Aku terbelalak, segera kutarik tubuhku dan sedikit mendorong tubuh Arjun. "Ada Mas Reza, Arjun," bisikku lirih. "Kembalilah ke sana, Zhee, cepat!" desak Arjun. Arjun berlari bersembunyi di samping gerobak sampah. Kebetulan di dekatku ada beronggok-onggok sampah yang belum masuk ke gerobak. Aku mengambil ponsel dari saku rokku dan berpura-pura sedang berbicara di telepon di taman. "Iya nanti aku transfer, ini masih perjalanan," kataku berpura-pura. "Apa yang kamu lakukan di sini, Zhee?" tanya Reza penasaran. Aku tahu Reza orang yang cerdas, bahkan dia jauh lebih cerdik dan licik dibanding aku yang hanya amatiran. "Aku pesan gaun pesta ke butik langgananku," kataku berbohong. "Tidak perlu repot-repot, Zhee, aku sudah memesannya buat kamu! Emangnya butik langgananmu tidak bilang kalau aku sudah memesan gaun bahkan mungkin sekarang sudah diantar ke rumah, kamu tinggal memilih mana yang kamu suka," kata Reza. Sontak aku malu, ternyata aku salah berbohong dengan alasan itu. Aku lupa
Reza menurunkan aku di depan kedua orang tuanya. "Apa-apaan ini, pakek gendong-gendongan segala? Sedang pencitraan, karena di depan publik?" tanya Arum, mamanya Reza dengan ketus. "Mama, papa?" sapaku sambil menyodorkan tanganku. "Bagaimana kabarmu, Zhee?" tanya papanya Arjun sambil menyambut tanganku. "Alhamdulillah baik, Pa," jawabku. Mama menyambut tanganku, saat aku hendak mencium punggung tangannya dia justru menarik tangannya dengan cepat. "Aku kasih waktu tiga bulan, kalau kamu belum juga hamil, Reza akan menikah lagi dengan wanita pilihan mama, ingat itu!" ancam Arum. "Terserah kau minta cerai atau tetap bertahan mama tidak perduli!" lanjutnya. Aku melirik ke arah Arjun yang berdiri di belakang Reza. Arjun menunduk menahan perasaannya, dia tidak tega melihat aku menerima perlakuan dari mertuaku sesadis itu. "Ma, kita sedang berusaha, sabarlah sebentar lagi!" sahut Reza. "Tiga tahun sudah, apa belum cukup sabar? Coba ingat, wartawan saja yang ditanyai juga seputar keh
Cklek! Seseorang masuk ke dalam gudang itu. Dia sedang berbicara di telepon. "Ada orang masuk, Arjun," bisikku lirih. Aku dan Arjun mengintip, dia sedang duduk santai berbicara mesra dengan selingkuhannya. Karena gugup aku menyenggol sebotol kecap asin. Pyar! Botol itu jatuh dan pecah. "Zhee, hati-hati!" pesan Arjun lirih. "Aku tidak sengaja, Arjun," sahutku berbisik. "Apa ada orang di dalam?" teriak pegawai hotel. Dia sebenarnya juga merasa bersalah karena mencuri waktu bersantai di jam kerja. Perlahan dia pergi, sebelumnya dia mematikan ponselnya kemudian ke luar. "Dia sudah pergi, Zhee," kata Arjun. "Biarkan aku ke luar dulu, jangan bersamaan nanti orang curiga," usulku. "Iya, Zhee, hati-hati ya!" ujarnya sambil menarik tubuhku dalam dekapannya. "Kok dipeluk lagi kapan aku bisa pergi, Arjun," keluhku lirih, meskipun dalam hatiku aku bahagia. "Kenapa aku tidak bisa melepaskan kamu berada diantara mereka, Zhee!" bisik Arjun. "Arjun, aku sudah lama meninggalkan pesta, Re
