Aku dan Arjun sudah berada di dalam kereta api. Sepanjang jalan Arjun mendekap tubuhku dengan erat. Sebentar-sebentar dia mencium rambutku penuh sayang. Dunia benar-benar milik berdua, itu kata orang yang sedang dimabuk cinta. "I love you, my wife!" bisik Arjun di telingaku. Terasa melayang tubuhku terbuai rayuan menggelitik Arjun. Tanpa ragu aku segera mencium bibirnya dengan lembut. Untung kelas bisnis hanya segelintir orang itu pun mereka duduk di depan. Sehingga apapun yang aku lakukan tidak seorang pun melihatnya. Arjun membalas ciumanku lebih bernafsu. Kami berdua melepaskan rindu yang lama bergelora. Tiba-tiba ciuman Arjun mulai turun ke leher. Aku semakin tidak bisa mengendalikannya bahkan aku menikmatinya. Kami berdua terbakar nafsu birahi di dalam kereta itu. Dan aku menurut saat Arjun menarik tubuhku ke pangkuannya. Bahkan kami berdua melakukannya di kereta. Aku duduk di pangkuannya menghadap ke depan dan Arjun memelukku dari belakang sambil menggoyqngkan tubuhku ke segal
Dari stasiun aku naik taksi pulang ke rumah karena Arjun langsung meluncur ke rumah sakit. Aku bisa melihat betapa muramnya wajah Arjun karena menerima dua kabar yang tak terduga. Dia kehilangan nyawa anaknya dan nyaris kehilangan istrinya. Sesampai di depan rumah aku mengurungkan niatku untuk keluar dari taksi. "Pak, kita nggak jadi pulang, tolong antarkan ke Rumah Sakit Pelita Harapan saja!" pintaku kepada sopir taksi. "Baik. Nyonya," jawab sopir taksi. Entah apa yang membuat aku berubah pikiran ingin segera tahu keadaan Diana. Aku penasaran jangan-jangan ini hanyalah drama Diana saja. Karena kehabisan akal untuk membawa Arjun kembali pulang. Atau jangan-jangan bersekongkol dengan Mas Reza. Sopir taksi memutar arah kemudian melaju dengan kencang. Tidak membutuhkan waktu lama karena jaraknya tidak begitu jauh. Aku menelusuri lorong rumah sakit dengan kemelut di hatiku. Kadang terbersit rasa bersalahku sebagai sesama wanita. Tapi aku juga istrinya yang hadir lebih dulu dengan sit
Aku dan Reza masuk lift menuju 8/F, kemudian naik tangga ke rooftop. Di situ aku melihat Arjun menangis mengiba memohon Diana mengurungkan niatnya. Aku melihat wajah Diana yang panik dan gemetar. Ada dua orang sekuriti di dekat Arjun. Di lantai dasar orang-orang ramai berteriak histeris. "Tabahkan hatimu, Mbak! Semoga pelakor itu mendapatkan ganjaran yang setimpal!" teriak seorang wanita sangat keras dari lantai dasar. Kutukan itu seolah tertuju padaku, aku tiba-tiba merasa menjadi orang jahat dan egois. "Diana, aku berjanji tidak akan pernah meninggalkan kamu lagi. Turunlah!" pinta Arjun sambil menangis gugup. Melihat istrinya berdiri di pagar pembatas rooftop, Arjun begitu hancur. Baru aku menyadari bahwa dia ternyata juga begitu mencintai Diana. Ini sangat menegangkan, sedikit saja salah melangkah atau hilang keseimbangan dia akan terjatuh dari gedung ini. Betul-betul tidak masuk akal! "Nyonya Zhee, apakah kamu mau berjanji, mulai detik ini kamu tidak akan menemui suamiku lagi?"
