“Nah, silahkan duduk dulu, ya, Nak!”“Sri mana, Pak?”“Nanti saya antarkan kalian ke tempat Sri. Sekarang kita istirahat dulu di rumah saya. Sebentar, ya! Saya ambilkan minum dulu.”Bulan dan dua orang lainnya dipersilahkan untuk duduk di lantai ruang tamu milik Paijo. Lantai yang beralaskan tikar tipis dan penuh debu. Sedangkan sang tuan rumah, pergi ke dapur untuk menyiapkan minum.“Lan, ayo pergi!” bisik Lingga dari arah kanan.“Iya, Lan … ayo kita pergi! Bapak itu terlihat mencurigakan,” bisik Arga dari arah kiri. Bulan duduk di tengah-tengah dua lelaki yang begitu menyayanginya.Mendengar ajakan kedua lelaki itu, bukannya bangkit dan memutuskan untuk segera pergi, Bulan justru memasang wajah datar. Sama sekali tak peduli akan ajakan kedua temannya. Arga dan Lingga pun dilanda dilema. Mereka bisa saja pergi sekarang juga dan lari sejauh-jauhnya dari tempat itu, tetapi mereka tak mungkin meninggalkan Bulan sendiri. Ingin mengajak Bulan pergi secara baik-baik, wanita itu pun tak ma
“Si … siapa kamu?”Bulan terkejut mendapati dirinya tengah berbaring di sebuah kamar dengan ditemani seorang gadis cantik di sampingnya.“Mbak … jangan takut! Nama saya Yanti.”“Ya … Yanti? Dimana aku ini?”“Mbak ada di rumah Juragan Ariadi. Saya ditugaskan menjaga Mbak selama Mbak pingsan.”Bulan mulai terdiam—berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya. “Sudah berapa lama saya pingsan?”“Sudah 1 hari, Mbak.”“Apa?”Bulan benar-benar tak menyangka kalau dia tak sadarkan diri selama itu.“Lalu, dua teman saya dimana? Di … dimana mereka? Dimana Arga dan Lingga?” Bulan bertanya seperti orang kesurupan.“Teman yang mana, Mbak? Mbak cuma sendirian di sini.”“Ti … tidak mungkin. Saya ke sini dengan dua teman lelaki saya. Biarkan saya keluar dulu.”Tapi baru saja ingin berdiri dari tempat tidur, Bulan merasakan kakinya lemas seperti lum-puh. Dia pun terjatuh ke lantai, terkulai lemas dan tak bisa berdiri.“Mbak tenang dulu, ya! Sini saya bantu Mbak ke tempat tidur!” Yanti dengan sigap m
“Gimana, Pa? Apa nomor Bulan sudah aktif?”Kedua orang tua Bulan terlihat khawatir. Pasalnya sang anak sudah menghilang tanpa kabar selama berhari-hari. Begitupun dengan Arga dan Lingga. Mereka semua tak bisa ditemukan.“Ayo kita ke kantor polisi lagi, Pa!”“Tapi, Ma?”“Aku gak peduli, Pa. Kita harus terus mencari keberadaan anak kita.”Setiap hari, Mama Mery akan pergi ke kantor polisi untuk menanyakan perkembangan kasus hilangnya sang anak. Namun nihil. Tak ada titik terang hingga sekarang.“Oke, Ma. Oke, Ma! Tenang dulu! Nanti Mama sakit lagi. Sudah, ya! Serahkan pada Papa! Hari ini Papa akan pergi mencari Bulan kembali.”“Gimana bisa tenang sih, Pa? Bulan itu anak kita satu-satunya. Ini semua gara-gara kamu, Pa! Mama kan sudah bilang, desa itu berbahaya! Jangan izinkan Bulan pergi ke sana. Ini … Papa malah mengizinkan mereka pergi dengan mudah. Apalagi ada Lingga di sana. Apa kamu gak khawatir kalau lelaki itu berbuat jahat pada Bulan?”“Iya, Ma. Maafkan Papa. Papa salah.”Papa Ke
“Dimana Bulan? Dimana Arga?”“Ssst. Jangan keras-keras, Mas! Saya akan berusaha bantu kalian untuk keluar dari rumah ini. Tapi Mas harus sabar, ya!”Pria dengan wajah pucat penuh kekhawatiran itu hanya bisa mengangguk pasrah. Dia adalah Lingga. Sudah sebulan dia terkurung di rumah Juragan Ariadi. Dia dan dua temannya dipisahkan di ruangan yang berbeda. Mereka hanya dibiarkan terbaring di kamar tanpa diperbolehkan keluar.“Makan dulu, ya, Mas!” ucap salah seorang pelayan di rumah itu yang bernama Yanti.“Seperti biasa, Mas. Makanan itu sudah saya ganti. Ini aman untuk dimakan.”Setelah Yanti menjelaskan, Lingga pun mengangguk dan memulai makannya.Sekedar info, di rumah itu, semua makanan disiapkan secara ketat untuk Lingga dan teman-temannya. Makanan dan minuman yang diberikan akan membuat raga penikmatnya semakin lemas dan menjadi penurut. Menurut ke siapa? Tentu saja ke Juragan Ariadi. Tapi Lingga cukup beruntung, karena pelayan yang ditugaskan untuk melayani Lingga adalah Yanti. W