Setelah mandi junub dan sholat Ishak aku mengeringkan rambutku. Akhirnya aku memutuskan untuk pindah kamar tamu. Aku menatap dari jendela kamar, asrama Arjun masih gelap, berarti dia belum pulang. Setiap hari Senin sampai Jumat dia tidur di asrama, tapi Sabtu dan Minggu dia pulang ke rumahnya. Ada sepuluh kamar di samping rumah utama, semua disediakan untuk asisten pribadi yang kamar dan fasilitasnya jauh lebih bagus. Untuk lima bodyguard dan para sopir serta tukang kebun yang disediakan sebagai tempat tinggal. Empat orang wanita pembantu rumah tangga kamarnya berada di rumah utama. Aku melihat mobil Reza memasuki halaman, sopir pribadinya Kholis membukakan pintu mobil. Aku bergegas membanting tubuhku di atas kasur dan pura-pura tidur. "Zhee ... Zhee ...!" teriak Reza memanggil-manggil namaku. Aku tahu, dia sedang masuk kamarku, dan sebentar kemudian keluar sambil terus berteriak memanggil namaku. "Zhee ... Zhee ...!" Aku berpikir, apakah Reza menemukan ponselku dan dia akan ma
"Aku yang salah, Mas Reza! Aku yang memulai semuanya bukan Arjun, tolong jangan hukum dia!" pintaku menangis. "Sebegitunya kamu membela dia, Zhee? Kamu takut aku menghukum dia, kenapa? Oke ... oke, aku tidak akan menghukum dia, tapi sekarang juga kamu kembali ke kamar kita!" desak Reza. "Tapi kita bukan suami istri lagi, Mas Reza," bantahku. "Diam! Bawel, kita masih sah menurut negara. Kamu tahu kan aku tidak mungkin menyentuhmu!" bentak Reza. Kemudian Reza membopongku membawa kembali ke kamarnya. Aku berontak, tapi ini sangat melukai hati Reza. "Tidak perlu kita pisah kamar, kamu tahu aku tidak bisa menyentuhmu. Menurutlah, aku tidak mau ribet, Zhee! Sewaktu-waktu papa dan mamaku datang, aku tidak mau mereka sedih bila tahu keadaan kita yang sebenarnya," pinta Reza. Reza merebahkan aku di atas kasur, kemudian dia pergi mandi. Perlahan aku bangun dan mengintip dari jendela melihat apakah Arjun sudah pulang? Hatiku sedikit lega setelah melihat lampu di kamarnya sudah menyala. Ber
Aku mengambil tempat duduk tepat di depan Reza. "Kamu, tampan sekali dengan jas warna itu, Arjun," pujinya penuh makna. Aku pura-pura cuek tidak mendengar bahkan tidak merespon kata-kata Reza. "Bukankah begitu, Zhee?" tanya Reza mengejutkan aku. Aku terbelalak, aku tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin aku menjawab iya, karena ini jebakan Reza. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan. "Erna, pesananku kemarin dapat tidak?" tanyaku spontan mengalihkan pembicaraan. "Ada, Nyonya!" jawab Erna dari dapur. "Ini, Nyonya," katanya sambil menghampiriku dan menyerahkan barang. "Apa itu, Zhee?" tanya Reza. "Kurma Deglednoor" jawabku. "Akhirnya kamu menemukannya, terima kasih, Erna!" ucapku. "Kemarin Mas Arjun yang membelikannya, Nyonya. Saya dan Sulis mencari yang ada hanya Ajwa," kata Erna, kemudian pergi. "O ...." ceplosku. "Emangnya kurma itu banyak jenisnya ya? Kenapa harus Deglednoor?" sahut Reza. Akhirnya aku bisa mengalihkan pembicaraan ini. "Kalau untuk jus aku s
Kenapa aku sakit hati? Cemburukah? Kalau aku benar cemburu, bagaimana dengan Reza yang saat itu pernah memergoki kami sedang berhubungan sama Arjun? Setega itukah aku? Aku mulai ragu dengan perasaanku. Apakah yang sedang kurasakan pada Arjuna saat ini, benarkah cinta, ataukah nafsu? Tok ... tok ... tok! Suara pintu kamarku diketuk dan aku bergegas membukanya. "Arjun?" pekikku. "Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah kamu sudah berangkat ke kantor sama Mas Reza?" aku memberondong dengan pertanyaan. Arjun meringsek masuk dan menutup kamarku. Dia mendorong tubuhku sampai aku terpelanting di atas kasur. Kemudian dia menindihku, matanya menatapku nanar. Kami saling berpandangan, lama dan lama. Kini sorot matanya berangsur teduh. "Kenapa aku tidak rela melihat istriku melayani bosku? Hatiku sakit, Zhee!" pekiknya. "Jangan egois, Arjun! Bayangkan juga bagaimana perasaan Mas Reza. Kamu pernah bilang kepadaku, ini tidak mudah juga buat Mas
