna hitam lalu merogoh semua sudut tas.Dan akirnya menemukan benda pipih itu, super kilat Sindi merazia ponsel suaminya. Seketika di buat kaget oleh benda pipi itu, netranya melihat panggilan Videocall masuk dan keluar.“Anjani,” tangan Sindi mulai bergemetar melihat panggilan masuk dan keluar bahkan ia tidak pernah di telepon oleh suaminya, tapi justru suaminya menelepon wanita lain.Tetap penasaran dengan isi Chat yang belum sampat ia baca, Riri menangis meminta Susu.Ponsel di letakan di atas Nakas Sindi bergegas menuju Riri, lalu memberi asi kehidupan.Setelah setengah jam Riri menyusu, Sindi kembali lagi mengecek ponsel Abidin, tapi dengan berat hati Chat yang beluk sempat ia baca di hapus oleh suaminya. Sindi mencengkeram ponsel Abidin dan menaruh kembali di atas nakas dengan kasar.BRAK...begitu bunyinya.Sindi teris
“Sin,” suamiku mencoba menyentuhku, aku terdiam mencerna kata-kata yang masuk ke dalam indra pendengaranku, aku menepis tangannya, malas sekali di sentuh olehnya, semua penghinaan ini akibat ulahnya coba saja dia mau kuajak hidup mandiri, dan pisah rumah maka aku tidak akan stres seperti ini setiap hari.“Sin, maafin semua kata-kata, Ayah!”“Cukup, Mas. Segera urus surat penceraian kita, keputusanku sudah bulat, kecuali kamu mau pisah rumah dan secepatnya cari kos, atau kontrakan!” tegasku.Terlihat wajah suamiku pucat pasi, sudah kuduga dia tidak akan mau pisah rumah, dan memilih untuk berpisah denganku.“Mas!” teriakku lagi sedikit lirih, “Jawab, Mas!” aku merasa Frustrasi lalu masuk ke kamar menenangkan diri sendiri.Mengadakan makan malam dadakan, di Restoran bernuansa coklat tampak klasik berpanduan dengan suara seruling, suara nyanyian tempo dulu, nuansa seperti berada di kota Yogya,
Pove Sindi.‘Kasihan, kak Bima. Masak iya laki-laki tampan dan memanjakan istri justru dikhianati, lalu apakabar dengan aku yang selama ini sabar menghadapi suamiku.’Aku menatap jenggah Mas Abidin, ia tampak sewot setelah aku duduk di depan Kak Bima, padahal kami hanya mengobrol sudah lama tidak berjumpa.“Jadi mau pesan apa ini? Biar aku pesankan, tuh lihat Ayu sudah kelaparan nunggu, Ibu.” Kata-kata Kak Bima membuyarkan lamunanku, ia menyodorkan sehelai kertas menu.“Ma, mau pesan apa?” Tanya Mas Abidin.“Terserah,” sahutku, iya memang aku masih marah sama dia soal tadi, sebenarnya malas juga ikut acara ini, apa lagi harus bersih tatap sama Ayah mertuaku.“Sama suami itu harus sopan, tidak boleh bicara seperti itu. Ayu, kamu kalau bicara harus sopan ya sama, Ditto.” Kata laki-laki yang kusebut den
"Kalian, tidak menghargai undangan, Bima." Ayah mertua Sindi akhirnya angkat bicara ia tampak menghela napas menetralisir amarahnya agar tidak memuncak."Oh, jadi yang ngundang ini, Kak Bima? Bukan Ayah atau Ibu? Jika dari awal kalau, Kak Bima, yang ngundang lebih baik kami tidak ikut hadir." Abidin meraih kunci mobil miliknya ia mencengkram tangan Sindi."Mas, kamu kenapa? Mas lebih baik kita makan, dari tadi kamu belum makan, kan?""Aku sudah kenyang. Ayo pulang!" Abidin mencengkram tangan Sindi sampai berdarah."Mas ... lepas sakit!" Ucap Sindi ia melihat tangannya berdarah, namun Abidin engan untuk melepaskan tangannya."Abidin, apa ini caramu memperlakukan wanita. Aku bilang lepas!" Bima mulai angkat bicara ia meraih tangan Abidin, dan melepaskan cengkramannya, lalu ia meraih tangan Sindi dan berkata, "Apa ini sakit, maafkan adikku, yang tidak becus menjadi
