"Lyshi! Kamu sama Era kemana? Kenapa nggak ada dirumah!" geram orang di sebrang sana.
Lyshi menjauhkan telinga dari smartwarchnya. Si penelpon itu adalah papanya. "Iya pa, bentar lagi juga pulang kok," ujarnya dengan kesal, padahal ia sedang asik bermain dengan Rama, malah direcoki
Fandi menghela napas. "Jangan iya-iya terus. Sekarang kamu dimana? Kasih tahu lokasinya ke papa! Mama nyariin kalian," tanya Fandi dengan nada khawatir
Gadis itu menghembuskan napas berat. "Di lapangan yang kemarin," tutur Lyshi memutusakan panggilan secara sepihak.
Rama yang sedari tadi menyimak akhirnya bertanya. "Siapa, Ra?"
"Papa," ucap Lyshi dengan lesu.
Rama menganggukkan kepalanya. "Kamu ke sini nggak izin dulu?" Rama kembali bertanya. Entahlah, Lyshi rasa sekarang lelaki itu banyak bicara.
Gadis itu hanya menjawab dengan cengiran kecil.
Suasana kembali hening, hanya angin sopoi-sopoi yang berpartisipasi meramaikan suasana siang itu.
Hingga suara Rama mengintruksi Lyshi. "Ra? Itu adik kamu udah masuk mobil, kamu nggak ke sana?" tanya Rama membuyarkan lamunan Lyshi.
Dan benar saja, di sana terlihat Era yang sudah berada di dalam mobil. Dan pemandangan di depan sana membuat nyalinya menciut, Fandi berkecak pinggang dengan tatapan tajamnya.
Lyshi meringis, dalam hati ia meruntuki Era.
"Ram, Rora duluan ya. Kapan-kapan kita ketemuan di sini lagi, oke?!"Gadis itu berlari menuju mobil Fandi tanpa menunggu jawaban Rama.
"Siapa tadi?" Fandi bertanya pada putri sulungnya terkait Rama.
"Bukan siapa-siapa. Ayo cepetan jalan, katanya dicariin mama," final Lyshi membuang muka ke luar jendela.
Fandi terkikik geli melihat putrinya kesal.
Beberapa menit berlalu, mobil yang dikendarai oleh Fandi berhenti di depan mansion mewah, mansion itu berwarna putih elegan.
Mereka turun dari mobilnya, kemudian melangkahkan kaki memasuki bangunan megah itu.
"Temuin mama sana. Siap-siap hatinya kena hantam," ujar Fandi menakut-nakuti kedua putrinya.
Lyshi bergedik, ia lebih takut dimarahi oleh Reha ketimbang Fandi.
Si kembar identik itu menaiki tangga dengan perlahan. Tak lama kemudian kaki mereka berhenti di depan pintu berwarna putih.
Warna hijau tosca mendominasi ruangan itu, harum bunga semerbak di kamar itu. Beberapa tanaman gantung terlihat di sudut-sudut dinding. Ruangan itu benar-benar terlihat hidup berkat kecintaan Reha terhadap alam.
"Mama!" Lyshi dan Era langsung berlari memeluk Reha yang duduk di tepi ranjang. Kondisi Reha sudah cukup membaik, tapi tidak dengan hatinya.
Reha mengecup puncuk kepala putri kembarnya. "Kalian dari mana aja sampai keringatan begini?" ujarnya meneliti penampilan anak gadisnya, terlebih Lyshi. Pakaian anak sulungnya itu sudah dibanjiri oleh keringat, tak lupa helaian rambut yang berlomba-lomba menutupi wajah Lyshi.
Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lyshi kamu kok seperti orang gembel. Mandi sana, Era juga mandi sana. Nanti kalau sudah selesai temui mama di meja makan, ya. Kita harus ngobrol," titah Reha diangguki oleh Lyshi.
Era dan Lyshi keluar dari kamar orang tuanya menuju kamar mereka untuk memenuhi perintah Reha.
Fandi yang sedari tadi berdiri di depan pintu kini mendudukkan diri di samping Reha.
Ruang yang tadinya bising sekarang menjadi hening. Reha tak berniat membuka suaranya.
