“Ini u-angnya, ya, Mas.”Lingga sudah menjual motor yang selama ini dia perjuangkan demi bisa menyewa tempat tinggal yang lebih layak dan juga modal usaha.“Terima kasih, Mas.”Setelah mendapatkan u-ang sebesar tujuh juta rupiah, Lingga pun melanjutkan perjalanannya untuk mencari kos baru. Dia mencari di lingkungan yang lebih aman.“Cari berapa kamar, Mas?” tanya pemilik kos yang baru ditemui Lingga.“Dua kamar, Pak. Ada?”“Ada. Silahkan dilihat dulu!”Lingga dengan senang hati mengecek satu per-satu kamar yang akan ditempati. Benar-benar bersih dan rapi. Kamarnya juga harum.“Kami baru merenovasinya kemarin, Mas. Tak ada kerusakan lagi di setiap sudut. Kami memang selalu melakukan renovasi tipis-tipis tiap ada penghuni kos yang keluar. Agar penghuni berikutnya bisa lebih nyaman menempatinya. Kamar juga selalu kita kasi pengharum ruangan hingga gak bau apek walaupun tak dihuni lama. Cuma kos ini jarang sih kosong lama, Mas. Selalu ramai penghuni.”Pemilik kos itu menjelaskan panjang l
“Kamu tinggal sama saya saja, ya. Lagipula, saya butuh baby sitter untuk ngerawat anak saya,” ucap Bulan pada Sri.Sri senang dan mau ikut dengan Bulan ke rumahnya. Sebenarnya Sri ingat akan Lingga yang sampai saat ini belum dikabari tentang keberadaannya. Hanya saja, Sri masih trauma jika menunggu Lingga di kos itu. Ingin menghubungi lewat telepon pun, Sri tak hafal nomor-nya. Sri hanya ingat satu nomor telepon saja, yakni nomor telepon Bu Rahma—tetangga di desanya.“Kamu sudah makan?” Tanya Bulan pada Sri.Gadis desa itu menggelengkan kepalanya. Bubur ayam tadi pagi pun sudah habis tercerna oleh perut. Kini, dia mulai merasa kelaparan. “Kita cari warung makan, ya! Kebetulan aku juga belum makan,” ajak Bulan pada Sri.Semula, Sri begitu kekeuh ingin melaporkan kejadian tadi pagi ke kantor polisi. Namun, saat ditanya Bulan tentang permasalahannya, Sri tiba-tiba berubah pikiran. Rasanya, hatinya begitu hancur jika mengingat kejadian itu dan membuatnya menjadi sebuah cerita. Lebih baik
Setelah mengucapkan doa dalam hati untuk kedua orang tuanya, Sri memutuskan untuk mandi dan istirahat. Selesai mandi, Sri memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan melakukan tugasnya untuk yang pertama kalinya. CeklekKebetulan sekali, dia melihat Mama Mery tengah duduk di ruang tamu sembari bercanda dengan malaikat kecil bernama Nadya. Sri berusaha berbasa-basi dan mengambil alih tugasnya menjaga Nadya. Sedangkan Bulan tak terlihat dimanapun. Mungkin dia sedang keluar rumah atau tidur di kamarnya.“Permisi, Bu. Sini, biar saya bantu jaga Nadya,” ucap Sri sedikit sungkan.Mama Mery tersenyum sembari menyuruh Sri duduk di sampingnya. Dia mengajak Sri berbincang tentang banyak hal. Mulai dari asal-usul Sri hingga pertemuannya dengan Bulan. Bagi Sri, dia merasa sangat beruntung bisa tinggal di rumah ini. Tak hanya Bulan yang berhati malaikat, ternyata Mama Mery pun sama baiknya.“Ini sudah sore, Sri. Kebetulan Bi Mini izin gak masuk hari ini. Sementara ini, bisa gak kamu bantu saya un
Sri terdiam dalam keheningan yang menyakitkan. Pikirannya berkutat pada kata-kata Bu Rahma, seperti be-lati ta-jam yang me-nusuk hatinya. Tangannya gemetar saat ia mencoba mengerti makna dari apa yang baru saja ia dengar.“Sri, bangun, Sri! Kamu kenapa?” Bulan panik melihat sahabatnya terkapar di lantai. “Mama … Bi Mini. Tolong!!!”Mama Mery dan Bi Mini yang berada di teras depan rumah, mendengar teriakan meminta tolong dari Bulan. Dua wanita paruh baya itupun masuk ke dalam rumah, hendak melihat apa yang terjadi. Mereka berdua terkejut tatkala melihat Sri tengah terbaring di lantai.“Loh, kenapa Sri, Lan?” tanya Mama Mery.“Aku gak tahu, Ma. Tiba-tiba saja, dia terjatuh tak sadarkan diri sehabis menerima telepon.”Mendengar perkataan anaknya, Mama Mery pun melihat ponsel Bulan yang masih berada di tangan Sri. Sepertinya sambungan teleponnya belum terputus.“Bi, tolong ajak Nadya ke kamar dulu, ya!”Mama Mery menyerahkan Baby Nadya pada Bi Mini. Sedangkan dia akan mencari tahu apa ya