Siapakah Arjun? Kenapa dia dendam kepada pemilik gelang ini? Padahal akulah sang pemilik gelang ini. Aku ingat gelang ini terlepas saat ditarik anak kecil yang orang tuanya ditabrak mobil papaku. Anak itu menangis minta tolong agar ayahnya dibawa ke rumah sakit, dia menarik tanganku sampai gelangku terlepas. Apakah anak kecil itu Arjun? Jadi dia menaruh dendam kepadaku lantaran papaku menabrak ayahnya dan tidak menolong membawanya ke rumah sakit? Aku terduduk lemas, kenapa suamiku memburuku, untuk balas dendam kepadaku? Bagaimana kalau dia tahu akulah pemilik gelang ini, apa yang akan dia lakukan? Haruskah hubunganku hancur disaat kami sedang gila-gilanya mencintai? Jadi dia adalah bocah kecil yang malang itu? Akhirnya ayahnya meninggal? Kalau saja dia tahu kalau di dalam mobil ada mamaku yang mengejan akan melahirkan adikku, tentu akan lain ceritanya. Akhirnya mama dan adikku tidak tertolong bersamaan di hari meninggalnya ayahnya Arjun. Bagaimana aku harus menceritakan ini pada Arj
Ting ... tong ... ting ... tong! Bel pintu kamar berbunyi. Arjun segera mengenakan kembali pakaiannya dan mengambil dompet. Aku hanya menatapnya dengan geram menahan emosi. Tak berselang lama dia sudah kembali dengan sebuah hem cantik dan celana dan satu lagi sebuah gaun indah. "Pilihlah yang kamu suka," tawar Arjun. "Kapan kamu memesannya? Aku salut kamu memang tahu kesukaanku," kataku sambil beranjak bangun dan menyambar gaun biru muda dari tangan Arjun. Bergegas aku berlari ke kamar mandi dan mandi besar. Saat aku keluar dari kamar mandi aku melihat Arjun sedang mengamati ponselku. "Apa yang kamu lakukan, Arjun? Beraninya kamu menyentuh ponselku. Mas Reza saja tidak berani melakukannya," ketusku sambil merebutnya dari tangannya. "Aku hanya ingin melihat apakah masih ada fotoku di ponselmu," jawabnya. "Tidak ada, jangankan fotomu bahkan aku sudah menghapus namamu dari hidupku," ketusku sambil memasukkan ponsel ke tasku. Aku menatap wajahku di cermin dan Arjun datang memelukk
Aku sengaja tidak mengunci kembali pintunya agar aku tidak kerepotan bila langsung ingin pergi keluar. Entah kenapa aku berpikiran tidak ingin berlama-lama di dekat Arjun. Aku takut tidak bisa mengendalikan sikapku saat bersama Arjun. Itu mungkin karena rasa rinduku yang sudah menggunung. Rasa benci dan cinta tersekat tipis sehingga aku tidak bisa membedakannya aku sedang cinta atau benci. "Kemarilah, Zhee! Tutup kembali pintunya," pinta Arjun. "Aku yakin kamu pasti datang menemui ku. Bukankah kamu juga merindukan aku, Zhee?" tanya Arjun menggoda, tatapannya tajam seolah hendak mengikutiku. "Kamu benar, Arjun, tidak dapat kupungkiri aku memang sedang merindukanmu. Aku sangat mencintaimu, Arjun," kataku tegas. Aku masih berdiri di depan pintu, Arjun pun menghampiriku dan memelukku kemudian tangannya menghempaskan pintu, "creg." Arjun dengan bernafsu mematuk bibirku dan mengulumnya. Ciuman penuh cinta dan kerinduan yang membara membakar birahi kami berdua. Aku menahan diri dengan si
