Aku sendiri di kamar atas, berkali-kali aku mencoba menghubungi Reza tapi ponselnya tidak aktif. Aku menghubungi Eko, sopir pribadinya.
"Iya, Nyonya?" jawabnya setelah teleponku diangkat.
"Dimana bosmu, Pak Eko?" tanyaku melampiaskan kesal.
"Dia pergi sendiri, Nyonya. Semenjak dari puncak itu dia belum pulang ke rumah," ujar Eko.
"Pak Eko, tolong cari dia sampai ketemu. Lacak keberadaannya lewat GPS, samperin dia dan telepon aku begitu menemukan dia, Pak Eko!" ujarku sambil menangis.
"Baik, Nyonya!" jawab Eko.
"Cari sampai ketemu, Pak Eko! Aku yakin hatinya sedang hancur karena keputusannya sendiri," lanjutku masih menangis.
"Baik, Nyonya!" jawab Eko tegas.
Aku menutup teleponku sambil kubanting ponselku di atas kasur. Tangisku pun semakin meledak tak tertahan lagi.
"Kamu biadab, Mas! Kamu hancurkan hidupku seperti ini! Apa salahku padamu, Mas? Tidak adakah rasa iba sedikit pun di hatimu kepadaku, Mas?" runtukku menangis histeris.
Aku melihat Arjun berdiri di pintu kamar, dia tertegun menatapku.
"Maafkan aku, Nyonya, seandainya aku menolak pernikahan ini, pasti tidak seperti ini jadinya!" gumam Arjun mendekatiku. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Nyonya?" lanjutnya bertanya.
"Aku tidak tahu, sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernikahan ini, Arjun. Aku benci dengan ketidakberdayaan kita, Arjun. Kenapa kita harus pasrah dengan kegilaan Mas Reza?" runtukku lagi.
"Jangan sakiti dirimu sendiri, Nyonya. Semua sudah terjadi, jalani saja! Sekarang sudah malam, istirahatlah! Saya masih harus membereskan dapur," ujar Arjun pelan, kemudian dia pergi meninggalkan aku di kamar sendiri.
Benar juga kata Arjun, semua sudah terjadi, aku harus menjalaninya, tidak ada gunanya menyesali. Kalau saja kita tegas saat itu, semua ini tidak akan terjadi. Dengan dadaku yang masih terasa sesak aku membaringkan tubuhku dan akhirnya aku terlelap tidur.
Dini hari sekitar pukul 01.00, aku terbangun dari tidurku. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan, baru aku ingat bahwa aku sedang tidur di villa. Perlahan aku beranjak turun dan berjalan keluar kamar. Aku melihat Arjun sedang rebahan di sofa sambil berbincang-bincang di telepon.
"Iya, Sayang, aku akan pulang secepatnya!,' janji Arjun. "Ada pekerjaan penting yang harus aku kerjakan di sini!" ujarnya pelan dan mesra.
Selarut ini dia masih teleponan dengan tunangannya? Mereka berdua pasti saling mencintai, pembicaraanya begitu mesra. Aku berjalan mengendap-endap mendekatinya untuk menguping. Entah kenapa aku begitu penasaran ingin mendengarkan pembicaraan mereka.
"Aku merindukanmu, calon istriku yang cantik. Lihat saja kugigit bibirmu sampek dower nanti!" goda Arjun.
( ... )
"Iya, siapa takut?" serunya sambil tertawa ngakak, begitu mesranya.
Entah kenapa mendadak aku tak tahan lagi mendengarkan pembicaraan mesra mereka. Spontan aku membalikkan badan dan bermaksud kembali ke kamar. Tapi keburu tertangkap pandangan mata Arjun.
"Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" teriak Arjun setelah mengakhiri pembicaraanya di telepon.
Arjun berlari menghampiri aku yang sedang berjalan menitih tangga. Karena kepergok Arjun, aku berusaha mempercepat langkahku menuju ke kamar. Aku tergesa-gesa, tidak sadar kakiku terpeleset anak tangga.
"Auh!" teriakku spontan karena terjatuh.
Arjun yang sudah berdiri di belakangku menangkap tubuhku yang jatuh tepat di pelukannya. Sesaat kami saling berpandangan. Matanya yang indah tajam menghujam jantungku. Tubuhku sontak serasa tersengat listrik. Bibirnya yang basah merona seolah menantangku untuk melumatnya.