“Wah, Mas-nya tampan sekali.”Bulan menoleh ke belakang. Dia mendapati seorang perempuan paruh baya yang memandang suaminya dengan penuh kekaguman. Bahkan rasa kagumnya itu disampaikannya secara terang-terangan.“Kalian penghuni baru di komplek ini, ya?” Ibu-ibu itu menghampiri Bulan dan suaminya, Lingga. Tetangga yang belum dikenalnya itu terus memperhatikan Lingga dari atas sampai bawah. Tentu saja dengan mata berbinar dan senyum terkembang. Bulan merasa risih akan tatapan wanita itu.“Iya. Kami penghuni baru di komplek ini.”“Ooh … kalian ngontrak apa beli? Setahu saya, rumah ini milik Nyonya Darmi.”“Kami membelinya, Bu,” ucap Bulan sekenanya saja. Sebab kesan pertama bertemu tetangga barunya itu tak cukup baik. Hal itu yang menyebabkan Bulan tak begitu suka berlama-lama berbicara dengannya.“Oh, ya. Kenalin ... nama saya Sulis.”Wanita itu menyodorkan tangannya pada Lingga. Entah sengaja atau tidak, Bulan seperti diabaikan.“Eh, iya, Bu. Nama saya Lingga. Salam kenal, ya. Dan in
Saat mengamati keadaan sekitar, Bulan tak melihat hal atau orang yang mencurigakan. Komplek perumahan ini memang tak memiliki pagar hingga orang-orang yang ingin bertamu ataupun berbuat tak baik bisa langsung menuju teras rumah.Sepertinya orang-orang di komplek ini masih ada di dalam rumahnya masing-masing. Tak ada yang keluar saat Bulan sedang marah-marah karena kotoran kucing misterius.Harusnya, saat-saat seperti ini, dia bisa menghirup udara segar dengan dalam. Tapi sekarang mana bisa? Kotoran kucing ini mengganggu penciuman.“Gila. Pagi-pagi sudah dikasi tugas bersihin kotoran kucing. Gak tahu apa aku lagi lapar. Kalau kutahu siapa pelakunya, kan kuhajar.” Bulan ngedumel sambil terus membersihkan kotoran itu.“Sayang, kamu di sini, toh?” Lingga sudah bangun dan dia mendapati istrinya sedang menyapu di teras rumah.“Aku laper, Sayang,” lanjut Lingga.“Aku sudah beliin sarapan, Mas. Itu masih kugantung di gagang pintu. Aku bersihin kotoran kucing ini. Pagi-pagi udah diteror.”“Hah
“Sudah pas. Sekarang tinggal dibagikan ke tetangga terdekat.”Sepulang kerja, Bulan begitu sibuk menyiapkan bolu buatannya untuk dibagikan ke tetangga---berkenalan dengan orang-orang di lingkungan perumahan ini. Tentu Bu Sulis termasuk dalam daftar-nya. Walaupun hatinya masih jengkel, tapi dia tetap berusaha untuk berbasa-basi dengan memberikan kue bolu buatannya.“Nanti aku kasi aja kue ini, trus pulang. Malas juga bertatap muka apalagi berbincang lama dengan mereka,” gumam Bulan saat dia memikirkan langkah apa yang mau diambil saat pergi ke rumah Bu Sulis.Satu per-satu tetangga dikunjungi. Ternyata mereka semua sangat ramah dan menyambut baik kedatangan wanita itu. Sikapnya jauh berbeda dengan tadi pagi. Saat melihat keributan antara Bulan dan Bu Sulis.“Salam kenal Mbak Bulan. Semoga betah ya di sini. Main-main saja ke sini kalau bosen di rumah.”Rata-rata begitulah ucapan basa-basi dari pemilik rumah yang Bulan datangi satu per satu. Kini kue-nya tersisa dua. Satu untuk keluarga
“Weekend ini lu mau kemana, Lan?”Pertanyaan itu terlontar dari mulut teman-temannya. Biasanya Bulan paling semangat bercerita tentang liburan akhir pekan yang akan dia jalani. Tapi minggu ini berbeda. Bulan terlihat lesu dan jarang bicara. Hal itu tentu dikarenakan masalah dengan tetangga barunya.“Gak tahu, nih. Kayaknya di rumah aja. Lagi males kemana-mana.”Biasanya Bulan paling senang saat tiba akhir pekan. Kalaupun harus di rumah saja bersama suaminya, dia tetap bahagia. Aman dan tentram. Tapi di lingkungan baru ini, sepertinya dia tidak bahagia. Enggan kalau-kalau tetangganya kembali membuat ulah. Belum lagi sang suami yang tak bisa bersikap tegas dan justru menyambut baik kehadiran mereka. Bagi Bulan, tak apa bersikap cuek untuk orang-orang seperti mereka.“Gue duluan, ya, Lan.”“Ya … ya. Gue juga dah mau pulang.”Bulan bekerja di salah satu bank swasta yang cukup terkenal. Memiliki jabatan sebagai credit analyst. Salah satu tugasnya adalah mengumpulkan serta menganalisis data