Reza menyiapkan kejutan romantis di hari ulang tahunku.
"Kita nikmati hari spesial ini, Sayang? Aku tidak ingin seorang pun mengganggu kita," bisiknya lembut di telingaku, sambil kemudian menarik kursi untuk aku duduk.
"Terima kasih, Mas," jawabku lembut.
Reza mengambil tempat duduk tepat di depanku. Dia terus menatapku seolah banyak hal yang ingin disampaikannya.
"Ayo kita makan keburu dingin!" pintanya.
"Wow makanan kesukaanku, kamu paling tahu aku, Mas," ujarku haru dan bahagia sekali.
"Selamat ulang tahun, Sayang!" bisik Reza. "Ini hadiah spesial buatmu," lanjutnya sambil memberikan sebuah kontak mobil.
"Apa ini, Mas Reza? Mobil? Terima kasih, Sayang!" ujarku beranjak bangun kemudian memeluk dan mencium Reza.
"Iya, warna putih kesukaanmu, tapi sayang mobilnya ada di rumah," ujar Reza.
"Aku penasaran ingin segera mencobanya, Mas Reza!" ujarku masih kegirangan.
"Aku seneng melihat kamu bahagia, Zhee," ujarnya dengan mata berbinar-binar. "Ayo kita makan!" ajaknya lagi.
Tanpa berpikir panjang aku segera menikmatinya. Kebetulan perutku sedang melilit kelaparan. Reza terus menatapku tak berkedip, aku jadi salah tingkah.
"Udah dong lihatnya, aku malu nih!" pintaku merajuk.
"Aku suka melihat kamu makannya lahap, habiskan saja!" sahutnya tersenyum lembut.
Aku makan dengan lahapnya, nafsu makanku benar-benar tidak terkendali begitu ketemu dengan rica-rica paru sapi. Dan sudah menjadi kebiasaanku selesai makan pinginnya nangkring di kloset.
"Langganan, habis diisi bablas dikeluarkan," umpat Reza bercanda.
Aku hanya melirik ke arah Reza sambil tersenyum malu. Tak lama kemudian aku kembali Reza sudah tidak berada di meja makan. Aku melihat dia berdiri di balkon sambil menatap pemandangan hijau yang sedikit berkabut. Di puncak dengan hawa yang dingin dan sejuk, memandang jauh hamparan telaga dengan perahu yang berlalu-lalang.
"Kamu di sini?" tanyaku mengagetkan Reza.
Dia bergeming, hanya sekilas melirikku. Aku memeluknya dari belakang, kusandarkan kepalaku di punggungnya yang bidang. Perlahan Reza membalikkan badannya, kulihat matanya penuh air bening yang menggenang. Aku terkejut sekali, ada kesedihan dan keputusasaan.
"Zhee Amalia," panggilnya pelan.
Aku hanya menatap heran, sikap Reza yang tiba-tiba berubah aneh.
"Kutalak kamu dengan sesadar- sadarnya tanpa paksaan," ujar Reza dengan pelan dan matanya menatapku tajam.
"Mas Reza, apa kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan? Ini benar-benar jatuh talak di agama kita, Mas. Sebagai lelaki kamu harus hati-hati kalau bercanda!" hardikku kecewa.
"Ini sudah jatuh talak, Zhee, kita sudah bukan suami istri lagi di hukum agama. Tapi kamu masih istriku menurut hukum negara," kata Reza menjelaskan. "Aku tidak akan pernah menceraikanmu," lanjutnya lirih.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu, Mas Reza?" tanyaku emosi.
"Menikahlah dengan Arjun secara agama, beri aku seorang anak sebagai penerus keluargaku!" ujarnya pelan.
"Kamu gila! Aku tidak tahu apa yang ada dalam otak kamu!" hardikku kesal.
"Aku serius, Zhee!" serunya. "Aku ingin anak yang lahir dari rahimmu bukan hasil perselingkuhan," lanjutnya.
