Namun, benda pipih itu tidak berada di saku celana, ia kembali menelisik tas berwarna hitam lalu merogoh semua sudut tas.
Dan akirnya menemukan benda pipih itu, super kilat Sindi merazia ponsel suaminya. Seketika di buat kaget oleh benda pipi itu, netranya melihat panggilan Videocall masuk dan keluar.“Anjani,” tangan Sindi mulai bergemetar melihat panggilan masuk dan keluar bahkan ia tidak pernah di telepon oleh suaminya, tapi justru suaminya menelepon wanita lain.
Tetap penasaran dengan isi Chat yang belum sampat ia baca, Riri menangis meminta Susu.
Ponsel di letakan di atas Nakas Sindi bergegas menuju Riri, lalu memberi asi kehidupan.Setelah setengah jam Riri menyusu, Sindi kembali lagi mengecek ponsel Abidin, tapi dengan berat hati Chat yang beluk sempat ia baca di hapus oleh suaminya. Sindi mencengkeram ponsel Abidin dan menaruh kembali di atas nakas dengan kasar.BRAK...
begitu bunyinya.Sindi terisak dan duduk di tepi ranjang memandangi Raka bermain dan Riri mengguling ke kanan, dan ke kiri.
Ia merasa sakit hati dengan sikap Suaminya bahkan nama Anjani dulu pernah hadir di dalam hidup suaminya dan bisa disebut mantan terindah.
Rahangku mengeras melihat panggilan telepon dari mantan kekasih suamiku, ia setega ini membodohiku, bahkan aku sudah susah payah untuk memperjuangkan rumah tangga ini, semakin ke sini semakin bulat keputusanku untuk berpisah darinya.
Malas rasanya di rumah ini, ingin sekali kaki ini melangkah pergi menjalani hidup yang bebas tanpa tekanan dari orang lain.
“Kita cerai saja, Mas!”
Dia terdiam, dan berhenti mengunyah nasi goreng yang masih berada di dalam mulutnya, netranya menatapku dengan tajam.
“Bicara omong kosong, apa lagi ini, Sin? Sudah jangan bercanda, lanjutkan makan malam, cepat dihabiskan nanti, Riri, dan Raka keburu nangis.”
“Aku serius, Mas. Kita sebaiknya berpisah saja itu lebih baik,” ucapku, rasanya berat untuk berkata seperti ini.
Ia meletakan sendok di atas piring, sembari meneguk air putih ia menatapku intens.“Sin, pernikahan ini sakral kamu tahu kan perceraian di haramkan di agama kita? Kalau masih bisa di pertahankan kenapa tidak, hanya masalah sepele kamu besar-besarkan, lihat Riri, dan Raka. Kamu mau anak kita nanti seperti kamu?”
“Maksud, Mas. Seperti aku gimana? Jelas in!”
Aku meletakan sendok dengan kasar, merasa tersinggung dengan ucapan suamiku. Memang orang tuaku sudah bercerai ketika aku masih duduk di kelas empat sekolah dasar, kenapa harus di sangkut pautkan dengan masalah orang tuaku?
“Kalau kita berpisah menuruti ego kita, anak-anak yang jadi korban, seharusnya kamu berpikir terlebih dahulu, gimana nasibmu setelah orang tuamu berpisah tidak jelas, kan? Terus apa kamu bahagia hidup tanpa kedua orang tua? Aku mohon pikir lagi keputusan konyolmu itu, Sin!” ia pergi meninggalkanku mematung di meja makan, mungkin selera makannya sudah hilang, ketika aku mulai membahas perpisahan yang sempat tertunda kemarin.
Aku terdiam dan berpikir sejenak, sudah kupikir matang-matang, keputusan sudah bulat tidak bisa di ganggu gugat, kecuali, ia mau keluar dari neraka ini bersamaku, dan tinggal kos ataupun kontrak di luaran sana bersama anak-anak.
“Mas, aku belum selesai bicara,” ucapku menarik pergelangan tangan suamiku yang hendak pergi meninggalkanku.
