Share

Bab 5

Penulis: Wiji Rahayu
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-15 01:13:52

“Sin,” suamiku mencoba menyentuhku, aku terdiam mencerna kata-kata yang masuk ke dalam indra pendengaranku, aku menepis tangannya, malas sekali di sentuh olehnya, semua penghinaan ini akibat ulahnya coba saja dia mau kuajak hidup mandiri, dan pisah rumah maka aku tidak akan stres seperti ini setiap hari.

“Sin, maafin semua kata-kata, Ayah!”

“Cukup, Mas. Segera urus surat penceraian kita, keputusanku sudah bulat, kecuali kamu mau pisah rumah dan secepatnya cari kos, atau kontrakan!” tegasku.

Terlihat wajah suamiku pucat pasi, sudah kuduga dia tidak akan mau pisah rumah, dan memilih untuk berpisah denganku.

“Mas!” teriakku lagi sedikit lirih, “Jawab, Mas!” aku merasa Frustrasi lalu masuk ke kamar menenangkan diri sendiri.

Mengadakan makan malam dadakan, di Restoran bernuansa coklat tampak klasik berpanduan dengan suara seruling, suara nyanyian tempo dulu, nuansa seperti berada di kota Yogya, tempat makan Lesehan pak Jarwo yang lagi viral saat ini.

“Hey, kamu apa kabar?” laki-laki berkulit putih berwajah tampan, menyapa Abidin sekeluarga, ia berdiri menyalami satu persatu orang yang baru datang.

“Loh, ada kak Bima juga?” tanya Abidin.

Ia hanya mengangguk dan mempersilahkan duduk. “Ya ampun, Sin. Kamu terlihat semakin kurus, lihat wajahmu juga pucat, kamu sakit?” laki-laki itu menanyai semua yang bersangkutan dengan Sindi, ia tampak khawatir dengan keadaan adik iparnya itu.

“Tidak, Kak. Sindi baik-baik saja, Kakak apa kabar?”

Sorot mata Abidin merasa tidak suka, mereka berdua memang selalu akrab, apa lagi Bima dulu sempat dekat dengan Sindi.

“Aku baik.” Jawabnya.

“Silakan mau pesan apa, sesuka hati kalian.” Laki-laki tersebut memberikan daftar menu ke, Abidin, dan sekeluarga.

“Loh, Ayah sama Ibu nggak satu mobil sama kalian?” tanyanya.

“Tidak, Kak.”

“Haduh, keponakanku lucu-lucu sekali, Raka, Riri. Sini biar Kaka gendong,” laki-laki tersebut mengulurkan tangannya hendak mengambil Riri yang masih bermanja di pangkuan Sindi.

Abidin menatap tajam Sindi, ia merasa tidak suka dengan kedekatan Kakak, dan Istrinya.

“Adik kandungnya di cueki ni dari tadi tidak di tanya sepata kata pun,”  protes Abidin, Bima hanya senyum memperlihatkan gigi rapinya.

“Ya, ampun. Kita kan sering ketemu di kantor, jangan cemburu lah,” jawab Bima terkekeh.

Bima, salah satu Manajer di perusahaan PT, Mukti. Ia menjadi atasan  Abidin di kantor, ia termasuk orang yang supel, menyenangkan, dan mudah bergaul. Sebelum Sindi menikah dengan adik kandungnya ia sempat dekat dengan Bima, tapi entah mungkin mereka tidak berjodoh.

“Kak Nana, gak ikut, Mas?” tanya Abidin menyelidik.

“Kamu ini kudet ya, Aku, dan Nana baru saja selesai sidang perceraian. Kami sudah resmi berpisah, Din.”

“Ya, ampun. Kenapa, Mas?” tanya Sindi.

“Nana memilih Laki-laki lain, mungkin kita Ngga jodoh, ya sudah jangan di bahas lagi, kamu pilih menu yang mana nanti, mas pesenin.”

“Ya ampun, kurang apa, mas Bima ini, sudah mapan sama istri baik pengertian, tapi mbak Nana malah memilih laki-laki lain, sangat di sayangkan” Sindi menggelengkan kepalanya ia kaget mendengar kabar perpisahan Kaka iparnya, padahal mereka terlihat akur bahkan tidak pernah ada kabar miring tentang pernikahan Bima, dan Nana.

