Selama ini Bima tidak pernah mau mencari siapa kedua orang tuanya. Ia merasa sakit hati karena telah dibuang begitu saja ke sebuah panti. Dalam hati kecilnya selama 43 tahun, ia berharap ada orang tua menanyakannya dan mencari ke panti tempat ia dibuang. Namun kenyataan tak pernah ada satu pun orang yang melakukan hal tersebut.Sekarang di saat akan menikah, ia mendadak ingin mengetahui siapa orang yang telah melahirkan. Sepantasnya acara sakral nanti bisa dihadiri oleh ibunya. Pasti ada alasan khusus kenapa ibunya itu sampai tega membuangnya? Apa alasan itu?Beberapa tahun terakhir ini Bima lupa tidak mengunjungi panti yang membesarkan sebelum keluarga Wirawan mengadopsi. Patah hati karena Melinda yang menajdikannya gila kerja membuat sesaat keberadaan panti terlupakan.[Bimbim kangen] Kanaya sekarang sudah tidak malu lagi menyatakan kerinduannya.Semenjak memutuskan akan menikah dalam waktu dekat, Bima memang jarang sekali menemuinya sendiri. Katanya takut rem blong lagi.[Maa
Kanaya mengangkat alisnya sebelah saat melihat Bima menepuk jidatnya sendiri.“Kenapa Bim?”“Oh enggak. Oya anak-anak biasa bangun jam berapa?”“Biasanya jam setengah enam. Kenapa gitu?”“Hehe, masih ada waktu.”“Waktu apa sih?” tanya Kanaya belaga tak paham.“Eum, pura-pura.”“Terus ngapain masih di sini?”“Dinginkan badan dulu.”“O iya.” Kenapa tidak dilanjut lagi aja sih olahraganya? Olahraga bareng aku di kasur. Hehe .. aku ga masalah dengan keringatmu. Hati Kanaya berbicara.“Kenapa senyum-senyum?”“Enggak apa-apa.”Mereka pun ngobrol-ngobrol. Kanaya juga menanyakan tentang mahar yang diberikan Bima. Kemudian membahas bulan madu mereka yang ingin keliling eropa. Namun mereka kebingungan saat memikirkan cara untuk izin ke Anna dan Alya.Tiga puluh menit berlalu. Bima beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan badannya dengan air hangat yang sudah Kanaya siapkan di bath tub. Sebenarnya Kanaya ingin ikut mandi, tetapi rasanya masih malu. Belum berani ke tahap itu. Ya
Tangannya tergesa membantu menanggalkan dresshome yang Kanaya kenakan. Akhirnya kerinduan keduanya bermuara. Hasrat yang tertahan-tahan sekarang bisa tersalurkan sepuasnya. Bahkan Bima lupa akan tahapan yang ia baca dalam artikel tentang cara memulai untuk pertama kali. Ia hanya mengikuti instingnya saja sebagai lelaki.Setelah melakukan pemanasan, Bima lekas membaringkan istri di kursi pantai yang telah dilapisi bed yang sangat empuk. Agar proses penyatuan keduanya berjalan dengan sangat nyaman.Suami selalu menyentuhnya dengan lembut dan penuh kasih. Sehingga sentuhan demi sentuhan sudah mulai menjadi candu yang akan terus dirindukan. Usai pergulatan, Bima mencium dahi Kanaya dan mengucapkan terima kasih. Ia juga membantu membersihkan Sang Istri dengan tisu khusus. Lalu membantu memakaikan bikini yang sudah disiapkan tadi. Setelah rehat sejenak, keduanya berenang di air laut yang dangkal dan bersih. Tentu saja sebuah kegiatan renang yang tidak luput dari saling rangkul dan c*m
Jam 19.00 WIB. Bima baru saja pulang ke rumah. Ia tidak mendapati istrinya menyambut kepulangan. Istrinya juga selepas siang tadi tidak ada lagi menghubungi atau sekadar kirim pesan. Padahal biasanya Kanaya getol melakukannya.“Hallo, Ayah pulang,” seru Bima.“Eh Ayah,” girang Alya.Bima sudah biasa menggendong putri bungsunya Kanaya setiba pulang kerja untuk beberapa saat. Seperti yang suka Elang lakukan dulu. Walau sebelumnya Alya selalu berceloteh tidak akan ada yang menggantikan papa, nyatanya kini anak itu kadang lupa dengan Elang. Elang pun tidak bisa sebebas dulu menemui kedua putrinya. Dia hanya bisa menemui mereka saat hari libur, itu pun dilakukannya di luar bukan di istana Bima. Sebenarnya Bima tidak keberatan jika Elang mau sering mampir atau bermain di rumahnya, tetapi Elang merasa tidak nyaman.“Al, kamu itu udah gedi tahu. Masa digendong-gendong kayak anak kecil,” ejek Anna.“Emang kenapa? Mama aja yang udah tua sering digendong sama ayah. Iya kan Yah?”Bima hanya