"Kamu gila!" hardikku emosi.
"Dengarkan dulu, Zhee!"
"Kamu yang harus mendengarkan aku! Kita berusaha lagi, Mas! Kita berobat ke luar negeri, jangan putus asa!" kataku menghibur.
"Aku capek, Zhee! Aku benci semua orang menyalahkan kamu, termasuk keluargaku. Aku malu mengatakan kepada mereka kalau akulah yang tidak bisa menjadi suami yang seutuhnya. Jangankan untuk memberikan anak, memberikan kebutuhanmu saja aku tidak bisa ... hiks ... hiks ... hiks!" ujarnya sambil menangis.
"Apa pernah kamu membicarakan ini kepadaku? Pernahkah kamu memikirkan perasaanku, apa yang aku inginkan? Jangan kamu memikirkan dirimu sendiri, apa yang terbaik menurut kamu belum tentu baik juga buat orang lain," hardikku emosi.
"Apa kau kira aku bahagia dengan keputusanku ini? Aku sakit, Zhee!" ujar Reza memekik menahan tangisnya.
"Kenapa kamu melakukan ini, Mas? Ini akan menyakiti kita berdua!" kataku lebih emosi..
"Aku sangat mencintaimu, Zhee, aku ingin kamu bahagia," ujar Reza tegas. "Biarkan aku mengungkapkan cintaku dengan caraku," lanjutnya.
"Kamu jangan gila, Mas Reza!" emosiku makin meluap. "Aku bukan barang yang bisa kamu lempar sesuka hatimu, aku manusia punya rasa, Mas Reza!" teriakku geram.
"Menikahlah dengan Arjuna, beri aku anak yang tampan seperti Arjuna. Reguklah kenikmatan yang harusnya kamu dapatkan," katanya pelan.
"Mas Reza!" bentakku.
"Jangan bantah aku, aku tidak suka itu!" ujarnya pelan dan tegas dengan telunjuknya mengarah ke wajahku.
Aku melihat Reza sedang menyembunyikan air mata dan kesedihannya. Hatiku begitu hancur, dia menjatuhkan aku sejatuh- jatuhnya. Dia mengambil ponselnya dari saku jasnya.
"Arjun, masuklah!" perintahnya setelah menyentil layar ponselnya. Kemudian memasukannya kembali ke saku jasnya.
"Saya Big Bos," jawab Arjun setelah sampai di depan Reza.
"Arjun, menikahlah dengan istriku!" perintahnya dengan datar.
"Hah? Apa?" tanya Arjun tak percaya.
"Apa kurang jelas? Apa aku harus mengulanginya?" tanya Reza kesal. "Beri aku seorang anak, Arjun. Aku tidak mau mendapat tekanan di sana-sini lantaran aku dan Zhee belum punya anak," lanjutnya.
”Kita bisa cari jalan keluarnya, Bos!" usul Arjun.
"Aku tidak butuh saranmu, Arjun. Aku yang lebih tahu jalan terbaik buat diriku sendiri!" sahut Reza membentak.
"Tapi bagaimana mungkin ..."
"Kenapa tidak, aku sudah menceraikan Zhee secara agama, kamu bisa menikahinya secara agama pula," sahut Reza.
"Apa?" Arjun terperanjat.
"Biarkan dia terikat pernikahan secara hukum negara denganku selamanya. Aku sangat mencintai Zhee, aku juga ingin mempertahankan kehormatan keluargaku," ungkap Reza sedih.
"Bagaimana dengan nyonya, Bos?" tanya Arjun sambil menatapku iba, karena melihat aku sedang menangis tersedu.
"Kamu tidak berhak bertanya macam-macam, sudah turuti saja! Kamu hanya menikah menurut agama tidak akan ada orang yang tahu. Hanya tiga orang yang tahu, pak Ustadz, Eko serta Parto tukang kebun, karena mereka sebagai saksi," Reza menjelaskan.
"Aku sudah bertunangan, Bos, aku tidak bisa mengkhianati Diana," katanya pelan.