Pove Sindi.Kenapa aku yang selalu disalahkan, bahkan darah di bibirku masih segar, Mas Abidin tidak mempedulikanku sedikitpun, apalagi membelaku, sudah cukup, Mas! Keputusanku sudah bulat aku ingin berpisah saja darimu."Sindi." Mbak Ayu datang, ia meraih tanganku, aku masih shock memperhatian dua bersodara dan ibunya yang sedang bermanja setelah apa yang terjadi."Maafkan, Ayah, Sin." Ayu duduk di sampingku, aku masih terdiam hatiky masih sakit setelah apa yang terjadi kepadaku, tanpa alasan Mas Abidin semarah itu, ia tidak sadar perbuatannya tadi justru mengundangku dari masalah."Iya, Mbk, aku tidak apa-apa," ucapku, aku mencoba tersenyum walapun hati ini pedih, "Mbak Ayu, nginap disini?" Tanyaku, ia mengangguk."Sini aku obati luka di bibirmu." Mbak ayu membawa kota P3K."Sudah jangan diobati, Yu, biarkan saja dia mati!"Deg, jantungku serasa berhenti berdetak,
[‘Istriku, meminta pisah dariku, padahal aku sudah memperlakukannya dengan baik, coba dia sedikit bersabar sepertimu, Anjani’]Apalagi ini, dia menceritakan semua aib keluarganya dengan wanita itu, pintar sekali kamu, Mas Abidin!Ting...Pesan masuk lagi gegas kulihat aplikasi berwarna hijau kulihat nama Anjani lagi, berani sekali wanita tersebut mengganggu suamiku terus menerus.[‘Mas.’]Pesan Anjani membuat darahku mendidih, ingin sekali rasanya jiwa ini menjambak dan mencabik kulitnya namun, kubiarkan saja, gegas ku letakan kembali gawai suamiku keatas nakas.Ting...Ting...Ting...Aku mendengus kesal, mungkin itu semua pesan dari wanita tersebut gegas kuraih gawai suamiku lagi tanganku gatal untuk membuka pesan dari Anjani.&nbs
Apa lagi mengingat kejadian tadi, ia menyeka air mata istriku, memang tidak tahu malu kakak-ku ini, gegas kubalas pesan dari kak Bima. [Sory, sibuk, mas Abidin, meminta untuk dilayani, jadi tidak sempat balas chat, kamu]Centang satu, lalu centang hijau, sengaja kukirim pesan seperti itu, agar dia tidak keganjenan sama istri orang. Kusungingkan senyum kemenangan.Pove Bima.Duduk di teras rumah sambil menyesap kopi, angin sepoy-sepoy menemaniku malam ini, malam yang begitu dingin, hati yang kesepian.Ting.Ponselku berdering, gegas kuambil benda pipih tersebut, mataku terbelalak melihat pesan yang baru saja kubaca. Aku tidak yakin jika Sindi mengirim pesan tersebut, bahkan tulisan Sindi tidak seperti itu biasanya, tulisan jadul yang di singkat-singkat, sudah pasti ini yang menjawab pesanku Abidin, adik kesayanganku. Memang hatiku sakit dengan Abidin, bahkan aku terus mengga
Sindi tidur membelakangi Abidin, kali ini Sindi sudah merasa yakin, jika berpisah adalah jalan satu-satunya."Sampai mati, aku tidak akan menceraikan kamu, Sin. biarkan, mas Bima, dalam imajinasinya, bahkan untuk menyentuhmu saja aku tidak akan mengizinkannya." ucap Abidin santai, ia tidur di belakang istrinya, ia memainkan rambut sang istri.Sindi mendengus kesal, ia menarik napas panjang, bahkan di dalam pikirannya sama sekali tidak tertarik dengan Kak Bima, apa lagi menikahi bekas ipar."Sin, untuk kejadian tadi, Mas, minta maaf," ucap Abidin, ia mencium pungung Sindi, merangkul istrinya. "Sudah terlambat, Mas, bahkan sama sekali aku tidak ingin memaafkan, mu." batin Sindi, ia menitihkan air mata. "Sin, Mas, tahu kalau kamu masih terjaga, Sin, Maafkan, Mas," ucap Abidin."Dan, sayangnya aku tidak akan memaafkan, kamu." Jawab Sindi, ia menepis tangan Abidin yang melingkar di perutnya. "Sin, kamu
~Di rumah sakit~ Sindi berbaring lemah, selang bantu pernafasan susah terpasang rapi di hidungnya, dan jarum infus menyatu dengan telapak tangannya. “Dok, bagaimana keadaan istri saya?” tanya Abidin. “Dia mempunyai asam lambung, karena kebanyakan pikiran istri Anda menjadi stres, sebaiknya biarkan di rawat inap terlebih dahulu di sini.” Nasihat Dokter, Abidin hanya mengangguk patuh. “Baik, Dok. Terimakasih.” Dokter tersebut melengang keluar, barulah Bima dan Ayu masuk ke kamar rawat Sindi. Bima menatap tajam adik kandungnya—Abidin, ia menatap nyalang laki-laki yang berdiri dan mengelus punggung tangan istrinya. “Kalau sudah begini baru tahu rasa, kan?” tanya Bima sedikit mengejek. Abidin menarik napas, ia mencoba tak menghiraukan apa yang Kakak kandungnya—Bima, katakan. “Jaga baik-baik istrimu itu, Jika tidak ingin kehilangannya.” Kata Bima kembali, sedangkan Ayu ia menggeleng tak mengerti dengan Kakak dan adiknya, entah mengapa kedua laki-laki tersebut justru memperebutkan