Deg, jantungku rasanya mau copot. Bagaimana dengan tiba-tiba Mas Reza menghampiriku dan merebut ponselku. Apakah sebenarnya dia curiga kalau yang telepon Arjun. Dia menekan speaker seolah ingin menunjukkan kepadaku bahwa aku jujur atau tidak. "Nyonya Reza yang cantik, aku mohon kamu bisa hadir di pestaku ya? Teman-teman tim kita hadir semua, Nyonya Mayang eh keliru Nyonya Zhee," pinta Diah terdengar lantang di speaker. Aku tidak mengira ternyata telepon yang barusan berdering dari Diah dan benar dia memaksa aku menghadiri pestanya. Oh dewa penolong benar-benar sedang berpihak kepadaku. Bukan saja aku yang terbelalak terkejut tapi Mas Reza juga. Pasti yang ada di otaknya aku sedang teleponan dengan Arjun. Kenapa begitu kebetulan sekali Diah menelepon di saat yang tepat, bagai Dewi penyelamat bagiku. "Diah, dimana sih pesta kamu diadakan? Kok aku nggak diundang sih?" tanya Mas Reza. "Di restoran deket rumah saya, Pak CEO," jawabnya ragu. "Cuma pesta kecil kok tidak ada yang istimewa
"Aku tidak mau kehilangan semuanya, Mas, aku bersedia menikah lagi secara agama denganmu," ujarku. Sebenarnya Mas Reza sudah tahu akan keberadaan Arjun tapi dia berpura-pura dan mengikuti sandiwaraku. Aku harus mengakhirinya, aku harus segera menentukan pilihan. Otak waras pasti akan memilih Mas Reza sebagai pendamping hidup. Aku berharap otakku waras sehingga bisa mengubur kenangan bersama Arjun. "Terima kasih, Sayang. Aku akan segera menyiapkan semuanya," kata Mas Reza. "Aku juga akan menyiapkan keperluanku, Mas Reza. Satu permintaanku kita ijab kabul sederhana saja di masjid," pesanku. "Aku setuju apapun permintaanmu, Zhee ... apapun!" janjinya menegaskan. Aku tahu betapa besar cinta Mas Reza kepadaku. Aku tidak akan menyia-nyiakan nya lagi. Apalagi untuk kuserahkan kepada Putri, tidak akan pernah. "Apapun kebutuhanmu biar aku yang menyiapkan, Zhee," usul Mas Reza. "Baik, kita bicarakan lagi nanti di rumah! Aku permisi dulu, Pak CEO," pamitku menggoda. "Zhee, kamu ya?" sahut
Sesaat kami saling berpandangan, Mas Reza menatap dalam mataku. "Zhee," panggilnya lembut. Tiba-tiba tangannya meraba laci nakas dan mengambil kotak kecil. Dia membukanya dan mengambil sebatang seperti permen dan mengulumnya. Entah apakah yang diambil dari laci nakas itu? Apakah itu permen ataukah obat perangsang? Ah masa bodoh, karena mabok mungkin juga itu obat pengar. Setelah dia mengulumnya dengan kasar menarik tubuhku kemudian mematuk bibirku dan akhirnya mengulumnya. Bibir saling bertemu dan Mas Reza melontarkan sesuatu yang dikulum itu ke dalam mulutku. Aku terkesiap, aku merasakan seperti aroma terapi yang mampu membuat mood ku membaik. Aku melontarkan kembali sesuatu itu ke dalam mulut Mas Reza. Ciuman kami berdua semakin membara. Lama kami berdua tidak melakukan ini. "Aku merindukanmu, Zhee," bisik Mas Reza setelah melepas sesaat ciumannya. "Aku juga, Mas Reza," jawabku dalam hati. Aku pasrah saat Mas Reza mulai menciumi leherku bahkan dengan lidahnya yang basah dan han
Tanganku mengepal kuat, ingin rasanya aku membalas dengan bogem mentahku kepada wanita licik di depanku. Tapi tidak, bekas tamparan ini akan membantuku menunjukkan seperti apa sifat Putri sebenarnya. Agar Mas Reza berpikir ulang bila berhubungan lebih jauh dengannya. "Zhee, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Mas Reza yang terkejut melihat aku. Aku terkejut tapi aku berusaha menenangkan hatiku agar tidak terkesan sebagai pendosa. Aneh memang kenapa aku ada di sini? Aku sengaja menutupi pipiku dengan kedua tanganku. Dengan meringis menahan kesakitan, ini sengaja aku lakukan untuk menunjukkan kepada Mas Reza agar mendapatkan simpatinya. "Kamu kenapa?" tanyanya penasaran sambil meraih tanganku. Aku membiarkan tangan Mas Reza menarik tanganku dan memeriksa pipiku. Dia tampak terperanjat dan memandang mataku tersirat banyak pertanyaan. Aku kenal sekali dengan Mas Reza dia tidak suka dengan banyak argumentasi yang berbelit-belit. Aku hanya diam dan menunjukkan bekas tamparan yang jelas