"Aku hanya ingin anak itu lahir dalam hubungan pernikahan bukan anak haram. Kamu tidak perlu bilang sama tunanganmu, ini rahasia kita bertiga," sahut Reza.
Arjun melirikku kemudian menatap Reza. Dia diam seolah sedang berpikir keras. Aku yakin dia tidak berdaya dengan permohonan bosnya. Dia yang membantu biaya kuliahnya selama ini dan memberikan pekerjaan dengan gaji yang fantastik.
Ting Tong ... Ting Tong ...! Bel pintu berbunyi. Arjun segera berlari membukakan pintu. Ternayata yang datang ustadz dan pak kebun serta sopir pribadiku.
"Masuklah!" perintah Reza begitu tahu mereka yang datang. "Duduklah!" lanjutnya.
Arjun terperanjat, kehadiran ustadz begitu tiba-tiba tanpa sepengetahuannya. Padahal dalam segala hal biasanya Arjunlah orang yang pertama tahu.
"Bos, apa ini maksudnya?" tanya Arjun berbisik.
"Duduklah, dia akan menikahkan kamu!" perintah Reza lirih.
"Bagaimana bisa? Kan ada masa Iddah?" tanya Arjun masih berbisik.
"Tidak perlu, kau kan tahu sejak pernikahan hingga kini aku belum menyentuhnya," jawabnya dingin.
Tanpa bertanya lagi Arjun duduk di depan ustadz Hamid. Reza menuntun aku menghampiri mereka dan mendudukkan aku di samping Arjun.
"Lakukan ini demi cinta kita berdua, Zhee," bisik Reza di telingaku.
Aku menatap Reza penuh amarah, tapi dia mengangguk dengan pelan dan sedih. Kemudian Reza pergi meninggalkan acara ini. Aku hanya menatap pasrah, demikian juga dengan Arjun.
Arjun tampak ragu karena dia dan Diana sudah menjalin hubungan dua tahun lamanya. Rencananya setelah wisuda tahun ini, dia akan melangsungkan pernikahan.
Aku menjawab setiap pertanyaan Ustadz Hamid dengan asal, demikian juga dengan Arjun. Sampai akhirnya aku mendengar Arjun mengucapkan ijab kabul dengan lantang.
"Saya terima nikahnya Zhee Amalia Bin Zakaria almh, dengan mas kawin uang tunai sebesar satu juta rupiah dibayar tunai!"
"Bagaimana saksi?" tanya ustadz.
"Sah!" seru mereka bersama-sama.
Bagaimana malam pertamaku dengan Arjun?
Bersambung ...
.
Reza tidak tampak lagi batang hidungnya sampai acara itu selesai. Dan akhirnya ustadz serta dua orang saksi pulang. Aku dan Arjun diam tidak saling bicara, hanya sesekali aku melirik ke arah Arjun demikian juga dengan dia. Kami berdua masih menunggu Reza, dia meninggalkan kami berdua di villa itu, tanpa mobil yang bisa membawaku pulang.Dret ... Dret ... Dret! Ponselku bergetar, telepon dari Reza. Padahal sebelumnya aku dan Arjun sudah berusaha menghubunginya tapi tidak aktif."Kamu dimana, Mas?" tanyaku spontan begitu telepon kuangkat."Kamu speaker, aku juga ingin bicara dengan Arjun!" perintah Reza.Aku pun segera memencet speaker menunggu dan mendengarkan Reza berbicara."Zhee, Arjun, aku minta maaf, tolong demi kehormatan keluargaku dan harga diriku, beri aku seorang anak! Hanya kamu harapanku satu-satunya, Arjun. Aku hanya percaya kepadamu seorang," ujar Reza memohon."Kamu gila, Mas! Kamu egois! Tidak pernah memikirk
