Benak Reha bertanya-tanya, apakah Ana yang Lyshi maksud adalah Eline Dyana? Wanita beruntung yang dicintai oleh Fandi.
"Reha harus menemui mas Fandi," batin Reha.
Reha menoleh ke arah putri sulungnya, rupanya Lyshi sudah tertidur di pangkuannya. Dia membopong Lyshi dan meletakkannya di samping Era.
Wanita itu meninggalkan kamar si kembar setelah mencium dahi Lyshi dan Era.
Kakinya berhenti di depan pintu berwarna hitam kecoklatan yang bertuliskan Mr. Fandinol.
Fandi yang tadinya sibuk dengan berkas kantornya kini menoleh ke arah pintu. Di sana terlihat Reha berdiri dengan piyama tidurnya.
Dia berjalan mendekati Reha, "Ada apa Re?"
"Ada hal yang kepengin aku tanyain ke Mas Fandi," ujar Reha dengan raut serius.
Fandi menarik tangan Reha untuk duduk di sofa. "Mau tanya apa?" tanya Fandi heran, tak seperti biasa Reha menampakkan wajah seserius itu.
"Maaf sebelumnya Reha udah lancang. Apa benar tadi siang mas bertemu dengan Ana?" ujar Reha dengan tatapan kosong.
Deg
Jantung Fandi langsung berdetak kencang mendengar pertanyaan Reha, bagaimana istrinya bisa tahu? Ah, dia yakin Lyshi yang memberitahu. Dan walaupun Lyshi tak memberitahu, dia yakin Reha perlahan akan tahu.
"I-iya, tadi aku bertemu dengan dia," ungkap Fandi merasa tak enak. Wajah Reha menandakan bahwa dia sangat terluka, Fandi tahu itu.
Reha tak menyahuti ucapan Fandi. Ruangan bernuansa biru itu seketika hening, hanya suara hujan yang memecahkan keheningan.
Lelaki itu menoleh pada Reha, tatapan istrinya kosong, bahkan dia bisa melihat genangan air yang sebentar lagi akan jatuh dari pelupuk matanya.
"Re, maaf," tutur Fandi meraih tangan Reha.
Tatapan mereka bertemu, air mata Reha yang tadi menggenang kini sudah luruh. "Reha tidak tahu kenapa bisa sesakit ini. Reha tahu, Reha paham, Reha memang tidak berhak melarang Mas Fandi untuk menemui Ana. Reha tidak tahu... Reha tidak ta-hu ke-kenapa ra-sanya se-sakit i-ni," papar Reha terbata-bata. Percayalah, hati Reha seperti di tusuk oleh logam panas, sangat sakit.
Fandi langsung mendekap tubuh istrinya. "Maafin aku, Re. Aku tidak tahu harus berbuat apa."
Reha mengangguk. "Percuma minta maaf, toh ini sudah terjadi. Sekarang Reha mau dengar keputusan Mas Fandi atas perjanjian 6 tahun silam," ujar Reha menghapus air matanya. Dia berdiri dan melangkahkan kaki menuju laci, tangannya mengambil map berwarna merah.
Fandi menelan ludah dengan kasar kala melihat map merah itu. Dia teringat perjanjian 6 tahun silam yang dirinya buat, dia merasa sangat bodoh.
Reha menyerahkan map itu pada Fandi. Lelaki itu langsung membuka map yang berisikan kertas berwarna usang itu.
| PERJANJIAN |
- Pihak pertama : Fandinol Al Oshi
- Pihak kedua : Regina Ahulqi# Dengan ini disebutkan, jika kekasih pihak pertama kembali, maka pihak pertama berhak memilih. Dengan kata lain, jika Elina Dyana kembali, maka Fandinol Al Oshi berhak memilih.
> Pilihan tersebut sebagai berikut :
1 ) Jika Fandinol Al Oshi memilih Elina Dyana, maka Regina Ahulqi harus diceraikan.2 ) Jika Fandinol Al Oshi memilih Regina Ahulqi, maka perjanjian ini di batalkan.Demikian perjanjian telah disepakati 📌
Fandi membaca kertas itu dengan teliti. Dia tak habis pikir mengapa bisa membuat perjanjian menjijikan seperti itu.Dia menoleh ke arah Reha. Istrinya tengah menunggu keputusan darinya.