"Re?" panggil Fandi mencarikan suasana. Reha yang merasa namanya dipanggil menolehkan kepalanya.
"Kenapa?" garis tanya muncul di dahi Reha.
Fandi meringis mendengar nada dingin Reha. Dia ingin Reha yang cerewet kembali, tapi dia tak bisa berbuat banyak. Lagian yang membuat Reha berubah jadi dingin adalah dirinya.
Dia melirik Reha, "Soal tadi malam ak~" ucapnya terpotong.
"Tidak usah dibahas lagi. Jadi kapan mas mengajukkan surat ke pengadilan?" potong Reha memunggungi Fandi, dia tak kuasa melihat wajah suaminya.
Jantung Fandi berdetak kencang, rasa cemas terlukis di wajahnya. "Anak-anak gimana?"
Reha memejamkan matanya. "Soal anak-anak Reha akan beritahu habis ini. Mereka pasti ngerti, terlebih Lyshi."
"Aku takut anak-anak terluka. Tetap bersama menurutku adalah hal terbaik," ujar Fandi dihadiahi tatapan menusuk dari Reha.
Wanita itu memandang suaminya dengan nyalang. "Tidak usah egois!"
Reha pikir Fandi sangat egois, dia berkata seperti itu seolah hati Reha tak terluka.
Memang siapa yang memulai? Fandi, kan. Jika malam itu dia tak memilih Ana semuanya akan baik-baik saja. Sebenarnya sudah terpikir di benak Reha untuk membujuk Fandi, membujuk agar suaminya tetap mempertahankan rumah tangga mereka yang sudah hampir berumur tujuh tahun itu. Tapi harapannya pupus setelah tanpa sengaja melihat pesan di ponsel Fandi yang dikirim oleh Ana.
Bahkan mereka sudah merencanakan tanggal pernikahan, hati Reha tentu tambah terluka setelah mengetahui kenyataan itu.
Berpisah memanglah pilihan terbaik.
Air bening itu keluar begitu saja dari kedua netranya. Reha membekap mulutnya menahan agar tak mengeluarkan isakan. Reha menghela napas panjang guna menenangkan hatinya. Meraup wajah, menghapus air mata yang ingin kembali keluar dari kelopak matanya.
"Mas Fandi sudah memilih Ana, berarti mas harus melepaskan Reha. Jangan egois!"
Fandi bungkam, dia tak bisa menanggapi ucapan Reha. Ya, dia memang egois.
Reha bangkit dari duduknya, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan. Fandi mengekor di belakang Reha.
Setelah menuruni beberapa anak tangga mereka sampai di ruang makan.
Lyshi dan Era sudah terlihat di meja makan, mereka menunggu kedatangan orang tuanya dengan senyum merekah. Fandi semakin merasa bersalah.
"Mama habis nangis, ya?" tanya Era, adik Lyshi memang paling peka terhadap sekitarnya, tak seperti Lyshi.
Reha memalsukan senyum, "Engga. Tadi mata mama kena sabun waktu mandi, jadi pedih."
Era mengangguk paham.
"Mau ngobrol apa, ma? Tadi katanya mau ngobrol," tanya Lyshi membuat Reha tersadar akan tujuan awalnya.
Reha menoleh ke arah suaminya. Fandi menggelengkan kepala seolah tak sanggup menjelaskan kepada kedua putrinya. Reha menghela napas, mau tak mau harus dia yang menjelaskan.
"Lyshi, Era .... " Reha memejamkan matanya dengan rapat, "Mama sama papa akan berpisah. Mama sama papa akan bercerai."
Wanita itu menundukkan kepalanya tak sanggup melihat ekspresi putrinya.
"Hahaha ... cerai itu apa? Cerai itu bahasa Indonesianya Buah Cerry, ya?" tawa Era menggeleger. Dia tak tahu apa-apa, gadis itu tertawa dengan ringan tanpa melihat ke arah Lyshi yang sudah berderai air mata.
Sudut bibir gadis kecil itu menangis pilu. "Kenapa? Kenapa ma, pa?" Lyshi menangis histeris menggoyang-goyangkan bahu kedua orang tuanya. Era yang melihat itu terbengong-bengong.