“Apa lagi? Cukup aku sudah tahu apa yang ingin kamu bicarakan, aku rasa itu tidak penting, dan buang-buang emosiku saja, habiskan nasimu, dan tidurkan anak-anak,” terdengar lantang suara laki-laki yang disebut suamiku itu.
“Mas!” teriaku, ini kesempatan emasku untuk mencecar habis Mas Abidin tentang panggilan telepon bersama Anjani, kedua mertuaku pergi keluar, ini kesempatanku untuk meluapkan segala emosiku.
“Mas!” teriakku lagi setelah panggilan pertamaku tak dihiraukan.
“Apa?! Sudah jangan membuat aku emosi, Sin! Aku lelah.”
Dia bilang lelah, padahal selama ini aku yang lelah, lelah menghadapi Ibunya yang suka mengatur pengeluaran, Ayahnya yang suka menindasku, hanya satu permintaan saja yang aku minta tidak pernah dikabulkan olehnya, aku hanya minta keluar dari rumah ini, cari kos, atau kontrakan yang bisa membuat hari-hariku nyaman tanpa ada penekanan, bukan meminta sebongkah berlian dan harta melimpah, aku hanya mau kita bisa hidup mandiri berdua bersama anak-anak itu saja. Bukannya sandang, dan mapan itu suatu kewajiban suami? bahkan untuk tinggal di kos kecil tidak akan memakan habis hartanya.
“Ada apa lagi ini, Din?!” suara familier itu mengagetkanku, suara yang selalu menusuk gendang telingaku dan membuat hatiku sakit setiap hari, suara Ayah dari suamiku, beliau tiba-tiba datang, kukira beliau masih berada di luar, tapi dugaanku salah, berarti beliau mendengar semua percakapan kami tadi.
“Kurang enak apa lagi kamu tinggal disini, kamu meminta cerai anak saya, silakan. Anak saya sudah bertanggung jawab, menafkahi kamu, memberi apa yang ia punya, mengutamakan kamu, tapi apa balasanmu, kamu meminta pisah, silahkan!”
Jantungku mulai tidak normal, tekanannya sangat cepat, keringat dingin keluar dari kulitku, terasa dingin telapak tanganku melihat tatapan dingin Ayah mertuaku.
“Ayah, Abidin mohon, ayah tidak usah ikut campur dengan masalah rumah tangga kami,”
“Ini kesalahanmu, memilih istri yang salah, kamu mungut di jalan, dan membawanya pulang tanpa tahu bibit bobot keluarganya, dari dulu ayah sudah melarangmu untuk menikahi wanita ini, tapi kamu saja yang susah diatur.” Imbuhnya membuat hatiku semakin sulit bernapas.
Tumpah buliran bening di peluluk mataku, terasa sakit kata-katanya selalu saja mengucap ‘mungut di jalan’, serendah itu aku di mata mertuaku, selama ini memang beliau tidak pernah menyukaiku, walaupun benar pun tetap salah di matanya.
“Ayah, Abidin mohon, biar kami menyelesaikan masalah rumah tangga kami sendiri, Ayah!” tegas Abidin setelah melihat buliran bening di pelupuk mataku terjatuh, mungkin ia baru sadar kalau hatiku selama ini sakit dengan lisan orang tuanya.
“Kalau wanita ini meminta cerai, ya sudah ceraikan saja! Wanita di luaran sana masih bayak, Nak!”
Sepasang matanya menatap sinis aku, membuatku bergidik ngeri.“Wanita yang tidak tahu rasa bersyukur ini tidak pantas di sandingkan dengan kamu, Abidin!”Ini yang membuatku tidak betah tinggal di rumah ini, lisannya selalu menyakitiku, aturan yang membuatku susah bernapas, setiap kami bertengkar beliau selalu ikut campur.
“Cukup, Ayah, cukup! Hinaanmu selama ini saya terima dengan senang hati. Namun, kali ini tidak lagi, sudah cukup selama empat tahun ini, percuma ayah Shalat liwa waktu kalau lisannya menyakiti orang lain!”