Aku sendiri di kamar atas, berkali-kali aku mencoba menghubungi Reza tapi ponselnya tidak aktif. Aku menghubungi Eko, sopir pribadinya. "Iya, Nyonya?" jawabnya setelah teleponku diangkat. "Dimana bosmu, Pak Eko?" tanyaku melampiaskan kesal. "Dia pergi sendiri, Nyonya. Semenjak dari puncak itu dia belum pulang ke rumah," ujar Eko. "Pak Eko, tolong cari dia sampai ketemu. Lacak keberadaannya lewat GPS, samperin dia dan telepon aku begitu menemukan dia, Pak Eko!" ujarku sambil menangis. "Baik, Nyonya!" jawab Eko. "Cari sampai ketemu, Pak Eko! Aku yakin hatinya sedang hancur karena keputusannya sendiri," lanjutku masih menangis. "Baik, Nyonya!" jawab Eko tegas. Aku menutup teleponku sambil kubanting ponselku di atas kasur. Tangisku pun semakin meledak tak tertahan lagi. "Kamu biadab, Mas! Kamu hancurkan hidupku seperti ini! Apa salahku padamu, Mas? Tidak adakah rasa iba sedikit pun di hatimu kepadaku, Mas?" ru
Arjun membopong tubuhku masuk kamar mandi. "Lepaskan, Arjun," desakku berontak. Dia menurunkan aku di bawah shower dan segera membuka krannya. Aku terkesiap, tubuhku yang tanpa busana langsung basah kuyup demikian juga dengan baju Arjun. "Pergi!" teriakku mengusir. "Nyonya Zhee yang cantik, emangnya aku takut air?" katanya. Begitu aku memercikkan air ke tubuhnya. Tanpa menyerah dia tetap maju bahkan menarik dan mendekap tubuhku. Dan pergulatan itupun terjadi lagi, di bawah rintik-rintik air shower bak hujan membuat suasana semakin syahdu. Kembali gairahku terbakar, aku menikmati setiap sentuhan dari tangan kekarnya. Arjun pun dengan gairah perkasanya membawaku terbang menggapai kenikmatan. Aku benar-benar merasa puas, kenikmatan yang tidak bisa kugambarkan yang lama sekali kurindukan. Ini adalah naluri alami wanita, siapapun menginginkannya. Setelah mandi, kita berdua membuat sarapan. Arjun memang mahir memasak, aku sanga
"Ayo kita pulang, Arjun! Kita cari Mas Reza, ini bukan kebiasaannya datang ke tempat seperti itu," ajakku mendesak. "Nyonya Zhee, kamu yakin? Bukankah dia sudah mentalak kamu? Apapun alasannya kalian bukan suami istri lagi. Kalian menikah secara agama, bercerai secara agama pula. Surat nikah hanya mencatat status kalian di depan hukum negara. Kamu sudah tidak bisa hidup seatap lagi, Zhee! Dia bukan suamimu lagi, dia sudah mencampakkanmu, s diadarlah Zhee!" teriak Arjun kesal. "Tidak! Tidak Arjun, aku masih istrinya!" teriakku emosi dan marah. "Aku sudah menikahimu secara agama Islam, kamu istriku! Pernikahanmu dengan Reza sudah putus, Zhee! Sadarlah! Zina bila kamu melakukannya bersama Reza," kata Arjun berusaha menjelaskan. Tapi aku masih tidak percaya dengan kenyataan kalau hubunganku benar-benar telah putus dengan Reza. Tidak mungkin aku melepas Reza begitu saja, tapi tidak mungkin pula aku mempertahankannya, sekarang ada Arjun dalam hidupku.