Kubopong Sindi, ia sudah lemas bibirnya pucat. "Auh... Sakit." Sindi memegangi perutnya."Sin, buka matamu! Sadar, Sin." Jujur aku sangat panik melihat Sindi seperti ini. "Sin!" Teriakanku keras mengundang penghuni rumah keluar dari tempat tidur masing-masing."Sindi kenapa?" Ayu keluar disusul juga suaminya."Kenapa, Dia?" Ayah bersama ibu juga menghampiri kami."Kamu apakan istriku, mas!" Bima mencengkeram kera bajuku aku mencoba tenang, buakannya dibawa lari ke RS, justru Abidin memarahiku membuang waktu saja."Kamu apakan istriku, Mas!" Kata Abidin lagi."Matamu tidak melihat atau memang kamu buta, istrimu sedang sekarat bukan langsung diangkat justru kamu Marah tidak jelas." Bug... Abidin memukulku lagi emosiku semakin memuncak aku tersunggur jatuh menindihi Sindi, Abidin mengangkatku lalu memukulku lagi. Bug... Bug... Bug... Pipi kiri-kanan Abidin memukuliku lagi, aku masih terdiam setelah emosiku memuncak kubalas pukulan tadi mendarat
Apa sih maunya, kak Bima?Coba aku keluar sebentar apa sebenarnya yang mau ia katakan. Gegas kulangkahkan kaki menuju kak Bima, ia tersenyum lebar menyambutku tanpa basa-basi langsung kutanya apa yang mau ia katakan. “Ada apa, kak Bima, menyuruhku kesini?”Kak Bima tersenyum lagi ia memperlihatkan gigi rapihnya dan berkata, “Sorry, mengangumu, Sin. Btw apa lukamu masih Sakit?” tanyanya, netraku membulat sempurna hanya karena mau bertanya ini katanya penting ya ampun kak Bima, membuang waktu istirahatku saja.“Ya ampun, kak Bima, hanya mau bertanya seperti ini lewat chat, Kan. Bisa?” aku mendengus kesal, ia malah memperlebar senyumanya, entah apa yang berada di pikirannya saat ini.“Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi, sepertinya aku harus kembali ke kamar. Tidak baik jika kita berada di sini hanya berdua jika, Ayah, Ibu, mbak Ayu, ataupun Mas Abidin lihat nanti akan berasumsi yang tidak-tidak,” ujarku pel
Sindi tidur membelakangi Abidin, kali ini Sindi sudah merasa yakin, jika berpisah adalah jalan satu-satunya."Sampai mati, aku tidak akan menceraikan kamu, Sin. biarkan, mas Bima, dalam imajinasinya, bahkan untuk menyentuhmu saja aku tidak akan mengizinkannya." ucap Abidin santai, ia tidur di belakang istrinya, ia memainkan rambut sang istri.Sindi mendengus kesal, ia menarik napas panjang, bahkan di dalam pikirannya sama sekali tidak tertarik dengan Kak Bima, apa lagi menikahi bekas ipar."Sin, untuk kejadian tadi, Mas, minta maaf," ucap Abidin, ia mencium pungung Sindi, merangkul istrinya. "Sudah terlambat, Mas, bahkan sama sekali aku tidak ingin memaafkan, mu." batin Sindi, ia menitihkan air mata. "Sin, Mas, tahu kalau kamu masih terjaga, Sin, Maafkan, Mas," ucap Abidin."Dan, sayangnya aku tidak akan memaafkan, kamu." Jawab Sindi, ia menepis tangan Abidin yang melingkar di perutnya. "Sin, kamu
Apa lagi mengingat kejadian tadi, ia menyeka air mata istriku, memang tidak tahu malu kakak-ku ini, gegas kubalas pesan dari kak Bima. [Sory, sibuk, mas Abidin, meminta untuk dilayani, jadi tidak sempat balas chat, kamu]Centang satu, lalu centang hijau, sengaja kukirim pesan seperti itu, agar dia tidak keganjenan sama istri orang. Kusungingkan senyum kemenangan.Pove Bima.Duduk di teras rumah sambil menyesap kopi, angin sepoy-sepoy menemaniku malam ini, malam yang begitu dingin, hati yang kesepian.Ting.Ponselku berdering, gegas kuambil benda pipih tersebut, mataku terbelalak melihat pesan yang baru saja kubaca. Aku tidak yakin jika Sindi mengirim pesan tersebut, bahkan tulisan Sindi tidak seperti itu biasanya, tulisan jadul yang di singkat-singkat, sudah pasti ini yang menjawab pesanku Abidin, adik kesayanganku. Memang hatiku sakit dengan Abidin, bahkan aku terus mengga