Entah kekuatan, dan dorongan dari mana aku bisa menjawab semua hinaannya, mungkin karena hati ini sudah tidak bisa menampungnya lagi.
“Terus kamu tidak terima, Hah!” kedua telapak tangannya mengepal aku tahu jika Ayah mertuaku saat ini sangat emosi.
“Sudah cukup, Ayah!” teriak mas Abidin.
“Sudah ceraikan saja wanita ini, Nak! Ayah sudah tidak sudi lagi mempunyai memantu seperti dia, masih banyak wanita di luaran sana, kamu tinggal tunjuk pasti ada wanita yang lebih baik dari wanita ini,” ia menunjuk wajahku, menatap sinis ke arahku.
“Ayah, Abidin mohon, kembali ke kamar, biar kami menyelesaikan masalah rumah tangga kami sendiri!”
“Sudah kere, di pungut kesini tidak tahu diri, bisa-bisanya minta cerai, memang bisa dia hidup tanpa anak saya, belagu kayak bisa cari uang sendiri saja,” gerutu ayah mertuaku seraya melangkah pergi meninggalkan kami di ruang makan.
Aku terduduk lemas di kursi, mencerna semua caci-maki orang yang selama ini aku segani seperti orang tuaku sendiri.
“Sin,” suamiku mencoba menyentuhku, aku terdiam mencerna kata-kata yang masuk ke dalam indra pendengaranku, aku menepis tangannya, malas sekali di sentuh olehnya, semua penghinaan ini akibat ulahnya coba saja dia mau kuajak hidup mandiri, dan pisah rumah maka aku tidak akan stres seperti ini setiap hari.“Sin, maafin semua kata-kata, Ayah!”“Cukup, Mas. Segera urus surat penceraian kita, keputusanku sudah bulat, kecuali kamu mau pisah rumah dan secepatnya cari kos, atau kontrakan!” tegasku.Terlihat wajah suamiku pucat pasi, sudah kuduga dia tidak akan mau pisah rumah, dan memilih untuk berpisah denganku.“Mas!” teriakku lagi sedikit lirih, “Jawab, Mas!” aku merasa Frustrasi lalu masuk ke kamar menenangkan diri sendiri.Mengadakan makan malam dadakan, di Restoran bernuansa coklat tampak klasik berpanduan dengan suara seruling, suara nyanyian tempo dulu, nuansa seperti berada di kota Yogya,
Pove Sindi.‘Kasihan, kak Bima. Masak iya laki-laki tampan dan memanjakan istri justru dikhianati, lalu apakabar dengan aku yang selama ini sabar menghadapi suamiku.’Aku menatap jenggah Mas Abidin, ia tampak sewot setelah aku duduk di depan Kak Bima, padahal kami hanya mengobrol sudah lama tidak berjumpa.“Jadi mau pesan apa ini? Biar aku pesankan, tuh lihat Ayu sudah kelaparan nunggu, Ibu.” Kata-kata Kak Bima membuyarkan lamunanku, ia menyodorkan sehelai kertas menu.“Ma, mau pesan apa?” Tanya Mas Abidin.“Terserah,” sahutku, iya memang aku masih marah sama dia soal tadi, sebenarnya malas juga ikut acara ini, apa lagi harus bersih tatap sama Ayah mertuaku.“Sama suami itu harus sopan, tidak boleh bicara seperti itu. Ayu, kamu kalau bicara harus sopan ya sama, Ditto.” Kata laki-laki yang kusebut den
"Kalian, tidak menghargai undangan, Bima." Ayah mertua Sindi akhirnya angkat bicara ia tampak menghela napas menetralisir amarahnya agar tidak memuncak."Oh, jadi yang ngundang ini, Kak Bima? Bukan Ayah atau Ibu? Jika dari awal kalau, Kak Bima, yang ngundang lebih baik kami tidak ikut hadir." Abidin meraih kunci mobil miliknya ia mencengkram tangan Sindi."Mas, kamu kenapa? Mas lebih baik kita makan, dari tadi kamu belum makan, kan?""Aku sudah kenyang. Ayo pulang!" Abidin mencengkram tangan Sindi sampai berdarah."Mas ... lepas sakit!" Ucap Sindi ia melihat tangannya berdarah, namun Abidin engan untuk melepaskan tangannya."Abidin, apa ini caramu memperlakukan wanita. Aku bilang lepas!" Bima mulai angkat bicara ia meraih tangan Abidin, dan melepaskan cengkramannya, lalu ia meraih tangan Sindi dan berkata, "Apa ini sakit, maafkan adikku, yang tidak becus menjadi