Fandi dan Reha seolah bisu, mereka tak bisa menjawab tanya Lyshi. Hati mereka sudah terlanjur lemah mendengar isak pilu putrinya.
"Apaan sih kak? Mama sama papa itu mau beli Buah Cerry, ngapain kakak nangis? Harusnya seneng dong," Era kembali tertawa, dan itu membuat kedua orang tuanya semakin merasa bersalah.
Lyshi menatap Era dengan tajam. "Diam kamu!" gadis itu terlanjur emosi hingga tak sadar membentak adiknya.
Era terkejut mendengar bentakan Lyshi, selama ini kakaknya tak pernah semarah ini. Era menangis histeris karena tak menyangka akan dibentak oleh Lyshi. Kakaknya yang biasanya dipenuhi dengan canda tawa kini berubah menjadi iblis di mata Era.
Ruang makan itu sangat bising, suara tangis saling bersahut-sahutan.
"Ma, pa ..... kenapa? Pasti gara-gara tante sialan itu, kan! Lyshi harus bunuh orang itu!" ia menangis histeris. Gadis itu beranjak hendak menuju dapur untuk mengambil pisau, tetapi langsung ditahan oleh Reha.
Reha mendekap tubuh mungil Lyshi. Menyalurkan ketenangan, memberi pengertian tak kasat mata bahwa dendam tak perlu dikobarkan. Wanita itu menepuk pundak Lyshi berkali-kali, harap-harap bisa menjinakkan putri sulungnya yang sedang tersulut emosi.
Lyshi perlahan mulai tenang, dan kini kesempatan Reha untuk menjelaskan. "Lyshi sayang, dengerin mama. Ini bukan salah tante Ana, mama sama papa berpisah karena sebuah pilihan. Lyshi akan paham jika sudah dewasa nanti."
Tangis Era perlahan juga mulai reda melihat kakaknya yang terduduk lemah. Walau sebenarnya Era tak paham dengan apa yang mereka bahas, otaknya masih terlalu dangkal untuk memahami permasalahan orang dewasa. Yang ia tangkap dari keributan ini hanya satu, Ana-adik Elsa Frozen telah membuat mama dan papanya batal membeli Buah Cerry. Ya, itu yang dia tahu, padahal kenyataanya lebih parah dari itu.
Lyshi melepaskan diri dari dekapan Reha, ia berdiri. "Apapun alasannya Lyshi kecewa sama kalian!" sarkasnya kembali berlinang air mata. Lyshi meninggalakan ruangan itu, ruangan yang menjadi kisah tragis keluarganya.
Era yang melihat kepergian kakak kembarnya ikut beranjak, dia menatap wajah Reha dan Fandi. "Era juga kecewa sama kalian. Cuma gara-gara Ana kalian nggak jadi beli Buah Cerry, kalian pelit! Era kecewa sama kalian," dia berlari mengejar kakaknya yang sudah menaiki beberapa anak tangga.
Lagi-lagi mereka merasa bersalah, sangat! Mereka sudah membuat kedua putrinya bersedih. Apa lagi mendengar ucapan Era, anak bungsunya tak tahu apa-apa, bahkan Era salah mengartikan konteks.
Lyshi langsung meringkuk di atas kasur, ia menggigit guling kecilnya guna meredahkan isak tangis. Napasnya tersendat-sendat, udara sulit memasuki rongga hidungnya karena tak kunjung berhenti menangis.
Era tiba di kamar, dia menghampiri kakaknya yang meringkuk di atas kasur. Jemari kecilnya menepuk bahu Lyshi berkali-kali. "Kak, udah dong jangan nangis lagi. Nanti kita beli cherry sendiri aja, sama Rama juga biar rame. Nggak usah kasih tau mama sama papa," dia berkata ringan seolah tak terjadi apa-apa. Ya, dia memang belum mengetahui apa-apa.
Tangis Lyshi semakin pecah mendengar ucapan Era, ia tak tega dengan adiknya.
Lyshi menyeka air matanya, ia tersenyum dan meraih jemari Era. "Ra, bukan itu, ini bukan persoalan Buah Cerry. Mama sama papa akan bercerai, bukan beli Buah Cerry. Lyshi harap kamu cepat ngerti."
"Terus apa?"
