“Ibu sangat merindukanmu nak,”“Bapak juga, bagaimana kabarmu ?”“Baik saja, ini siapa Pak, Bu?”“Ini klien Bapak, tapi sudah Bapak dan ibu anggap seperti anak kami, kasihan dia sedang ada masalah berat dalam hidupnya. Kamu juga bisa anggap dia sebagai adikmu juga Didi.”“Kenapa dia ada disini dan kenapa dia pingsan?” tanya lelaki itu yang tak lain adalah Dilan atau nama panggilan orang tuanya Didi. “Nanti Bapak ceritakan, nah Didi, kamu ini kan Dokter kamu bisa tolong Desya?”“Bapak, panggil saja Dilan, Didi kan panggilan Dilan waktu kecil. Sebentar tolong Ibu baringkan Desya ya ? benar Desya namanya kan?”Pak Rehan tertawa dan mengangguk. Bu Ratna ikut mengangguk dan membaringkan Desya di sofa ruang tv. Dilan mengeluarkan peralatan pemeriksaan di koper yang masih tersegel dari Bandara. Sesekali melihat wajah wanita yang sedang pingsan itu, dalam hati Dilan wanita itu sangat cantik, namun Dilan harus profesional dalam bekerja. Mengarahkan stetoskop di dada Desya untuk mendengarkan d
“Lihat mata saya, tenanglah kamu akan baik-baik saja,”Desya menatap mata Dilan, dahinya berkeringat dingin, tangannya terus bergetar. Kemudian Dilan memeluk wanita itu erat untuk menenangkannya.Desya merasa hatinya semakin tenang, dekapan hangat Dilan membuatnya merasa aman. Suhu tubuh Desya semakin stabil dan gemetaran pun sudah hilang. Desya sadar bahwa dirinya sedang dalam pelukan lelaki lain. Dengan segera Desya melepas pelukan itu dan salah tingkah. “Dilan, kenapa?” tanya Pak Rehan cemas.“Lebih baik Desya makan dulu ya,” Bu Ratna ikut memperhatikan Desya.Desya makan dengan lahap. Tak henti-hentinya Dilan melihat ke arah Desya. Kedua orangtua Dilan saling melempar tatapan. “Desya, apakah kamu sering telat makan dan sering stres?” tanya Dilan setelah makan malam itu selesai.“Iya Mas,” “Ceritakan saja apa yang kamu rasakan,”Desya menatap Dilan seolah merasa apakah harus menceritakan semua aib keluarganya pada Dilan juga?“Tak apa Desya, beritahu semuanya pada Dilan. Kalau k
“Dimana anda sembunyikan istri saya?” “Saya tidak menyembunyikannya.”“Lalu dimana istri saya?”“Istrimu?”“Ya, Desya istri saya,”“Bukankah yang di sebelahmu itu yang kau perlakukan seperti istri?”Rangga menoleh ke arah Irma yang sedang memegang perutnya yang mulai membuncit.“Nampaknya dia sedang hamil juga, apakah kalian sudah menikah secara sah? Atau jika belum akan saya laporkan perbuatan kalian ke lembaga masyarakat agar sanksi sosial kalian berjalan.”“Jangan sembarangan menuduh ya anda!” Tegas Rangga yang mulai panik terlihat dari keringat yang membintik di dahinya.“Sudah pergilah dari sini, kamu tak akan menemukan Desya disini,”Rangga merasa memang Desya tak berada di rumah Pak Rehan, dengan wajah yang penuh dendam Rangga melengos dan melangkahkan kakinya menuju mobil, kemudian pergi. “Mengerikan sekali ya Pak suami Desya itu,”“Makanya Bapak tak akan melepaskan Desya untuknya.”*****“Mas Dilan, apoteknya masih jauh?” Desya melirik Dilan yang sedang fokus menyetir mobil
“Ada apa ?” Dilan menengok ke arah dimana Desya melihat dua orang yang sedang duduk.“Tak apa Mas,” “Saya tahu kamu sedang ketakutan, coba ceritakan sedikit saja masalahmu agar saya bisa membantu.”“Mas Dilan …”“Ya,” Dilan menatap Desya penuh harapan bahwa Desya akan menceritakan semua.“Di sebelah sana ada dua orang pengkhianat. Yang lelaki adalah suamiku, dan di depannya wanita dia adalah sahabatku. Wanita itu seorang perawat yang awalnya menjadi perawat pribadiku saat kakiku cedera dan tidak bisa berjalan. Namun ternyata mereka melakukan sesuatu yang membuat aku sangat membencinya sampai wanita itu sekarang sedang mengandung anak dari suamiku sendiri. Kamu paham Mas ?”Dilan terperangah mendengar cerita Desya. Seakan tak percaya ada manusia-manusia yang kejam berhati binatang seperti itu. Namun inilah kenyataannya. Dengan respon yang cepat, Dilan menggenggam tangan Desya erat menatap wajahnya lekat dan melempar senyuman penuh kehangatan seperti biasanya.“Kamu hebat Desya! Kamu b