Pove Sindi.Kenapa aku yang selalu disalahkan, bahkan darah di bibirku masih segar, Mas Abidin tidak mempedulikanku sedikitpun, apalagi membelaku, sudah cukup, Mas! Keputusanku sudah bulat aku ingin berpisah saja darimu."Sindi." Mbak Ayu datang, ia meraih tanganku, aku masih shock memperhatian dua bersodara dan ibunya yang sedang bermanja setelah apa yang terjadi."Maafkan, Ayah, Sin." Ayu duduk di sampingku, aku masih terdiam hatiky masih sakit setelah apa yang terjadi kepadaku, tanpa alasan Mas Abidin semarah itu, ia tidak sadar perbuatannya tadi justru mengundangku dari masalah."Iya, Mbk, aku tidak apa-apa," ucapku, aku mencoba tersenyum walapun hati ini pedih, "Mbak Ayu, nginap disini?" Tanyaku, ia mengangguk."Sini aku obati luka di bibirmu." Mbak ayu membawa kota P3K."Sudah jangan diobati, Yu, biarkan saja dia mati!"Deg, jantungku serasa berhenti berdetak,
[‘Istriku, meminta pisah dariku, padahal aku sudah memperlakukannya dengan baik, coba dia sedikit bersabar sepertimu, Anjani’]Apalagi ini, dia menceritakan semua aib keluarganya dengan wanita itu, pintar sekali kamu, Mas Abidin!Ting...Pesan masuk lagi gegas kulihat aplikasi berwarna hijau kulihat nama Anjani lagi, berani sekali wanita tersebut mengganggu suamiku terus menerus.[‘Mas.’]Pesan Anjani membuat darahku mendidih, ingin sekali rasanya jiwa ini menjambak dan mencabik kulitnya namun, kubiarkan saja, gegas ku letakan kembali gawai suamiku keatas nakas.Ting...Ting...Ting...Aku mendengus kesal, mungkin itu semua pesan dari wanita tersebut gegas kuraih gawai suamiku lagi tanganku gatal untuk membuka pesan dari Anjani.&nbs
Apa lagi mengingat kejadian tadi, ia menyeka air mata istriku, memang tidak tahu malu kakak-ku ini, gegas kubalas pesan dari kak Bima. [Sory, sibuk, mas Abidin, meminta untuk dilayani, jadi tidak sempat balas chat, kamu]Centang satu, lalu centang hijau, sengaja kukirim pesan seperti itu, agar dia tidak keganjenan sama istri orang. Kusungingkan senyum kemenangan.Pove Bima.Duduk di teras rumah sambil menyesap kopi, angin sepoy-sepoy menemaniku malam ini, malam yang begitu dingin, hati yang kesepian.Ting.Ponselku berdering, gegas kuambil benda pipih tersebut, mataku terbelalak melihat pesan yang baru saja kubaca. Aku tidak yakin jika Sindi mengirim pesan tersebut, bahkan tulisan Sindi tidak seperti itu biasanya, tulisan jadul yang di singkat-singkat, sudah pasti ini yang menjawab pesanku Abidin, adik kesayanganku. Memang hatiku sakit dengan Abidin, bahkan aku terus mengga