“Orang itu, sawang sinawang. Belum tentu kehidupan orang lain kamu lihat bahagia menurut dia tidak, jangan lihat orang itu dari segi sampulnya saja, Sin,” ucap Abidin, seolah-olah menyindir keras Kaka kandungnya, memang mereka selama ini tidak begitu dekat, entah kenapa seperti itu.

Bima mendesah kesal atas sindiran keras yang terlontar di bibir Abidin, dan ia berkata, “Jadi mau pesan makan, atau tetap berdebat meja bundar?” menerbitkan senyuman di bibirnya, ia tetap santai meskipun kata-kata adiknya membuatnya jengah.

“Hay, sudah lama menunggu ya, maaf telat 15 menit,” datang lagu satu keluarga, wanita itu tampak elegan dari balutan dress yang ia kenakan.

“Hay, mbak apa kabar? Mbak Ayu juga hadir. ” Sindi langsung melebarkan senyumannya, berdiri dan menyalami Kaka iparnya lalu mencium pipi kiri-kanan Kakak ipar perempuannya itu.

“Aku, baik. Kamu cantik sekali pake gamis ini, perfeckto,”

“Hallo, Rere, apa kabar?” Sindi menyalami anak kecil yang sedang berdiri di depan Mamanya, ia anak semata wayang Ayu kakak kandung Bima, dari hasil pernikahannya.

“Di traktir sama Bos manajer, syukuran dalam arti apa ini? Jangan bilang syukuran kalau, Mas Bima sudah resmi bercerai.” Ayu duduk di sebelah suaminya, Dito suami Ayu menyapa kedua bersaudara yang sedari tadi menunggunya.

“Ya Ngga lah, Dek. Kamu ini ada-ada aja,” jawab Bima dengan wajah memerah, karena memang benar ucapan Adik kandungnya tersebut.

“Sudah kuduga,”Ayu menggelakkan kepalanya ia merasa heran dengan, Kakanya satu ini  memang ia tidak akan pernah berubah, sudah beberapa kali ia bercerai dengan istri-istrinya.

“Ayah sama Ibu, kok belum datang? Apa mereka kesasar? Kenapa Ngga bareng kamu saja sih, Din? Kan jadi repot kalau begini, lagi pula kalian kan satu rumah, bisa-bisanya bawa mobil sendiri-sendiri,” Ayu memilih daftar menu, “Aku sudah lapar, kalau nunggu Ibu, dan Ayah bisa pingsan kelaparan,”

“Ya ampun Mbak, bagaimana kabarku yang dari tadi menunggu mbak Ayu 15 menit di sini, baru datang sudah protes kelaparan,”

“Huss ... Diam kamu, Din. Yang traktir makan saja  diam Ngga  protes, Iya kan, Mas,” Ayu mengerlingkan matanya, ia menoleh ke arah Bima.

“Iya Ngga protes, tapi aku ngebatin, Yu.” Bima terkekeh sedari tadi mendengarkan Adiknya mengoceh terus, bahkan ia memandangi Adik iparnya yang terlihat santai, diam, dan tenang.

“Biasa saja kali, Mas. Lihatnya, Ngga takut sama pawangnya emang kamu, Mas?” Ayu menggelengkan kepalanya kembali, ia dari tadi memperhatikan Bima melihati Sindi terus menerus, bahkan  Abidin terlihat geram melihat Kakak kandungnya seperti itu.

Abidin mendesah kesal ia merasa tidak nyaman, “Ma, sini.” Abidin menepuk kursi di sebelahnya, Sindi pindah ke samping dia, memang dari tadi Sindi berada di depannya, dan Bima berada di samping Abidin.

“Kelihatannya nanti akan ada peperangan ke abat sembilan belas deh di rumah,” sindir Ayu menahan tawa, ia mengerti Abidin sudah mulai merasa gerah.

“Dito, kamu kasih makan apa sih Adikku ini, kok nerocos melulu dari tadi, membuatku kesal saja,” Bima mulai protes karena pemandangannya telah pindah tempat.