“Sayang … kamu cantik sekali hari ini.”“Terima kasih, Mas.”Seorang wanita berpakaian pelayan menghampiri sepasang suami istri yang tengah menikmati pemandangan alam di depannya.“Ada apa, Asih? Kenapa kamu ganggu saya?”“Maaf, Tuan. Tapi ada kabar buruk.”Lelaki paruh baya yang diperkirakan berusia 53 tahun itu mulai memasang wajah tegang. Ia yang awalnya duduk di bangku taman bersama istri mudanya, pun berdiri dan mendekat ke arah pelayannya.“Kabar buruk apa?”“Salah satu tawanan hilang, Tuan.”“Apa?”“Benar. Lelaki yang bernama Lingga telah menghilang.”Mendengar itu, lelaki yang sangat berkuasa di daerahnya itu pun terlihat geram. Dia lantas menyuruh semua pengawalnya mencari keberadaan lelaki itu. Dia seperti pemburu yang ingin mengepung mangsa buruannya.“Sebentar, ya, Sayang. Mas ada kerjaan penting.”Lelaki paruh baya itu mengelus rambut istrinya dan mendaratkan kecupan di pucuk kepalanya. Lantas ia segera berlari menuju ke dalam rumah—dengan beberapa pengawal mengikuti lang
“Aku dimana?”Lingga tersadar dari pingsannya. Dia melihat sekujur tubuhnya tengah terbalut dedaunan hijau yang mulai mengering. Seperti dejavu. Dulu, dia juga sempat mengalami hal seperti ini saat diobati oleh orang tua Sri.“Loh, udah bangun, Mas? Sebentar! Biar saya bantu duduk!”Dua jirigen besar yang dipikulnya, ditaruh begitu saja di lantai tanah. Pria desa itu lantas menghampiri Lingga yang tengah terbaring lemas.“Aku dimana? Mas ini siapa? Mas bukan antek-antek Juragan Ariadi, ‘kan?” tanya Lingga dengan penuh kekhawatiran.Pria itu menggeleng sembari tersenyum.“Perkenalkan ... nama saya Jaka, Mas. Saya bukan antek-antek Juragan Ariadi.”Sebenarnya Lingga ragu akan ucapan lelaki itu. Orang-orang di desa ini patut dicurigai. Dia tak ingin tertipu seperti ia dan teman-temannya dulu yang mudah ditipu oleh Paijo.“Gak apa, Mas. Wajar kalau Mas belum bisa percaya dengan ucapan saya. Yang pasti, saya hanya berniat menolong Mas. Dan saya juga bukan antek-antek Juragan. Saya justru s
“Berhenti!!!”Jaka menghentikan langkahnya dengan ragu-ragu. Dia meihat kedatangan dua orang pengawal berbadan kekar yang berjalan ke arahnya dan juga kakek di sampingnya.“Jualan apa kalian?” tanya para pengawal dengan wajah mengintimidasi.“Saya jualan ayam potong, Pak. Ini ayam hutan,” jawab sang kakek terlebih dahulu.Para pengawal melihat-lihat dagangan milik sang kakek. Lantas membeli dua potong ayam dari gerobaknya. Sekarang, giliran Jaka. “Jualan apa kamu?” tanya salah seorang pengawal.“I … ini, Pak. Saya jualan sayuran dan juga jamur hutan.”“Wah enak nih dimasak sama da-ging ayam hutan ini, Lon,” ucap salah seorang pengawal ke teman di sampingnya. Tapi sang teman tak menggubris ucapannya. Tatapannya begitu tajam—menusuk ke arah Jaka.“Kenapa kamu terlihat gugup?” tanya pengawal itu. Ketika teman di sampingnya terlihat lebih fokus pada barang dagangan Jaka, tapi tidak dengannya. Pengawal yang bernama Londo itu justru lebih fokus pada gerak-gerik Jaka yang baginya sangat me
“Semua biaya sudah saya tanggung, ya, Mas.”“Terima kasih, Mas. Terima kasih.”Jaka sangat berterima kasih pada seorang Mantri muda bernama Iman. Pria penyelamat itu tak hanya pandai, namun juga baik hati. Jaka dan Lingga beruntung bertemu dengannya. Saking terharunya akan kebaikan Iman, Jaka sampai bersujud di kaki Iman. Namun Mantri muda itu dengan cepat menyuruh Jaka berdiri.“Sudah, Mas! Gak usah seperti itu! Sebagai sesama saudara, kita harus saling tolong-menolong,” ucap Iman dengan senyum termanisnya.“Ya, ampun, Mas. Kamu pria yang baik. Kamu malaikat yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan nyawa Lingga. Terima kasih, Mas.”Iman mengangguk. Dia menerima semua ucapan terima kasih dari Jaka. Hatinya juga sangat bahagia karena dia dipilih Tuhan untuk melakukan hal baik ini.“Saya pulang dulu, ya, Mas. Masih ada pekerjaan yang menanti di desa. Semoga Mas Lingga cepat sadar dan membaik. Mas gak apa-apa di sini sendirian?” ucap Iman.Jaka langsung mengangguk cepat. Dia tak ingin mere