"Kamu tidak apa-apa, Nyonya?" tanya Arjun lembut.
Suara lembut Arjun membuyarkan lamunanku. Aku terperanjat dan menarik tubuhku dengan pelan dari dekapan Arjun.
"Hati-hati, Nyonya!" bisik Arjun di telingaku, sambil dengan sedikit tarikan tubuhku kembali terjatuh dalam dekapannya.
Sontak tanganku mencengkeram pinggang Arjun. Bisikan Arjun serta hembusan hangat nafasnya membuat merinding sekujur tubuhku. Ada sengatan nikmat yang menjalar hingga ke ubun-.ubun.
Bagai tanah tandus yang mengharap air hujan, bagai mushafir yang kehausan di padang pasir, itulah diriku. Sedikit sentuhan lelaki membuatku menggigil bagai sakau. Ternyata apa yang sedang aku rasakan, Arjun menyadarinya. Aku juga mendengar detak jantung Arjun yang sangat kuat.
"Arjun," desahku manja.
Tanganku yang kini melingkar di pinggangnya tak sadar mencengkeram semakin kuat bahkan aku mulai berani menggesernya turun. Tangan Arjun yang melingkar di leherku kini sedkit menarik rambutku sehingga aku mendongak ke atas. Tak sadar bibirku yang tak kalah merona sedikit menganga. Saat Arjun mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku, dada kami berdua berdegup kencang bagai genderang mau perang.
Aku mulai memejamkan mata tak tahan menerima tatapan maut Arjun. Tapi Arjun mengartikan ini sebuah kepasrahanku. Tiba-tiba bibir sexinya melumat lembut bibirku. Wajahku terasa terbakar, nafasku bagai tersekat di kerongkongan. Tiba-tiba tangan perkasanya mengangkat tubuhku dan membopong naik tangga menuju ke kamar.
Kenikmatan yang bertahun-tahun ku impikan kini benar-benar kudapatkan. Aku tertidur pulas dalam dekapan Arjun setelah berdua mereguk manisnya cinta. Kami tidur berpelukan dengan tanpa sehelai benangpun. Ini yang pertama bagi Arjun, tapi bagiku ini adalah yang kedua kalinya. Aku pernah sekali melakukannya saat aku dan Reza masih berpacaran. Saat itu Reza belum mengalami kecelakaan yang mengakibatkan terenggutnya kejantanannya.
Saat mataku terbuka aku melihat Arjun sholat di samping tempat tidur. Oh ternyata dia seorang muslim yang taat. Dia bisa menjadi imam yang baik buat seorang istri.
"Kamu sudah bangun? Mandi besar gih terus sholat!" pintanya dengan lembut.
Aku tidak menjawab, ada perasaan aneh yang menyelimuti hatiku. Aku menarik selimut dengan cepat untuk membungkus badanku yang tak sehelai benangpun menutupinya. Aku malu dan merasa kikuk sekamar dengan lelaki yang baru kukenal meskipun setiap hari bertemu.
"Aku sudah gila, ada apa denganku? Kenapa semudah itu bisa melakukannya dengan lelaki lain selain Reza?" runtukku dalam hati.
Arjun menghampiriku dan menarik selimutku. Dengan kuat aku pun menahannya.
"Kita pasangan yang halal, Nyonya, aku suamimu," bisik Arjun. "Apa yang kita lakukan tadi bukan perselingkuhan," lanjutnya pelan seolah menghiburku.
"Maaf, aku masih belum terbiasa," jawabku pelan.
"Aku juga," sahut Arjun lembut. "Aku hitung sampai tiga kali kalau kamu masih diatas kasur, aku mau minta lagi!" ancamnya sambil tersenyum nakal. "Satu ... dua ...," Arjun mulai menghitung.
"Iya, iya aku bangun sekarang!" kataku bergegas melompat bangun sambil terus membungkus tubuhku dengan selimut.
Karena tergesa-gesa justru aku terjerat selimut dan nyaris terjatuh di lantai. Untung Arjun menangkapnya dengan cepat. Selimut yang membungkus tubuhku terlepas, membuat pemandangan memalukan itu terjadi. Sambil tersenyum nakal Arjun berbisik, "Suka jatuh ya?"