“Sudah-sudah diam, itu Ayah sama Ibu sudah datang,” timpal Dito, ia melihat Hani, dan suami sudah datang mengenakan baju kembar, Hani mengenakan gamis berwarna putih, begitu juga suaminya memakai baju hem berwarna putih, tidak lupa juga tas yang ia bawa tas branded.

“Hay, maaf ibu, sama ayah telat dikit.” Hani menyengir karena merasa bersalah, padahal berangkatnya lebih dulu daripada Abidin.

“Kesasar, maklum kudet tidak paham sama daerah sini, ayahmu juga tidak paham sama G****e map.” Hani duduk bersebelahan dengan Bima, anak pertamanya.

“Tadi kan, Abidin ajak Ibu bareng, Ibu saja mengeyel tidak mau satu mobil sama kita, iya kan, Ma?” Abidin menoleh ke arah istri tercintanya, lalu Sindi hanya mengangguk.

Mana mungkin mau ayah Abidin harus satu mobil sama menantunya, lihat wajahnya saja malas apa lagi harus satu di ruang yang sama.

Bab terkait

  • Sama-sama Egois   Bab 6

    Pove Sindi.‘Kasihan, kak Bima. Masak iya laki-laki tampan dan memanjakan istri justru dikhianati, lalu apakabar dengan aku yang selama ini sabar menghadapi suamiku.’Aku menatap jenggah Mas Abidin, ia tampak sewot setelah aku duduk di depan Kak Bima, padahal kami hanya mengobrol sudah lama tidak berjumpa.“Jadi mau pesan apa ini? Biar aku pesankan, tuh lihat Ayu sudah kelaparan nunggu, Ibu.” Kata-kata Kak Bima membuyarkan lamunanku, ia menyodorkan sehelai kertas menu.“Ma, mau pesan apa?” Tanya Mas Abidin.“Terserah,” sahutku, iya memang aku masih marah sama dia soal tadi, sebenarnya malas juga ikut acara ini, apa lagi harus bersih tatap sama Ayah mertuaku.“Sama suami itu harus sopan, tidak boleh bicara seperti itu. Ayu, kamu kalau bicara harus sopan ya sama, Ditto.” Kata laki-laki yang kusebut den

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-10
  • Sama-sama Egois   Bab 7

    "Kalian, tidak menghargai undangan, Bima." Ayah mertua Sindi akhirnya angkat bicara ia tampak menghela napas menetralisir amarahnya agar tidak memuncak."Oh, jadi yang ngundang ini, Kak Bima? Bukan Ayah atau Ibu? Jika dari awal kalau, Kak Bima, yang ngundang lebih baik kami tidak ikut hadir." Abidin meraih kunci mobil miliknya ia mencengkram tangan Sindi."Mas, kamu kenapa? Mas lebih baik kita makan, dari tadi kamu belum makan, kan?""Aku sudah kenyang. Ayo pulang!" Abidin mencengkram tangan Sindi sampai berdarah."Mas ... lepas sakit!" Ucap Sindi ia melihat tangannya berdarah, namun Abidin engan untuk melepaskan tangannya."Abidin, apa ini caramu memperlakukan wanita. Aku bilang lepas!" Bima mulai angkat bicara ia meraih tangan Abidin, dan melepaskan cengkramannya, lalu ia meraih tangan Sindi dan berkata, "Apa ini sakit, maafkan adikku, yang tidak becus menjadi

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-10
  • Sama-sama Egois   Bab 8

    Pove Sindi.Kenapa aku yang selalu disalahkan, bahkan darah di bibirku masih segar, Mas Abidin tidak mempedulikanku sedikitpun, apalagi membelaku, sudah cukup, Mas! Keputusanku sudah bulat aku ingin berpisah saja darimu."Sindi." Mbak Ayu datang, ia meraih tanganku, aku masih shock memperhatian dua bersodara dan ibunya yang sedang bermanja setelah apa yang terjadi."Maafkan, Ayah, Sin." Ayu duduk di sampingku, aku masih terdiam hatiky masih sakit setelah apa yang terjadi kepadaku, tanpa alasan Mas Abidin semarah itu, ia tidak sadar perbuatannya tadi justru mengundangku dari masalah."Iya, Mbk, aku tidak apa-apa," ucapku, aku mencoba tersenyum walapun hati ini pedih, "Mbak Ayu, nginap disini?" Tanyaku, ia mengangguk."Sini aku obati luka di bibirmu." Mbak ayu membawa kota P3K."Sudah jangan diobati, Yu, biarkan saja dia mati!"Deg, jantungku serasa berhenti berdetak,