Ia menatap iba adiknya, "Ra, cerai itu artinya berpisah. Mama sama papa bakal berpisah, nggak bisa makan bareng lagi, ketawa bareng, jalan-jalan bareng."
Hanya itu. Kata-kata yang bisa ia jelaskan kepada Era.
"Jadi mereka nggak bisa berduaan lagi? Mereka nggak bisa main bareng kita lagi? Nggak bisa nemenin kita main lagi? Mereka ngg~" belum selesai Era berucap, belum selesai dia mengungkapkan keluh kesahnya. Lyshi sudah duluan mendekap tubuh mungilnya, kini gilirannya menenangkan Era.
Isakkan terdengar keluar dari mulutnya. Lagi dan lagi. Air mata lagi dan lagi terjun membasahi pakaian yang melekat di tubuhnya. Bajunya awut-awutan, hidungnya memerah.
Kedua gadis kecil itu menangis sembari berpelukan. Mereka menangis tergugu menghayat hati.
Biarlah senja menjadi selimut keduanya. Biarlah senja menyaksikkan kehancuran kedua gadis itu. Kehancuran yang menerpa hati, membelah insan.
Sore itu akan menjadi kenangan terkelam mereka.
Matahari telah kembali ke peraduannya, menebarkan rona keemasan di langit cerah. Menyebarkan cahayanya ke seluruh penjuru negeri.Siang itu matahari bersinar dengan terik, seterik jiwa Lyshi.Hari ini menjadi hari yang sangat ingin Lyshi hindari, meski ia tahu tak akan bisa menghindarinya.Tak terasa penceraian kedua orang tuanya telah terjadi, baru saja hakim memukul palu, mengumumkan putusnya hubungan sakral kedua orang tuanya. Hubungan Fandi dan Reha kini hanya sebatas angan, telah usai dan tak akan bisa kembali seperti semula.Sedari sidang Lyshi hanya diam, ia tak sanggup melontarkan kata. Perpisahan kedua orang tuanya membuatnya amat terpukul, dadanya sesak menerima fakta penceraian itu.Fandi menatap pundak Lyshi, putri sulungnya terus saja menunduk. "Lyshi, jangan nunduk terus. Papa minta maaf, tapi semuanya sudah terjadi, kamu harus berusaha menerima," ujarnya membelai surai kecoklatan putrinya.Lyshi tak menanggapi. Reha rasa dia p
Beberapa tahun berlalu. Lyshi, gadis yang dahulu berada di keterpurukan kini sudah bangkit dan berubah kepribadian menjadi gadis ceria.Usianya kini sudah menginjak angka 15, saat-saat dimana ia mulai memasuki masa SMA. Masa terindah kalau kata orang-orang.Gadis itu turun dari lantai atas dimana kamarnya berada, penampilannya membuat perut serasa menggelitik. Rambut dikepang dua dengan seragam putih biru, itu masih berada dibatas wajar. Kali ini sudah tak wajar, di lehernya terpampang kalung berbandul terong ungu, tak lupa gelang berbahan dasar kacang panjang yang melingkar di tangan kirinya.Tawa menggeleger menyambut kehadiran Lyshi. Dika-lelaki yang notabene adalah kakak tirinya tertawa terpingkal, saking parahnya sampai memukul-mukul meja makan."Hahaha ..... lihat ma, Lyshi jualan sayur." Dika beranjak dari duduknya, kemudian mengintari tubuh adiknya.Lyshi merotasikan bola matanya. "Ma, lihat tuh abang," adu Lyshi pada Ana.Hubungan m
Bian menatap langit-langit kamarnya. Di sinilah dia berada. Bian memang sedang mencoba menghindari Lyshi. Lebih tepatnya dia ingin mengetahui apakah sahabat perempuannya akan merasa kehilangan jika dia menjauhinya atau tidak. Tapi jawabannya masih semu, Lyshi sama sekali tak peka, gadis itu tidak sadar jika Bian menjauhinya.Bian tahu, seharusnya dia tak perlu melakukan tindakan sejauh ini. Bian hanya berpikir, pasti Lyshi akan merasa berbeda jika dia tak berada di sampingnya, tapi kenyataannya apa? Justru dia yang merasakan kegelisahan itu.Lelaki itu termenung. Memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika dia tetap menjauhi Lyshi. Memikirkan hal itu, Bian langsung memejamkan matanya dan menggeleng pelan, berusaha menghilangkan bayangan tersebut.Bian tahu betul bagaimana sifat sahabatnya. Dan itu semua pasti akan berpengaruh terhadap tindakannya tersebut. Bian tak akan pernah membiarkan hal dalam bayangannya terjadi.Bian kembali membuka mata. Me
