Dret ... dret ... dret! Kembali Arjun menelepon. Dengan sedikit bergeser Reza mengangkat teleponnya.
"Iya, Arjun?" sapanya saat telepon diangkat.
( ... )
"Ya sudah aku segera datang, suruh Eko menjemputku!" ujar Reza. "Arjun, bisa temani Zhee di rumah sakit dulu?" tanyanya seakan berat diucapkan.
( ... )
"Terima kasih, Arjun. Kamar Dahlia 1 atas nama Nayna ya?" ucapnya pelan dan sedih, kemudian menutup teleponnya. Seolah tidak memberi kesempatan Arjun untuk bertanya lebih lanjut.
Dia berjalan menghampiri aku dan Nayna. Tatapan penuh cinta dan sayang seorang bapak kepada Nayna, anaknya.
"Aku ingin bicara, ikutlah!" kataku sambil menarik tangannya mengajak menjauh dari Nayna.
"Ada apa, Sayang?" tanya Reza.
"Bagaimana kamu mengambil keputusan tanpa membicarakannya kepadaku? Kenapa kamu memanggil Arjun kemari, Mas? Apa maksudmu?" tanyaku kecewa.
"Bukankah kamu merindukannya? Kalian harus saling bicara, Zhee!
Perlahan kubuka mataku, dokter sedang berbicara kepada Arjun di sampingku. "Nyonya tidak boleh stres, dia juga harus bedrest, Pak," kata dokter. "Tensi darahnya cenderung naik, ini bahaya buat keduanya," ungkap dokter menjelaskan. Arjun memandang aku yang sedang menahan air mata agar tidak meleleh. "Nyonya, jangan banyak berpikir dan beraktifitas dulu ya! Ada sedikit flek, untung bayinya kuat dia tidak apa-apa. Nyonya harus lebih hati-hati ya, kontrol emosi, sekali lagi jangan stres!" pesan dokter. "Anak saya tidak apa-apa, Dok?" tanya Arjun meyakinkan. Aku terperanjat, kami saling berpandangan. Arjun lupa kalau yang dokter tahu aku adalah istri Reza, bagaimana Arjun keceplosan bilang anaknya. "Makanya jaga tensinya agar tidak tinggi. Bayi nyonya terlalu dini untuk dilahirkan bila terjadi sesuatu," dokter memberi peringatan keras. "Katakan pada Pak Reza agar ikut menjaga moodnya istri. Hari ini dia hampir kehilangan bayin
Reza terperanjat melihat keakraban Arjun dengan Nayna. Bukan saja Zhee yang jatuh cinta pada Arjun, kini putri kecilnya yang baru ditemukan pun juga mulai jatuh hati pada Arjun. "Papa, kalau Nayna sudah sembuh bolehkah ikut pulang ke rumah papa?" tanya Nayna kemudian. "Tentu saja boleh sayang, nanti kita bicara sama Bu Anifah ya?" jawab Reza yang duduk di dekat Zhee. "Bagaimana keadaan anakku, Zhee? Apa kata dokter?" tanya Reza. "Sehat tidak ada masalah kok, hanya tekanan darahku yang tiba-tiba naik," jawabku. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Zhee? Bukankah sudah ada Arjun menemanimu?" tanya Reza menggoda. "Selamat sore!" sapa dokter kepada kita semua. "Sore, Dokter," jawab kami bersamaan. "Dok, boleh saya melihat USG anak saya? Saya ingin melihat hasil pemeriksaan keseluruhan baik ibu maupun bayinya," pinta Reza. "Bisa, saya tunggu di ruangan saya ya?" jawab dokter ramah. "Suster, tolong bantu dia bawa ke ruanga
"Ssssssstt! aku menutup bibirku dengan telunjuk mengisyaratkan diam. Kalau Arjun memanggil hanya namaku di depan para pembantu, maka akan makin heboh. Aku tahu mereka sudah sering ghibah tentang kami berdua. "Di depan pembantu jangan memanggilku Zhee, Arjun!" bisikku lirih. "Aku terkejut, spontan deh. Bagaimana kabar Nayna, dia tidak ngambek harus kembali ke panti?" tanya Arjun masih juga memikirkan perasaan Nayna. "Dia baik-baik saja, aku dan Mas Reza akan segera mengurus surat adopsi," kataku. Aku melihat pembantu pada menjauh dan menghindar. Sedikit lega rasanya karena ada sedikit kebebasan. "Apakah harus lewat adopsi untuk mengasuhnya?" tanya Arjun. "Kayaknya iya, Arjun, soalnya aku tidak memiliki bukti apapun kalau aku ibu yang melahirkannya," jawabku sedih. "Dan dia sudah memiliki akte kelahiran anak dari pasangan pengadopsi." "Ya coba saja minta pertimbangan Bu Anifah bagaimana harusnya pasti dia jauh lebih tahu," jawab Arjun. "Mbak Diana!" teriak Yuni seolah memberi kod
"Mayang, apa benar kamu hamil, kenapa tiba-tiba perutmu buncit sih? Apa aku yang baru menyadari?" bisik Diah. "Iya aku hamil, emangnya kenapa?" jawabku berbisik. "Apa kamu sudah menikah, aku tidak pernah dengar kamu cerita tentang suamimu,. Lagian status kamu kan belum kawin?" tanya Diah penasaran. "Emangnya kamu pernah tanya tentang suamiku? Aku belum sempat mengurus KK dan mengubah statusku," jawabku asal. "Kok tidak tahu tiba-tiba buncit besar usia berapa, Mayang?" tanya Diah berbisik masih penasaran. "22 minggu. Aku selalu mengenakan baju longgar makanya kamu tidak menyangka kan?" jawabku berbisik. "Benar juga." Tiba-tiba lift berhenti dan terbuka saat sampai di lantai 10. Diah bergegas keluar sambil pamit kepada presdir, "Mari Pak Presdir, saya duluan!" pamit Diah. "Iya." jawab Reza singkat. Aku mengikutinya dari belakang, tidak sengaja kakiku tersandung kaki Arjun dan terjerembab, untung Arjun sigap menangkapnya. "Auh!" teriakku spontan histeris. Reza juga hendak men