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-10
  • Sama-sama Egois   Bab 9

    [‘Istriku, meminta pisah dariku, padahal aku sudah memperlakukannya dengan baik, coba dia sedikit bersabar sepertimu, Anjani’]Apalagi ini, dia menceritakan semua aib keluarganya dengan wanita itu, pintar sekali kamu, Mas Abidin!Ting...Pesan masuk lagi gegas kulihat aplikasi berwarna hijau kulihat nama Anjani lagi, berani sekali wanita tersebut mengganggu suamiku terus menerus.[‘Mas.’]Pesan Anjani membuat darahku mendidih, ingin sekali rasanya jiwa ini menjambak dan mencabik kulitnya namun, kubiarkan saja, gegas ku letakan kembali gawai suamiku keatas nakas.Ting...Ting...Ting...Aku mendengus kesal, mungkin itu semua pesan dari wanita tersebut gegas kuraih gawai suamiku lagi tanganku gatal untuk membuka pesan dari Anjani.&nbs

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-10
  • Sama-sama Egois   bab 10

    Apa lagi mengingat kejadian tadi, ia menyeka air mata istriku, memang tidak tahu malu kakak-ku ini, gegas kubalas pesan dari kak Bima. [Sory, sibuk, mas Abidin, meminta untuk dilayani, jadi tidak sempat balas chat, kamu]Centang satu, lalu centang hijau, sengaja kukirim pesan seperti itu, agar dia tidak keganjenan sama istri orang. Kusungingkan senyum kemenangan.Pove Bima.Duduk di teras rumah sambil menyesap kopi, angin sepoy-sepoy menemaniku malam ini, malam yang begitu dingin, hati yang kesepian.Ting.Ponselku berdering, gegas kuambil benda pipih tersebut, mataku terbelalak melihat pesan yang baru saja kubaca. Aku tidak yakin jika Sindi mengirim pesan tersebut, bahkan tulisan Sindi tidak seperti itu biasanya, tulisan jadul yang di singkat-singkat, sudah pasti ini yang menjawab pesanku Abidin, adik kesayanganku. Memang hatiku sakit dengan Abidin, bahkan aku terus mengga

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-15
  • Sama-sama Egois   bab 11

    Sindi tidur membelakangi Abidin, kali ini Sindi sudah merasa yakin, jika berpisah adalah jalan satu-satunya."Sampai mati, aku tidak akan menceraikan kamu, Sin. biarkan, mas Bima, dalam imajinasinya, bahkan untuk menyentuhmu saja aku tidak akan mengizinkannya." ucap Abidin santai, ia tidur di belakang istrinya, ia memainkan rambut sang istri.Sindi mendengus kesal, ia menarik napas panjang, bahkan di dalam pikirannya sama sekali tidak tertarik dengan Kak Bima, apa lagi menikahi bekas ipar."Sin, untuk kejadian tadi, Mas, minta maaf," ucap Abidin, ia mencium pungung Sindi, merangkul istrinya. "Sudah terlambat, Mas, bahkan sama sekali aku tidak ingin memaafkan, mu." batin Sindi, ia menitihkan air mata. "Sin, Mas, tahu kalau kamu masih terjaga, Sin, Maafkan, Mas," ucap Abidin."Dan, sayangnya aku tidak akan memaafkan, kamu." Jawab Sindi, ia menepis tangan Abidin yang melingkar di perutnya. "Sin, kamu

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-15
  • Sama-sama Egois   bab 12

