Sri terdiam sejenak, matanya masih memandang pria di depannya dengan penuh keheranan. Pria itu, Satria. Sosok yang tak asing baginya. Satria yang menyelamatkan nyawanya dari para lelaki dur-ja-na yang ada di kos lamanya. Sri tak menyangka kalau dia akan bertemu lagi dengan lelaki itu di tempat dan kondisi yang berbeda."Sri, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Satria, cukup terkejut.Sri mencoba mengumpulkan pikirannya yang kacau. "Aku ... aku tersesat dan bertemu dengan Putra dan Pak Wirto. Mereka membantuku."“Loh, jadi kalian sudah saling kenal?”Pak Wirto merasa terkejut melihat anak sulungnya dan gadis yang ia tolong ternyata sudah saling mengenal.“Dia temanku, Pak,” jawab Satria singkat.“Oalah. Kenapa bisa kebetulan begini?”“Pak, bisa kasih kami waktu sebentar?” pinta Satria pada ayahnya.Pak Wirto mengernyitkan kening. Dia tak pernah melihat wajah anaknya seserius ini dengan seorang gadis. Apakah hubungan Satria dengan Sri tak hanya sebatas teman biasa? Pak Wirto bertanya-
“Lingga?”Bulan terkejut mendapati Lingga berada di depan rumahnya. Dia pikir Lingga menghilang setelah musibah air bah beberapa minggu lalu. ‘Tak ada yang selamat dalam musibah itu. Clarissa, Lingga, dan para pengawalnya dinyatakan menghilang dan tak dapat ditemukan hingga kini. Baik dalam keadaan hidup maupun ma-ti.’Setidaknya, itulah yang diyakini semua orang tentang Lingga dan yang lainnya.“I … ini bener kamu, 'kan, Ngga?”Bulan seakan tak percaya pada penampakan sosok di depannya. Semua orang telah pasrah dan ikhlas akan kepergiannya selama ini. Bahkan Bulan rajin mengirim doa untuk Lingga yang dianggapnya telah tiada.“Iya, Lan. Ini aku, Lingga.”Bulan menyentuh pipi mantan suaminya. Seakan meyakinkan diri bahwa ini nyata. Bukan mimpi ataupun khayalan.“Ma … masuk dulu, yuk!”Lingga mengangguk dan menerima ajakan Bulan untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan pemilik rumah itu terus mengekor di belakang Lingga dengan tatapan keheranan. Bulan belum bisa percaya sepenuhnya akan ap
“Yang ini, Ngga?”Bulan mencoba mencocokkan orang yang dirinya dan Lingga cari. Siapa tahu, Sri yang mereka cari merupakan orang yang sama.Lingga menatap lekat ke arah foto yang ditunjukkan oleh Bulan. Di sisi lain, Mama Mery terlihat gugup saat mendengar nama Sri disebut. Bagaimana tidak? Ia lah yang membuat perempuan itu pergi dari rumah Bulan. Ia juga telah mengarang cerita pada Bulan tentang kepergian Sri. Mama Mery berkata bahwa Sri pergi karena keinginannya sendiri. Tapi tak disangka, Bulan masih terus mencarinya tanpa henti. Ditambah lagi, saat ini, Lingga juga mencari orang yang bernama Sri. Jika Sri yang dimaksud adalah satu orang yang sama, maka Bulan dan Lingga akan bekerja sama untuk mencari gadis itu.“Iya … ini Sri, Lan. Sriasih. Kenapa fotonya ada di ponselmu?” tanya Lingga.Mendengar jawaban Lingga, mata Bulan justru berkaca-kaca. Seolah mendapat bantuan kekuatan untuk menemukan teman barunya itu.“Sri yang mana, sih? Sering banget Papa denger nama itu disebut di ruma
