Setelah mengucapkan doa dalam hati untuk kedua orang tuanya, Sri memutuskan untuk mandi dan istirahat. Selesai mandi, Sri memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan melakukan tugasnya untuk yang pertama kalinya. CeklekKebetulan sekali, dia melihat Mama Mery tengah duduk di ruang tamu sembari bercanda dengan malaikat kecil bernama Nadya. Sri berusaha berbasa-basi dan mengambil alih tugasnya menjaga Nadya. Sedangkan Bulan tak terlihat dimanapun. Mungkin dia sedang keluar rumah atau tidur di kamarnya.“Permisi, Bu. Sini, biar saya bantu jaga Nadya,” ucap Sri sedikit sungkan.Mama Mery tersenyum sembari menyuruh Sri duduk di sampingnya. Dia mengajak Sri berbincang tentang banyak hal. Mulai dari asal-usul Sri hingga pertemuannya dengan Bulan. Bagi Sri, dia merasa sangat beruntung bisa tinggal di rumah ini. Tak hanya Bulan yang berhati malaikat, ternyata Mama Mery pun sama baiknya.“Ini sudah sore, Sri. Kebetulan Bi Mini izin gak masuk hari ini. Sementara ini, bisa gak kamu bantu saya un
Sri terdiam dalam keheningan yang menyakitkan. Pikirannya berkutat pada kata-kata Bu Rahma, seperti be-lati ta-jam yang me-nusuk hatinya. Tangannya gemetar saat ia mencoba mengerti makna dari apa yang baru saja ia dengar.“Sri, bangun, Sri! Kamu kenapa?” Bulan panik melihat sahabatnya terkapar di lantai. “Mama … Bi Mini. Tolong!!!”Mama Mery dan Bi Mini yang berada di teras depan rumah, mendengar teriakan meminta tolong dari Bulan. Dua wanita paruh baya itupun masuk ke dalam rumah, hendak melihat apa yang terjadi. Mereka berdua terkejut tatkala melihat Sri tengah terbaring di lantai.“Loh, kenapa Sri, Lan?” tanya Mama Mery.“Aku gak tahu, Ma. Tiba-tiba saja, dia terjatuh tak sadarkan diri sehabis menerima telepon.”Mendengar perkataan anaknya, Mama Mery pun melihat ponsel Bulan yang masih berada di tangan Sri. Sepertinya sambungan teleponnya belum terputus.“Bi, tolong ajak Nadya ke kamar dulu, ya!”Mama Mery menyerahkan Baby Nadya pada Bi Mini. Sedangkan dia akan mencari tahu apa ya
Sri merasa terpukul dan terdiam. Dia mera-ba-ra-ba hatinya yang hancur dalam keheningan. Namun, dia tahu dia harus segera mengumpulkan kekuatan dan keluar dari rumah itu. Sri meraih amplop yang diserahkan oleh Mama Mery, lalu dengan langkah gontai, dia meninggalkan rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan.Saat keluar dari rumah, Sri merasa seakan-akan dunianya runtuh. Dia merenungi semua yang terjadi, mencoba mencerna setiap kejadian dengan hati yang hancur. Tanpa tujuan yang pasti, dia melangkah perlahan-lahan menjauh dari rumah Bulan.“Aku harus kemana sekarang?” gumam Sri seorang diri. Dia tak membawa barang apapun saat keluar dari rumah itu. Hanya ada amplop putih pemberian Mama Mery.Sri berjalan tanpa arah, hanya mengikuti aliran jalanan yang sepi. Hatinya terasa kosong, dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban. Dia terus berjalan, tak tahu harus kemana. Saat dia melewati gerbang komplek yang dijaga ketat oleh security, dia mendapat berbagi
Setelah mengatakan itu, Sri tiba-tiba terserang kantuk yang teramat sangat. Dia menghapus debu yang ada di sampingnya dan membaringkan diri. Setelah lelah menangis, seseorang biasanya akan mudah terserang kantuk. Mungkin hal itu yang menyebabkan Sri lemah dan tertidur di gedung terbengkalai.“Kak … Kak, bangun!”Samar-samar, Sri mendengar suara seseorang. Tubuhnya juga terasa terguncang, seolah ada yang ingin membangunkannya dari tidur. “Kak … bangun!” Sekali lagi, Sri mendengar suara itu. Entah sudah berapa lama dia tertidur hingga ditemukan oleh orang lain. Ataukah ini mimpi yang baru saja memasuki tidurnya?Sri mengerjapkan mata, mencoba membuka mata sepenuhnya. Menghilangkan penghalau yang membuat pandangannya buram.Samar-samar, Sri melihat seorang anak laki-laki tengah membungkukkan dirinya ke arah wajah Sri.“Pak … Pak! Dia bangun! Dia masih hidup!” teriak anak kecil itu pada seseorang.“Kamu siapa, Dek?” tanya Sri pada anak itu.“Aku Putra, Kak. Tunggu sebentar, ya! Aku mau