    Apa sih maunya, kak Bima?Coba aku keluar sebentar apa sebenarnya yang mau ia katakan. Gegas kulangkahkan kaki menuju kak Bima, ia tersenyum lebar menyambutku tanpa basa-basi langsung kutanya apa yang mau ia katakan. “Ada apa, kak Bima, menyuruhku kesini?”Kak Bima tersenyum lagi ia memperlihatkan gigi rapihnya dan berkata, “Sorry, mengangumu, Sin. Btw apa lukamu masih Sakit?” tanyanya, netraku membulat sempurna hanya karena mau bertanya ini katanya penting ya ampun kak Bima, membuang waktu istirahatku saja.“Ya ampun, kak Bima, hanya mau bertanya seperti ini lewat chat, Kan. Bisa?” aku mendengus kesal, ia malah memperlebar senyumanya, entah apa yang berada di pikirannya saat ini.“Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi, sepertinya aku harus kembali ke kamar. Tidak baik jika kita berada di sini hanya berdua jika, Ayah, Ibu, mbak Ayu, ataupun Mas Abidin lihat nanti akan berasumsi yang tidak-tidak,” ujarku pel

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-16
  • Sama-sama Egois   bab 13

    Kubopong Sindi, ia sudah lemas bibirnya pucat. "Auh... Sakit." Sindi memegangi perutnya."Sin, buka matamu! Sadar, Sin." Jujur aku sangat panik melihat Sindi seperti ini. "Sin!" Teriakanku keras mengundang penghuni rumah keluar dari tempat tidur masing-masing."Sindi kenapa?" Ayu keluar disusul juga suaminya."Kenapa, Dia?" Ayah bersama ibu juga menghampiri kami."Kamu apakan istriku, mas!" Bima mencengkeram kera bajuku aku mencoba tenang, buakannya dibawa lari ke RS, justru Abidin memarahiku membuang waktu saja."Kamu apakan istriku, Mas!" Kata Abidin lagi."Matamu tidak melihat atau memang kamu buta, istrimu sedang sekarat bukan langsung diangkat justru kamu Marah tidak jelas." Bug... Abidin memukulku lagi emosiku semakin memuncak aku tersunggur jatuh menindihi Sindi, Abidin mengangkatku lalu memukulku lagi. Bug... Bug... Bug... Pipi kiri-kanan Abidin memukuliku lagi, aku masih terdiam setelah emosiku memuncak kubalas pukulan tadi mendarat

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-17

Bab terbaru

  • Sama-sama Egois   Sindi di rawat

    ~Di rumah sakit~ Sindi berbaring lemah, selang bantu pernafasan susah terpasang rapi di hidungnya, dan jarum infus menyatu dengan telapak tangannya. “Dok, bagaimana keadaan istri saya?” tanya Abidin. “Dia mempunyai asam lambung, karena kebanyakan pikiran istri Anda menjadi stres, sebaiknya biarkan di rawat inap terlebih dahulu di sini.” Nasihat Dokter, Abidin hanya mengangguk patuh. “Baik, Dok. Terimakasih.” Dokter tersebut melengang keluar, barulah Bima dan Ayu masuk ke kamar rawat Sindi. Bima menatap tajam adik kandungnya—Abidin, ia menatap nyalang laki-laki yang berdiri dan mengelus punggung tangan istrinya. “Kalau sudah begini baru tahu rasa, kan?” tanya Bima sedikit mengejek. Abidin menarik napas, ia mencoba tak menghiraukan apa yang Kakak kandungnya—Bima, katakan. “Jaga baik-baik istrimu itu, Jika tidak ingin kehilangannya.” Kata Bima kembali, sedangkan Ayu ia menggeleng tak mengerti dengan Kakak dan adiknya, entah mengapa kedua laki-laki tersebut justru memperebutkan

  • Sama-sama Egois   bab 13

    Kubopong Sindi, ia sudah lemas bibirnya pucat. "Auh... Sakit." Sindi memegangi perutnya."Sin, buka matamu! Sadar, Sin." Jujur aku sangat panik melihat Sindi seperti ini. "Sin!" Teriakanku keras mengundang penghuni rumah keluar dari tempat tidur masing-masing."Sindi kenapa?" Ayu keluar disusul juga suaminya."Kenapa, Dia?" Ayah bersama ibu juga menghampiri kami."Kamu apakan istriku, mas!" Bima mencengkeram kera bajuku aku mencoba tenang, buakannya dibawa lari ke RS, justru Abidin memarahiku membuang waktu saja."Kamu apakan istriku, Mas!" Kata Abidin lagi."Matamu tidak melihat atau memang kamu buta, istrimu sedang sekarat bukan langsung diangkat justru kamu Marah tidak jelas." Bug... Abidin memukulku lagi emosiku semakin memuncak aku tersunggur jatuh menindihi Sindi, Abidin mengangkatku lalu memukulku lagi. Bug... Bug... Bug... Pipi kiri-kanan Abidin memukuliku lagi, aku masih terdiam setelah emosiku memuncak kubalas pukulan tadi mendarat

