“Maksud kamu apa Mas, kamu mengejekku?” “Lalu kenapa kamu bisa sampai di kamar ini tanpa kursi roda?” Desya bergumam dalam hati : “Sial, aku lupa membawa kursi roda itu kesini. Bagaimana ini kalau sampai Mas Rangga tahu,” “Kenapa kamu diam!” cecar Rangga. “Aku tidak bisa meraih meja untuk duduk di kursi roda, kau tahu sendiri kan, aku tidak bisa berpegangan dengan kursi, tadi pagi saja Irma sampai terjatuh gara-gara aku pegangan kursi itu. Lalu aku merangkak kesini,” Rangga mengamati wajah Desya, sepertinya Rangga percaya dengan penjelasan Istrinya itu. Rangga pun segera pergi dan menemui Irma lagi. ***** “Aku semakin terancam, apalagi kalau suatu saat Mas Rangga tahu brankas sudah kosong. Pasti mereka tak segan-segan mencelakaiku. Bagaimana ini Tuhan, bantu aku menyelesaikan semua ini,” gumam Desya lirih. Pikirannya saat ini kacau, dia harus melanjutkan rencananya untuk keluar dari zona ini. Sesekali dia mengintip dari balik jendela nya ke arah luar untuk memastikan tak ada
“Ohhh, saya ingat. Pak Rehan Wijaya, pengacara menantu saya kan?” seru Ibu Rangga. “Betul sekali Bu,” “Ada keperluan apa ya Pak?” “Saya ingin menjenguk Desya, saya baru dengar dari rekan saya kalau dia sedang sakit,” Ibu Rangga tampak ragu untuk mempersilahkan Pak Rehan masuk karena kondisi Desya sangat memprihatinkan. Dia tak mau Pak Rehan tahu yang sebenarnya dan justru akan melaporkan mereka ke polisi. “Bu Ratih?” tanya Pak Rehan melihat Ibu Rangga yang melamun. “Eh, iya Pak,” “Bolehkah saya masuk?” Ibu Rangga terdiam berfikir mencari alasan namun nampaknya dia tak menemukan pilihan lain selain mempersilahkan Pak Rehan untuk masuk. Rangga yang mendengar bahwa ada Pak Rehan di luar langsung menyuruh Irma untuk mengerudungi kepala Desya dengan jilbab muslimah. “Bagus Irma, sekarang beri dia riasan wajah sebelum dia menemui Pak Rehan, dan kamu Desya kamu dilarang mengadu semuanya dengan Pak Rehan atau kamu akan lebih menderita dari ini!” ungkap Rangga. Desya menghentikan tan
“Desya! Rambut kamu?” Pak Rehan melihat ada sesuatu yang beda dari Desya saat Desya membuka sedikit kerudungnya. “Ini ulah Irma,” “Irma yang kau sebut sahabatmu itu?” “Dia bukan lagi sahabatku Pak, dia adalah racun rumahtanggaku.” “Tidak bisa dibiarkan! Bapak harus laporkan ini ke polisi, sudah kriminal namanya,” “Jangan Pak, Irma sedang hamil anak Mas Rangga. Kasihan kalau dia dipenjara.” “Kasihan kamu bilang? Apakah mereka kasihan denganmu?” Desya terdiam sambil memandangi wajahnya yang kusam tak terawat itu di kaca yang terletak di dasbor mobil Pak Rehan. “Mungkin untuk saat ini Desya fokus untuk peralihan aset saja Pak, rasanya sudah ingin lepas dari Mas Rangga.” “Baiklah kalau begitu Desya, untuk sementara knj kamu harus tinggal di rumah Bapak.” Desya mengangguk dan tersenyum. ***** “Ini Desya?” Bu Ratna yang terlihat baik-baik saja, erat dan bugar memeluk Desya dan menatap wajah Desya prihatin. “Iya Bu Ratna, bagaimana kabarnya Bu?” Desya meraih tangan Bu Ratna da
