Ya ampun Yaya, kamu ini menguji keimananku saja. Aku sudah berusaha jaga jarak, kamu malah menempel. Gimana coba kalau aku mau yang lain-lain? Gerutu hati Bima.Bimbim, kenapa kamu hangat sekali sih? Nyaman banget berada dalam pelukanmu. Jadi pengen cepat-cepat dihalalin. Eh hehe … kekeh hati Kanaya.Brakk! Daun pintu terbuka begitu saja. Tampak Elang di ambang dengan raut wajah murka. Ia terbakar api cemburu yang melahap akal sehatnya. Seketika Alya terbangun dari tidurnya, begitupun dengan Anna.“Papa,” lirih Alya.Namun Elang tak dapat mendengar. Ia tuli karena amarah telah memenuhi gendang telinga. Tanpa membuang waktu setelah merangsek masuk ruangan, Elang melayangkan pukulannya membabi buta sama halnya sewaktu kejadian di gudang sayur.Bugh-bugh!“Elang!” bentak Kanaya.“Apa kamu hah?” matanya melotot.Bima tak melawan bukan karena ia tak berani, melainkan pasti akan terjadi kegaduhan. Tidak pantaslah sebuah ruang rawat inap menjadi tempat adu jotos.Sedangkan Elang mem
Elang bersikukuh tidak akan menikahi Kamila, meskipun Mira terus mendesak.“Bu, saya akan tanggung jawab. Saya akan biayai anak ini, tetapi jangan minta saya untuk menikahi Kamila.”“Lang, ini demi anak yang Mila kandung. Kamu tidak peduli dengan status anak itu jika lahir?”“Sudahlah, Bu. Saya masih ada urusan.” Elang berujar seraya berlalu meninggalkan ruangan Kamila.Kamila tertunduk dan menangisi nasibnya sekarang. Ia merasa ini adalah hukuman yang Tuhan kasih atas perbuatannya kepada Kanaya.**Ini hari ketiga Alya dirawat. Melihat mood Anna yang buruk, Bima tidak berani menemani Kanaya lagi di rumah sakit. Anna juga sudah dua hari izin untuk tidak sekolah. Maka dari itu hari ini, pagi-pagi ia sudah rapi dan siap berangkat sekolah dari rumah sakit.“Ann, Mang Ujang sudah menunggu di parkiran.”“Iya, Mah. Aku bernagkat dulu.”“Hati-hati Sayang,” pesan Kanaya seraya mengecup dahi putrinya.“Awas Mama jangan genit-genit selama aku tidak ada,” pinta Anna.“Genit sama siapa
Setelah pamit kepada Anna dan Alya, Bima gegas meninggalkan ruang rawat inap tersebut. Kanaya pun turut serta mengantarnya. Namun di perjalanan menuju parkiran, hatinya resah lantaran rasa senang karena mendapat restu belum ia ekpresikan.Bagaimanapun Bima adalah lelaki dewasa yang lebih dari matang. Hasrat kejantanannya kini terus meronta tak terima jika harus dipendam lebih lama. Sementara wanita yang diinginkan setiap waktu ada tepat di sampingnya. Pikirannya yang sibuk berperang melawan nafsu justru terkesan mengacuhkan Kanaya.Dari pada balik ke kantor dengan keadaan tidak fokus, lebih baik ia menuntaskan dahulu hal yang membuatnya resah. Dalam lift akhirnya ia mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang yang bisa membantu dan berkuasa di rumah sakit ini.[Saya membutuhkan ruangan privasi yang tidak bisa diakses orang lain juga bebas cctv][Oh tentu. Kalau berkenan bisa gunakan ruangan privat saya di lantai 5 dengan kode sandi 737003][Ok][Senang bisa membantu Anda.]Tanpa