"Apapun keputusan Mas Fandi, Reha akan berusaha menerima. Reha janji," harap Reha setegar mungkin.
"A-aku tidak bisa memilih, Re."
Reha menatap suaminya dengan bingung. Jika tidak bisa memilih, mengapa dulu membuat perjanjian terkutuk itu?
"Aku..." Fandi menjeda ucapannya, baru saja akan melanjutkan ucapannya yang tertunda ponselnya malah berbunyi.
Drt
Rupanya pesan dari Ana.
From : Ana ♡
| Fan.| Bisa datang ke rumahku?| Tolongin aku, mantan suamikudatang dan mengacak-ngacak rumahku,dia datang untuk mengambil Dika-putraku.Padahal hak asuh Dika sudah jatuh ke tanganku.| Dan dia bilang akan membunuhku jika tak menyerahkan Dika padanya.| Fan| Fan, aku tau kamu pasti akan datang.Mata Fandi membola seiring membaca spam pesan itu. Dia memberikan celah kepada Reha untuk membaca pesan itu.
Reha menggigit bibir bawahnya, dia tak tahu mengapa hatinya terasa sakit hanya karena emot love di belakang nama Ana. Tapi sekarang hal itu tak penting, yang penting adalah keputusan Fandi. Dia harap Fandi memilih keputusan terbaik.
Pembuluh darah tampak tegang di leher Fandi. "Re, maafin aku. Aku memilih Ana," ujar Fandi berlari tergesa. Ya, dia akan pergi ke rumah Ana.
Tangis Reha seketika pecah, tubuhnya merosot. Air mata membanjiri wajah cantiknya.
Jika bukan karena perjodohan dari orang tua mereka, Reha tak akan pernah mau menikah dengan Fandi. Tapi semua sudah terjadi, bahkan dia sudah mempunyai buah hati dengan Fandi, itupun atas desakan orang tua mereka.
Sekarang bagaimana nasib kedua putrinya jika mereka bercerai?
Reha memeluk lututnya, bahunya bergetar, dia menangis hebat.
Hujan di malam gulita itu menjadi saksi hancurnya Reha.
《♡♡》
Fajar telah memunculkan rona-rona kemerahan di langit. Pagi telah tiba, makhluk hidup telah bangun dari peristirahatannya.
Kendaraan berlalu-lalang memadati jalan raya.
Lyshi duduk di ranjang sembari mengayunkan kedua kakinya. Gadis kecil itu bingung harus berbuat apa, ia sangat bosan.
Era-adiknya malah asik bermain berbie tanpa menghiraukan kakaknya yang dirasuki oleh rasa bosan.
"Era..." panggilnya menggoyang-goyangkan tubuh Era.
Era yang sedang asik mengkuncir berbienya kemudian menoleh. "Apa sih, kak?" ujarnya setengah kesal lantaran Lyshi terus-terusan memanggil namanya.
"Main ke lapangan yuk," ajak Lyshi bangkit dari duduknya.
"Nggak mau, kakak aja sana. Era, mah mau main sama berbie aja," tolak Era.
Lyshi mendengus. "Berbie terus! Lyshi doa'ain berbie Era dirasukin sama hantu!" geram Lyshi.
Era membolakan matanya. "Ih! Jangan gitu, lah."
Anak sulung itu terkikik, "Makanya jangan main berbie terus. Sesekali kita main ke luar."
Si maniak berbie bangkit dari duduknya, dia mendekati Lyshi. "Tapi kalau dimarahin mama gimana?"
"Itu urusan gampang, lagian mama, kan lagi istirahat di kamar. Mama sakit, kan? Pasti nggak bisa ngomel dong," ujar Lyshi.
Reha memang sedang sakit. Suhu tubuhnya meninggi setelah menangis semalaman. Wanita itu tertidur di lantai dan ditemukan pingsan oleh Fandi. Sungguh Fandi merasa sangat bersalah malam itu.