“Bu Ratna kenapa?” Desya bingung dengan Bu Ratna yang tiba-tiba syok dan terbelalak saat melihatnya.“Cantik! Kamu cantik sekali Desya, ini benar kamu?” ungkap Bu Ratna heran, yang melihat Desya seperti bidadari.“Iya bu ini Desya,”“Kamu begitu cantik, tapi kenapa suamimu menyiakanmu,”“Mungkin dia tidak mencintai Desya lagi,” ucap Desya dengan nada yang lirih.“Betul sekali, makanya Ibu dukung kamu cerai dengan Rangga dan jika kamu ingin menikah nanti menikahlah dengan lelaki yang lebih baik.”“Terima kasih doanya yah bu,”“Ya sudah, kita pulang sekarang ya,”Desya mengangguk dan mengikuti Bu Ratna menuju ke mobil. Namun setelah beberapa menit perjalanan, Bu Ratna berhenti di sebuah restoran.“Kita berhenti disini dulu ya,”“Bu Ratna mau makan lagi?”“Bukan, ibu mau beli makanan kesukaan Didi.”“Didi siapa bu?”“Ah sudah nanti ibu ceritakan, kamu mau ikut atau tunggu di mobil saja?”“Desya tunggu disini saja Bu,”Bu Ratna masuk ke restoran dan Desya memilih untuk tinggal. Dalam hati
“Ibu sangat merindukanmu nak,”“Bapak juga, bagaimana kabarmu ?”“Baik saja, ini siapa Pak, Bu?”“Ini klien Bapak, tapi sudah Bapak dan ibu anggap seperti anak kami, kasihan dia sedang ada masalah berat dalam hidupnya. Kamu juga bisa anggap dia sebagai adikmu juga Didi.”“Kenapa dia ada disini dan kenapa dia pingsan?” tanya lelaki itu yang tak lain adalah Dilan atau nama panggilan orang tuanya Didi. “Nanti Bapak ceritakan, nah Didi, kamu ini kan Dokter kamu bisa tolong Desya?”“Bapak, panggil saja Dilan, Didi kan panggilan Dilan waktu kecil. Sebentar tolong Ibu baringkan Desya ya ? benar Desya namanya kan?”Pak Rehan tertawa dan mengangguk. Bu Ratna ikut mengangguk dan membaringkan Desya di sofa ruang tv. Dilan mengeluarkan peralatan pemeriksaan di koper yang masih tersegel dari Bandara. Sesekali melihat wajah wanita yang sedang pingsan itu, dalam hati Dilan wanita itu sangat cantik, namun Dilan harus profesional dalam bekerja. Mengarahkan stetoskop di dada Desya untuk mendengarkan d
“Lihat mata saya, tenanglah kamu akan baik-baik saja,”Desya menatap mata Dilan, dahinya berkeringat dingin, tangannya terus bergetar. Kemudian Dilan memeluk wanita itu erat untuk menenangkannya.Desya merasa hatinya semakin tenang, dekapan hangat Dilan membuatnya merasa aman. Suhu tubuh Desya semakin stabil dan gemetaran pun sudah hilang. Desya sadar bahwa dirinya sedang dalam pelukan lelaki lain. Dengan segera Desya melepas pelukan itu dan salah tingkah. “Dilan, kenapa?” tanya Pak Rehan cemas.“Lebih baik Desya makan dulu ya,” Bu Ratna ikut memperhatikan Desya.Desya makan dengan lahap. Tak henti-hentinya Dilan melihat ke arah Desya. Kedua orangtua Dilan saling melempar tatapan. “Desya, apakah kamu sering telat makan dan sering stres?” tanya Dilan setelah makan malam itu selesai.“Iya Mas,” “Ceritakan saja apa yang kamu rasakan,”Desya menatap Dilan seolah merasa apakah harus menceritakan semua aib keluarganya pada Dilan juga?“Tak apa Desya, beritahu semuanya pada Dilan. Kalau k
“Dimana anda sembunyikan istri saya?” “Saya tidak menyembunyikannya.”“Lalu dimana istri saya?”“Istrimu?”“Ya, Desya istri saya,”“Bukankah yang di sebelahmu itu yang kau perlakukan seperti istri?”Rangga menoleh ke arah Irma yang sedang memegang perutnya yang mulai membuncit.“Nampaknya dia sedang hamil juga, apakah kalian sudah menikah secara sah? Atau jika belum akan saya laporkan perbuatan kalian ke lembaga masyarakat agar sanksi sosial kalian berjalan.”“Jangan sembarangan menuduh ya anda!” Tegas Rangga yang mulai panik terlihat dari keringat yang membintik di dahinya.“Sudah pergilah dari sini, kamu tak akan menemukan Desya disini,”Rangga merasa memang Desya tak berada di rumah Pak Rehan, dengan wajah yang penuh dendam Rangga melengos dan melangkahkan kakinya menuju mobil, kemudian pergi. “Mengerikan sekali ya Pak suami Desya itu,”“Makanya Bapak tak akan melepaskan Desya untuknya.”*****“Mas Dilan, apoteknya masih jauh?” Desya melirik Dilan yang sedang fokus menyetir mobil