"Ma, Abim mau pipis," pinta Abim manja. "Diantar papa ya? Soalnya Abim harus ke toilet pria," jawabku memberi pengertian. "Ya iyalah sama papa Abim kan lelaki," sahut Mas Reza. Akhirnya Abim menurut saat Mas Reza menuntunnya ke toilet. Mas Reza menggandengnya dengan manja dan sayang. Aku hanya menatap punggung mereka yang semakin menjauh. Tit ... tit ... tit! Ponsel Mas Reza berbunyi tanda ada pesan masuk. Sekilas aku melirik dan ada notifikasi yang terbaca olehku. "Tolong antar aku periksa ke dokter kandungan, Pak..." Membaca notifikasi yang hanya sepenggal membuatku semakin penasaran. Akhirnya aku nekad meraih ponsel Mas Reza di atas meja. Ternyata layar ponselnya terkunci. Karena rasa penasaran yang besar membuat aku terus berusaha agar bisa membuka kuncinya. Berkali-kali mencoba dari tanggal lahir Mas Reza, Abim dan Nayna tapi belum juga kebuka. Dengan geram aku mencoba dengan asal tanggal lahirku justru langsung terbuka. Oh, ternyata betapa istimewanya aku di mata Mas Reza.
"Om yang mana?" tanya Mas Reza terkejut."Itu," jawab Abim sambil menunjuk Arjun yang berdiri di taman agak jauh dari halaman sekolah.Mas Reza segera menengok dan mendapati Arjun yang spontan mengangguk sopan. "Kenapa aku merasa postur itu tidak asing bagiku," gumam Mas Reza."Dia om yang menolong aku waktu sakit kan, Pa?" tanya Abim meyakinkan."Iya, Sayang."Tiba-tiba Mas Reza menarik pundak Abim merangkul membawanya menghampiri Arjun. Hatiku berdebar-debar takut kalau Mas Reza bisa mengenalinya. Apalagi dia sudah menaruh curiga, maklumlah mereka tumbuh besar bersama sejak kecil."Kita mau kemana sih?" ceplos ku bertanya."Kita bertemu Juna sebentar, kenapa dia menemui Abim di sekolah, aku jadi penasaran?" ujarnya."Kenapa sih kamu jadi kepo, siapa tahu hanya kebetulan dia lewat di depan sekolah Abim," selaku mematahkan.Tanpa menjawab lagi dia dan Abim berjalan di depan ku melalui aku yang tertegun berdiri. Aku melihat Arjun yang menyambutnya dengan menganggukkan kepalanya. Dia m
Arjun terpaku, dia tidak mengira aku akan senekat itu dengan memaksa membuka masker dan kacamatanya. Matanya mulai berkaca-kaca dan menatap sayu ke arahku. "Siapa gadis kecil yang bersamamu tadi? Apakah dia anak kamu bersama Diana? Apa diam-diam kamu kembali dan hidup bersamanya? Padahal dulu kamu berjanji tidak memilih salah satu diantara kita berdua, tapi ternyata ...?" gerutuku meluapkan kekesalanku kepadanya. Betapa selama ini aku tersiksa tercekam sakit karena cinta dan rindu. Arjun diam tanpa sepatah kata pun, hanya air matanya meleleh, bukankah aku yang tersakiti harusnya aku yang menangis tapi kenapa dia ikutan meruraian air mata. Dengan meluapkan rasa sakit dan benci aku mulai bereaksi. "Kenapa kau lakukan ini kepadaku, Arjun? Kenapa? Kamu lelaki brengsek sama hal Mas Reza!" ketusku berteriak. "Jadi kamu melihat kami bertiga?" tanyanya meyakinkan. "Zhee, anak kecil tadi Diana yang mengadopsinya dari panti asuhan. Dia tidak bisa memliki anak karena rahimnya harus diangkat.