[‘Istriku, meminta pisah dariku, padahal aku sudah memperlakukannya dengan baik, coba dia sedikit bersabar sepertimu, Anjani’]Apalagi ini, dia menceritakan semua aib keluarganya dengan wanita itu, pintar sekali kamu, Mas Abidin!Ting...Pesan masuk lagi gegas kulihat aplikasi berwarna hijau kulihat nama Anjani lagi, berani sekali wanita tersebut mengganggu suamiku terus menerus.[‘Mas.’]Pesan Anjani membuat darahku mendidih, ingin sekali rasanya jiwa ini menjambak dan mencabik kulitnya namun, kubiarkan saja, gegas ku letakan kembali gawai suamiku keatas nakas.Ting...Ting...Ting...Aku mendengus kesal, mungkin itu semua pesan dari wanita tersebut gegas kuraih gawai suamiku lagi tanganku gatal untuk membuka pesan dari Anjani.&nbs
Pove Sindi.Kenapa aku yang selalu disalahkan, bahkan darah di bibirku masih segar, Mas Abidin tidak mempedulikanku sedikitpun, apalagi membelaku, sudah cukup, Mas! Keputusanku sudah bulat aku ingin berpisah saja darimu."Sindi." Mbak Ayu datang, ia meraih tanganku, aku masih shock memperhatian dua bersodara dan ibunya yang sedang bermanja setelah apa yang terjadi."Maafkan, Ayah, Sin." Ayu duduk di sampingku, aku masih terdiam hatiky masih sakit setelah apa yang terjadi kepadaku, tanpa alasan Mas Abidin semarah itu, ia tidak sadar perbuatannya tadi justru mengundangku dari masalah."Iya, Mbk, aku tidak apa-apa," ucapku, aku mencoba tersenyum walapun hati ini pedih, "Mbak Ayu, nginap disini?" Tanyaku, ia mengangguk."Sini aku obati luka di bibirmu." Mbak ayu membawa kota P3K."Sudah jangan diobati, Yu, biarkan saja dia mati!"Deg, jantungku serasa berhenti berdetak,
"Kalian, tidak menghargai undangan, Bima." Ayah mertua Sindi akhirnya angkat bicara ia tampak menghela napas menetralisir amarahnya agar tidak memuncak."Oh, jadi yang ngundang ini, Kak Bima? Bukan Ayah atau Ibu? Jika dari awal kalau, Kak Bima, yang ngundang lebih baik kami tidak ikut hadir." Abidin meraih kunci mobil miliknya ia mencengkram tangan Sindi."Mas, kamu kenapa? Mas lebih baik kita makan, dari tadi kamu belum makan, kan?""Aku sudah kenyang. Ayo pulang!" Abidin mencengkram tangan Sindi sampai berdarah."Mas ... lepas sakit!" Ucap Sindi ia melihat tangannya berdarah, namun Abidin engan untuk melepaskan tangannya."Abidin, apa ini caramu memperlakukan wanita. Aku bilang lepas!" Bima mulai angkat bicara ia meraih tangan Abidin, dan melepaskan cengkramannya, lalu ia meraih tangan Sindi dan berkata, "Apa ini sakit, maafkan adikku, yang tidak becus menjadi
Pove Sindi.‘Kasihan, kak Bima. Masak iya laki-laki tampan dan memanjakan istri justru dikhianati, lalu apakabar dengan aku yang selama ini sabar menghadapi suamiku.’Aku menatap jenggah Mas Abidin, ia tampak sewot setelah aku duduk di depan Kak Bima, padahal kami hanya mengobrol sudah lama tidak berjumpa.“Jadi mau pesan apa ini? Biar aku pesankan, tuh lihat Ayu sudah kelaparan nunggu, Ibu.” Kata-kata Kak Bima membuyarkan lamunanku, ia menyodorkan sehelai kertas menu.“Ma, mau pesan apa?” Tanya Mas Abidin.“Terserah,” sahutku, iya memang aku masih marah sama dia soal tadi, sebenarnya malas juga ikut acara ini, apa lagi harus bersih tatap sama Ayah mertuaku.“Sama suami itu harus sopan, tidak boleh bicara seperti itu. Ayu, kamu kalau bicara harus sopan ya sama, Ditto.” Kata laki-laki yang kusebut den