Aku yang terdorong ke belakang sontak terhuyung jatuh, tapi dengan sigap tangan Arjun menarik dengan kuat, sehingga tubuhku terpelanting ke dalam pelukannya.
Aku menikmati dada bidang dengan aroma tubuhnya yang khas. Kedua tanganku yang melingkar di pinggangnya, tak sengaja meremas jasnya. Arjun pun seolah menikmati aroma tubuku dan rambutku.
"Parfum rambutmu, aroma tubuhmu, ini Zhee banget," bisiknya di telingaku. "Mayang, siapa kamu sebenarnya?" lanjutnya masih berbisik.
Aku mendongak menatapnya, mata kami saling beradu, hatiku berdebar-debar tak karuan. Aku yakin Arjun bisa mendengarkannya. Karena aku pun bisa mendengar detak jantung Arjun. Apakah Arjun mengenaliku? Tidak mungkin ada debaran di jantungnya bila tidak mengenal aku.
"Tidak mungkin kamu bisa menjauh dariku, Mayang alias Zhee Amalia," bisiknya menggoda.
"Apa sih? Aku tidak tahu anda bilang apa?" hardikku.
"Mayang!" panggil Ivan berteriak.
"Ivan," jawa
Sopir melajukan mobilnya dengan kencang menuju rumah sakit. Aku tidur di pangkuan Reza. Aku merasakan tangan perkasa Reza membelai rambutku dengan sayang. "Eko, jangan ngebut-ngebut, jalanan sedang ramai! Sekarang Zhee sudah tenang bisa tidur, santai saja utamakan kenyamanannya," saran Reza. "Baik, Bos!" jawabnya tegas. Ciiiit .... bragh! Baru saja bibirnya menjawab dengan tegas kecelakaan pun terjadi. "Eko, apa yang terjadi?" hardik Reza terkejut dan emosi. "Tiba-tiba saja ada anak kecil menyeberang jalan, Bos," jawab Eko gugup. Bergegas Eko keluar dan mendapati anak kecil pingsan dengan kepalanya berlumuran darah. Sebentar kemudian Reza pun menyusul keluar dari mobil. "Bagaimana keadaannya, Eko?" tanya Reza. "Tanggungjawab, Pak, bawa dia ke rumah sakit!" desak orang-orang yang berdatangan mulai mengerumuninya. "Baik, saya akan tanggung jawab, saya akan bawa dia ke rumah sakit!" janji Reza pada massa yang
Operasi telah berhasil, Nayna telah melewati masa kritisnya. Aku masih tertegun dengan hati hancur dan sakit. Terlebih Reza, dia menangis histeris bahkan sesaat dia marah dan benci kepadaku. Karena rahasia besar ini baru bisa terkuak setelah semuanya terlambat. Andai dari awal Reza tahu dia memliki Nayna, tentu Reza tidak memaksa aku menikah dengan Arjun hanya demi anak karena menuruti keinginan kedua orang tuanya. Nayna adalah nama yang sebenarnya pernah kita bicarakan. Reza pernah menyampaikan keinginannya sewaktu kita pacaran dulu, dia ingin memiliki anak pertama seorang bayi cewek dan akan diberi nama Nayna. Dan keinginannya terwujud tanpa sepengetahuannya. Tak sengaja pandangan kami beradu, mataku yang sembab membuat Reza luluh juga. "Istirahatlah, Zhee!" katanya lembut. "Tidak, aku ingin akulah orang pertama yang dia lihat saat matanya terbuka nanti. Itu caraku meminta maaf padanya. Tok .. tok ... tok! Pintu ruangan diketuk. Aku dan Reza
Dret ... dret ... dret! Kembali Arjun menelepon. Dengan sedikit bergeser Reza mengangkat teleponnya. "Iya, Arjun?" sapanya saat telepon diangkat. ( ... ) "Ya sudah aku segera datang, suruh Eko menjemputku!" ujar Reza. "Arjun, bisa temani Zhee di rumah sakit dulu?" tanyanya seakan berat diucapkan. ( ... ) "Terima kasih, Arjun. Kamar Dahlia 1 atas nama Nayna ya?" ucapnya pelan dan sedih, kemudian menutup teleponnya. Seolah tidak memberi kesempatan Arjun untuk bertanya lebih lanjut. Dia berjalan menghampiri aku dan Nayna. Tatapan penuh cinta dan sayang seorang bapak kepada Nayna, anaknya. "Aku ingin bicara, ikutlah!" kataku sambil menarik tangannya mengajak menjauh dari Nayna. "Ada apa, Sayang?" tanya Reza. "Bagaimana kamu mengambil keputusan tanpa membicarakannya kepadaku? Kenapa kamu memanggil Arjun kemari, Mas? Apa maksudmu?" tanyaku kecewa. "Bukankah kamu merindukannya? Kalian harus saling bicara, Zhee!