“Kenapa harus lewat hutan, sih?” Arga terus mengeluh. Dia tak suka jika perjalanan ini dipimpin oleh Lingga. “Kalau kamu keberatan, kamu bisa pulang aja, Ga! Biar aku dan Lingga saja yang melanjutkan perjalanan,” usul Bulan. Sepertinya wanita ini juga mulai gerah dengan tingkah Arga yang sejak tadi mengeluh dan menyalahkan Lingga.“Ooh enggak, enggak, Lan. Justru aku kasihan sama kamu yang harus melewati hutan belantara ini. Jujur, aku cuma kasihan sama kamu. E-gois banget rasanya kalau mengorbankan rasa nyamanmu hanya demi mengikuti lelaki itu,” ucap Arga sembari memandang ke arah Lingga.“Sudah, lah, Ga! Kita ke sini mau mencari keberadaan Sri dan keluarganya. Dan yang tahu medan di daerah ini hanya Lingga. Hanya dia yang pernah ke sini. Jadi kita harus ikuti semua arahannya. Lagipula, aku ini mantan anak mapala. Jangan meremehkan kemampuanku!”Mendengar perkataan Bulan yang mulai mengeluarkan suara keras, semua orang pun terdiam. Arga pun menelan lu-dah. Kata-kata yang semula ing
“Ka … kami ini ….” Lingga berbicara dengan terpatah-patah, tak tahu harus mencari alasan seperti apa.“Kalian ini penjelajah hutan?”Mendengar perkataan sang bapak yang menebak dengan asal, Lingga pun dengan cepat mengangguk, diikuti oleh Bulan dan Arga dengan ragu.“Kalian tersesat?”Lagi-lagi, Lingga dan kedua temannya mengangguk. Mereka beruntung karena tak perlu mencari alasan lagi dalam situasi ini.“Dasar anak muda. Ada saja yang dikerjakan. Kalau memang tak tahu daerah sini, ya jangan ke sini. Nyusahin diri sendiri, ‘kan?”Bapak-bapak itu menggerutu sembari melihat mereka bertiga.“Ya, sudah! Ikut saya saja kalau begitu!” ajak sang bapak.“Ke … kemana, Pak?” tanya Lingga.“Ke desa lah. Kalian mau tetap di sini?”Mendengar perkataan bapak itu, tentu saja Lingga terkejut dan merasa khawatir. Mereka justru menghindari desa itu dan ingin cepat kembali ke rumah. Tetapi kini mereka justru terjebak di situasi yang buruk. Seolah didekatkan pada apa yang mereka takuti.“Kenapa diam? Ayo
“Nah, silahkan duduk dulu, ya, Nak!”“Sri mana, Pak?”“Nanti saya antarkan kalian ke tempat Sri. Sekarang kita istirahat dulu di rumah saya. Sebentar, ya! Saya ambilkan minum dulu.”Bulan dan dua orang lainnya dipersilahkan untuk duduk di lantai ruang tamu milik Paijo. Lantai yang beralaskan tikar tipis dan penuh debu. Sedangkan sang tuan rumah, pergi ke dapur untuk menyiapkan minum.“Lan, ayo pergi!” bisik Lingga dari arah kanan.“Iya, Lan … ayo kita pergi! Bapak itu terlihat mencurigakan,” bisik Arga dari arah kiri. Bulan duduk di tengah-tengah dua lelaki yang begitu menyayanginya.Mendengar ajakan kedua lelaki itu, bukannya bangkit dan memutuskan untuk segera pergi, Bulan justru memasang wajah datar. Sama sekali tak peduli akan ajakan kedua temannya. Arga dan Lingga pun dilanda dilema. Mereka bisa saja pergi sekarang juga dan lari sejauh-jauhnya dari tempat itu, tetapi mereka tak mungkin meninggalkan Bulan sendiri. Ingin mengajak Bulan pergi secara baik-baik, wanita itu pun tak ma
“Si … siapa kamu?”Bulan terkejut mendapati dirinya tengah berbaring di sebuah kamar dengan ditemani seorang gadis cantik di sampingnya.“Mbak … jangan takut! Nama saya Yanti.”“Ya … Yanti? Dimana aku ini?”“Mbak ada di rumah Juragan Ariadi. Saya ditugaskan menjaga Mbak selama Mbak pingsan.”Bulan mulai terdiam—berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya. “Sudah berapa lama saya pingsan?”“Sudah 1 hari, Mbak.”“Apa?”Bulan benar-benar tak menyangka kalau dia tak sadarkan diri selama itu.“Lalu, dua teman saya dimana? Di … dimana mereka? Dimana Arga dan Lingga?” Bulan bertanya seperti orang kesurupan.“Teman yang mana, Mbak? Mbak cuma sendirian di sini.”“Ti … tidak mungkin. Saya ke sini dengan dua teman lelaki saya. Biarkan saya keluar dulu.”Tapi baru saja ingin berdiri dari tempat tidur, Bulan merasakan kakinya lemas seperti lum-puh. Dia pun terjatuh ke lantai, terkulai lemas dan tak bisa berdiri.“Mbak tenang dulu, ya! Sini saya bantu Mbak ke tempat tidur!” Yanti dengan sigap m