Selama ini Bima tidak pernah mau mencari siapa kedua orang tuanya. Ia merasa sakit hati karena telah dibuang begitu saja ke sebuah panti. Dalam hati kecilnya selama 43 tahun, ia berharap ada orang tua menanyakannya dan mencari ke panti tempat ia dibuang. Namun kenyataan tak pernah ada satu pun orang yang melakukan hal tersebut.Sekarang di saat akan menikah, ia mendadak ingin mengetahui siapa orang yang telah melahirkan. Sepantasnya acara sakral nanti bisa dihadiri oleh ibunya. Pasti ada alasan khusus kenapa ibunya itu sampai tega membuangnya? Apa alasan itu?Beberapa tahun terakhir ini Bima lupa tidak mengunjungi panti yang membesarkan sebelum keluarga Wirawan mengadopsi. Patah hati karena Melinda yang menajdikannya gila kerja membuat sesaat keberadaan panti terlupakan.[Bimbim kangen] Kanaya sekarang sudah tidak malu lagi menyatakan kerinduannya.Semenjak memutuskan akan menikah dalam waktu dekat, Bima memang jarang sekali menemuinya sendiri. Katanya takut rem blong lagi.[Maa
Kanaya mengangkat alisnya sebelah saat melihat Bima menepuk jidatnya sendiri.“Kenapa Bim?”“Oh enggak. Oya anak-anak biasa bangun jam berapa?”“Biasanya jam setengah enam. Kenapa gitu?”“Hehe, masih ada waktu.”“Waktu apa sih?” tanya Kanaya belaga tak paham.“Eum, pura-pura.”“Terus ngapain masih di sini?”“Dinginkan badan dulu.”“O iya.” Kenapa tidak dilanjut lagi aja sih olahraganya? Olahraga bareng aku di kasur. Hehe .. aku ga masalah dengan keringatmu. Hati Kanaya berbicara.“Kenapa senyum-senyum?”“Enggak apa-apa.”Mereka pun ngobrol-ngobrol. Kanaya juga menanyakan tentang mahar yang diberikan Bima. Kemudian membahas bulan madu mereka yang ingin keliling eropa. Namun mereka kebingungan saat memikirkan cara untuk izin ke Anna dan Alya.Tiga puluh menit berlalu. Bima beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan badannya dengan air hangat yang sudah Kanaya siapkan di bath tub. Sebenarnya Kanaya ingin ikut mandi, tetapi rasanya masih malu. Belum berani ke tahap itu. Ya
Tangannya tergesa membantu menanggalkan dresshome yang Kanaya kenakan. Akhirnya kerinduan keduanya bermuara. Hasrat yang tertahan-tahan sekarang bisa tersalurkan sepuasnya. Bahkan Bima lupa akan tahapan yang ia baca dalam artikel tentang cara memulai untuk pertama kali. Ia hanya mengikuti instingnya saja sebagai lelaki.Setelah melakukan pemanasan, Bima lekas membaringkan istri di kursi pantai yang telah dilapisi bed yang sangat empuk. Agar proses penyatuan keduanya berjalan dengan sangat nyaman.Suami selalu menyentuhnya dengan lembut dan penuh kasih. Sehingga sentuhan demi sentuhan sudah mulai menjadi candu yang akan terus dirindukan. Usai pergulatan, Bima mencium dahi Kanaya dan mengucapkan terima kasih. Ia juga membantu membersihkan Sang Istri dengan tisu khusus. Lalu membantu memakaikan bikini yang sudah disiapkan tadi. Setelah rehat sejenak, keduanya berenang di air laut yang dangkal dan bersih. Tentu saja sebuah kegiatan renang yang tidak luput dari saling rangkul dan c*m
Jam 19.00 WIB. Bima baru saja pulang ke rumah. Ia tidak mendapati istrinya menyambut kepulangan. Istrinya juga selepas siang tadi tidak ada lagi menghubungi atau sekadar kirim pesan. Padahal biasanya Kanaya getol melakukannya.“Hallo, Ayah pulang,” seru Bima.