“Ada apa ?” Dilan menengok ke arah dimana Desya melihat dua orang yang sedang duduk.“Tak apa Mas,” “Saya tahu kamu sedang ketakutan, coba ceritakan sedikit saja masalahmu agar saya bisa membantu.”“Mas Dilan …”“Ya,” Dilan menatap Desya penuh harapan bahwa Desya akan menceritakan semua.“Di sebelah sana ada dua orang pengkhianat. Yang lelaki adalah suamiku, dan di depannya wanita dia adalah sahabatku. Wanita itu seorang perawat yang awalnya menjadi perawat pribadiku saat kakiku cedera dan tidak bisa berjalan. Namun ternyata mereka melakukan sesuatu yang membuat aku sangat membencinya sampai wanita itu sekarang sedang mengandung anak dari suamiku sendiri. Kamu paham Mas ?”Dilan terperangah mendengar cerita Desya. Seakan tak percaya ada manusia-manusia yang kejam berhati binatang seperti itu. Namun inilah kenyataannya. Dengan respon yang cepat, Dilan menggenggam tangan Desya erat menatap wajahnya lekat dan melempar senyuman penuh kehangatan seperti biasanya.“Kamu hebat Desya! Kamu b
Desya terpaku tak percaya lelaki yang ada di hadapannya adalah Dilan. Ia segera menjauhkan duduknya dan tampak sungkan pada lelaki itu.“Terima kasih cappuccino nya,” ucap Dilan Desya mengangguk lirih, ia bahkan tak bisa menoleh untuk melihat Dilan.“Kau kenapa Desya?” Dilan menaruh Cappuccinonya.Desya hanya terdiam.“Sya,” panggilnya lagi. Kali ini tangannya menyentuh tangan Desya yang dingin karena gugup.“Aku tidak apa-apa.” ucap Desya cepat.“Lalu kenapa kau pergi?”“Aku hanya tak ingin merepotkan kalian, kalian sudah terlalu baik.”“Tidak, kau pasti punya alasan lain.”Desya terdiam lagi, memang ia memiliki alasan lain yaitu kepercayaannya terhadap Dilan yang rusak hingga selalu menerka-nerka apa yang terjadi.Desya menarik tangannya yang mulai hangat dari Dilan.“Aku harus pergi,” Desya berdiri namun Dilan menarik lengannya.“Tunggu! Kau harus bilang kau ini kenapa ? Dan dimana tempat tinggalmu sekarang biar saya antar.”“Sudah aku bilang aku tak mau merepotkan kalian lagi. Men
“Desya?” Dilan turun dari mobilnya kemudian berjalan menuju ke lobi Apotek.Dilan mencoba untuk tidak melepas pandangannya dari wanita itu. Namun setelah ia semakin dekat, justru Dilan sudah tak melihatnya lagi. Dilan terus masuk menerobos beberapa karyawan yang lewat diantaranya. Namun ia tak menemukan Desya. Ataukah Dilan salah lihat? Entahlah,Dilan juga tak menemukan Agung disana, ia bertanya pada seseorang yang hendak keluar.“Mas, Pak Agungnya ada?”“Oh Pak Agung sudah pulang dari siang Pak,”“Begitu ya? Dia pulang sendiri atau dengan siapa?”“Wah kalau itu saya kurang tahu Pak,”“Oh ya kalau Bu Desya ada?”Lelaki itu celingukan mencari dimana Desya.“Biasanya Bu Desya pulang bareng kita sih, tapi dari tadi saya juga tidak melihatnya.”“Ya sudah Mas. Makasih ya,”Dilan menghela nafasnya, ia kembali ke mobilnya. Rasanya hampir putus asa ia mencari Desya. Ia menyalakan mesin mobil dan kemudian pergi. Di sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan Desya. Bahkan sampai sekarang nom