“Gimana, Pa? Apa nomor Bulan sudah aktif?”Kedua orang tua Bulan terlihat khawatir. Pasalnya sang anak sudah menghilang tanpa kabar selama berhari-hari. Begitupun dengan Arga dan Lingga. Mereka semua tak bisa ditemukan.“Ayo kita ke kantor polisi lagi, Pa!”“Tapi, Ma?”“Aku gak peduli, Pa. Kita harus terus mencari keberadaan anak kita.”Setiap hari, Mama Mery akan pergi ke kantor polisi untuk menanyakan perkembangan kasus hilangnya sang anak. Namun nihil. Tak ada titik terang hingga sekarang.“Oke, Ma. Oke, Ma! Tenang dulu! Nanti Mama sakit lagi. Sudah, ya! Serahkan pada Papa! Hari ini Papa akan pergi mencari Bulan kembali.”“Gimana bisa tenang sih, Pa? Bulan itu anak kita satu-satunya. Ini semua gara-gara kamu, Pa! Mama kan sudah bilang, desa itu berbahaya! Jangan izinkan Bulan pergi ke sana. Ini … Papa malah mengizinkan mereka pergi dengan mudah. Apalagi ada Lingga di sana. Apa kamu gak khawatir kalau lelaki itu berbuat jahat pada Bulan?”“Iya, Ma. Maafkan Papa. Papa salah.”Papa Ke
“Kur4ng 4jar, ya, kamu!”Plak!Begitu cepat tamp4ran keras melayang ke pipi Nanda. Semua orang yang ada di sana terkejut.“Apa-apaan ini, Tante?”Nanda bertanya bingung sembari memegangi pipinya yang kini terasa nyeri.“Marni ….”Tiba-tiba dari arah belakang, terdengar suara keras memanggil nama adik bungsu Jaka. Dia adalah wanita yang melahirkan Nanda ke dunia ini.Tangan Bulan gemetar. Dia begitu emosi melihat pemandangan di depannya. Dimana wanita yang membuatnya trauma selama ini tengah menyakiti anak kesayangannya.“Marni, apa-apaan kamu?”Di saat istrinya masih tetap di tempat, Jaka justru sudah lebih dulu menghampiri Marni.“Anakmu ini telah bicara tak sopan padaku, Mas.”Marni berusaha membela diri.“Apa yang kamu katakan ke Tantemu, Nan?”Kini Jaka berbalik ke arah putranya yang sudah remaja.“A … aku hanya ….”“Katakan saja!”Mendengar titah sang ayah, Nanda lantas menarik nafas dan langsung menjelaskan kronologinya. “Benar, ‘kan? Anakmu itu tak sopan. Kamu sudah dengar dar
Pintu kamar pribadi milik Jaka dan Bulan terbuka. Marni yang semula ingin turun ke lantai dasar untuk memberi makan cacing-cacing di perut, kini perhatiannya justru teralihkan ke sebuah kamar—kamar milik iparnya.“Besar banget. Beda jauh dengan kamarku.”Marni melongo. Dia terdiam di depan kamar yang pintunya terbuka itu. Memindai setiap sudut kamar yang terjangkau oleh mata. Tanpa sadar, kakinya terus melangkah maju—mendekat ke arah kamar. Entah dimana ART yang bertugas membersihkan kamar majikannya hari itu. Hingga pintu kamar dibiarkan terbuka tanpa ada seorangpun di dalam. Hal ini tentu dijadikan kesempatan emas bagi Marni untuk melihat-lihat barang di kamar itu.Ceklek“Ceroboh banget. Kenapa kunci lemari dibiarkan tergantung kayak gini, kan aku jadi bisa membuka lemarinya,” ucap Marni dengan senyum sumringah. Dia berharap ada perhiasan me-wah yang bisa ia pinjam untuk sebentar.“Apaan ini? Mana perhiasannya?”Setelah membuka lemari, Marni tak melihat barang lain selain pakaian