Hari pertama menuju jenjang Sekolah Menengah Pertama, membuat Lyshi harus bangun lebih awal.Masih dengan wajah mengantuk, Lyshi memakai seragam barunya. Walau matanya sesekali terpejam, seragam itu tetap terpasang rapi di tubuhnya.Dengan malas ia mengkuncir satu rambutnya. Lyshi membawa kakinya ke depan cermin untuk melihat penampilan barunya. Sudut bibirnya terangkat melihat pantulan dirinya di dalam cermin.Seragam itu melekat apik pada tubuh mungilnya. Wajahnya terlihat natural tanpa polesan apapun."Seragamnya cocok banget sama Lyshi. Berasa lihat bidadari, Lyshi tuh." Lyshi memutar tubuhnya beberapa kali, senyum kembali tergelincir dari bibir tipisnya."Ma, pa, bang. Lyshi cantik, kan?" gadis itu memekikkan suaranya setelah menginjakkan kaki di ruang makan.Serentak mereka menoleh. Fokus sarapan mereka tersita oleh suara keras Lyshi."Iya. Anak papa cantik."Ana tersenyum. "Wah, cantiknya anak mam
Sejak bel istirahat tidak ada satupun guru yang masuk ke kelas Lyshi, jadilah gadis itu dengan bahagia bisa tidur di bangkunya. Hal itu membuat Zoya dan Minnie menggeleng-gelengkan kepala.Kini bel sekolah telah berbunyi, membuat Lyshi yang tadinya masih menjelajah alam mimpi tersentak bangun. Gadis itu menatap seisi kelas yang bersiap-siap untuk pulang.Lyshi menguap, mengusap matanya yang masih mengantuk. Zoya tersenyum kecil, sahabat perempuannya tak pernah berubah dari dulu, gemar sekali tidur sembarangan."Gue balik duluan." Minnie melambaikan tangannya sebelum berjalan keluar.Kini tinggal Lyshi dan Zoya di dalam kelas. Zoya menggoyangkan bahu Lyshi karena gadis itu kembali memejamkan matanya. "Ly. Ayo pulang."Lyshi bebal. Gadis itu masih enggan beranjak dari posisi tidurnya.Zoya menghela napa gusar. "Bangun, Ly," ujarnya menepuk-nepuk pipi Lyshi, berharap agar gadis itu terbangun dari tidurnya."Zoya pulang duluan aja.
Beberapa jam yang lalu keluarganya baru saja terbang menuju negara orang untuk waktu yang terbilang cukup lama bagi Lyshi.Selepas dari bandara, Lyshi terlihat muram dan tak hiperaktif seperti biasanya.Bian bisa merasakan rasa khawatir yang menyelimuti mobil itu. Ketika dia mengedarkan pandangannya ke arah Lyshi, dia bisa merasakan energi kesedihan yang mengerubungi sahabat perempuannya."Ly. Mau beli yogurt dulu?"Gadis itu menoleh, lantas menggeleng pelan. Melihat itu Bian hanya bisa menghembuskan napasnya pasrah.Persekian menit mobil yang mereka tumpangi telah tiba pada rumah yang lebih tepat disebut mansion. Rumah yang sekarang akan Lyshi tinggali untuk berberapa Minggu ini sangat besar dengan taman bunga beraneka macam di depannya. Lyshi tak pernah menyangka akan tinggal di bangunan itu untuk beberapa waktu ke depan. Sebenarnya ada sedikit rasa senang yang terselip di hatinya."Turun, Ly. Kamu nggak mau t