“Eh Ayah,” girang Alya.Bima sudah biasa menggendong putri bungsunya Kanaya setiba pulang kerja untuk beberapa saat. Seperti yang suka Elang lakukan dulu. Walau sebelumnya Alya selalu berceloteh tidak akan ada yang menggantikan papa, nyatanya kini anak itu kadang lupa dengan Elang. Elang pun tidak bisa sebebas dulu menemui kedua putrinya. Dia hanya bisa menemui mereka saat hari libur, itu pun dilakukannya di luar bukan di istana Bima. Sebenarnya Bima tidak keberatan jika Elang mau sering mampir atau bermain di rumahnya, tetapi Elang merasa tidak nyaman.“Al, kamu itu udah gedi tahu. Masa digendong-gendong kayak anak kecil,” ejek Anna.“Emang kenapa? Mama aja yang udah tua sering digendong sama ayah. Iya kan Yah?”Bima hanya
Seperti biasa Bima membaringkan istri ke atas bed dengan pelan. Kaos oblong yang sedang dipakainya, ia buka dan asal lempar saja.“Gadang lagi yuk?” ajak Bima, tetapi terdengar seperti sebuah pemberitahuan di kuping Kanaya. Lantaran belum sempat ia memberi jawaban, suaminya itu sudah main naik saja di atasnya.“Hih!” Kanaya mengerucutkan bibir.“Kok gitu?” protes Bima merasa tidak disambut oleh istri.Kanaya memasang ekpresi acuh menjurus jutek. Bahkan tatapannya di palingkan ke samping. Bukannya peka kalau Kanaya sedang marah, ini Bima malah asik saja melanjutkan aksi.“Stop!” Kanaya menghentikan sebelum ia kepancing lebih jauh.“Apa Cinta? Tapi kenapa?” tanya Bima terkejut.“Minggir ih!” titahnya semakin jutekBima pun berguling ke samping istrinya. Sementara Kanaya ambil posisi membelakangi.“Cinta, ada apa sih?”“Aku ngantuk. Maaf, mau tidur,” sahut Kanaya tanpa menoleh.“Cinta, apa ada yang salah?” tanya Bima mulai peka.“Berisik!” ketus Kanaya.“Jadi malam ini kita
SSN 75Semua berjalan sebagaimana mestinya. Akhirnya setelah melewati rasa perih pengkhianatan Kanaya bisa menemukan kebahagiaan lagi. Bersama Bima, ia merasa hidup berjalan normal. Meski yang namanya rumah tangga tidak lepas dari ujian. Hanya saja, selama ujian itu bukan kehadiran wanita lain, Kanaya akan selalu sanggup menjalaninya."Happy birthday to you, happy birthday Narain "Lagu ulang tahun mengantarkan Narain untuk meniup lilin dengan angka 5. Ya, buah hati Bima dan Kanaya tidak terasa sudah berusia lima tahun. Acara ulang tahun diselenggarakan sederhana. Hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat saja."Ayo sekarang potong kuenya!" Ucap Anna.Kanaya lekas membantu memotongkan."Suapan pertama buat siapa, Dek?" tanya Alya."Buat Ayah.""Kok, nggak buat mama dulu?""Ayah dulu. Mama itu suka celewet, kadang galak.""Ih, kok Rain gitu sama mama," protes Kanaya."Haha ...." Orang-orang malah nertawain Kanaya."Anak ayah yang Soleh, kue pertama harus buat mama ya. Soalnya mama lah
“Iya istriku, katakan saja hal apa yang sudah membuatmu marah, agar saya bisa memeprbaikinya.” “Ok. Pertama kamu kegatelan sama cewek muda waktu di taman. Alya sudah cerita semuanya. Bahkan kamu mau kasih nomer kan sama tuh cewek? Untung saja kamu enggak hapal. Coba kalau hapal, pasti sudah berkirim pesan sekarang juga.” “Cinta, kamu cemburu?” “Ini bukan perkara cemburu, Bim. Kamu sudah jelas suka dengan daun muda,” sengit Kanaya. “Eh Cinta, dengarkan dulu. Siapa bilang saya tidak hapal nomer Hp sendiri? Ya hapalah. Untuk apa coba saya pura-pura bilang enggak hapal? Itu karena saya sangat menjaga hati. Lagian buat apa juga tertarik sama bocah? Cantikan mama-nya Narain lah.” “Ehm … udah jangan bohong. Ngaku saja!” Bima pun menyebutkan nomer Hp-nya dan benar saja dia hapal, malah sangat hapal. Berarti alasan bilang tidak hapal memang karena tidak mau saja kasih nomer kepada cewek itu. “Gimana, masih mau bilang saya kegatelan? Emang benar sih, saya tuh udah gatel banget. Yang di ba