"Yaudah yuk!" ajak Lyshi menggandeng tangan adiknya.
Mereka berjalan mengendap-endap. Lyshi dan Era takut ketahuan oleh Fandi, kebetulan hari ini Fandi tak berangkat ke kantor untuk menemani Reha yang terbaring sakit di atas ranjang.
Lyshi menghebuskan napas lega, akhirnya ia bisa pergi dengan Era tanpa ketahuan.
Kedua gadis kembar itu berjalan kaki, kebetulan jarak lapangan dengan rumah mereka tak terlalu.
Pemandangan hijau adalah hal pertama yang mereka lihat kala menginjakkan kaki di lapangan itu.
Senyum Era terbit. "Woah. Indah banget!"
"Norak! Makanya main ke luar, jangan sama berbie terus," sarkas Lyshi mendudukkan bokongnya di salah satu kursi yang ada di lapangan itu.
"Iya deh. Kapan-kapan kita main ke sini lagi, ya. Atau ke tempat yang lebih indah," ujar Era menghirup napas dalam-dalam. Dia berkata seperti itu tanpa tahu apa yang akan terjadi.
"Siap!" Lyshi bersorak senang.
Mata Lyshi menerawang mencari keberadaan seseorang, Lyshi mencari Rama. Tujuan utama ia ke sini adalah bertemu dengan Rama.
Era menatap kakaknya lamat-lamat. "Nyari siapa, kak?"
"Nyari Rama, dia teman Lyshi. Ganteng pula, kayaknya Lyshi suka sama dia," ujar Lyshi tersenyum malu.
"Huu! Masih kecil juga,"sorak Era.
Mata Lyshi menajam, "Bodoamat."
Dan mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing, Era sibuk memakan jajan yang dibawanya dari rumah. Sedangkan Lyshi sibuk mencari keberadaan Rama.
Beberapa saat kemudian mata Lyshi membulat, dia berseru menyebut nama Rama. "Rama!" ia berlari ke arah Rama dengan menarik tangan Era. Adiknya tentu langsung terkejut karena ditarik secara tiba-tiba.
Lyshi tersenyum lebar. "Hai Rama! Akhirnya kita ketemu lagi."
Rama cengo di tempat, dia terkejut mengapa ada dua Lyshi di depannya. Apa dia berhalusinasi?
"K-ok kamu ada dua?" tanya Rama menatap Lyshi dan Era dengan wajah bingung.
Era tertawa terbahak, "Hahaha! Teman kakak bodoh banget," ujarnya berjalan menjauhi Lyshi dan Rama.
"Ra! Mau kemana kamu?!" tanya Lyshi dengan pekikan. Lyshi takut Era hilang, bukan apa-apa, kan kalau Era hilang ia yang akan kena marah orang tuanya.
Era menoleh ke belakang, "Mau beli es krim!"
Lyshi menggelengkan kepala melihat tingkah kurang ajar adiknya, dia pergi setelah memaki Rama, kan Lyshi yang menanggung malu.
"Ram, maafin adik kembar Rora. Dia emang kaya gitu," ujarnya tak enak.
Rama mengangguk kecil.
Lelaki kecil itu melihat penampilan Lyshi dari atas hingga bawah, gadis itu mengenakan celana pendek dan hoodie berwarna army, tak lupa sepatu sneakers yang melekat di kaki kecilnya. Penampilan Lyshi sudah tampak modis meski masih usianya masih 5 tahun.
Lyshi melihat ke arah tatapan Rama. "Ngapain Rama lihatin Rora sampai segitunya? Rama suka, ya sama Rora?" godanya mencolek dagu Rama.
Rama menjawab dengan gelengan kepala.
Melihat itu wajah Lyshi menjadi masam. "Coba ngomong, Ram. Dari tadi kalau nggak ngangguk ngegeleng terus."
"Kamu cerewet banget, sih!" ucap Rama meninggikan suara.
Lyshi terkejut dengan bentakan Rama, meski tak terlalu keras tapi ia tetap saja terkejut. "M-maaf. Rora nggak berisik lagi," lirihnya menundukkan kepala, gadis kecil itu meneteskan air matanya.