Aku spontan menutupi mukaku menahan malu. Arjun membelai rambutku dengan sayang. Perlahan tangannya menarik tanganku yang menutupi wajahku. Aku masih memejamkan mataku menahan malu.
"Lepaskan, aku mau mandi, Arjun!" bisikku lirih.
"Iya Nyonya, kamu harus segera mandi, bau acem tahu!" ujarnya menggoda.
"Ih, kamu jahat! Lepaskan!" rintihku.
Dia tidak mendengarkanku, justru dengan nakalnya dia kembali mencumbuku.
Bagaimana kisahku berikutnya?
Bersambung ...
.
Arjun membopong tubuhku masuk kamar mandi. "Lepaskan, Arjun," desakku berontak. Dia menurunkan aku di bawah shower dan segera membuka krannya. Aku terkesiap, tubuhku yang tanpa busana langsung basah kuyup demikian juga dengan baju Arjun. "Pergi!" teriakku mengusir. "Nyonya Zhee yang cantik, emangnya aku takut air?" katanya. Begitu aku memercikkan air ke tubuhnya. Tanpa menyerah dia tetap maju bahkan menarik dan mendekap tubuhku. Dan pergulatan itupun terjadi lagi, di bawah rintik-rintik air shower bak hujan membuat suasana semakin syahdu. Kembali gairahku terbakar, aku menikmati setiap sentuhan dari tangan kekarnya. Arjun pun dengan gairah perkasanya membawaku terbang menggapai kenikmatan. Aku benar-benar merasa puas, kenikmatan yang tidak bisa kugambarkan yang lama sekali kurindukan. Ini adalah naluri alami wanita, siapapun menginginkannya. Setelah mandi, kita berdua membuat sarapan. Arjun memang mahir memasak, aku sanga
"Ayo kita pulang, Arjun! Kita cari Mas Reza, ini bukan kebiasaannya datang ke tempat seperti itu," ajakku mendesak. "Nyonya Zhee, kamu yakin? Bukankah dia sudah mentalak kamu? Apapun alasannya kalian bukan suami istri lagi. Kalian menikah secara agama, bercerai secara agama pula. Surat nikah hanya mencatat status kalian di depan hukum negara. Kamu sudah tidak bisa hidup seatap lagi, Zhee! Dia bukan suamimu lagi, dia sudah mencampakkanmu, s diadarlah Zhee!" teriak Arjun kesal. "Tidak! Tidak Arjun, aku masih istrinya!" teriakku emosi dan marah. "Aku sudah menikahimu secara agama Islam, kamu istriku! Pernikahanmu dengan Reza sudah putus, Zhee! Sadarlah! Zina bila kamu melakukannya bersama Reza," kata Arjun berusaha menjelaskan. Tapi aku masih tidak percaya dengan kenyataan kalau hubunganku benar-benar telah putus dengan Reza. Tidak mungkin aku melepas Reza begitu saja, tapi tidak mungkin pula aku mempertahankannya, sekarang ada Arjun dalam hidupku.
Aku melihat Arjun yang tertegun melihat Eko membawakan banyak barang dari Reza untukku. Tapi apa artinya bagiku? Dia sudah menyakitiku sedemikian dalamnya. "Pak Eko, tolong berikan semua barang ini ke panti asuhan, atau kepada orang yang sedang membutuhkannya. Bilang pada bosmu kalau barang sudah saya terima ya?" perintahku kepada Eko dengan sopan. "Nyonya yakin?" tanya Eko. "Tidak coba dibuka dulu apa isi bingkisannya?" lanjutnya. "Tidak, Pak Eko," jawabku tegas. "Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu, Nyonya," jawab Eko. "Permisi Mas Arjun!" lanjutnya berpamitan. "Iya Eko, terima kasih!" ucap Arjun lembut. Eko pun pergi meninggalkan kami berdua. Aku dan Arjun saling berpandangan lama sekali seolah sedang saling bertanya banyak hal. Kenapa untuk kali ini aku memikirkan perasaan Arjun, aku takut dia cemburu. Cinta dan perhatian seperti Arjun yang sedang aku butuhkan sekarang.. "Sarapan sudah siap, Zhee!" teriak Ar