Aku melihat Arjun yang tertegun melihat Eko membawakan banyak barang dari Reza untukku. Tapi apa artinya bagiku? Dia sudah menyakitiku sedemikian dalamnya. "Pak Eko, tolong berikan semua barang ini ke panti asuhan, atau kepada orang yang sedang membutuhkannya. Bilang pada bosmu kalau barang sudah saya terima ya?" perintahku kepada Eko dengan sopan. "Nyonya yakin?" tanya Eko. "Tidak coba dibuka dulu apa isi bingkisannya?" lanjutnya. "Tidak, Pak Eko," jawabku tegas. "Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu, Nyonya," jawab Eko. "Permisi Mas Arjun!" lanjutnya berpamitan. "Iya Eko, terima kasih!" ucap Arjun lembut. Eko pun pergi meninggalkan kami berdua. Aku dan Arjun saling berpandangan lama sekali seolah sedang saling bertanya banyak hal. Kenapa untuk kali ini aku memikirkan perasaan Arjun, aku takut dia cemburu. Cinta dan perhatian seperti Arjun yang sedang aku butuhkan sekarang.. "Sarapan sudah siap, Zhee!" teriak Ar
Setelah mandi aku dan Arjun ke luar jalan-jalan. Sekalian kita mencari oleh-oleh di pengrajin sekitar danau. Banyak pedagang menjajakan dagangannya di seputaran danau. Aku memilih baju tidur bermotif batik bergambar danau tempat wisata. "Aku melihat lukisan di sana sebentar ya, kamu santai saja pilih-pilih baju," ujarnya kemudian berlari pergi. Aku hanya memandang dia dari belakang, dalam hati bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan? Aku melihat dia sedang berbincang-bincang dengan seorang pelukis. Tak lama kemudian dia sudah kembali menghampiriku. "Sudah dapat belum bajunya?" tanya Arjun. "Sudah, nunggu dibungkus tuh. Kok kamu cepet sekali?" tanyaku balik. "Iya, cuma lihat-lihat!" jawabnya. "Ayo kita keliling danau pakai perahu boat!" ajaknya kemudian. "Ayo, siapa takut?" sahutku. Kami bergandengan tangan menuju perahu boat. Kembali kita berputar-putar mengelilingi danau menikmati pemandangan sekeliling danau. Dunia seperti m
"Kamu memang brengsek ya!" umpatku. "Aku? Kenapa?" tanya Arjun sambil tersenyum lebar. Setiap kali Arjun berbicara senyum dan tertawa renyah selalu menyertainya. Itu makanya dia terkesan lelaki penyabar dan ramah. "Dibilang brengsek masih bisa-bisanya tersenyum bangga," olokku kesal. "Istriku yang cantik, bisa-bisanya kamu ngatain suamimu brengsek. Suka ya punya suami brengsek?" bisiknya menggoda. "Coba bayangkan, kamu bicara sama Diana, kelihatannya memuji dia tapi aku yang dicolek, kelihatannya mengecup dia tapi aku yang kamu cium, dasar!" olokku. "Tapi tetap kamu yang untung kan, Zhee?" jawab Arjun. Sambil berbicara Arjun menyiapkan dan menata meja makan. Aku hanya melihat Arjun yang sibuk mondar-mandir. "Nyonya besar, sampai kapan kamu hanya berdiri di situ? Cepat duduklah, sebentar lagi Bos Reza akan menjemput kita!" ujarnya datar. Aku terperanjat seolah diingatkan kembali bahwa Reza akan segera datang menjemput. Rasanya belum ingin keindahan cinta ini cepat berakhir. Ak