Rama menghela napas, "Jangan nangis, Ra. Aku nggak sengaja tadi," bujuk Rama mengusap bahu Lyshi.
Lyshi tersenyum kecil, "Nggak papa, Ram. Rora emang cengeng."
Bohong! Lyshi bukanlah tipe gadis cengeng, ia adalah gadis tegar dan tak mudah menangis. Bahkan ia pernah dimarahi oleh Fandi karena membuat Era menangis. Saat itu Lyshi menggunting habis rambut berbie milik Era, tentu Era menangis kencang karena berbie yang dibotakinya adalah berbie kesayangan Era. Berakhirlah pagi itu Lyshi dimarahi habis-habisan oleh Fandi, dan Lyshi tak menangis sama sekali, malahan dia melontarkan candanya yang membuat Fandi terbahak.
Tapi entah mengapa air matanya jatuh karena bentakan Rama.
Melihat senyum gadis di depannya, Rama menjadi semakin tak enak. "Maafin aku. Sebagai permintaan maaf, gimana kalau hari ini kita main bareng. Terserah kamu mau main apa, aku ngikut aja," tutur Rama membuat Lyshi tersenyum senang.
Percaya atau tidak, baru kali ini Rama berbicara panjang. Bahkan dengan kedua orang tuanya saja dia berbicara dengan irit. Rama juga tidak tahu mengapa bisa berbicara sepanjang ini dengan Lyshi.
"Ram, kita main kejar-kejaran aja yuk!" ajak Lyshi diangguki oleh Rama.
Dan siang itu mereka bermain kejar-kejaran tanpa mempedulikan teriknya sinar matahari.
Era sendiri tak ikut bermain bersama mereka, dia malah asik memakan es krim dan bermain dengan berbienya. Dan Era membuat Lyshi tak habis pikir, ia tak habis pikir mengapa Era bisa membawa berbienya. Lyshi kira dari rumah adiknya hanya membawa jajan, ternyata tidak. Tapi tak apa, terserah Era mau melakukan apa. Yang terpenting kini Lyshi bisa bermain dengan Rama.
Lyshi dan Rama berteduh di bawah pohon, mereka membaringkan tubuh dan menikmati semilir angin yang menerpa tubuh mereka.
"Ram, kita kaya gini terus ya. Kamu jangan ninggalin Rora," ujar Lyshi. Rama mengangguk meski ia tak yakin akan selalu bisa di sisi Lyshi.
"Iya, aku janji. Tapi aku nggak tau bisa nepatin janjiku atau enggak," balas Rama mengangguk ragu.
Lyshi tersenyum senang. Sekarang yang penting Rama mau berjanji dulu, urusan bisa menepati atau tidak itu urusan belakang.
"Lyshi! Kamu sama Era kemana? Kenapa nggak ada dirumah!" geram orang di sebrang sana.Lyshi menjauhkan telinga dari smartwarchnya. Si penelpon itu adalah papanya. "Iya pa, bentar lagi juga pulang kok," ujarnya dengan kesal, padahal ia sedang asik bermain dengan Rama, malah direcokiFandi menghela napas. "Jangan iya-iya terus. Sekarang kamu dimana? Kasih tahu lokasinya ke papa! Mama nyariin kalian," tanya Fandi dengan nada khawatirGadis itu menghembuskan napas berat. "Di lapangan yang kemarin," tutur Lyshi memutusakan panggilan secara sepihak.Rama yang sedari tadi menyimak akhirnya bertanya. "Siapa, Ra?""Papa," ucap Lyshi dengan lesu.Rama menganggukkan kepalanya. "Kamu ke sini nggak izin dulu?" Rama kembali bertanya. Entahlah, Lyshi rasa sekarang lelaki itu banyak bicara.Gadis itu hanya menjawab dengan cengiran kecil.Suasana kembali hening, hanya angin sopoi-sopoi yang berpartisipasi meramaikan suasana siang itu.Hingga suar