Sindi tidur membelakangi Abidin, kali ini Sindi sudah merasa yakin, jika berpisah adalah jalan satu-satunya."Sampai mati, aku tidak akan menceraikan kamu, Sin. biarkan, mas Bima, dalam imajinasinya, bahkan untuk menyentuhmu saja aku tidak akan mengizinkannya." ucap Abidin santai, ia tidur di belakang istrinya, ia memainkan rambut sang istri.Sindi mendengus kesal, ia menarik napas panjang, bahkan di dalam pikirannya sama sekali tidak tertarik dengan Kak Bima, apa lagi menikahi bekas ipar."Sin, untuk kejadian tadi, Mas, minta maaf," ucap Abidin, ia mencium pungung Sindi, merangkul istrinya. "Sudah terlambat, Mas, bahkan sama sekali aku tidak ingin memaafkan, mu." batin Sindi, ia menitihkan air mata. "Sin, Mas, tahu kalau kamu masih terjaga, Sin, Maafkan, Mas," ucap Abidin."Dan, sayangnya aku tidak akan memaafkan, kamu." Jawab Sindi, ia menepis tangan Abidin yang melingkar di perutnya. "Sin, kamu
Apa sih maunya, kak Bima?Coba aku keluar sebentar apa sebenarnya yang mau ia katakan. Gegas kulangkahkan kaki menuju kak Bima, ia tersenyum lebar menyambutku tanpa basa-basi langsung kutanya apa yang mau ia katakan. “Ada apa, kak Bima, menyuruhku kesini?”Kak Bima tersenyum lagi ia memperlihatkan gigi rapihnya dan berkata, “Sorry, mengangumu, Sin. Btw apa lukamu masih Sakit?” tanyanya, netraku membulat sempurna hanya karena mau bertanya ini katanya penting ya ampun kak Bima, membuang waktu istirahatku saja.“Ya ampun, kak Bima, hanya mau bertanya seperti ini lewat chat, Kan. Bisa?” aku mendengus kesal, ia malah memperlebar senyumanya, entah apa yang berada di pikirannya saat ini.“Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi, sepertinya aku harus kembali ke kamar. Tidak baik jika kita berada di sini hanya berdua jika, Ayah, Ibu, mbak Ayu, ataupun Mas Abidin lihat nanti akan berasumsi yang tidak-tidak,” ujarku pel
~Di rumah sakit~ Sindi berbaring lemah, selang bantu pernafasan susah terpasang rapi di hidungnya, dan jarum infus menyatu dengan telapak tangannya. “Dok, bagaimana keadaan istri saya?” tanya Abidin. “Dia mempunyai asam lambung, karena kebanyakan pikiran istri Anda menjadi stres, sebaiknya biarkan di rawat inap terlebih dahulu di sini.” Nasihat Dokter, Abidin hanya mengangguk patuh. “Baik, Dok. Terimakasih.” Dokter tersebut melengang keluar, barulah Bima dan Ayu masuk ke kamar rawat Sindi. Bima menatap tajam adik kandungnya—Abidin, ia menatap nyalang laki-laki yang berdiri dan mengelus punggung tangan istrinya. “Kalau sudah begini baru tahu rasa, kan?” tanya Bima sedikit mengejek. Abidin menarik napas, ia mencoba tak menghiraukan apa yang Kakak kandungnya—Bima, katakan. “Jaga baik-baik istrimu itu, Jika tidak ingin kehilangannya.” Kata Bima kembali, sedangkan Ayu ia menggeleng tak mengerti dengan Kakak dan adiknya, entah mengapa kedua laki-laki tersebut justru memperebutkan
Kubopong Sindi, ia sudah lemas bibirnya pucat. "Auh... Sakit." Sindi memegangi perutnya."Sin, buka matamu! Sadar, Sin." Jujur aku sangat panik melihat Sindi seperti ini. "Sin!" Teriakanku keras mengundang penghuni rumah keluar dari tempat tidur masing-masing."Sindi kenapa?" Ayu keluar disusul juga suaminya."Kenapa, Dia?" Ayah bersama ibu juga menghampiri kami."Kamu apakan istriku, mas!" Bima mencengkeram kera bajuku aku mencoba tenang, buakannya dibawa lari ke RS, justru Abidin memarahiku membuang waktu saja."Kamu apakan istriku, Mas!" Kata Abidin lagi."Matamu tidak melihat atau memang kamu buta, istrimu sedang sekarat bukan langsung diangkat justru kamu Marah tidak jelas." Bug... Abidin memukulku lagi emosiku semakin memuncak aku tersunggur jatuh menindihi Sindi, Abidin mengangkatku lalu memukulku lagi. Bug... Bug... Bug... Pipi kiri-kanan Abidin memukuliku lagi, aku masih terdiam setelah emosiku memuncak kubalas pukulan tadi mendarat