Setelah mandi aku dan Arjun ke luar jalan-jalan. Sekalian kita mencari oleh-oleh di pengrajin sekitar danau. Banyak pedagang menjajakan dagangannya di seputaran danau. Aku memilih baju tidur bermotif batik bergambar danau tempat wisata. "Aku melihat lukisan di sana sebentar ya, kamu santai saja pilih-pilih baju," ujarnya kemudian berlari pergi. Aku hanya memandang dia dari belakang, dalam hati bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan? Aku melihat dia sedang berbincang-bincang dengan seorang pelukis. Tak lama kemudian dia sudah kembali menghampiriku. "Sudah dapat belum bajunya?" tanya Arjun. "Sudah, nunggu dibungkus tuh. Kok kamu cepet sekali?" tanyaku balik. "Iya, cuma lihat-lihat!" jawabnya. "Ayo kita keliling danau pakai perahu boat!" ajaknya kemudian. "Ayo, siapa takut?" sahutku. Kami bergandengan tangan menuju perahu boat. Kembali kita berputar-putar mengelilingi danau menikmati pemandangan sekeliling danau. Dunia seperti m
"Kamu memang brengsek ya!" umpatku. "Aku? Kenapa?" tanya Arjun sambil tersenyum lebar. Setiap kali Arjun berbicara senyum dan tertawa renyah selalu menyertainya. Itu makanya dia terkesan lelaki penyabar dan ramah. "Dibilang brengsek masih bisa-bisanya tersenyum bangga," olokku kesal. "Istriku yang cantik, bisa-bisanya kamu ngatain suamimu brengsek. Suka ya punya suami brengsek?" bisiknya menggoda. "Coba bayangkan, kamu bicara sama Diana, kelihatannya memuji dia tapi aku yang dicolek, kelihatannya mengecup dia tapi aku yang kamu cium, dasar!" olokku. "Tapi tetap kamu yang untung kan, Zhee?" jawab Arjun. Sambil berbicara Arjun menyiapkan dan menata meja makan. Aku hanya melihat Arjun yang sibuk mondar-mandir. "Nyonya besar, sampai kapan kamu hanya berdiri di situ? Cepat duduklah, sebentar lagi Bos Reza akan menjemput kita!" ujarnya datar. Aku terperanjat seolah diingatkan kembali bahwa Reza akan segera datang menjemput. Rasanya belum ingin keindahan cinta ini cepat berakhir. Ak
Kenapa hatiku begitu sakit, melihat kedekatan Arjun dan Diana. Arjun menatapku dari spion, kami saling berpandangan. "Tidakkah kamu merasakan, Arjun, betapa hancurnya hatiku?" batinku sambil menatap geram wajah Arjun dari spion. Arjun yang menyadari hanya tersenyum menggoda. "Zhee, nanti malam ada acara ulang tahun perusahaan kita. Dandanlah yang cantik ya!" pinta Reza datar. "Nanti malam? Aku capek, Mas Reza, gimana kalau aku tidak usah pergi?" tawarku. "Jangan Zhee, kamu harus datang! Mama dan papa pasti akan menanyakan dirimu. Apa yang harus aku katakan nanti, Zhee?" kata Reza memaksa. "Mana sih yang capek Sayang, biar aku pijitin!" ujarnya sambil menarik kepalaku dan direbahkan ke pangkuannya. Aku ingin menolaknya tapi tidak, Arjun sudah membuat aku cemburu, ini saatnya aku membalasnya. Aku memaksanya berlagak mesra dengan merebahkan kepalaku di pangkuan Reza. Dalam lubuk hatiku yang paling dalam, sekarang aku merasa aneh disentuh Reza. Terasa disentuh orang asing, terasa ki
Aku terbelalak, segera kutarik tubuhku dan sedikit mendorong tubuh Arjun. "Ada Mas Reza, Arjun," bisikku lirih. "Kembalilah ke sana, Zhee, cepat!" desak Arjun. Arjun berlari bersembunyi di samping gerobak sampah. Kebetulan di dekatku ada beronggok-onggok sampah yang belum masuk ke gerobak. Aku mengambil ponsel dari saku rokku dan berpura-pura sedang berbicara di telepon di taman. "Iya nanti aku transfer, ini masih perjalanan," kataku berpura-pura. "Apa yang kamu lakukan di sini, Zhee?" tanya Reza penasaran. Aku tahu Reza orang yang cerdas, bahkan dia jauh lebih cerdik dan licik dibanding aku yang hanya amatiran. "Aku pesan gaun pesta ke butik langgananku," kataku berbohong. "Tidak perlu repot-repot, Zhee, aku sudah memesannya buat kamu! Emangnya butik langgananmu tidak bilang kalau aku sudah memesan gaun bahkan mungkin sekarang sudah diantar ke rumah, kamu tinggal memilih mana yang kamu suka," kata Reza. Sontak aku malu, ternyata aku salah berbohong dengan alasan itu. Aku lupa