Matahari telah kembali ke peraduannya, menebarkan rona keemasan di langit cerah. Menyebarkan cahayanya ke seluruh penjuru negeri.Siang itu matahari bersinar dengan terik, seterik jiwa Lyshi.Hari ini menjadi hari yang sangat ingin Lyshi hindari, meski ia tahu tak akan bisa menghindarinya.Tak terasa penceraian kedua orang tuanya telah terjadi, baru saja hakim memukul palu, mengumumkan putusnya hubungan sakral kedua orang tuanya. Hubungan Fandi dan Reha kini hanya sebatas angan, telah usai dan tak akan bisa kembali seperti semula.Sedari sidang Lyshi hanya diam, ia tak sanggup melontarkan kata. Perpisahan kedua orang tuanya membuatnya amat terpukul, dadanya sesak menerima fakta penceraian itu.Fandi menatap pundak Lyshi, putri sulungnya terus saja menunduk. "Lyshi, jangan nunduk terus. Papa minta maaf, tapi semuanya sudah terjadi, kamu harus berusaha menerima," ujarnya membelai surai kecoklatan putrinya.Lyshi tak menanggapi. Reha rasa dia p
Beberapa tahun berlalu. Lyshi, gadis yang dahulu berada di keterpurukan kini sudah bangkit dan berubah kepribadian menjadi gadis ceria.Usianya kini sudah menginjak angka 15, saat-saat dimana ia mulai memasuki masa SMA. Masa terindah kalau kata orang-orang.Gadis itu turun dari lantai atas dimana kamarnya berada, penampilannya membuat perut serasa menggelitik. Rambut dikepang dua dengan seragam putih biru, itu masih berada dibatas wajar. Kali ini sudah tak wajar, di lehernya terpampang kalung berbandul terong ungu, tak lupa gelang berbahan dasar kacang panjang yang melingkar di tangan kirinya.Tawa menggeleger menyambut kehadiran Lyshi. Dika-lelaki yang notabene adalah kakak tirinya tertawa terpingkal, saking parahnya sampai memukul-mukul meja makan."Hahaha ..... lihat ma, Lyshi jualan sayur." Dika beranjak dari duduknya, kemudian mengintari tubuh adiknya.Lyshi merotasikan bola matanya. "Ma, lihat tuh abang," adu Lyshi pada Ana.Hubungan m
Bian menatap langit-langit kamarnya. Di sinilah dia berada. Bian memang sedang mencoba menghindari Lyshi. Lebih tepatnya dia ingin mengetahui apakah sahabat perempuannya akan merasa kehilangan jika dia menjauhinya atau tidak. Tapi jawabannya masih semu, Lyshi sama sekali tak peka, gadis itu tidak sadar jika Bian menjauhinya.Bian tahu, seharusnya dia tak perlu melakukan tindakan sejauh ini. Bian hanya berpikir, pasti Lyshi akan merasa berbeda jika dia tak berada di sampingnya, tapi kenyataannya apa? Justru dia yang merasakan kegelisahan itu.Lelaki itu termenung. Memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika dia tetap menjauhi Lyshi. Memikirkan hal itu, Bian langsung memejamkan matanya dan menggeleng pelan, berusaha menghilangkan bayangan tersebut.Bian tahu betul bagaimana sifat sahabatnya. Dan itu semua pasti akan berpengaruh terhadap tindakannya tersebut. Bian tak akan pernah membiarkan hal dalam bayangannya terjadi.Bian kembali membuka mata. Me
Hari pertama menuju jenjang Sekolah Menengah Pertama, membuat Lyshi harus bangun lebih awal.Masih dengan wajah mengantuk, Lyshi memakai seragam barunya. Walau matanya sesekali terpejam, seragam itu tetap terpasang rapi di tubuhnya.Dengan malas ia mengkuncir satu rambutnya. Lyshi membawa kakinya ke depan cermin untuk melihat penampilan barunya. Sudut bibirnya terangkat melihat pantulan dirinya di dalam cermin.Seragam itu melekat apik pada tubuh mungilnya. Wajahnya terlihat natural tanpa polesan apapun."Seragamnya cocok banget sama Lyshi. Berasa lihat bidadari, Lyshi tuh." Lyshi memutar tubuhnya beberapa kali, senyum kembali tergelincir dari bibir tipisnya."Ma, pa, bang. Lyshi cantik, kan?" gadis itu memekikkan suaranya setelah menginjakkan kaki di ruang makan.Serentak mereka menoleh. Fokus sarapan mereka tersita oleh suara keras Lyshi."Iya. Anak papa cantik."Ana tersenyum. "Wah, cantiknya anak mam