Sri terdiam sejenak, matanya masih memandang pria di depannya dengan penuh keheranan. Pria itu, Satria. Sosok yang tak asing baginya. Satria yang menyelamatkan nyawanya dari para lelaki dur-ja-na yang ada di kos lamanya. Sri tak menyangka kalau dia akan bertemu lagi dengan lelaki itu di tempat dan kondisi yang berbeda."Sri, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Satria, cukup terkejut.Sri mencoba mengumpulkan pikirannya yang kacau. "Aku ... aku tersesat dan bertemu dengan Putra dan Pak Wirto. Mereka membantuku."“Loh, jadi kalian sudah saling kenal?”Pak Wirto merasa terkejut melihat anak sulungnya dan gadis yang ia tolong ternyata sudah saling mengenal.“Dia temanku, Pak,” jawab Satria singkat.“Oalah. Kenapa bisa kebetulan begini?”“Pak, bisa kasih kami waktu sebentar?” pinta Satria pada ayahnya.Pak Wirto mengernyitkan kening. Dia tak pernah melihat wajah anaknya seserius ini dengan seorang gadis. Apakah hubungan Satria dengan Sri tak hanya sebatas teman biasa? Pak Wirto bertanya-
“Lingga?”Bulan terkejut mendapati Lingga berada di depan rumahnya. Dia pikir Lingga menghilang setelah musibah air bah beberapa minggu lalu. ‘Tak ada yang selamat dalam musibah itu. Clarissa, Lingga, dan para pengawalnya dinyatakan menghilang dan tak dapat ditemukan hingga kini. Baik dalam keadaan hidup maupun ma-ti.’Setidaknya, itulah yang diyakini semua orang tentang Lingga dan yang lainnya.“I … ini bener kamu, 'kan, Ngga?”Bulan seakan tak percaya pada penampakan sosok di depannya. Semua orang telah pasrah dan ikhlas akan kepergiannya selama ini. Bahkan Bulan rajin mengirim doa untuk Lingga yang dianggapnya telah tiada.“Iya, Lan. Ini aku, Lingga.”Bulan menyentuh pipi mantan suaminya. Seakan meyakinkan diri bahwa ini nyata. Bukan mimpi ataupun khayalan.“Ma … masuk dulu, yuk!”Lingga mengangguk dan menerima ajakan Bulan untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan pemilik rumah itu terus mengekor di belakang Lingga dengan tatapan keheranan. Bulan belum bisa percaya sepenuhnya akan ap
“Yang ini, Ngga?”Bulan mencoba mencocokkan orang yang dirinya dan Lingga cari. Siapa tahu, Sri yang mereka cari merupakan orang yang sama.Lingga menatap lekat ke arah foto yang ditunjukkan oleh Bulan. Di sisi lain, Mama Mery terlihat gugup saat mendengar nama Sri disebut. Bagaimana tidak? Ia lah yang membuat perempuan itu pergi dari rumah Bulan. Ia juga telah mengarang cerita pada Bulan tentang kepergian Sri. Mama Mery berkata bahwa Sri pergi karena keinginannya sendiri. Tapi tak disangka, Bulan masih terus mencarinya tanpa henti. Ditambah lagi, saat ini, Lingga juga mencari orang yang bernama Sri. Jika Sri yang dimaksud adalah satu orang yang sama, maka Bulan dan Lingga akan bekerja sama untuk mencari gadis itu.“Iya … ini Sri, Lan. Sriasih. Kenapa fotonya ada di ponselmu?” tanya Lingga.Mendengar jawaban Lingga, mata Bulan justru berkaca-kaca. Seolah mendapat bantuan kekuatan untuk menemukan teman barunya itu.“Sri yang mana, sih? Sering banget Papa denger nama itu disebut di ruma
“Kenapa harus lewat hutan, sih?” Arga terus mengeluh. Dia tak suka jika perjalanan ini dipimpin oleh Lingga. “Kalau kamu keberatan, kamu bisa pulang aja, Ga! Biar aku dan Lingga saja yang melanjutkan perjalanan,” usul Bulan. Sepertinya wanita ini juga mulai gerah dengan tingkah Arga yang sejak tadi mengeluh dan menyalahkan Lingga.“Ooh enggak, enggak, Lan. Justru aku kasihan sama kamu yang harus melewati hutan belantara ini. Jujur, aku cuma kasihan sama kamu. E-gois banget rasanya kalau mengorbankan rasa nyamanmu hanya demi mengikuti lelaki itu,” ucap Arga sembari memandang ke arah Lingga.“Sudah, lah, Ga! Kita ke sini mau mencari keberadaan Sri dan keluarganya. Dan yang tahu medan di daerah ini hanya Lingga. Hanya dia yang pernah ke sini. Jadi kita harus ikuti semua arahannya. Lagipula, aku ini mantan anak mapala. Jangan meremehkan kemampuanku!”Mendengar perkataan Bulan yang mulai mengeluarkan suara keras, semua orang pun terdiam. Arga pun menelan lu-dah. Kata-kata yang semula ing