“Kamu ini kena gangguan lambung, jangan minum kopi dulu. Paham?” Desya mengangguk, dalam hatinya dia tersenyum dokter bawel ini benar-benar membuatnya kurus tak boleh makan ini dan itu. Tapi percayalah Desya, Pak doktermu sangat peduli dengan kesehatanmu. “Maaf sudah menunggu,” Agung datang dengan tas kertas yang berisikan obat dan diberikannya kepada Dilan. “Maaf saya periksa dulu ya apakah ada yang kurang.” Dilan melihat satu per satu obat itu dna menulis aturan minum kemudian di berikan kepada Desya. “Terima kasih Mas,” Dilan mengangguk tanpa sadar Agung tersenyum melihat keduanya, sangat cocok dan serasi namun mereka hanya sebatas Dokter dan pasien. “Oke kalau begitu kami pamit dulu ya, semoga suksesnya menular.” ucap Dilan dengan senyum andalannya. “Terima kasih banyak Pak dokter Mba Desya semoga lekas sembuh,” ***** “Dilan, Desya, sudah dapat obatnya?” Pak Rehan yang sedang duduk kemudian berdiri menyambut kedatangan Dilan dan Desya. “Sudah Pak, ini sebentar lagi D
“ Jeda satu Jam ya ❤️ ““Hah? Simbol apa ini? Tidak, tidak Dilan hanya memberikan semangat untuk aku Pasiennya. Tanda ini bukan apa-apa.” Lagi-lagi Desya menepis pikirannya, kemudian mengambil segelas air untuk minum obat itu.Dirinya membanting tubuh diatas kasur. Pikirannya makin kacau saat mengingat wajah Rangga dan Irma di kafe tadi. Ingin sekali menjambak rambut Irma dan memukul wajah Rangga. Benci, rasanya benci dan muak.“Desya, ayo makan nak.” panggil Bu Ratna dari balik pintu.Desya merasakan dirinya sangat mengantuk, namun dia harus berdiri dan menemui Bu Ratna.“Maaf Bu, nanti saja Desya habis minum obat jadi ngantuk deh ..” ucap Desya dengan sedikit tertawa.“Ih baiklah Desya, tapi nanti kamu jangan lupa makan ya. Ibu sudah masak banyak loh,”“Iya Bu, terima kasih ya,” ucap Desya ramah.Bu Ratna tersenyum dan pergi, Desya pun masuk lagi ke kamarnya dan berbaring untuk tidur.“Desya dimana Bu?” tanya Pak Rehan yang sudah duduk di meja makan bersama Dilan.“Desya kelihatan
“Wah siapa yang sudah masak, pagi - pagi begini ?”Bu Ratna melihat takjub meja makan yang sudah penuh dengan hidangan-hidangan lezat. Dilan dan Pak Rehan yang keluar dari kamarnya pun langsung menuju meja makan dan melihat menu yang tersusun rapi.“Dilan, kamu yang masak ini semua? Kan sudah Ibu bilang, biar Ibu saja …”“Bukan Dilan Ibu, justru Dilan juga terkejut sudah ada makanan sebanyak ini sepagi ini,”“Lalu apakah Desya?” Pak Rehan melihat ke arah kamar Desya yang masih tertutup. Kemudian melangkah menuju ruangan itu.“Desya?” Pak Rehan mengetuk pintu namun tak ada jawaban. Pintu tak terkunci, Desya tak ada di dalam kamarnya.Pak Rehan mencari ke sekeliling rumah namun tak menemukan Desya. Kemudian Pak Rehan kembali ke Dapur dengan hampa.“Desya tak ada di kamarnya,” ucap Pak Rehan.“Pagi-pagi begini kemana Desya, Ibu jadi khawatir.”Dilan diam namun dalam hatinya dia menyimpan beribu pertanyaan tentang dimanakah Desya.“Pak Rehan, Bu Ratna, Mas Dilan …”“Desya ! Dari mana saja
“Apa itu Desya?”Pak Rehan nampak penasaran dengan apa permintaan Desya.“Tolong bantu saya bercerai dengan Mas Rangga,”Mata Desya berkaca, seolah menahan sesuatu yang sangat menyakitkan. Mengingat semua kelakuan suami dan sahabatnya membuatnya merasa ingin berteriak sekencang mungkin.“Apakah kamu sudah yakin dengan keputusanmu?”“Hal apalagi yang membuat Desya harus bertahan dengan lelaki itu?”“Baik, Saya mengerti sekali dengan perasaanmu. Jadi besok akan segera saya proses pengajuan cerainya,”Pak Rehan tersenyum lega akhirnya Desya bisa melepaskan lelaki pengkhianat itu. Namun Desya masih dengan batin yang kacau. Logika yang bertengkar, otaknya mulai menampilkan film-film kenangan manisnya dengan Rangga namun, hatinya menganga menahan luka. “Aku bisa, aku pasti bisa melupakan semua itu. Mereka tidak pantas ada dalam hidupku. Sekarang adalah waktunya membuang mereka ke tempat sampah!” bisik Desya lirih dalam hatinya setelah Pak Rehan pergi untuk menyelesaikan pekerjaannya.Desya