Sejak bel istirahat tidak ada satupun guru yang masuk ke kelas Lyshi, jadilah gadis itu dengan bahagia bisa tidur di bangkunya. Hal itu membuat Zoya dan Minnie menggeleng-gelengkan kepala.Kini bel sekolah telah berbunyi, membuat Lyshi yang tadinya masih menjelajah alam mimpi tersentak bangun. Gadis itu menatap seisi kelas yang bersiap-siap untuk pulang.Lyshi menguap, mengusap matanya yang masih mengantuk. Zoya tersenyum kecil, sahabat perempuannya tak pernah berubah dari dulu, gemar sekali tidur sembarangan."Gue balik duluan." Minnie melambaikan tangannya sebelum berjalan keluar.Kini tinggal Lyshi dan Zoya di dalam kelas. Zoya menggoyangkan bahu Lyshi karena gadis itu kembali memejamkan matanya. "Ly. Ayo pulang."Lyshi bebal. Gadis itu masih enggan beranjak dari posisi tidurnya.Zoya menghela napa gusar. "Bangun, Ly," ujarnya menepuk-nepuk pipi Lyshi, berharap agar gadis itu terbangun dari tidurnya."Zoya pulang duluan aja.
Beberapa jam yang lalu keluarganya baru saja terbang menuju negara orang untuk waktu yang terbilang cukup lama bagi Lyshi.Selepas dari bandara, Lyshi terlihat muram dan tak hiperaktif seperti biasanya.Bian bisa merasakan rasa khawatir yang menyelimuti mobil itu. Ketika dia mengedarkan pandangannya ke arah Lyshi, dia bisa merasakan energi kesedihan yang mengerubungi sahabat perempuannya."Ly. Mau beli yogurt dulu?"Gadis itu menoleh, lantas menggeleng pelan. Melihat itu Bian hanya bisa menghembuskan napasnya pasrah.Persekian menit mobil yang mereka tumpangi telah tiba pada rumah yang lebih tepat disebut mansion. Rumah yang sekarang akan Lyshi tinggali untuk berberapa Minggu ini sangat besar dengan taman bunga beraneka macam di depannya. Lyshi tak pernah menyangka akan tinggal di bangunan itu untuk beberapa waktu ke depan. Sebenarnya ada sedikit rasa senang yang terselip di hatinya."Turun, Ly. Kamu nggak mau t
Jam istirahat sudah terlewati. Sekarang pelajaran kembali dimulai. Biasanya Lyshi akan sangat senang dan serius dengan pelajaran sejarah. Namun lagi-lagi dirinya hanya asik melamun, entah apa yang mengganggu pikirannya saat ini.Lyshi linglung. Ia sesekali menatap jam di dinding kelas. Setiap detik, setiap menit terus bergerak dan berlalu.Gadis itu menatap buku paket di depannya dengan malas. Kemudian matanya berbinar setelah melihat ke arah tas punggungnya yang tampak sedikit terbuka, di sana terpampang satu botol yogurt berukuran kecil.Senyum tergelincir di wajahnya. Dengan cekatan ia menyedot minuman favoritnya menggunakan sedotan.Zoya, gadis yang sebangku dengannya membolakan mata. Mau cari mati, sungut Zoya dalam hati. Bisa-bisanya ia minum di kelas ketika pelajaran sedang berlangsung, dan tentunya tanpa seizin guru mapel.Slrupp ....Mendengar suara aneh, pria dengan tubuh jangkung mengerlingkan pandangannya menata