Kenapa hatiku begitu sakit, melihat kedekatan Arjun dan Diana. Arjun menatapku dari spion, kami saling berpandangan. "Tidakkah kamu merasakan, Arjun, betapa hancurnya hatiku?" batinku sambil menatap geram wajah Arjun dari spion. Arjun yang menyadari hanya tersenyum menggoda. "Zhee, nanti malam ada acara ulang tahun perusahaan kita. Dandanlah yang cantik ya!" pinta Reza datar. "Nanti malam? Aku capek, Mas Reza, gimana kalau aku tidak usah pergi?" tawarku. "Jangan Zhee, kamu harus datang! Mama dan papa pasti akan menanyakan dirimu. Apa yang harus aku katakan nanti, Zhee?" kata Reza memaksa. "Mana sih yang capek Sayang, biar aku pijitin!" ujarnya sambil menarik kepalaku dan direbahkan ke pangkuannya. Aku ingin menolaknya tapi tidak, Arjun sudah membuat aku cemburu, ini saatnya aku membalasnya. Aku memaksanya berlagak mesra dengan merebahkan kepalaku di pangkuan Reza. Dalam lubuk hatiku yang paling dalam, sekarang aku merasa aneh disentuh Reza. Terasa disentuh orang asing, terasa ki
Ting ... tong ... ting ... tong! Bel pintu kamar berbunyi. Arjun segera mengenakan kembali pakaiannya dan mengambil dompet. Aku hanya menatapnya dengan geram menahan emosi. Tak berselang lama dia sudah kembali dengan sebuah hem cantik dan celana dan satu lagi sebuah gaun indah. "Pilihlah yang kamu suka," tawar Arjun. "Kapan kamu memesannya? Aku salut kamu memang tahu kesukaanku," kataku sambil beranjak bangun dan menyambar gaun biru muda dari tangan Arjun. Bergegas aku berlari ke kamar mandi dan mandi besar. Saat aku keluar dari kamar mandi aku melihat Arjun sedang mengamati ponselku. "Apa yang kamu lakukan, Arjun? Beraninya kamu menyentuh ponselku. Mas Reza saja tidak berani melakukannya," ketusku sambil merebutnya dari tangannya. "Aku hanya ingin melihat apakah masih ada fotoku di ponselmu," jawabnya. "Tidak ada, jangankan fotomu bahkan aku sudah menghapus namamu dari hidupku," ketusku sambil memasukkan ponsel ke tasku. Aku menatap wajahku di cermin dan Arjun datang memelukk
Aku sengaja tidak mengunci kembali pintunya agar aku tidak kerepotan bila langsung ingin pergi keluar. Entah kenapa aku berpikiran tidak ingin berlama-lama di dekat Arjun. Aku takut tidak bisa mengendalikan sikapku saat bersama Arjun. Itu mungkin karena rasa rinduku yang sudah menggunung. Rasa benci dan cinta tersekat tipis sehingga aku tidak bisa membedakannya aku sedang cinta atau benci. "Kemarilah, Zhee! Tutup kembali pintunya," pinta Arjun. "Aku yakin kamu pasti datang menemui ku. Bukankah kamu juga merindukan aku, Zhee?" tanya Arjun menggoda, tatapannya tajam seolah hendak mengikutiku. "Kamu benar, Arjun, tidak dapat kupungkiri aku memang sedang merindukanmu. Aku sangat mencintaimu, Arjun," kataku tegas. Aku masih berdiri di depan pintu, Arjun pun menghampiriku dan memelukku kemudian tangannya menghempaskan pintu, "creg." Arjun dengan bernafsu mematuk bibirku dan mengulumnya. Ciuman penuh cinta dan kerinduan yang membara membakar birahi kami berdua. Aku menahan diri dengan si
Deg, jantungku rasanya mau copot. Bagaimana dengan tiba-tiba Mas Reza menghampiriku dan merebut ponselku. Apakah sebenarnya dia curiga kalau yang telepon Arjun. Dia menekan speaker seolah ingin menunjukkan kepadaku bahwa aku jujur atau tidak. "Nyonya Reza yang cantik, aku mohon kamu bisa hadir di pestaku ya? Teman-teman tim kita hadir semua, Nyonya Mayang eh keliru Nyonya Zhee," pinta Diah terdengar lantang di speaker. Aku tidak mengira ternyata telepon yang barusan berdering dari Diah dan benar dia memaksa aku menghadiri pestanya. Oh dewa penolong benar-benar sedang berpihak kepadaku. Bukan saja aku yang terbelalak terkejut tapi Mas Reza juga. Pasti yang ada di otaknya aku sedang teleponan dengan Arjun. Kenapa begitu kebetulan sekali Diah menelepon di saat yang tepat, bagai Dewi penyelamat bagiku. "Diah, dimana sih pesta kamu diadakan? Kok aku nggak diundang sih?" tanya Mas Reza. "Di restoran deket rumah saya, Pak CEO," jawabnya ragu. "Cuma pesta kecil kok tidak ada yang istimewa