Jam istirahat sudah terlewati. Sekarang pelajaran kembali dimulai. Biasanya Lyshi akan sangat senang dan serius dengan pelajaran sejarah. Namun lagi-lagi dirinya hanya asik melamun, entah apa yang mengganggu pikirannya saat ini.Lyshi linglung. Ia sesekali menatap jam di dinding kelas. Setiap detik, setiap menit terus bergerak dan berlalu.Gadis itu menatap buku paket di depannya dengan malas. Kemudian matanya berbinar setelah melihat ke arah tas punggungnya yang tampak sedikit terbuka, di sana terpampang satu botol yogurt berukuran kecil.Senyum tergelincir di wajahnya. Dengan cekatan ia menyedot minuman favoritnya menggunakan sedotan.Zoya, gadis yang sebangku dengannya membolakan mata. Mau cari mati, sungut Zoya dalam hati. Bisa-bisanya ia minum di kelas ketika pelajaran sedang berlangsung, dan tentunya tanpa seizin guru mapel.Slrupp ....Mendengar suara aneh, pria dengan tubuh jangkung mengerlingkan pandangannya menata
"Assalamualaikum."Suara salam tersebut menggema di dalam rumah bernuansa putih itu.Seorang perempuan dengan piama tidurnya menghampiri pemilik suara."Oy, udah pulang?" tanya perempuan yang tak lain adalah Dara."Hn."Dara menelisik mencari keberadaan seseorang, rasanya ada yang ganjal. "Oy guguk, mana Lyshi?"Oh tidak, Bian lupa harus pulang bersama Lyshi."Freya sialan!" batinnya meruntuk.Ini semua karena Freya, tapi Bian yang lebih keterlaluan, bisa-bisanya dia melupakan Lyshi. Bian merasa tambah bersalah mengingat derasnya hujan sore ini.Tak kunjung mendapat respon dari adiknya, Dara kembali bertanya dengan menaikkan oktaf suaranya. "GUK, MANA LYSHI? "Nggak tau.""Nggak tau gimana? Seharusnya Lyshi pulang sama lo," ujar Dara mengernyitkan dahi."Gue lupa. Lyshi ketinggalan."Entahlah, Dara tak tahu mengapa adiknya bisa sebodoh itu. Ketinggalan? Memangnya Lyshi barang, sunggu
"Assalamualaikum."Suara salam tersebut menggema di dalam rumah bernuansa putih itu.Seorang perempuan dengan piama tidurnya menghampiri pemilik suara."Oy, udah pulang?" tanya perempuan yang tak lain adalah Dara."Hn."Dara menelisik mencari keberadaan seseorang, rasanya ada yang ganjal. "Oy guguk, mana Lyshi?"Oh tidak, Bian lupa harus pulang bersama Lyshi."Freya sialan!" batinnya meruntuk.Ini semua karena Freya, tapi Bian yang lebih keterlaluan, bisa-bisanya dia melupakan Lyshi. Bian merasa tambah bersalah mengingat derasnya hujan sore ini.Tak kunjung mendapat respon dari adiknya, Dara kembali bertanya dengan menaikkan oktaf suaranya. "GUK, MANA LYSHI? "Nggak tau.""Nggak tau gimana? Seharusnya Lyshi pulang sama lo," ujar Dara mengernyitkan dahi."Gue lupa. Lyshi ketinggalan."Entahlah, Dara tak tahu mengapa adiknya bisa sebodoh itu. Ketinggalan? Memangnya Lyshi barang, sunggu
Jam istirahat sudah terlewati. Sekarang pelajaran kembali dimulai. Biasanya Lyshi akan sangat senang dan serius dengan pelajaran sejarah. Namun lagi-lagi dirinya hanya asik melamun, entah apa yang mengganggu pikirannya saat ini.Lyshi linglung. Ia sesekali menatap jam di dinding kelas. Setiap detik, setiap menit terus bergerak dan berlalu.Gadis itu menatap buku paket di depannya dengan malas. Kemudian matanya berbinar setelah melihat ke arah tas punggungnya yang tampak sedikit terbuka, di sana terpampang satu botol yogurt berukuran kecil.Senyum tergelincir di wajahnya. Dengan cekatan ia menyedot minuman favoritnya menggunakan sedotan.Zoya, gadis yang sebangku dengannya membolakan mata. Mau cari mati, sungut Zoya dalam hati. Bisa-bisanya ia minum di kelas ketika pelajaran sedang berlangsung, dan tentunya tanpa seizin guru mapel.Slrupp ....Mendengar suara aneh, pria dengan tubuh jangkung mengerlingkan pandangannya menata