“Wanita itu? Ke … kenapa dia ada di sini?”Trauma yang dialami Bulan masih ada hingga kini. Bayangan masa lalu, selama berminggu-minggu disek4p, kini kembali muncul. Telinga Bulan mulai berdengung, pandangannya berbayang. Dia merasakan pusing yang sangat luar biasa. Tubuhnya mulai tak terkendali, bergetar dan tak bisa berdiri tegak.“Eh … Bu … Bu.”Beruntung. Sebelum tak sadarkan diri dan terjatuh ke lantai, ada yang menopang tubuhnya dari belakang. Dua orang perawat perempuan memegangi tubuh Bulan yang saat ini begitu lemas.“Bawa ke IGD! Tolong!”Perawat itu memanggil rekan lelakinya untuk membantu membawa Bulan ke IGD.Di lain sisi, Nadya yang mendengar keributan dari arah belakang, terkejut melihat ibunya yang begitu lemas dan ditemani oleh dua perawat.“Mama ….”Mendengar kata yang terucap dari mulut anak perempuannya, Jaka pun ikut menoleh ke arah belakang. Begitu pula dengan Maga dan Marni. Percakapan mereka harus terpotong. Kini, semua tertuju pada Bulan.Jaka dan Nadya gegas
“Pa … itu ada telepon.”“Dari siapa, Ma?”“Entahlah … dari tadi berisik banget nelponin Papa. Awas aja kalau itu simpenan kamu, ya.”Jaka hanya bisa tersenyum sembari me-nge-lus lembut rambut istrinya. Kini, Bulan memang berubah menjadi wanita yang sensitif dan sangat protektif pada keluarganya. Bahkan terkadang ketakutan akan kehilangan anggota keluarganya itu, membuat Bulan dianggap sebagai sosok yang galak dan cerewet oleh anak-anaknya.“Ya, sudah … Papa angkat telepon dulu, ya.”Jaka bersiap untuk keluar dari kamarnya, mengangkat telepon dari orang misterius yang sejak tadi membuat ponselnya berdering.“Kenapa gak di sini aja? Kenapa harus di luar? Kamu menyembunyikan sesuatu?”Lagi-lagi, langkah Jaka terhenti. Dia pun kembali berbalik ke arah sang istri.“Mama mau Papa tetap di sini? Ya, sudah, Papa angkat teleponnya di kamar. Biar Mama tidak curiga lagi. Bila perlu, Papa loudspeaker saja biar Mama bisa mendengar percakapan kami.”Bulan tak menjawab. Wajahnya masih datar dan tak
“Minggir dong, Pak! Kenapa sih mepet-mepet terus? Ketek Bapak bau.”“Eh … kurang a-jar ya, kamu. Enak saja bilang ketek saya bau. Lagian siapa yang mau deket-deket sama kamu? Mulutmu bau jengkol.”Di dalam bus antar kota itu, seorang wanita paruh baya dan seorang kakek tua terlihat bersitegang dan adu mulut. Mereka membuat orang-orang di sekitarnya mulai terganggu. Suasana yang awalnya hening, didominasi oleh orang-orang yang sedang tidur sembari menunggu waktu untuk sampai ke tempat tujuan, kini tiba-tiba riuh seperti pasar.“Bu … udah, Bu!”Maga berusaha menenangkan ibunya. Dia harus menahan rasa sakit di perutnya demi melerai pertengkaran ibunya dengan seorang kakek.“Dasar orang kampung! Beraninya sama orang tua.”“Memang kenapa kalau aku orang kampung? Daripada kamu, sudah bau tanah masih saja cari perkara.”Tak ada yang bisa melerai mereka berdua hingga ….Ciiiiit ….Bus berhenti mendadak, membuat semua orang terkejut dan beberapa ada yang terpental dari posisinya semula. Berunt
“Sudah Ibu bilang, kita harus pergi ke kota mencari keluarga gadis itu. Kita harus meminta pertanggung-jawabannya.”Marni begitu menggebu-gebu. Menghasut suami dan anak lelakinya untuk pergi ke kota mencari keberadaan Nadya. Tapi dua lelaki itu tetap diam—berusaha tak mendengar ucapan sang Ibu.“Kita jual saja rumah ini. Semoga uangnya cukup untuk melunasi hutang dan juga memberi ganti rugi pada orang-orang di pasar.”Maga mengangguk—dia setuju dengan ucapan sang ayah. Sepertinya, itulah solusi terbaik untuk keluar dari masalah ini. Walaupun mereka harus kehilangan rumah ini, tak menjadi masalah. Yang terpenting, mereka terbebas dari segala hutang dan tuntutan warga.“Apa? Dijual? Trus kita mau tinggal dimana?”Marni adalah satu-satunya orang yang tak setuju akan saran suami dan anaknya.“Kita buat gubuk kecil di bekas kios, Bu. Hanya untuk sementara. Setelah rumah ini berhasil dijual, sisa uangnya akan bapak pakai untuk menyewa kontrakan dan juga membangun kios kita lagi.”Marni meng