Reza menurunkan aku di depan kedua orang tuanya. "Apa-apaan ini, pakek gendong-gendongan segala? Sedang pencitraan, karena di depan publik?" tanya Arum, mamanya Reza dengan ketus. "Mama, papa?" sapaku sambil menyodorkan tanganku. "Bagaimana kabarmu, Zhee?" tanya papanya Arjun sambil menyambut tanganku. "Alhamdulillah baik, Pa," jawabku. Mama menyambut tanganku, saat aku hendak mencium punggung tangannya dia justru menarik tangannya dengan cepat. "Aku kasih waktu tiga bulan, kalau kamu belum juga hamil, Reza akan menikah lagi dengan wanita pilihan mama, ingat itu!" ancam Arum. "Terserah kau minta cerai atau tetap bertahan mama tidak perduli!" lanjutnya. Aku melirik ke arah Arjun yang berdiri di belakang Reza. Arjun menunduk menahan perasaannya, dia tidak tega melihat aku menerima perlakuan dari mertuaku sesadis itu. "Ma, kita sedang berusaha, sabarlah sebentar lagi!" sahut Reza. "Tiga tahun sudah, apa belum cukup sabar? Coba ingat, wartawan saja yang ditanyai juga seputar keh
Ting ... tong ... ting ... tong! Bel pintu kamar berbunyi. Arjun segera mengenakan kembali pakaiannya dan mengambil dompet. Aku hanya menatapnya dengan geram menahan emosi. Tak berselang lama dia sudah kembali dengan sebuah hem cantik dan celana dan satu lagi sebuah gaun indah. "Pilihlah yang kamu suka," tawar Arjun. "Kapan kamu memesannya? Aku salut kamu memang tahu kesukaanku," kataku sambil beranjak bangun dan menyambar gaun biru muda dari tangan Arjun. Bergegas aku berlari ke kamar mandi dan mandi besar. Saat aku keluar dari kamar mandi aku melihat Arjun sedang mengamati ponselku. "Apa yang kamu lakukan, Arjun? Beraninya kamu menyentuh ponselku. Mas Reza saja tidak berani melakukannya," ketusku sambil merebutnya dari tangannya. "Aku hanya ingin melihat apakah masih ada fotoku di ponselmu," jawabnya. "Tidak ada, jangankan fotomu bahkan aku sudah menghapus namamu dari hidupku," ketusku sambil memasukkan ponsel ke tasku. Aku menatap wajahku di cermin dan Arjun datang memelukk
Aku sengaja tidak mengunci kembali pintunya agar aku tidak kerepotan bila langsung ingin pergi keluar. Entah kenapa aku berpikiran tidak ingin berlama-lama di dekat Arjun. Aku takut tidak bisa mengendalikan sikapku saat bersama Arjun. Itu mungkin karena rasa rinduku yang sudah menggunung. Rasa benci dan cinta tersekat tipis sehingga aku tidak bisa membedakannya aku sedang cinta atau benci. "Kemarilah, Zhee! Tutup kembali pintunya," pinta Arjun. "Aku yakin kamu pasti datang menemui ku. Bukankah kamu juga merindukan aku, Zhee?" tanya Arjun menggoda, tatapannya tajam seolah hendak mengikutiku. "Kamu benar, Arjun, tidak dapat kupungkiri aku memang sedang merindukanmu. Aku sangat mencintaimu, Arjun," kataku tegas. Aku masih berdiri di depan pintu, Arjun pun menghampiriku dan memelukku kemudian tangannya menghempaskan pintu, "creg." Arjun dengan bernafsu mematuk bibirku dan mengulumnya. Ciuman penuh cinta dan kerinduan yang membara membakar birahi kami berdua. Aku menahan diri dengan si