Aku tahu Diana sedang menjebakku dengan posisi seperti ini. Diana ingin aku mengatakan tentang anak yang kukandung, benarkah? "Yakin kamu menanyakan ayah bayi ini, Diana?" tanyaku sambil menatap Arjun dan menggoda Diana. "Arjun, suamiku lagi sibuk boleh antar aku periksa kandungan? Besuk aku harus kontrol!" kataku manja menggoda. Teman-teman timku terperanjat dengan sikapku. Semua mata menatapku seolah tak percaya. "Mayang!" bisik Diah sambil menyikut lenganku karena terkejut melihat keberanianku terhadap asisten presdir dan istrinya. "Mayang, kamu lagi mabok ya?" bisik Rodeo. Aku menatap Arjun yang salah tingkah. Aku ingin menguji perasaannya, apakah dia berani berada di depan pasang badan untuk melindungiku. Beranikah dia menentukan sikap diantara aku dan Diana? "Mayang," Arjun memanggil. "Waduh sayang sekali kita minggu ini banyak acara kan, Mas Arjun?" sahut Diana mematahkan. "Arjun, benarkah kamu tidak ada waktu untukku?" kataku merajuk manja. Semua pandangan semakin her
Aku dan Arjun sudah berada di dalam kereta api. Sepanjang jalan Arjun mendekap tubuhku dengan erat. Sebentar-sebentar dia mencium rambutku penuh sayang. Dunia benar-benar milik berdua, itu kata orang yang sedang dimabuk cinta. "I love you, my wife!" bisik Arjun di telingaku. Terasa melayang tubuhku terbuai rayuan menggelitik Arjun. Tanpa ragu aku segera mencium bibirnya dengan lembut. Untung kelas bisnis hanya segelintir orang itu pun mereka duduk di depan. Sehingga apapun yang aku lakukan tidak seorang pun melihatnya. Arjun membalas ciumanku lebih bernafsu. Kami berdua melepaskan rindu yang lama bergelora. Tiba-tiba ciuman Arjun mulai turun ke leher. Aku semakin tidak bisa mengendalikannya bahkan aku menikmatinya. Kami berdua terbakar nafsu birahi di dalam kereta itu. Dan aku menurut saat Arjun menarik tubuhku ke pangkuannya. Bahkan kami berdua melakukannya di kereta. Aku duduk di pangkuannya menghadap ke depan dan Arjun memelukku dari belakang sambil menggoyqngkan tubuhku ke segal
Dari stasiun aku naik taksi pulang ke rumah karena Arjun langsung meluncur ke rumah sakit. Aku bisa melihat betapa muramnya wajah Arjun karena menerima dua kabar yang tak terduga. Dia kehilangan nyawa anaknya dan nyaris kehilangan istrinya. Sesampai di depan rumah aku mengurungkan niatku untuk keluar dari taksi. "Pak, kita nggak jadi pulang, tolong antarkan ke Rumah Sakit Pelita Harapan saja!" pintaku kepada sopir taksi. "Baik. Nyonya," jawab sopir taksi. Entah apa yang membuat aku berubah pikiran ingin segera tahu keadaan Diana. Aku penasaran jangan-jangan ini hanyalah drama Diana saja. Karena kehabisan akal untuk membawa Arjun kembali pulang. Atau jangan-jangan bersekongkol dengan Mas Reza. Sopir taksi memutar arah kemudian melaju dengan kencang. Tidak membutuhkan waktu lama karena jaraknya tidak begitu jauh. Aku menelusuri lorong rumah sakit dengan kemelut di hatiku. Kadang terbersit rasa bersalahku sebagai sesama wanita. Tapi aku juga istrinya yang hadir lebih dulu dengan sit
Aku dan Reza masuk lift menuju 8/F, kemudian naik tangga ke rooftop. Di situ aku melihat Arjun menangis mengiba memohon Diana mengurungkan niatnya. Aku melihat wajah Diana yang panik dan gemetar. Ada dua orang sekuriti di dekat Arjun. Di lantai dasar orang-orang ramai berteriak histeris. "Tabahkan hatimu, Mbak! Semoga pelakor itu mendapatkan ganjaran yang setimpal!" teriak seorang wanita sangat keras dari lantai dasar. Kutukan itu seolah tertuju padaku, aku tiba-tiba merasa menjadi orang jahat dan egois. "Diana, aku berjanji tidak akan pernah meninggalkan kamu lagi. Turunlah!" pinta Arjun sambil menangis gugup. Melihat istrinya berdiri di pagar pembatas rooftop, Arjun begitu hancur. Baru aku menyadari bahwa dia ternyata juga begitu mencintai Diana. Ini sangat menegangkan, sedikit saja salah melangkah atau hilang keseimbangan dia akan terjatuh dari gedung ini. Betul-betul tidak masuk akal! "Nyonya Zhee, apakah kamu mau berjanji, mulai detik ini kamu tidak akan menemui suamiku lagi?"