Apa sih maunya, kak Bima?Coba aku keluar sebentar apa sebenarnya yang mau ia katakan. Gegas kulangkahkan kaki menuju kak Bima, ia tersenyum lebar menyambutku tanpa basa-basi langsung kutanya apa yang mau ia katakan. “Ada apa, kak Bima, menyuruhku kesini?”Kak Bima tersenyum lagi ia memperlihatkan gigi rapihnya dan berkata, “Sorry, mengangumu, Sin. Btw apa lukamu masih Sakit?” tanyanya, netraku membulat sempurna hanya karena mau bertanya ini katanya penting ya ampun kak Bima, membuang waktu istirahatku saja.“Ya ampun, kak Bima, hanya mau bertanya seperti ini lewat chat, Kan. Bisa?” aku mendengus kesal, ia malah memperlebar senyumanya, entah apa yang berada di pikirannya saat ini.“Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi, sepertinya aku harus kembali ke kamar. Tidak baik jika kita berada di sini hanya berdua jika, Ayah, Ibu, mbak Ayu, ataupun Mas Abidin lihat nanti akan berasumsi yang tidak-tidak,” ujarku pel
Sindi tidur membelakangi Abidin, kali ini Sindi sudah merasa yakin, jika berpisah adalah jalan satu-satunya."Sampai mati, aku tidak akan menceraikan kamu, Sin. biarkan, mas Bima, dalam imajinasinya, bahkan untuk menyentuhmu saja aku tidak akan mengizinkannya." ucap Abidin santai, ia tidur di belakang istrinya, ia memainkan rambut sang istri.Sindi mendengus kesal, ia menarik napas panjang, bahkan di dalam pikirannya sama sekali tidak tertarik dengan Kak Bima, apa lagi menikahi bekas ipar."Sin, untuk kejadian tadi, Mas, minta maaf," ucap Abidin, ia mencium pungung Sindi, merangkul istrinya. "Sudah terlambat, Mas, bahkan sama sekali aku tidak ingin memaafkan, mu." batin Sindi, ia menitihkan air mata. "Sin, Mas, tahu kalau kamu masih terjaga, Sin, Maafkan, Mas," ucap Abidin."Dan, sayangnya aku tidak akan memaafkan, kamu." Jawab Sindi, ia menepis tangan Abidin yang melingkar di perutnya. "Sin, kamu
Apa lagi mengingat kejadian tadi, ia menyeka air mata istriku, memang tidak tahu malu kakak-ku ini, gegas kubalas pesan dari kak Bima. [Sory, sibuk, mas Abidin, meminta untuk dilayani, jadi tidak sempat balas chat, kamu]Centang satu, lalu centang hijau, sengaja kukirim pesan seperti itu, agar dia tidak keganjenan sama istri orang. Kusungingkan senyum kemenangan.Pove Bima.Duduk di teras rumah sambil menyesap kopi, angin sepoy-sepoy menemaniku malam ini, malam yang begitu dingin, hati yang kesepian.Ting.Ponselku berdering, gegas kuambil benda pipih tersebut, mataku terbelalak melihat pesan yang baru saja kubaca. Aku tidak yakin jika Sindi mengirim pesan tersebut, bahkan tulisan Sindi tidak seperti itu biasanya, tulisan jadul yang di singkat-singkat, sudah pasti ini yang menjawab pesanku Abidin, adik kesayanganku. Memang hatiku sakit dengan Abidin, bahkan aku terus mengga
