Jam 19.00 WIB. Bima baru saja pulang ke rumah. Ia tidak mendapati istrinya menyambut kepulangan. Istrinya juga selepas siang tadi tidak ada lagi menghubungi atau sekadar kirim pesan. Padahal biasanya Kanaya getol melakukannya.“Hallo, Ayah pulang,” seru Bima.“Eh Ayah,” girang Alya.Bima sudah biasa menggendong putri bungsunya Kanaya setiba pulang kerja untuk beberapa saat. Seperti yang suka Elang lakukan dulu. Walau sebelumnya Alya selalu berceloteh tidak akan ada yang menggantikan papa, nyatanya kini anak itu kadang lupa dengan Elang. Elang pun tidak bisa sebebas dulu menemui kedua putrinya. Dia hanya bisa menemui mereka saat hari libur, itu pun dilakukannya di luar bukan di istana Bima. Sebenarnya Bima tidak keberatan jika Elang mau sering mampir atau bermain di rumahnya, tetapi Elang merasa tidak nyaman.“Al, kamu itu udah gedi tahu. Masa digendong-gendong kayak anak kecil,” ejek Anna.“Emang kenapa? Mama aja yang udah tua sering digendong sama ayah. Iya kan Yah?”Bima hanya
Seperti biasa Bima membaringkan istri ke atas bed dengan pelan. Kaos oblong yang sedang dipakainya, ia buka dan asal lempar saja.“Gadang lagi yuk?” ajak Bima, tetapi terdengar seperti sebuah pemberitahuan di kuping Kanaya. Lantaran belum sempat ia memberi jawaban, suaminya itu sudah main naik saja di atasnya.“Hih!” Kanaya mengerucutkan bibir.“Kok gitu?” protes Bima merasa tidak disambut oleh istri.Kanaya memasang ekpresi acuh menjurus jutek. Bahkan tatapannya di palingkan ke samping. Bukannya peka kalau Kanaya sedang marah, ini Bima malah asik saja melanjutkan aksi.“Stop!” Kanaya menghentikan sebelum ia kepancing lebih jauh.“Apa Cinta? Tapi kenapa?” tanya Bima terkejut.“Minggir ih!” titahnya semakin jutekBima pun berguling ke samping istrinya. Sementara Kanaya ambil posisi membelakangi.“Cinta, ada apa sih?”“Aku ngantuk. Maaf, mau tidur,” sahut Kanaya tanpa menoleh.“Cinta, apa ada yang salah?” tanya Bima mulai peka.“Berisik!” ketus Kanaya.“Jadi malam ini kita
Bima gegas menelepon Kanaya dan meminta ia menemuinya di dekat pintu belakang. Kanaya yang mendapat telpon dari suami, izin undur kepada Siska juga Wirawan.“Ada apa? Kok telpon segala?”“Sudah Cinta, cepat ke sini. Pokoknya nurut saja sama suami.”Kanaya berjalan cepat untuk menemui kekasih hatinya yang terdengar tidak sabaran. Tidak lama keduanya bertemu dan Bima meminta untuk tidak banyak bicara apalagi berisik.“Aneh,” gumam Kanaya.Sementara Melinda sedang mondar-mandir dalam Paviliun. Ia memikirkan hal apa yang akan pertama kali dilakukan saat lelaki yang ditunggunya nanti masuk. Begitu mendengar derap suara langkah dari luar mendekat. Ia langsung mengintip dari balik jendela. Matanya sontak membola seakan loncat dari kelopak. Lantaran Bima datang dengan menggandeng Kanaya.“Ish, perempuan itu,” desisnya kesal.Ia panik dan berpikir cepat untuk mencari tempat bersembunyi. Ia pun memutuskan sembunyi di belakang sofa panjang yang memiliki sandaran lumayan tinggi. Tempat ter
“Bim, apa kamu tidak tidur siang?” tanya Kanaya.Lantaran suaminya itu terlihat lelah sekali usai pergulatan di siang bolong. Terlebih Bima memang seperti sedang lelah dengan pekerjaannya di kantor. Maka dari itu pulang dadakan. Terus kalau ia mengajak hubungan dadakan juga dengan tergesa, biasanya sedang ada masalah atau pikirannya ruwet.“Istriku, kamu mengantuk? Kalau ngantuk, tidur saja.”“Ngantuk sih, tapi ada yang mau aku tanyakan sama kamu.”“Apa itu?”“Aku baru ingat. Dulu sepulang dari Bandara saat aku susulin kamu yang mau ke Surabaya, kita kan bertemu Melinda.”Deg! Bima terkejut. Sepertinya Kanaya akan mengorek masalalu yang sudah ia lupakan itu.“Terus?”“Kalau aku pikir-pikir, kayaknya kamu dan dia punya keterkaitan di masa lalu. Soalnya saat kita berkunjung ke rumah papimu, dia cerita banyak sama aku.”“Cerita apa?”“Ya, dia cerita membual sih. Tapi aku curiga, dia naksir berat bukan sama kamu? Cuma kamunya tidak mau. Jadinya ia bertepuk sebelah tangan dan jengkel. Maka