SSN-73Setelah mencoba mengingat, Bima tak kunjung menemukan kesalahannya sendiri. Pria kadang memang tidak peka.“Aduh, mama kalian tuh emang suka mendadak kayak gitu. Ayah jadi bingung.”“Ayo susul mama, Yah!” saran Alya.“Iya nanti saja. Sekarang tanggung, Ayah laper.”Mereka kembali melanjutkan aktifitas sarapannya dan tak lama Alya yang memang sudah sarapan sejak tadi merasa kenyang.“Aku dah selesai. Duluan ya Kak, Yah,” izin Alya.“Sayang tunggu, Ayah boleh minta tolong?”“Apa itu?”“Bawain sarapan buat mama. Mama pasti masih lapar. Kan tadi berhenti gara-gara marah sama ayah.”“Ok.”Alya segera membawa sepiring sarapan dan mencari mamanya. Ternyata Kanaya sedang duduk di balkon lantai dua.“Hey Mah.”“Bawa apa Sayang?”“Sarapan. Kata ayah, Mama harus sarapan banyak. Kan netein adek Narain.”“Terima kasih, Sayang.”Kanaya yang memang lapar langsung mengambil alih piring dari tangan Alya. Alya ikut menemani dengan duduk di samping mamanya.“Mah, tadi waktu jogging
Setelah baby Narain terbangun oleh suara bebek mainan, ia enggan terlelap lagi. Kanaya sampai terus nguap-nguap dan matanya berair menahan ngantuk.“Ya, udah tidur saja.”“Kan Narain belum bobo.”“Tidak apa-apa, biar saya yang jagain. Mungkin ia juga kangen, pengen gadang sama ayahnya.”“Enggak ah, aku juga mau di sini saja nemenin kamu.”Bima terus mengajak main anaknya. Sesekali ia pun menguap, tetapi terus ditahannya. Bima gegas membuat secangkir kopi untuk mengusir rasa kantuknya. Sekembali membuat kopi, rupanya Kanaya yang menunggu Narain sudah tertidur.“Mamanya sudah bobo ya? Tunggu, ayah minum dulu kopinya. Eum ….” Bima menghirup aromanya. Lalu ia seruput sedikit demi sedikit. Perlahan kantuknya pun hilang.Narain sama sekali tak rewel. Ia begitu asik bermain malam-malam bersama sang ayah. Tak terasa jarum jam sudah menunjuk angka 12. Berbagai nyanyian, solawat, doa-doa, tepuk-tepuk sampai ngoceh apa aja Bima lakuin agar si Buah hati tidur kembali. Usahanya tidak sia-s
Kanaya sulit terpejam. Ia terus menatap suami yang sudah terlelap kurang dari dua jam lamanya. Suami yang ditatap menggeliat. Kanaya menoleh pada jam yang nongkrong di meja samping bed. “Jam 00.00?” gumamnya. Biasanya di jam ini, Bima akan terbangun untuk buang air kecil. Mendadak Kanaya ingin memberi sedikit pelajaran dengan mengerjainya. Ia buru-buru bersembunyi di walk-in closet. “Ya ….” Terdengar Bima memanggil. Tidak lama terdengar juga langkahnya yang ke sana ke mari mencari. Lalu langkahnya kian menjauh dari ruang kamar. Kanaya keluar dari walk-in closet pelan-pelan. Ia mengintip dan mengendap seperti maling untuk menyaksikan kepanikan Bima di luar kamar. Tampak Bima berlari-lari kecil dari ruang ke ruang lainnya. Kanaya cekikikan sendiri sambil ditangkupnya mulut agar tidak kelepasan tertawa. Suaminya terdengar berteriak, untung saja anak-anak tidak terbangun. Lalu menyalakan semua lampu penerangan, terlihat napasnya terengah-engah. Raut penyesalan tampak jelas tergambar.