"Assalamualaikum."Suara salam tersebut menggema di dalam rumah bernuansa putih itu.Seorang perempuan dengan piama tidurnya menghampiri pemilik suara."Oy, udah pulang?" tanya perempuan yang tak lain adalah Dara."Hn."Dara menelisik mencari keberadaan seseorang, rasanya ada yang ganjal. "Oy guguk, mana Lyshi?"Oh tidak, Bian lupa harus pulang bersama Lyshi."Freya sialan!" batinnya meruntuk.Ini semua karena Freya, tapi Bian yang lebih keterlaluan, bisa-bisanya dia melupakan Lyshi. Bian merasa tambah bersalah mengingat derasnya hujan sore ini.Tak kunjung mendapat respon dari adiknya, Dara kembali bertanya dengan menaikkan oktaf suaranya. "GUK, MANA LYSHI? "Nggak tau.""Nggak tau gimana? Seharusnya Lyshi pulang sama lo," ujar Dara mengernyitkan dahi."Gue lupa. Lyshi ketinggalan."Entahlah, Dara tak tahu mengapa adiknya bisa sebodoh itu. Ketinggalan? Memangnya Lyshi barang, sunggu
Jam istirahat sudah terlewati. Sekarang pelajaran kembali dimulai. Biasanya Lyshi akan sangat senang dan serius dengan pelajaran sejarah. Namun lagi-lagi dirinya hanya asik melamun, entah apa yang mengganggu pikirannya saat ini.Lyshi linglung. Ia sesekali menatap jam di dinding kelas. Setiap detik, setiap menit terus bergerak dan berlalu.Gadis itu menatap buku paket di depannya dengan malas. Kemudian matanya berbinar setelah melihat ke arah tas punggungnya yang tampak sedikit terbuka, di sana terpampang satu botol yogurt berukuran kecil.Senyum tergelincir di wajahnya. Dengan cekatan ia menyedot minuman favoritnya menggunakan sedotan.Zoya, gadis yang sebangku dengannya membolakan mata. Mau cari mati, sungut Zoya dalam hati. Bisa-bisanya ia minum di kelas ketika pelajaran sedang berlangsung, dan tentunya tanpa seizin guru mapel.Slrupp ....Mendengar suara aneh, pria dengan tubuh jangkung mengerlingkan pandangannya menata
Beberapa jam yang lalu keluarganya baru saja terbang menuju negara orang untuk waktu yang terbilang cukup lama bagi Lyshi.Selepas dari bandara, Lyshi terlihat muram dan tak hiperaktif seperti biasanya.Bian bisa merasakan rasa khawatir yang menyelimuti mobil itu. Ketika dia mengedarkan pandangannya ke arah Lyshi, dia bisa merasakan energi kesedihan yang mengerubungi sahabat perempuannya."Ly. Mau beli yogurt dulu?"Gadis itu menoleh, lantas menggeleng pelan. Melihat itu Bian hanya bisa menghembuskan napasnya pasrah.Persekian menit mobil yang mereka tumpangi telah tiba pada rumah yang lebih tepat disebut mansion. Rumah yang sekarang akan Lyshi tinggali untuk berberapa Minggu ini sangat besar dengan taman bunga beraneka macam di depannya. Lyshi tak pernah menyangka akan tinggal di bangunan itu untuk beberapa waktu ke depan. Sebenarnya ada sedikit rasa senang yang terselip di hatinya."Turun, Ly. Kamu nggak mau t
Sejak bel istirahat tidak ada satupun guru yang masuk ke kelas Lyshi, jadilah gadis itu dengan bahagia bisa tidur di bangkunya. Hal itu membuat Zoya dan Minnie menggeleng-gelengkan kepala.Kini bel sekolah telah berbunyi, membuat Lyshi yang tadinya masih menjelajah alam mimpi tersentak bangun. Gadis itu menatap seisi kelas yang bersiap-siap untuk pulang.Lyshi menguap, mengusap matanya yang masih mengantuk. Zoya tersenyum kecil, sahabat perempuannya tak pernah berubah dari dulu, gemar sekali tidur sembarangan."Gue balik duluan." Minnie melambaikan tangannya sebelum berjalan keluar.Kini tinggal Lyshi dan Zoya di dalam kelas. Zoya menggoyangkan bahu Lyshi karena gadis itu kembali memejamkan matanya. "Ly. Ayo pulang."Lyshi bebal. Gadis itu masih enggan beranjak dari posisi tidurnya.Zoya menghela napa gusar. "Bangun, Ly," ujarnya menepuk-nepuk pipi Lyshi, berharap agar gadis itu terbangun dari tidurnya."Zoya pulang duluan aja.