Kamila selalu berjuang sendirian di kehamilan trisemester akhir ini. Sebelumnya Mira selalu ada membantu. Sebetulnya sampai sekarang ibu kandungnya itu masih perhatian dan selalu menawarkan bantuan. Namun semenjak menikah dengan Elang, ia memutuskan untuk berhenti merepotkannya.“Taka pa, Bu. Ada Mas Elang kok.” Selalu itu yang ia ucapkan.Mira pikir Elang benar-benar menjaga calon cucunya, sehingga ia percaya saja. Kamila ingin terlihat baik-baik saja dan bahagia di mata ibunya. Terlalu gengsi jika harus memberitahu kenyataan kalau selama menikah tak ubahnya ia seperti babu. Tak ada yang namanya perhatian atau kasih sayang. Bahkan Elang tidak pernah menemani Kamila saat memeriksakan kandungannya.Terus bersabar dan berharap semoga Elang bisa berubah serta menerima anak mereka. Bagaimanapun dulu pernah ada cinta yang mereka siram bersama dalam hubungan terlarang.“Auw,” ringis Kamila kesakitan.Rasa mulas yang ia rasakan semakin intens. Minggu ini memang hari perkiraan lahir calo
“Wah selamat, bentar lagi jadi dady, nih.”“Ngapain gue ganti nama jadi Dedi?”“Haha, enggak lucu lu!”“Engga lucu, ketawa.”“Haha … aduh Nyonya Anggara terima kasih banget karena Anda, hidup sahabat saya jadi berwarna. Padahal dulu hidupnya lempeng aja, mana bisa dia guyon.”“Begitulah. Waktu pertama kali bertemu juga, dia itu songong dan arogan.”“Eit, malah gunjingin suami,” seloroh Bima.“Hehe,” kekeh Kanaya.“Jadi beneran kan istri gue hamil?” ulang Bima memastikan lagi.“Beneran lah, masih aja lu nanya.”“Ya Tuhan, terima kasih.”Bima menangkup kedua pipi istri dengan gemas dan menghujaninya dengan kecupan.“Eh, eh, tolong kondisikan Pak Bima Anggara. Istri saya kebetulan lagi di LN, masih lama pulangnya,” sewot Indra.“Itu derita lu.”“Tega bener.”“Oya Dok, soal hubungan badan di trisemester pertama ini bagaimana?” tanya Kanaya.“Berhubung keadaan ibu dan janin sehat, jadi masih bisa dilakukan. Amanlah. Malah bisa menambah booster buat ibunya.”“Nambah booste
Depresi Kamila tidak kunjung membaik. Mira memasukkannya ke Rumah Sakit Jiwa karena kewalahan. Di rumah sakit, keadaan Kamila lebih terkontrol dan stabil. Sesekali ia mengunjungi Kanaya dan cucu-cucunya.“Nay, kenapa kamu jadi malas mandi begini sih?”“Enggak tahu, Bu. Rasanya mual kalau masuk kamar mandi itu.”“Padahal dulu waktu hamil Alya, kamu tuh rajin banget mandi. Sampai sehari lima kali, lho.”“Oh iya, hehe.”“Iya, Bu. Naya malas mandi tuh. Deket-deket saya juga, dia tidak mau,” timbrung Bima yang baru muncul.“Emang begitu Nak Bima bawaan orang hamil itu beda-beda. Yang sabar ya!”“Iya, Bu. Pasti.”“Tahu ah, kamu acara ngadu segala sama ibu,” ketus Kanaya.“Ya tak apa-apa Nay. Ibu malah senang kalau Nak Bima itu bisa akrab sama ibu. Lagian kamu juga aneh, justru lagi hamil itu harus deket-deket sama suami. Kamu juga dulu waktu hamil Anna, nempel banget sama suami. Sampai suamimu kamu larang masuk kantor. Jauh sedikit saja, kamu merajuk,” tutur Mira panjang tanpa sada
Bima membawa istri untuk memeriksakan kehamilannya kembali. Sekalian mereka mau konsul tentang rencana babymoon-nya. Hasil pemeriksaan sejauh ini baik-baik saja, tetapi Indra sebagai dokter menyarankan agar mereka berangkat babymoon sekitar dua mingguan lagi. Untuk melihat sejauh mana kondisi Kanaya yang baru saja melewati fase mual muntah. Selagi ada waktu dua minggu, pasangan suami istri tersebut mempersiapkan segalanya. Mereka juga membujuk Anna dan Alya agar mau ditinggal selama seminggu. Bukan hal yang mudah tentunya, mengingat putri-putri Kanaya tidak pernah ditinggal lama. Akhirnya mereka semua mencapai mupakat setelah berdiskusi alot. Anna dan Alya mengizinkan hanya untuk lima hari. Destinasinya hanya Lombok, tidak boleh keliling ke tempat lain. Karena kalau keliling, mereka harus ikut turut serta. Setiap hari mereka juga harus video call untuk saling mengabari. Selama Bima dan Kanaya pergi, Mira juga diminta untuk menginap.** Wirawan sudah terlihat sangat sehat dan s