Bima menjemput Anna pulang sekolah. Sepanjang perjalanan ada yang dirasakan berbeda dalam diri Anna. Tak seperti biasanya mengoceh dan bercerita tentang harinya yang menyenangkan ataupun sebaliknya.“Ann, kamu kenapa?”“Tidak apa-apa.”“Tidak mau cerita sama Ayah?”“Tidak.”Suasana hening kembali sampai tiba di istina mereka. Kanaya sudah menyambut kepulangan putri sululungnya. Sementara Alya sudah lebih dahulu pulang.Anna masuk rumah begitu saja tanpa salam. Bahkan mamanya yang di ambang pintu ia lewati begitu saja. Ia pun langsung naik ke lantai dua dan terdengar membanting pintu kamar. “Bim, kenapa Anna?”“Anna tidak mau cerita.”“Apa Anna punya pacar?” selidik Bima. Meski mereka terbilang akrab, tetapi untuk urusan cinta, Anna enggan membagi kepada ayah sambungnya.“Iya. Dia jadian sama anak yang bernama Rangga itu, lho.”“Oh.”Kanaya sudah paham, walau suaminya hanya bilang ‘oh’, ia pasti akan melakukan sesuatu.“Aku mau temui Anna dulu, ya!”“Iya. Saya juga mau
Bima membawa istri untuk memeriksakan kehamilannya kembali. Sekalian mereka mau konsul tentang rencana babymoon-nya. Hasil pemeriksaan sejauh ini baik-baik saja, tetapi Indra sebagai dokter menyarankan agar mereka berangkat babymoon sekitar dua mingguan lagi. Untuk melihat sejauh mana kondisi Kanaya yang baru saja melewati fase mual muntah. Selagi ada waktu dua minggu, pasangan suami istri tersebut mempersiapkan segalanya. Mereka juga membujuk Anna dan Alya agar mau ditinggal selama seminggu. Bukan hal yang mudah tentunya, mengingat putri-putri Kanaya tidak pernah ditinggal lama. Akhirnya mereka semua mencapai mupakat setelah berdiskusi alot. Anna dan Alya mengizinkan hanya untuk lima hari. Destinasinya hanya Lombok, tidak boleh keliling ke tempat lain. Karena kalau keliling, mereka harus ikut turut serta. Setiap hari mereka juga harus video call untuk saling mengabari. Selama Bima dan Kanaya pergi, Mira juga diminta untuk menginap.** Wirawan sudah terlihat sangat sehat dan s
Depresi Kamila tidak kunjung membaik. Mira memasukkannya ke Rumah Sakit Jiwa karena kewalahan. Di rumah sakit, keadaan Kamila lebih terkontrol dan stabil. Sesekali ia mengunjungi Kanaya dan cucu-cucunya.“Nay, kenapa kamu jadi malas mandi begini sih?”“Enggak tahu, Bu. Rasanya mual kalau masuk kamar mandi itu.”“Padahal dulu waktu hamil Alya, kamu tuh rajin banget mandi. Sampai sehari lima kali, lho.”“Oh iya, hehe.”“Iya, Bu. Naya malas mandi tuh. Deket-deket saya juga, dia tidak mau,” timbrung Bima yang baru muncul.“Emang begitu Nak Bima bawaan orang hamil itu beda-beda. Yang sabar ya!”“Iya, Bu. Pasti.”“Tahu ah, kamu acara ngadu segala sama ibu,” ketus Kanaya.“Ya tak apa-apa Nay. Ibu malah senang kalau Nak Bima itu bisa akrab sama ibu. Lagian kamu juga aneh, justru lagi hamil itu harus deket-deket sama suami. Kamu juga dulu waktu hamil Anna, nempel banget sama suami. Sampai suamimu kamu larang masuk kantor. Jauh sedikit saja, kamu merajuk,” tutur Mira panjang tanpa sada
“Wah selamat, bentar lagi jadi dady, nih.”“Ngapain gue ganti nama jadi Dedi?”“Haha, enggak lucu lu!”“Engga lucu, ketawa.”“Haha … aduh Nyonya Anggara terima kasih banget karena Anda, hidup sahabat saya jadi berwarna. Padahal dulu hidupnya lempeng aja, mana bisa dia guyon.”“Begitulah. Waktu pertama kali bertemu juga, dia itu songong dan arogan.”“Eit, malah gunjingin suami,” seloroh Bima.“Hehe,” kekeh Kanaya.“Jadi beneran kan istri gue hamil?” ulang Bima memastikan lagi.“Beneran lah, masih aja lu nanya.”“Ya Tuhan, terima kasih.”Bima menangkup kedua pipi istri dengan gemas dan menghujaninya dengan kecupan.“Eh, eh, tolong kondisikan Pak Bima Anggara. Istri saya kebetulan lagi di LN, masih lama pulangnya,” sewot Indra.“Itu derita lu.”“Tega bener.”“Oya Dok, soal hubungan badan di trisemester pertama ini bagaimana?” tanya Kanaya.“Berhubung keadaan ibu dan janin sehat, jadi masih bisa dilakukan. Amanlah. Malah bisa menambah booster buat ibunya.”“Nambah booste