"Aku tidak mau kehilangan semuanya, Mas, aku bersedia menikah lagi secara agama denganmu," ujarku. Sebenarnya Mas Reza sudah tahu akan keberadaan Arjun tapi dia berpura-pura dan mengikuti sandiwaraku. Aku harus mengakhirinya, aku harus segera menentukan pilihan. Otak waras pasti akan memilih Mas Reza sebagai pendamping hidup. Aku berharap otakku waras sehingga bisa mengubur kenangan bersama Arjun. "Terima kasih, Sayang. Aku akan segera menyiapkan semuanya," kata Mas Reza. "Aku juga akan menyiapkan keperluanku, Mas Reza. Satu permintaanku kita ijab kabul sederhana saja di masjid," pesanku. "Aku setuju apapun permintaanmu, Zhee ... apapun!" janjinya menegaskan. Aku tahu betapa besar cinta Mas Reza kepadaku. Aku tidak akan menyia-nyiakan nya lagi. Apalagi untuk kuserahkan kepada Putri, tidak akan pernah. "Apapun kebutuhanmu biar aku yang menyiapkan, Zhee," usul Mas Reza. "Baik, kita bicarakan lagi nanti di rumah! Aku permisi dulu, Pak CEO," pamitku menggoda. "Zhee, kamu ya?" sahut
Sesaat kami saling berpandangan, Mas Reza menatap dalam mataku. "Zhee," panggilnya lembut. Tiba-tiba tangannya meraba laci nakas dan mengambil kotak kecil. Dia membukanya dan mengambil sebatang seperti permen dan mengulumnya. Entah apakah yang diambil dari laci nakas itu? Apakah itu permen ataukah obat perangsang? Ah masa bodoh, karena mabok mungkin juga itu obat pengar. Setelah dia mengulumnya dengan kasar menarik tubuhku kemudian mematuk bibirku dan akhirnya mengulumnya. Bibir saling bertemu dan Mas Reza melontarkan sesuatu yang dikulum itu ke dalam mulutku. Aku terkesiap, aku merasakan seperti aroma terapi yang mampu membuat mood ku membaik. Aku melontarkan kembali sesuatu itu ke dalam mulut Mas Reza. Ciuman kami berdua semakin membara. Lama kami berdua tidak melakukan ini. "Aku merindukanmu, Zhee," bisik Mas Reza setelah melepas sesaat ciumannya. "Aku juga, Mas Reza," jawabku dalam hati. Aku pasrah saat Mas Reza mulai menciumi leherku bahkan dengan lidahnya yang basah dan han
Tanganku mengepal kuat, ingin rasanya aku membalas dengan bogem mentahku kepada wanita licik di depanku. Tapi tidak, bekas tamparan ini akan membantuku menunjukkan seperti apa sifat Putri sebenarnya. Agar Mas Reza berpikir ulang bila berhubungan lebih jauh dengannya. "Zhee, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Mas Reza yang terkejut melihat aku. Aku terkejut tapi aku berusaha menenangkan hatiku agar tidak terkesan sebagai pendosa. Aneh memang kenapa aku ada di sini? Aku sengaja menutupi pipiku dengan kedua tanganku. Dengan meringis menahan kesakitan, ini sengaja aku lakukan untuk menunjukkan kepada Mas Reza agar mendapatkan simpatinya. "Kamu kenapa?" tanyanya penasaran sambil meraih tanganku. Aku membiarkan tangan Mas Reza menarik tanganku dan memeriksa pipiku. Dia tampak terperanjat dan memandang mataku tersirat banyak pertanyaan. Aku kenal sekali dengan Mas Reza dia tidak suka dengan banyak argumentasi yang berbelit-belit. Aku hanya diam dan menunjukkan bekas tamparan yang jelas