[‘Istriku, meminta pisah dariku, padahal aku sudah memperlakukannya dengan baik, coba dia sedikit bersabar sepertimu, Anjani’]Apalagi ini, dia menceritakan semua aib keluarganya dengan wanita itu, pintar sekali kamu, Mas Abidin!Ting...Pesan masuk lagi gegas kulihat aplikasi berwarna hijau kulihat nama Anjani lagi, berani sekali wanita tersebut mengganggu suamiku terus menerus.[‘Mas.’]Pesan Anjani membuat darahku mendidih, ingin sekali rasanya jiwa ini menjambak dan mencabik kulitnya namun, kubiarkan saja, gegas ku letakan kembali gawai suamiku keatas nakas.Ting...Ting...Ting...Aku mendengus kesal, mungkin itu semua pesan dari wanita tersebut gegas kuraih gawai suamiku lagi tanganku gatal untuk membuka pesan dari Anjani.&nbs
Pove Sindi.Kenapa aku yang selalu disalahkan, bahkan darah di bibirku masih segar, Mas Abidin tidak mempedulikanku sedikitpun, apalagi membelaku, sudah cukup, Mas! Keputusanku sudah bulat aku ingin berpisah saja darimu."Sindi." Mbak Ayu datang, ia meraih tanganku, aku masih shock memperhatian dua bersodara dan ibunya yang sedang bermanja setelah apa yang terjadi."Maafkan, Ayah, Sin." Ayu duduk di sampingku, aku masih terdiam hatiky masih sakit setelah apa yang terjadi kepadaku, tanpa alasan Mas Abidin semarah itu, ia tidak sadar perbuatannya tadi justru mengundangku dari masalah."Iya, Mbk, aku tidak apa-apa," ucapku, aku mencoba tersenyum walapun hati ini pedih, "Mbak Ayu, nginap disini?" Tanyaku, ia mengangguk."Sini aku obati luka di bibirmu." Mbak ayu membawa kota P3K."Sudah jangan diobati, Yu, biarkan saja dia mati!"Deg, jantungku serasa berhenti berdetak,
"Kalian, tidak menghargai undangan, Bima." Ayah mertua Sindi akhirnya angkat bicara ia tampak menghela napas menetralisir amarahnya agar tidak memuncak."Oh, jadi yang ngundang ini, Kak Bima? Bukan Ayah atau Ibu? Jika dari awal kalau, Kak Bima, yang ngundang lebih baik kami tidak ikut hadir." Abidin meraih kunci mobil miliknya ia mencengkram tangan Sindi."Mas, kamu kenapa? Mas lebih baik kita makan, dari tadi kamu belum makan, kan?""Aku sudah kenyang. Ayo pulang!" Abidin mencengkram tangan Sindi sampai berdarah."Mas ... lepas sakit!" Ucap Sindi ia melihat tangannya berdarah, namun Abidin engan untuk melepaskan tangannya."Abidin, apa ini caramu memperlakukan wanita. Aku bilang lepas!" Bima mulai angkat bicara ia meraih tangan Abidin, dan melepaskan cengkramannya, lalu ia meraih tangan Sindi dan berkata, "Apa ini sakit, maafkan adikku, yang tidak becus menjadi
Pove Sindi.‘Kasihan, kak Bima. Masak iya laki-laki tampan dan memanjakan istri justru dikhianati, lalu apakabar dengan aku yang selama ini sabar menghadapi suamiku.’Aku menatap jenggah Mas Abidin, ia tampak sewot setelah aku duduk di depan Kak Bima, padahal kami hanya mengobrol sudah lama tidak berjumpa.“Jadi mau pesan apa ini? Biar aku pesankan, tuh lihat Ayu sudah kelaparan nunggu, Ibu.” Kata-kata Kak Bima membuyarkan lamunanku, ia menyodorkan sehelai kertas menu.“Ma, mau pesan apa?” Tanya Mas Abidin.“Terserah,” sahutku, iya memang aku masih marah sama dia soal tadi, sebenarnya malas juga ikut acara ini, apa lagi harus bersih tatap sama Ayah mertuaku.“Sama suami itu harus sopan, tidak boleh bicara seperti itu. Ayu, kamu kalau bicara harus sopan ya sama, Ditto.” Kata laki-laki yang kusebut den