Perlahan kubuka mataku, dokter sedang berbicara kepada Arjun di sampingku. "Nyonya tidak boleh stres, dia juga harus bedrest, Pak," kata dokter. "Tensi darahnya cenderung naik, ini bahaya buat keduanya," ungkap dokter menjelaskan. Arjun memandang aku yang sedang menahan air mata agar tidak meleleh. "Nyonya, jangan banyak berpikir dan beraktifitas dulu ya! Ada sedikit flek, untung bayinya kuat dia tidak apa-apa. Nyonya harus lebih hati-hati ya, kontrol emosi, sekali lagi jangan stres!" pesan dokter. "Anak saya tidak apa-apa, Dok?" tanya Arjun meyakinkan. Aku terperanjat, kami saling berpandangan. Arjun lupa kalau yang dokter tahu aku adalah istri Reza, bagaimana Arjun keceplosan bilang anaknya. "Makanya jaga tensinya agar tidak tinggi. Bayi nyonya terlalu dini untuk dilahirkan bila terjadi sesuatu," dokter memberi peringatan keras. "Katakan pada Pak Reza agar ikut menjaga moodnya istri. Hari ini dia hampir kehilangan bayin
Reza terperanjat melihat keakraban Arjun dengan Nayna. Bukan saja Zhee yang jatuh cinta pada Arjun, kini putri kecilnya yang baru ditemukan pun juga mulai jatuh hati pada Arjun. "Papa, kalau Nayna sudah sembuh bolehkah ikut pulang ke rumah papa?" tanya Nayna kemudian. "Tentu saja boleh sayang, nanti kita bicara sama Bu Anifah ya?" jawab Reza yang duduk di dekat Zhee. "Bagaimana keadaan anakku, Zhee? Apa kata dokter?" tanya Reza. "Sehat tidak ada masalah kok, hanya tekanan darahku yang tiba-tiba naik," jawabku. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Zhee? Bukankah sudah ada Arjun menemanimu?" tanya Reza menggoda. "Selamat sore!" sapa dokter kepada kita semua. "Sore, Dokter," jawab kami bersamaan. "Dok, boleh saya melihat USG anak saya? Saya ingin melihat hasil pemeriksaan keseluruhan baik ibu maupun bayinya," pinta Reza. "Bisa, saya tunggu di ruangan saya ya?" jawab dokter ramah. "Suster, tolong bantu dia bawa ke ruanga
"Ssssssstt! aku menutup bibirku dengan telunjuk mengisyaratkan diam. Kalau Arjun memanggil hanya namaku di depan para pembantu, maka akan makin heboh. Aku tahu mereka sudah sering ghibah tentang kami berdua. "Di depan pembantu jangan memanggilku Zhee, Arjun!" bisikku lirih. "Aku terkejut, spontan deh. Bagaimana kabar Nayna, dia tidak ngambek harus kembali ke panti?" tanya Arjun masih juga memikirkan perasaan Nayna. "Dia baik-baik saja, aku dan Mas Reza akan segera mengurus surat adopsi," kataku. Aku melihat pembantu pada menjauh dan menghindar. Sedikit lega rasanya karena ada sedikit kebebasan. "Apakah harus lewat adopsi untuk mengasuhnya?" tanya Arjun. "Kayaknya iya, Arjun, soalnya aku tidak memiliki bukti apapun kalau aku ibu yang melahirkannya," jawabku sedih. "Dan dia sudah memiliki akte kelahiran anak dari pasangan pengadopsi." "Ya coba saja minta pertimbangan Bu Anifah bagaimana harusnya pasti dia jauh lebih tahu," jawab Arjun. "Mbak Diana!" teriak Yuni seolah memberi kod
"Mayang, apa benar kamu hamil, kenapa tiba-tiba perutmu buncit sih? Apa aku yang baru menyadari?" bisik Diah. "Iya aku hamil, emangnya kenapa?" jawabku berbisik. "Apa kamu sudah menikah, aku tidak pernah dengar kamu cerita tentang suamimu,. Lagian status kamu kan belum kawin?" tanya Diah penasaran. "Emangnya kamu pernah tanya tentang suamiku? Aku belum sempat mengurus KK dan mengubah statusku," jawabku asal. "Kok tidak tahu tiba-tiba buncit besar usia berapa, Mayang?" tanya Diah berbisik masih penasaran. "22 minggu. Aku selalu mengenakan baju longgar makanya kamu tidak menyangka kan?" jawabku berbisik. "Benar juga." Tiba-tiba lift berhenti dan terbuka saat sampai di lantai 10. Diah bergegas keluar sambil pamit kepada presdir, "Mari Pak Presdir, saya duluan!" pamit Diah. "Iya." jawab Reza singkat. Aku mengikutinya dari belakang, tidak sengaja kakiku tersandung kaki Arjun dan terjerembab, untung Arjun sigap menangkapnya. "Auh!" teriakku spontan histeris. Reza juga hendak men
Aku tahu Diana sedang menjebakku dengan posisi seperti ini. Diana ingin aku mengatakan tentang anak yang kukandung, benarkah? "Yakin kamu menanyakan ayah bayi ini, Diana?" tanyaku sambil menatap Arjun dan menggoda Diana. "Arjun, suamiku lagi sibuk boleh antar aku periksa kandungan? Besuk aku harus kontrol!" kataku manja menggoda. Teman-teman timku terperanjat dengan sikapku. Semua mata menatapku seolah tak percaya. "Mayang!" bisik Diah sambil menyikut lenganku karena terkejut melihat keberanianku terhadap asisten presdir dan istrinya. "Mayang, kamu lagi mabok ya?" bisik Rodeo. Aku menatap Arjun yang salah tingkah. Aku ingin menguji perasaannya, apakah dia berani berada di depan pasang badan untuk melindungiku. Beranikah dia menentukan sikap diantara aku dan Diana? "Mayang," Arjun memanggil. "Waduh sayang sekali kita minggu ini banyak acara kan, Mas Arjun?" sahut Diana mematahkan. "Arjun, benarkah kamu tidak ada waktu untukku?" kataku merajuk manja. Semua pandangan semakin her