Deg, jantungku rasanya mau copot. Bagaimana dengan tiba-tiba Mas Reza menghampiriku dan merebut ponselku. Apakah sebenarnya dia curiga kalau yang telepon Arjun. Dia menekan speaker seolah ingin menunjukkan kepadaku bahwa aku jujur atau tidak. "Nyonya Reza yang cantik, aku mohon kamu bisa hadir di pestaku ya? Teman-teman tim kita hadir semua, Nyonya Mayang eh keliru Nyonya Zhee," pinta Diah terdengar lantang di speaker. Aku tidak mengira ternyata telepon yang barusan berdering dari Diah dan benar dia memaksa aku menghadiri pestanya. Oh dewa penolong benar-benar sedang berpihak kepadaku. Bukan saja aku yang terbelalak terkejut tapi Mas Reza juga. Pasti yang ada di otaknya aku sedang teleponan dengan Arjun. Kenapa begitu kebetulan sekali Diah menelepon di saat yang tepat, bagai Dewi penyelamat bagiku. "Diah, dimana sih pesta kamu diadakan? Kok aku nggak diundang sih?" tanya Mas Reza. "Di restoran deket rumah saya, Pak CEO," jawabnya ragu. "Cuma pesta kecil kok tidak ada yang istimewa
"Aku tidak mau kehilangan semuanya, Mas, aku bersedia menikah lagi secara agama denganmu," ujarku. Sebenarnya Mas Reza sudah tahu akan keberadaan Arjun tapi dia berpura-pura dan mengikuti sandiwaraku. Aku harus mengakhirinya, aku harus segera menentukan pilihan. Otak waras pasti akan memilih Mas Reza sebagai pendamping hidup. Aku berharap otakku waras sehingga bisa mengubur kenangan bersama Arjun. "Terima kasih, Sayang. Aku akan segera menyiapkan semuanya," kata Mas Reza. "Aku juga akan menyiapkan keperluanku, Mas Reza. Satu permintaanku kita ijab kabul sederhana saja di masjid," pesanku. "Aku setuju apapun permintaanmu, Zhee ... apapun!" janjinya menegaskan. Aku tahu betapa besar cinta Mas Reza kepadaku. Aku tidak akan menyia-nyiakan nya lagi. Apalagi untuk kuserahkan kepada Putri, tidak akan pernah. "Apapun kebutuhanmu biar aku yang menyiapkan, Zhee," usul Mas Reza. "Baik, kita bicarakan lagi nanti di rumah! Aku permisi dulu, Pak CEO," pamitku menggoda. "Zhee, kamu ya?" sahut
Sesaat kami saling berpandangan, Mas Reza menatap dalam mataku. "Zhee," panggilnya lembut. Tiba-tiba tangannya meraba laci nakas dan mengambil kotak kecil. Dia membukanya dan mengambil sebatang seperti permen dan mengulumnya. Entah apakah yang diambil dari laci nakas itu? Apakah itu permen ataukah obat perangsang? Ah masa bodoh, karena mabok mungkin juga itu obat pengar. Setelah dia mengulumnya dengan kasar menarik tubuhku kemudian mematuk bibirku dan akhirnya mengulumnya. Bibir saling bertemu dan Mas Reza melontarkan sesuatu yang dikulum itu ke dalam mulutku. Aku terkesiap, aku merasakan seperti aroma terapi yang mampu membuat mood ku membaik. Aku melontarkan kembali sesuatu itu ke dalam mulut Mas Reza. Ciuman kami berdua semakin membara. Lama kami berdua tidak melakukan ini. "Aku merindukanmu, Zhee," bisik Mas Reza setelah melepas sesaat ciumannya. "Aku juga, Mas Reza," jawabku dalam hati. Aku pasrah saat Mas Reza mulai menciumi leherku bahkan dengan lidahnya yang basah dan han
Tanganku mengepal kuat, ingin rasanya aku membalas dengan bogem mentahku kepada wanita licik di depanku. Tapi tidak, bekas tamparan ini akan membantuku menunjukkan seperti apa sifat Putri sebenarnya. Agar Mas Reza berpikir ulang bila berhubungan lebih jauh dengannya. "Zhee, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Mas Reza yang terkejut melihat aku. Aku terkejut tapi aku berusaha menenangkan hatiku agar tidak terkesan sebagai pendosa. Aneh memang kenapa aku ada di sini? Aku sengaja menutupi pipiku dengan kedua tanganku. Dengan meringis menahan kesakitan, ini sengaja aku lakukan untuk menunjukkan kepada Mas Reza agar mendapatkan simpatinya. "Kamu kenapa?" tanyanya penasaran sambil meraih tanganku. Aku membiarkan tangan Mas Reza menarik tanganku dan memeriksa pipiku. Dia tampak terperanjat dan memandang mataku tersirat banyak pertanyaan. Aku kenal sekali dengan Mas Reza dia tidak suka dengan banyak argumentasi yang berbelit-belit. Aku hanya diam dan menunjukkan bekas tamparan yang jelas