Beberapa jam yang lalu keluarganya baru saja terbang menuju negara orang untuk waktu yang terbilang cukup lama bagi Lyshi.Selepas dari bandara, Lyshi terlihat muram dan tak hiperaktif seperti biasanya.Bian bisa merasakan rasa khawatir yang menyelimuti mobil itu. Ketika dia mengedarkan pandangannya ke arah Lyshi, dia bisa merasakan energi kesedihan yang mengerubungi sahabat perempuannya."Ly. Mau beli yogurt dulu?"Gadis itu menoleh, lantas menggeleng pelan. Melihat itu Bian hanya bisa menghembuskan napasnya pasrah.Persekian menit mobil yang mereka tumpangi telah tiba pada rumah yang lebih tepat disebut mansion. Rumah yang sekarang akan Lyshi tinggali untuk berberapa Minggu ini sangat besar dengan taman bunga beraneka macam di depannya. Lyshi tak pernah menyangka akan tinggal di bangunan itu untuk beberapa waktu ke depan. Sebenarnya ada sedikit rasa senang yang terselip di hatinya."Turun, Ly. Kamu nggak mau t
Sejak bel istirahat tidak ada satupun guru yang masuk ke kelas Lyshi, jadilah gadis itu dengan bahagia bisa tidur di bangkunya. Hal itu membuat Zoya dan Minnie menggeleng-gelengkan kepala.Kini bel sekolah telah berbunyi, membuat Lyshi yang tadinya masih menjelajah alam mimpi tersentak bangun. Gadis itu menatap seisi kelas yang bersiap-siap untuk pulang.Lyshi menguap, mengusap matanya yang masih mengantuk. Zoya tersenyum kecil, sahabat perempuannya tak pernah berubah dari dulu, gemar sekali tidur sembarangan."Gue balik duluan." Minnie melambaikan tangannya sebelum berjalan keluar.Kini tinggal Lyshi dan Zoya di dalam kelas. Zoya menggoyangkan bahu Lyshi karena gadis itu kembali memejamkan matanya. "Ly. Ayo pulang."Lyshi bebal. Gadis itu masih enggan beranjak dari posisi tidurnya.Zoya menghela napa gusar. "Bangun, Ly," ujarnya menepuk-nepuk pipi Lyshi, berharap agar gadis itu terbangun dari tidurnya."Zoya pulang duluan aja.
Hari pertama menuju jenjang Sekolah Menengah Pertama, membuat Lyshi harus bangun lebih awal.Masih dengan wajah mengantuk, Lyshi memakai seragam barunya. Walau matanya sesekali terpejam, seragam itu tetap terpasang rapi di tubuhnya.Dengan malas ia mengkuncir satu rambutnya. Lyshi membawa kakinya ke depan cermin untuk melihat penampilan barunya. Sudut bibirnya terangkat melihat pantulan dirinya di dalam cermin.Seragam itu melekat apik pada tubuh mungilnya. Wajahnya terlihat natural tanpa polesan apapun."Seragamnya cocok banget sama Lyshi. Berasa lihat bidadari, Lyshi tuh." Lyshi memutar tubuhnya beberapa kali, senyum kembali tergelincir dari bibir tipisnya."Ma, pa, bang. Lyshi cantik, kan?" gadis itu memekikkan suaranya setelah menginjakkan kaki di ruang makan.Serentak mereka menoleh. Fokus sarapan mereka tersita oleh suara keras Lyshi."Iya. Anak papa cantik."Ana tersenyum. "Wah, cantiknya anak mam