  • Sama-sama Egois   bab 12

    Apa sih maunya, kak Bima?Coba aku keluar sebentar apa sebenarnya yang mau ia katakan. Gegas kulangkahkan kaki menuju kak Bima, ia tersenyum lebar menyambutku tanpa basa-basi langsung kutanya apa yang mau ia katakan. “Ada apa, kak Bima, menyuruhku kesini?”Kak Bima tersenyum lagi ia memperlihatkan gigi rapihnya dan berkata, “Sorry, mengangumu, Sin. Btw apa lukamu masih Sakit?” tanyanya, netraku membulat sempurna hanya karena mau bertanya ini katanya penting ya ampun kak Bima, membuang waktu istirahatku saja.“Ya ampun, kak Bima, hanya mau bertanya seperti ini lewat chat, Kan. Bisa?” aku mendengus kesal, ia malah memperlebar senyumanya, entah apa yang berada di pikirannya saat ini.“Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi, sepertinya aku harus kembali ke kamar. Tidak baik jika kita berada di sini hanya berdua jika, Ayah, Ibu, mbak Ayu, ataupun Mas Abidin lihat nanti akan berasumsi yang tidak-tidak,” ujarku pel

  • Sama-sama Egois   bab 11

    Sindi tidur membelakangi Abidin, kali ini Sindi sudah merasa yakin, jika berpisah adalah jalan satu-satunya."Sampai mati, aku tidak akan menceraikan kamu, Sin. biarkan, mas Bima, dalam imajinasinya, bahkan untuk menyentuhmu saja aku tidak akan mengizinkannya." ucap Abidin santai, ia tidur di belakang istrinya, ia memainkan rambut sang istri.Sindi mendengus kesal, ia menarik napas panjang, bahkan di dalam pikirannya sama sekali tidak tertarik dengan Kak Bima, apa lagi menikahi bekas ipar."Sin, untuk kejadian tadi, Mas, minta maaf," ucap Abidin, ia mencium pungung Sindi, merangkul istrinya. "Sudah terlambat, Mas, bahkan sama sekali aku tidak ingin memaafkan, mu." batin Sindi, ia menitihkan air mata. "Sin, Mas, tahu kalau kamu masih terjaga, Sin, Maafkan, Mas," ucap Abidin."Dan, sayangnya aku tidak akan memaafkan, kamu." Jawab Sindi, ia menepis tangan Abidin yang melingkar di perutnya. "Sin, kamu

  • Sama-sama Egois   bab 10

    Apa lagi mengingat kejadian tadi, ia menyeka air mata istriku, memang tidak tahu malu kakak-ku ini, gegas kubalas pesan dari kak Bima. [Sory, sibuk, mas Abidin, meminta untuk dilayani, jadi tidak sempat balas chat, kamu]Centang satu, lalu centang hijau, sengaja kukirim pesan seperti itu, agar dia tidak keganjenan sama istri orang. Kusungingkan senyum kemenangan.Pove Bima.Duduk di teras rumah sambil menyesap kopi, angin sepoy-sepoy menemaniku malam ini, malam yang begitu dingin, hati yang kesepian.Ting.Ponselku berdering, gegas kuambil benda pipih tersebut, mataku terbelalak melihat pesan yang baru saja kubaca. Aku tidak yakin jika Sindi mengirim pesan tersebut, bahkan tulisan Sindi tidak seperti itu biasanya, tulisan jadul yang di singkat-singkat, sudah pasti ini yang menjawab pesanku Abidin, adik kesayanganku. Memang hatiku sakit dengan Abidin, bahkan aku terus mengga