"Ma, Abim mau pipis," pinta Abim manja. "Diantar papa ya? Soalnya Abim harus ke toilet pria," jawabku memberi pengertian. "Ya iyalah sama papa Abim kan lelaki," sahut Mas Reza. Akhirnya Abim menurut saat Mas Reza menuntunnya ke toilet. Mas Reza menggandengnya dengan manja dan sayang. Aku hanya menatap punggung mereka yang semakin menjauh. Tit ... tit ... tit! Ponsel Mas Reza berbunyi tanda ada pesan masuk. Sekilas aku melirik dan ada notifikasi yang terbaca olehku. "Tolong antar aku periksa ke dokter kandungan, Pak..." Membaca notifikasi yang hanya sepenggal membuatku semakin penasaran. Akhirnya aku nekad meraih ponsel Mas Reza di atas meja. Ternyata layar ponselnya terkunci. Karena rasa penasaran yang besar membuat aku terus berusaha agar bisa membuka kuncinya. Berkali-kali mencoba dari tanggal lahir Mas Reza, Abim dan Nayna tapi belum juga kebuka. Dengan geram aku mencoba dengan asal tanggal lahirku justru langsung terbuka. Oh, ternyata betapa istimewanya aku di mata Mas Reza.
"Om yang mana?" tanya Mas Reza terkejut."Itu," jawab Abim sambil menunjuk Arjun yang berdiri di taman agak jauh dari halaman sekolah.Mas Reza segera menengok dan mendapati Arjun yang spontan mengangguk sopan. "Kenapa aku merasa postur itu tidak asing bagiku," gumam Mas Reza."Dia om yang menolong aku waktu sakit kan, Pa?" tanya Abim meyakinkan."Iya, Sayang."Tiba-tiba Mas Reza menarik pundak Abim merangkul membawanya menghampiri Arjun. Hatiku berdebar-debar takut kalau Mas Reza bisa mengenalinya. Apalagi dia sudah menaruh curiga, maklumlah mereka tumbuh besar bersama sejak kecil."Kita mau kemana sih?" ceplos ku bertanya."Kita bertemu Juna sebentar, kenapa dia menemui Abim di sekolah, aku jadi penasaran?" ujarnya."Kenapa sih kamu jadi kepo, siapa tahu hanya kebetulan dia lewat di depan sekolah Abim," selaku mematahkan.Tanpa menjawab lagi dia dan Abim berjalan di depan ku melalui aku yang tertegun berdiri. Aku melihat Arjun yang menyambutnya dengan menganggukkan kepalanya. Dia m
Arjun terpaku, dia tidak mengira aku akan senekat itu dengan memaksa membuka masker dan kacamatanya. Matanya mulai berkaca-kaca dan menatap sayu ke arahku. "Siapa gadis kecil yang bersamamu tadi? Apakah dia anak kamu bersama Diana? Apa diam-diam kamu kembali dan hidup bersamanya? Padahal dulu kamu berjanji tidak memilih salah satu diantara kita berdua, tapi ternyata ...?" gerutuku meluapkan kekesalanku kepadanya. Betapa selama ini aku tersiksa tercekam sakit karena cinta dan rindu. Arjun diam tanpa sepatah kata pun, hanya air matanya meleleh, bukankah aku yang tersakiti harusnya aku yang menangis tapi kenapa dia ikutan meruraian air mata. Dengan meluapkan rasa sakit dan benci aku mulai bereaksi. "Kenapa kau lakukan ini kepadaku, Arjun? Kenapa? Kamu lelaki brengsek sama hal Mas Reza!" ketusku berteriak. "Jadi kamu melihat kami bertiga?" tanyanya meyakinkan. "Zhee, anak kecil tadi Diana yang mengadopsinya dari panti asuhan. Dia tidak bisa memliki anak karena rahimnya harus diangkat.