Bian menatap langit-langit kamarnya. Di sinilah dia berada. Bian memang sedang mencoba menghindari Lyshi. Lebih tepatnya dia ingin mengetahui apakah sahabat perempuannya akan merasa kehilangan jika dia menjauhinya atau tidak. Tapi jawabannya masih semu, Lyshi sama sekali tak peka, gadis itu tidak sadar jika Bian menjauhinya.Bian tahu, seharusnya dia tak perlu melakukan tindakan sejauh ini. Bian hanya berpikir, pasti Lyshi akan merasa berbeda jika dia tak berada di sampingnya, tapi kenyataannya apa? Justru dia yang merasakan kegelisahan itu.Lelaki itu termenung. Memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika dia tetap menjauhi Lyshi. Memikirkan hal itu, Bian langsung memejamkan matanya dan menggeleng pelan, berusaha menghilangkan bayangan tersebut.Bian tahu betul bagaimana sifat sahabatnya. Dan itu semua pasti akan berpengaruh terhadap tindakannya tersebut. Bian tak akan pernah membiarkan hal dalam bayangannya terjadi.Bian kembali membuka mata. Me
Beberapa tahun berlalu. Lyshi, gadis yang dahulu berada di keterpurukan kini sudah bangkit dan berubah kepribadian menjadi gadis ceria.Usianya kini sudah menginjak angka 15, saat-saat dimana ia mulai memasuki masa SMA. Masa terindah kalau kata orang-orang.Gadis itu turun dari lantai atas dimana kamarnya berada, penampilannya membuat perut serasa menggelitik. Rambut dikepang dua dengan seragam putih biru, itu masih berada dibatas wajar. Kali ini sudah tak wajar, di lehernya terpampang kalung berbandul terong ungu, tak lupa gelang berbahan dasar kacang panjang yang melingkar di tangan kirinya.Tawa menggeleger menyambut kehadiran Lyshi. Dika-lelaki yang notabene adalah kakak tirinya tertawa terpingkal, saking parahnya sampai memukul-mukul meja makan."Hahaha ..... lihat ma, Lyshi jualan sayur." Dika beranjak dari duduknya, kemudian mengintari tubuh adiknya.Lyshi merotasikan bola matanya. "Ma, lihat tuh abang," adu Lyshi pada Ana.Hubungan m
Matahari telah kembali ke peraduannya, menebarkan rona keemasan di langit cerah. Menyebarkan cahayanya ke seluruh penjuru negeri.Siang itu matahari bersinar dengan terik, seterik jiwa Lyshi.Hari ini menjadi hari yang sangat ingin Lyshi hindari, meski ia tahu tak akan bisa menghindarinya.Tak terasa penceraian kedua orang tuanya telah terjadi, baru saja hakim memukul palu, mengumumkan putusnya hubungan sakral kedua orang tuanya. Hubungan Fandi dan Reha kini hanya sebatas angan, telah usai dan tak akan bisa kembali seperti semula.Sedari sidang Lyshi hanya diam, ia tak sanggup melontarkan kata. Perpisahan kedua orang tuanya membuatnya amat terpukul, dadanya sesak menerima fakta penceraian itu.Fandi menatap pundak Lyshi, putri sulungnya terus saja menunduk. "Lyshi, jangan nunduk terus. Papa minta maaf, tapi semuanya sudah terjadi, kamu harus berusaha menerima," ujarnya membelai surai kecoklatan putrinya.Lyshi tak menanggapi. Reha rasa dia p
"Lyshi! Kamu sama Era kemana? Kenapa nggak ada dirumah!" geram orang di sebrang sana.Lyshi menjauhkan telinga dari smartwarchnya. Si penelpon itu adalah papanya. "Iya pa, bentar lagi juga pulang kok," ujarnya dengan kesal, padahal ia sedang asik bermain dengan Rama, malah direcokiFandi menghela napas. "Jangan iya-iya terus. Sekarang kamu dimana? Kasih tahu lokasinya ke papa! Mama nyariin kalian," tanya Fandi dengan nada khawatirGadis itu menghembuskan napas berat. "Di lapangan yang kemarin," tutur Lyshi memutusakan panggilan secara sepihak.Rama yang sedari tadi menyimak akhirnya bertanya. "Siapa, Ra?""Papa," ucap Lyshi dengan lesu.Rama menganggukkan kepalanya. "Kamu ke sini nggak izin dulu?" Rama kembali bertanya. Entahlah, Lyshi rasa sekarang lelaki itu banyak bicara.Gadis itu hanya menjawab dengan cengiran kecil.Suasana kembali hening, hanya angin sopoi-sopoi yang berpartisipasi meramaikan suasana siang itu.Hingga suar