  • Sama-sama Egois   Bab 9

    [‘Istriku, meminta pisah dariku, padahal aku sudah memperlakukannya dengan baik, coba dia sedikit bersabar sepertimu, Anjani’]Apalagi ini, dia menceritakan semua aib keluarganya dengan wanita itu, pintar sekali kamu, Mas Abidin!Ting...Pesan masuk lagi gegas kulihat aplikasi berwarna hijau kulihat nama Anjani lagi, berani sekali wanita tersebut mengganggu suamiku terus menerus.[‘Mas.’]Pesan Anjani membuat darahku mendidih, ingin sekali rasanya jiwa ini menjambak dan mencabik kulitnya namun, kubiarkan saja, gegas ku letakan kembali gawai suamiku keatas nakas.Ting...Ting...Ting...Aku mendengus kesal, mungkin itu semua pesan dari wanita tersebut gegas kuraih gawai suamiku lagi tanganku gatal untuk membuka pesan dari Anjani.&nbs

  • Sama-sama Egois   Bab 8

    Pove Sindi.Kenapa aku yang selalu disalahkan, bahkan darah di bibirku masih segar, Mas Abidin tidak mempedulikanku sedikitpun, apalagi membelaku, sudah cukup, Mas! Keputusanku sudah bulat aku ingin berpisah saja darimu."Sindi." Mbak Ayu datang, ia meraih tanganku, aku masih shock memperhatian dua bersodara dan ibunya yang sedang bermanja setelah apa yang terjadi."Maafkan, Ayah, Sin." Ayu duduk di sampingku, aku masih terdiam hatiky masih sakit setelah apa yang terjadi kepadaku, tanpa alasan Mas Abidin semarah itu, ia tidak sadar perbuatannya tadi justru mengundangku dari masalah."Iya, Mbk, aku tidak apa-apa," ucapku, aku mencoba tersenyum walapun hati ini pedih, "Mbak Ayu, nginap disini?" Tanyaku, ia mengangguk."Sini aku obati luka di bibirmu." Mbak ayu membawa kota P3K."Sudah jangan diobati, Yu, biarkan saja dia mati!"Deg, jantungku serasa berhenti berdetak,

  • Sama-sama Egois   Bab 7

    "Kalian, tidak menghargai undangan, Bima." Ayah mertua Sindi akhirnya angkat bicara ia tampak menghela napas menetralisir amarahnya agar tidak memuncak."Oh, jadi yang ngundang ini, Kak Bima? Bukan Ayah atau Ibu? Jika dari awal kalau, Kak Bima, yang ngundang lebih baik kami tidak ikut hadir." Abidin meraih kunci mobil miliknya ia mencengkram tangan Sindi."Mas, kamu kenapa? Mas lebih baik kita makan, dari tadi kamu belum makan, kan?""Aku sudah kenyang. Ayo pulang!" Abidin mencengkram tangan Sindi sampai berdarah."Mas ... lepas sakit!" Ucap Sindi ia melihat tangannya berdarah, namun Abidin engan untuk melepaskan tangannya."Abidin, apa ini caramu memperlakukan wanita. Aku bilang lepas!" Bima mulai angkat bicara ia meraih tangan Abidin, dan melepaskan cengkramannya, lalu ia meraih tangan Sindi dan berkata, "Apa ini sakit, maafkan adikku, yang tidak becus menjadi

  • Sama-sama Egois   Bab 6

    Pove Sindi.‘Kasihan, kak Bima. Masak iya laki-laki tampan dan memanjakan istri justru dikhianati, lalu apakabar dengan aku yang selama ini sabar menghadapi suamiku.’Aku menatap jenggah Mas Abidin, ia tampak sewot setelah aku duduk di depan Kak Bima, padahal kami hanya mengobrol sudah lama tidak berjumpa.“Jadi mau pesan apa ini? Biar aku pesankan, tuh lihat Ayu sudah kelaparan nunggu, Ibu.” Kata-kata Kak Bima membuyarkan lamunanku, ia menyodorkan sehelai kertas menu.“Ma, mau pesan apa?” Tanya Mas Abidin.“Terserah,” sahutku, iya memang aku masih marah sama dia soal tadi, sebenarnya malas juga ikut acara ini, apa lagi harus bersih tatap sama Ayah mertuaku.“Sama suami itu harus sopan, tidak boleh bicara seperti itu. Ayu, kamu kalau bicara harus sopan ya sama, Ditto.” Kata laki-laki yang kusebut den

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status