Seperti biasa Bima membaringkan istri ke atas bed dengan pelan. Kaos oblong yang sedang dipakainya, ia buka dan asal lempar saja.“Gadang lagi yuk?” ajak Bima, tetapi terdengar seperti sebuah pemberitahuan di kuping Kanaya. Lantaran belum sempat ia memberi jawaban, suaminya itu sudah main naik saja di atasnya.“Hih!” Kanaya mengerucutkan bibir.“Kok gitu?” protes Bima merasa tidak disambut oleh istri.Kanaya memasang ekpresi acuh menjurus jutek. Bahkan tatapannya di palingkan ke samping. Bukannya peka kalau Kanaya sedang marah, ini Bima malah asik saja melanjutkan aksi.“Stop!” Kanaya menghentikan sebelum ia kepancing lebih jauh.“Apa Cinta? Tapi kenapa?” tanya Bima terkejut.“Minggir ih!” titahnya semakin jutekBima pun berguling ke samping istrinya. Sementara Kanaya ambil posisi membelakangi.“Cinta, ada apa sih?”“Aku ngantuk. Maaf, mau tidur,” sahut Kanaya tanpa menoleh.“Cinta, apa ada yang salah?” tanya Bima mulai peka.“Berisik!” ketus Kanaya.“Jadi malam ini kita
Bima gegas menelepon Kanaya dan meminta ia menemuinya di dekat pintu belakang. Kanaya yang mendapat telpon dari suami, izin undur kepada Siska juga Wirawan.“Ada apa? Kok telpon segala?”“Sudah Cinta, cepat ke sini. Pokoknya nurut saja sama suami.”Kanaya berjalan cepat untuk menemui kekasih hatinya yang terdengar tidak sabaran. Tidak lama keduanya bertemu dan Bima meminta untuk tidak banyak bicara apalagi berisik.“Aneh,” gumam Kanaya.Sementara Melinda sedang mondar-mandir dalam Paviliun. Ia memikirkan hal apa yang akan pertama kali dilakukan saat lelaki yang ditunggunya nanti masuk. Begitu mendengar derap suara langkah dari luar mendekat. Ia langsung mengintip dari balik jendela. Matanya sontak membola seakan loncat dari kelopak. Lantaran Bima datang dengan menggandeng Kanaya.“Ish, perempuan itu,” desisnya kesal.Ia panik dan berpikir cepat untuk mencari tempat bersembunyi. Ia pun memutuskan sembunyi di belakang sofa panjang yang memiliki sandaran lumayan tinggi. Tempat ter
“Bim, apa kamu tidak tidur siang?” tanya Kanaya.Lantaran suaminya itu terlihat lelah sekali usai pergulatan di siang bolong. Terlebih Bima memang seperti sedang lelah dengan pekerjaannya di kantor. Maka dari itu pulang dadakan. Terus kalau ia mengajak hubungan dadakan juga dengan tergesa, biasanya sedang ada masalah atau pikirannya ruwet.“Istriku, kamu mengantuk? Kalau ngantuk, tidur saja.”“Ngantuk sih, tapi ada yang mau aku tanyakan sama kamu.”“Apa itu?”“Aku baru ingat. Dulu sepulang dari Bandara saat aku susulin kamu yang mau ke Surabaya, kita kan bertemu Melinda.”Deg! Bima terkejut. Sepertinya Kanaya akan mengorek masalalu yang sudah ia lupakan itu.“Terus?”“Kalau aku pikir-pikir, kayaknya kamu dan dia punya keterkaitan di masa lalu. Soalnya saat kita berkunjung ke rumah papimu, dia cerita banyak sama aku.”“Cerita apa?”“Ya, dia cerita membual sih. Tapi aku curiga, dia naksir berat bukan sama kamu? Cuma kamunya tidak mau. Jadinya ia bertepuk sebelah tangan dan jengkel. Maka
Kamila selalu berjuang sendirian di kehamilan trisemester akhir ini. Sebelumnya Mira selalu ada membantu. Sebetulnya sampai sekarang ibu kandungnya itu masih perhatian dan selalu menawarkan bantuan. Namun semenjak menikah dengan Elang, ia memutuskan untuk berhenti merepotkannya.“Taka pa, Bu. Ada Mas Elang kok.” Selalu itu yang ia ucapkan.Mira pikir Elang benar-benar menjaga calon cucunya, sehingga ia percaya saja. Kamila ingin terlihat baik-baik saja dan bahagia di mata ibunya. Terlalu gengsi jika harus memberitahu kenyataan kalau selama menikah tak ubahnya ia seperti babu. Tak ada yang namanya perhatian atau kasih sayang. Bahkan Elang tidak pernah menemani Kamila saat memeriksakan kandungannya.Terus bersabar dan berharap semoga Elang bisa berubah serta menerima anak mereka. Bagaimanapun dulu pernah ada cinta yang mereka siram bersama dalam hubungan terlarang.“Auw,” ringis Kamila kesakitan.Rasa mulas yang ia rasakan semakin intens. Minggu ini memang hari perkiraan lahir calo