“Baru saja pulang, Pak. Dia pulang bersama kakeknya.”Tentu saja kakek yang dimaksud oleh petugas rumah sakit adalah lelaki tua yang membantu Nadya dan Maga tempo hari.“Apa mereka tak menitipkan pesan atau memberitahukan alamat mereka?”“Maaf, Pak. Tidak ada.”Jaka menghela nafas pelan. Dua hari ini dia terlalu sibuk dengan pekerjaan kantor dan juga keluarganya. Dia harus menjadi tameng dan tembok pembatas bagi istri dan anak perempuannya yang sedang perang dingin. Sehingga ia lupa menemui pemuda yang wajahnya sangat mirip dengan adik kembarnya.“Dia sudah pergi, Yan. Aku tak tahu dimana keberadaannya sekarang.”Jaka memberi laporan pada adik kembarnya yang lain. Dia gagal mencari tahu tentang asal-usul pemuda itu. Dia kehilangan jejak.“Sudah, tak apa-apa, Mas! Kalau memang benar dia keponakan kita, Tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali.”Dari seberang telepon, Yanti berusaha menghibur kakaknya. Sebenarnya ia pun tak yakin kalau pemuda yang dimaksud oleh kakaknya adalah kepona
“Saya, Ibu dari pasien atas nama Nadya. Dimana? Dimana anak saya sekarang?” Bulan terlihat panik, dia tak sabar ingin bertemu dengan putri kesayangannya.“Putri Ibu dan suaminya masih ada di IGD, Bu. Mari saya antar.”Jantung Bulan berdegup lebih cepat ketika mendengar ucapan perawat. Suami? Suami dari anaknya? Apa maksud perkataan pihak rumah sakit ini?Tapi langkah kakinya tetap mengikuti sang perawat yang sebentar lagi akan mempertemukan dirinya dengan Nadya.“Sayang … bagaimana keadaanmu, Nak?”Bulan terus memeriksa tubuh anaknya dan menanyakan kondisi kesehatannya sekarang. Sang suami, Jaka, terus mendampinginya sembari me-nge-lus lembut rambut putri sambungnya.Sejurus kemudian, tatapan ta-jam Bulan lontarkan pada lelaki muda yang masih terbaring di ranjang rumah sakit.“Siapa dia, Nak? Katakan!” Bulan bertanya pada anaknya tanpa menatap mata sang putri. Pandangannya justru terus ditujukan pada lelaki muda yang kini tengah memberikan senyuman tipis padanya.“Ma … sabar! Ini rum
“Terima kasih, Mas.”Hanya itu yang bisa Nadya ucapkan di tengah gempuran hujan. Entah lelaki muda itu mendengar ucapannya atau tidak.Jedug!!!Mereka kini melalui jalanan yang rusak. Nadya hampir saja terjatuh jika tak langsung memeluk tubuh pemuda itu. Ia terpaksa melakukan ini untuk membuat dirinya tak terjatuh ke jalan.“Maaf, Mas,” ucap Nadya, sesaat setelah dia memeluk pinggang lelaki itu. Tapi lagi-lagi tak ada sahutan. Nadya merasa tak enak hati. Karena mengira, pemuda itu terpaksa mengantarkan dirinya pulang dengan menempuh jarak yang lumayan jauh. Nadya berpikir, dirinya sangat merepotkan.Di kiri dan kanan jalan yang mereka lalui saat ini adalah hamparan sawah dengan gubuk-gubuk petani yang kosong saat malam. Sangat sepi. Beruntung hujan mulai reda walau menyisakan rintik yang membasahi tubuh. Tapi paling tidak, mereka berdua bisa menembus jalanan sepi dengan lebih cepat tanpa terhalang oleh derasnya hujan.Bruuuk!Tiba-tiba motor yang dikendarai lelaki itu oleng dan terjat