Aku tidak kuasa menahan tangis setelah mendengar keputusan dokter. Bayiku harus lahir prematur dengan berat 1,6 kg diusianya baru 30 minggu. Situasi yang sungguh menyiksa kami berdua. Aku yakin kalau saja Arjun mendengarnya dia pun akan terpukul. Dokter menyuntikkan suatu obat ke tubuhku, demi buah hatiku aku hanya pasrah. Entah kenapa setelah disuntik reaksi dari tubuhku, menjadi gatal-gatal. Bukan itu saja namun tiba-tiba mual mau muntah, sangat menyiksa sekali. "Dokter yakin bayi saya harus dilahirkan?" tanyaku ragu. "Demi keselamatan ibu juga bayinya terpaksa ini harus dilakukan, Nyonya!" kata dokter sedih. "Apakah bayi saya bisa bertahan, Dokter? Dia masih terlalu kecil," sahut Reza. "Makanya kita berusaha dengan suntikan pematangan organ demi baby bisa hidup," ujar dokter pelan. "Tapi kenapa bayi saya sekarang tidak banyak bergerak, Dok? Apa yang terjadi?" tanyaku sedih dan panik. "Jangan khawatir, detak jantung bayi bagus. Ibu istirahat yang cukup! Masih dua kali suntikan
Berat sekali aku membuka mataku, ternyata aku harus dibius total dan ini pengaruh obat sehingga aku merasa masih penuh halu. Aku seperti sedang bertemu papa dan mamaku yang sudah lama meninggal. Mereka memelukku dengan hangat, kemudian mereka melepaskan pelukannya dan pergi. Ketika aku memanggilnya mereka hanya melambaikan tangannya sambil tersenyum penuh sayang. Aku menangis, kembali kupaksa membuka mataku yang masih terasa berat bahkan pendengaranku pun samar-samar dan terasa jauh. Aku menatap kaca jendela dengan memicingkan mataku. Terlihat Reza dan Arjun menatapku dengan shahdu dari jendela. Anehnya di sekitar mereka aku melihat banyak anak kecil menglilinginya sambil ikut mengintai aku dengan senyum mencibir. Aku membulatkankan mataku meyakinkan pandanganku tetapi anak-anak itu berjingkrak-jingkrak sambil tertawa mengejek. Apakah mereka adalah mahluk yang tak kasap mata? Tidak ada tenaga dan daya untuk mengangkat tanganku agar bisa memberi isyarat kepada Reza maupun Arjun. Pand
Tak lama dokter dan perawat datang menolongku. Aku masih bisa merasakan perawat sedang memompa lenganku untuk mengecek tensi darahku. "Tensinya terus turun, Dok," kata perawat gusar. Dokter memeriksaku dengan stetoskop, tak lama kemudian aku merasa ada suntikan di lenganku. "Tolong keluar dulu ya, Pak! Dokter sedang berusaha menolong istri bapak," pinta perawat. "Tapi istri saya tidak apa-apa kan, Dok?" tanya Reza panik. "Makanya kita akan periksa dulu," jawab perawat. "Zheeee, bangun! Jangan tinggalkan aku! Kasihan anak kita, Zhee!" teriak Arjun tiba-tiba di depan pintu. Ternyata dia belum benar-benar pergi. Aku masih bisa mendengar teriakannya meskipun terasa samar-samar dan terasa sangat jauh. "Aku berjanji, kalau dengan aku menjauhimu membuat kamu lebih bahagia maka aku akan menjauh dari kehidupanmu, Zhee!" lanjutnya. "Anak kita tampan sekali, Zhee!" katanya masih berteriak. "Arjun, kamu gila ya?" hardik Reza kesal. "Yah, aku gila ... aku gila!" gerutunya pada dirinya se
Dokter mengijinkan aku pulang karena kondisiku sudah membaik. Tapi bayiku masih harus tinggal di rumah sakit. Karena dia masih harus di dalam inkubator dengan alat medis terhubung di tubuh mungilnya. "Aku mau kembali ke asrama kantor, Mas!" pintaku begitu masuk di dalam mobil. "Memangnya kamu masih ingin bekerja di kantor? Dan kamu yakin anak kita akan kamu tinggal bekerja?" tanya Reza yang keberatan dengan keputusanku. "Aku tidak mau kembali ke rumah kita," kataku tegas. "Walaupun Arjun dan Diana sudah pergi dari sana?" sahutnya. "Apa mereka sudah pergi?" sahutku balik bertanya. "Iya, bahkan dia pamit kepadamu saat kamu tak sadar kemarin." "Dia datang ke rumah sakit kan?" tanyaku meyakinkan. "Iya." Reza menjawab dengan tegas, hancur sekali hatiku. Mendengar Arjun benar-benar pergi dari hidupku. Apalagi perginya bersama Diana otomatis dia lebih memilih Diana dibanding aku dan anaknya. Aku tidak menyangka kemarahanku yang hanya di bibir benar-benar ditanggapi serius oleh Arjun
Aku melajukan mobilku dengan kencang menuju rumah sakit. Aku ingin bertemu Arjun, dan membujuknya agar mau kembali ke sisiku. Ternyata baru kusadari bahwa aku tidak bisa hidup tanpa dia. Aku harus mengatakan ini juga kepada Mas Reza agar dia tahu perasaanku sebenarnya. Aku berlari melewati lorong menuju ruang bersalin dan ruang bayi. Mataku mencari-cari dimanakah Arjun dan Reza janji bertemu? Oh ternyata dia melihat baby di dalam ruang bayi. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh takut mereka melihatku. Kini mereka berdua keluar dan duduk di bangku taman depan ruang bayi. Perlahan aku berjalan mengendap-endap mendekatinya. Sengaja aku ingin menguping pembicaraan mereka. "Kenapa kamu harus resign, Arjun?" tanya Reza singkat. "Selamanya kita berempat tidak akan bahagia, Bos. Ini berat bagi kita berempat, semua saling menyakiti dan tersakiti," gumam Arjun. Hatiku berdesir mendengarnya, aku bisa mengerti situasi yang sedang diungkapkan oleh Arjun. Tapi aku semakin takut Arjun mengambil k