“Sya, Desya…..” teriak Bu Ratna sembari berlarian kesana kemari, menyusuri setiap sudut rumah mencari Desya.“Bu, Ada apa?” tanya Pak Rehan.“Desya tidak ada di rumah Pak,” Bu Ratna panik.“Apa? Ibu sudah cari di luar? Di lantai atas?”“Sudah Pak, tapi tidak ada. Tunggu,”Bu Ratna kembali ke kamar Desya ia membuka lemari pakaian Desya sudah kosong, ia menunduk dan terduduk lemas di ranjang. Pan Rehan ikut masuk ke dalam kamar itu. “Bu?” ucapnya lalu memungut secarik kertas yang tergeletak di atas meja.Pak Rehan, Bu Ratna…..Maaf Desya tidak berbicara terlebih dahulu jika Desya akan pergi. Desya tidak ingin kalian menahan Desya.Tapi Desya janji, suatu saat Desya pasti akan kembali jika semua kebenaran itu sudah terungkap.Yang terpenting adalah sekarang kalian baik-baik saja, Desya sangat berterima kasih atas semua bantuan dan kebaikan-kebaikan kalian yang sangat berarti bagi Desya.Desya hanya pergi untuk mencari kebahagiaan Desya sendiri, tanpa harus merepotkan kalian terus menerus
“Mas Dilan, bagaimana kabarmu?” Wajah Desya menahan cemburu yang berkecamuk. Wanita itu, wanita hamil yang sedang bersama calon suaminya. Panggilan video itu tiba-tiba dimatiin oleh Desya seketika setelah Desya melihat ada Chika disana bersama Dilan.Dilan mencoba menelpon Desya berkali-kali namun Desya terlanjur kecewa. Entah semuanya benar atau tidak. Tapi kehadiran sosok Chika membuat Desya tak nyaman dan ingin bertengkar. “Sya, kamu kenapa?” terdengar suara Bu Ratna dari belakangnya. Membelai rambut panjang Desya dengan lembut. Desya yang menyadarinya langsung memeluknya erat menumpahkan air mata dan rasa sesaknya.“Bu…”Mata Desya berkaca, Bu Ratna tampak bingung, namun perlahan Bu Ratna mencoba mengetahui apa yang membuat Desya menjadi sesedih itu.“Ceritakan pada Ibu,”Desya mengusap air matanya, ia menghela nafas dan mencoba menenangkan pikirannya.“Bu, Desya mau tanya. Ibu percaya dengan Mas Dilan?”“Maksud kamu apa Sya?”Desya terdiam sejenak, ia merasa ragu bercerita dan
“Rio?” Agung bergumam kecil, Desya merasa ia juga mengenali wajah itu. Lelaki yang pernah memperhatikannya di Caffe sebelah apotek. Desya dan Agung saling melempar tatapan heran bercampur penasaran. Apakah lelaki itu adalah orang yang sama dengan apa yang mereka pikirkan?Terlihat mereka telah selesai melepas rindu, Rio duduk di kurai pengemudi lalu dadar bahwa kaca mobil belum ia tutup. Kemudian ia sesegera mungkin menutupnya dan pergi melesat jauh dari tempat itu. Tak mau tinggal diam, Agung mengikutinya dari belakang. “Pak, untuk apa mengikuti mereka?” “Saya tahu lelaki itu, dia seperti …”“Rio?” timpa Desya,“Kamu juga mengenal Rio?”Desya mengangguk cepat, ia menceritakan kejadian saat tengah makan di Kafe bahwa lelaki itu terus memperhatikannya dan saat itu ia sedang melakukan panggilan video dengan Dilan yang akhirnya Dilan memberitahu Desya untuk segera menjauh dari Rio.“Betul, saya yakin dia itu Rio saya tak salah lihat.”Desya mulai berpikir keras, kenapa istri mantan sua
“Dilan?” Agung terlihat bingung dengan tatapan Desya padanya namun memanggilnya dengan nama Dilan.“Oh, maaf.” Desya tersadar dari lamunannya, ia begitu merindukan sosok Dilan hingga ia lupa dengan siapa ia di taman itu sekarang.“Kau merindukan Dilan ya?” Agung melempar pandangannya ke arah sungai.Desya hanya tersenyum, ia bercerita pada Agung bagaimana Dilan selalu menurutinya untuk berkunjung ke tempat itu. Desya terus saja tersenyum jika mengingat tingkah konyol Dilan padanya.“Tapi Desya, ada sesuatu yang ingin ku katakan.”Desya tiba-tiba serius, ia menatap Agung penasaran. Apa gerangan yang akan Agung katakan padanya.“Apa itu Pak?”Bibir Agung bergetar, ia tak kuasa membuka mulutnya karena yang akan ia lontarkan mungkin saja akan menyakiti Desya.“Sebenarnya….”Desya meyakinkan Agung untuk mengatakannya dengan menatapnya lebih dalam dari sebelumnya.Agung terlihat gugup, sepertinya ia tak sanggup mengatakan ham itu pada Desya.“Sebenarnya saya ingin bertanya siapa lelaki baru