"Ma, Abim mau pipis," pinta Abim manja. "Diantar papa ya? Soalnya Abim harus ke toilet pria," jawabku memberi pengertian. "Ya iyalah sama papa Abim kan lelaki," sahut Mas Reza. Akhirnya Abim menurut saat Mas Reza menuntunnya ke toilet. Mas Reza menggandengnya dengan manja dan sayang. Aku hanya menatap punggung mereka yang semakin menjauh. Tit ... tit ... tit! Ponsel Mas Reza berbunyi tanda ada pesan masuk. Sekilas aku melirik dan ada notifikasi yang terbaca olehku. "Tolong antar aku periksa ke dokter kandungan, Pak..." Membaca notifikasi yang hanya sepenggal membuatku semakin penasaran. Akhirnya aku nekad meraih ponsel Mas Reza di atas meja. Ternyata layar ponselnya terkunci. Karena rasa penasaran yang besar membuat aku terus berusaha agar bisa membuka kuncinya. Berkali-kali mencoba dari tanggal lahir Mas Reza, Abim dan Nayna tapi belum juga kebuka. Dengan geram aku mencoba dengan asal tanggal lahirku justru langsung terbuka. Oh, ternyata betapa istimewanya aku di mata Mas Reza.
"Om yang mana?" tanya Mas Reza terkejut."Itu," jawab Abim sambil menunjuk Arjun yang berdiri di taman agak jauh dari halaman sekolah.Mas Reza segera menengok dan mendapati Arjun yang spontan mengangguk sopan. "Kenapa aku merasa postur itu tidak asing bagiku," gumam Mas Reza."Dia om yang menolong aku waktu sakit kan, Pa?" tanya Abim meyakinkan."Iya, Sayang."Tiba-tiba Mas Reza menarik pundak Abim merangkul membawanya menghampiri Arjun. Hatiku berdebar-debar takut kalau Mas Reza bisa mengenalinya. Apalagi dia sudah menaruh curiga, maklumlah mereka tumbuh besar bersama sejak kecil."Kita mau kemana sih?" ceplos ku bertanya."Kita bertemu Juna sebentar, kenapa dia menemui Abim di sekolah, aku jadi penasaran?" ujarnya."Kenapa sih kamu jadi kepo, siapa tahu hanya kebetulan dia lewat di depan sekolah Abim," selaku mematahkan.Tanpa menjawab lagi dia dan Abim berjalan di depan ku melalui aku yang tertegun berdiri. Aku melihat Arjun yang menyambutnya dengan menganggukkan kepalanya. Dia m
Arjun terpaku, dia tidak mengira aku akan senekat itu dengan memaksa membuka masker dan kacamatanya. Matanya mulai berkaca-kaca dan menatap sayu ke arahku. "Siapa gadis kecil yang bersamamu tadi? Apakah dia anak kamu bersama Diana? Apa diam-diam kamu kembali dan hidup bersamanya? Padahal dulu kamu berjanji tidak memilih salah satu diantara kita berdua, tapi ternyata ...?" gerutuku meluapkan kekesalanku kepadanya. Betapa selama ini aku tersiksa tercekam sakit karena cinta dan rindu. Arjun diam tanpa sepatah kata pun, hanya air matanya meleleh, bukankah aku yang tersakiti harusnya aku yang menangis tapi kenapa dia ikutan meruraian air mata. Dengan meluapkan rasa sakit dan benci aku mulai bereaksi. "Kenapa kau lakukan ini kepadaku, Arjun? Kenapa? Kamu lelaki brengsek sama hal Mas Reza!" ketusku berteriak. "Jadi kamu melihat kami bertiga?" tanyanya meyakinkan. "Zhee, anak kecil tadi Diana yang mengadopsinya dari panti asuhan. Dia tidak bisa memliki anak karena rahimnya harus diangkat.