“Saya beri kamu waktu 7x24 jam untuk memikirkannya,” Agung berdiri kemudian beranjak pergi dari ruangannya.Desya bingung, ia bahkan tak memiliki modal yang besar. Keinginannya untuk terus berbisnis semakin tinggi. “Mungkin aku harus beritahu Mas Dilan,” Desya bergumam, ia mencoba mengetik pesan untuk calon suaminya yang masih berada di Liar Negeri.“Semoga Mas Dilan mendukungku, aku tahu ia sering cemburu dengan Pak Agung. Namun ini menyangkut cita-cita dan masa depanku.” Desya meminum segelas air putih yang ada di mejanya. Ia merasa lebih tertantang dan lebih semangat. Ia sangat mau mengiyakan tawaran Agung namun yang ia khawatirkan ia tak bisa menjaga amanah yang Agung titipkan yang berupa investasi itu.“Tapi aku harus yakin dan optimis, aku pasti akan berhasil dan membungkam mulut mereka yang sudah membuatku menderita bahkan selalu mengejekku! Terima kasih Rangga, Irma, kalian berdua membuatku lebih semangat untuk sukses kembali.”Tak lama, Dilan menelponnya. Menanyakan tentang
“Habiskan makananmu lalu kembali ke tempatmu sekarang,”Desya mengernyitkan dahinya, ia tak tahu maksud Dilan yang tiba-tiba saja menyuruhnya untuk pergi.“Kenapa Mas?”“Nanti saya ceritakan,”Desya membayar makanan di kasir ia berjalan melewati seorang lelaki yang selalu saja menatapnya penuh nafsu itu. Desya juga merasa aneh dan risih. Ia mempercepat langkahnya kemudian sampai di ruangannya dengan nafas yang memburu.“Desya, kau sudah sampai di ruanganmu?”Dilan masih melakukan panggilan video dengan Desya. Desya tersenyum, ia melihat raut wajah tak biasa dari Dilan.“Kau kenapa Mas?” tanya Desya.“Kenapa kau tertawa? Dengar saya, lelaki itu pacarnya Chika.”Desya membulatkan matanya seolah tak percaya namun memang kelihatannya lelaki itu cukup nakal.“Kau serius?”“Apakah aku terlihat seperti pelawak?”“Iya Mas, aku percaya. Kenapa kau jadi sensi seperti ini?”“Pasalnya kau harus menghindarinya Desya, kau bisa saja terancam karena lelaki itu seperti predator.”“Betul Mas, barusan
“Sudah datang Bu, Pak Reymond dan beberap stafnya sudah memasuki ruangan meeting.”“Apa? Astaga! Bagaimana ini? Pak Agung hari ini libur. Tolong bilang ke mereka ya rescedule besok saja.”“Baik Bu,”Lelaki itu pergi untuk menemui Pak Reymond di ruang meeting. Desya nampak gelisah, ia berharap Pak Reymond mau bernegosiasi untuk menjadwalkan ulang pertemuan mereka dengan Pak Agung. Pria itu datang kembali, kini wajahnya nampak sangat tegang. Sepertinya habis dimarahi oleh Reymond.“Maaf Bu Desya, saya sudah coba bujuk Pak Reymond agar dia bisa datang lagi besok tapi mereka tidak mau. Mereka harus meeting sekarang, bagaimana ini Bu?”Desya mematung, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia terdiam tiba-tiba teringat kala dia menjadi seorang CEO di perusahaannya dahulu. Semua tipe klien dia hadapi dengan mudah dan selalu goal.“Oke, tolong susul saya ke ruang meeting ya. Bawa semua berkas yang sudah saya siapkan di meja kerja saya, saya akan bawa laptop ini. Terima kasih,”ucap Desya pad