Hari pertama menuju jenjang Sekolah Menengah Pertama, membuat Lyshi harus bangun lebih awal.Masih dengan wajah mengantuk, Lyshi memakai seragam barunya. Walau matanya sesekali terpejam, seragam itu tetap terpasang rapi di tubuhnya.Dengan malas ia mengkuncir satu rambutnya. Lyshi membawa kakinya ke depan cermin untuk melihat penampilan barunya. Sudut bibirnya terangkat melihat pantulan dirinya di dalam cermin.Seragam itu melekat apik pada tubuh mungilnya. Wajahnya terlihat natural tanpa polesan apapun."Seragamnya cocok banget sama Lyshi. Berasa lihat bidadari, Lyshi tuh." Lyshi memutar tubuhnya beberapa kali, senyum kembali tergelincir dari bibir tipisnya."Ma, pa, bang. Lyshi cantik, kan?" gadis itu memekikkan suaranya setelah menginjakkan kaki di ruang makan.Serentak mereka menoleh. Fokus sarapan mereka tersita oleh suara keras Lyshi."Iya. Anak papa cantik."Ana tersenyum. "Wah, cantiknya anak mam
Bian menatap langit-langit kamarnya. Di sinilah dia berada. Bian memang sedang mencoba menghindari Lyshi. Lebih tepatnya dia ingin mengetahui apakah sahabat perempuannya akan merasa kehilangan jika dia menjauhinya atau tidak. Tapi jawabannya masih semu, Lyshi sama sekali tak peka, gadis itu tidak sadar jika Bian menjauhinya.Bian tahu, seharusnya dia tak perlu melakukan tindakan sejauh ini. Bian hanya berpikir, pasti Lyshi akan merasa berbeda jika dia tak berada di sampingnya, tapi kenyataannya apa? Justru dia yang merasakan kegelisahan itu.Lelaki itu termenung. Memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika dia tetap menjauhi Lyshi. Memikirkan hal itu, Bian langsung memejamkan matanya dan menggeleng pelan, berusaha menghilangkan bayangan tersebut.Bian tahu betul bagaimana sifat sahabatnya. Dan itu semua pasti akan berpengaruh terhadap tindakannya tersebut. Bian tak akan pernah membiarkan hal dalam bayangannya terjadi.Bian kembali membuka mata. Me
Beberapa tahun berlalu. Lyshi, gadis yang dahulu berada di keterpurukan kini sudah bangkit dan berubah kepribadian menjadi gadis ceria.Usianya kini sudah menginjak angka 15, saat-saat dimana ia mulai memasuki masa SMA. Masa terindah kalau kata orang-orang.Gadis itu turun dari lantai atas dimana kamarnya berada, penampilannya membuat perut serasa menggelitik. Rambut dikepang dua dengan seragam putih biru, itu masih berada dibatas wajar. Kali ini sudah tak wajar, di lehernya terpampang kalung berbandul terong ungu, tak lupa gelang berbahan dasar kacang panjang yang melingkar di tangan kirinya.Tawa menggeleger menyambut kehadiran Lyshi. Dika-lelaki yang notabene adalah kakak tirinya tertawa terpingkal, saking parahnya sampai memukul-mukul meja makan."Hahaha ..... lihat ma, Lyshi jualan sayur." Dika beranjak dari duduknya, kemudian mengintari tubuh adiknya.Lyshi merotasikan bola matanya. "Ma, lihat tuh abang," adu Lyshi pada Ana.Hubungan m
Matahari telah kembali ke peraduannya, menebarkan rona keemasan di langit cerah. Menyebarkan cahayanya ke seluruh penjuru negeri.Siang itu matahari bersinar dengan terik, seterik jiwa Lyshi.Hari ini menjadi hari yang sangat ingin Lyshi hindari, meski ia tahu tak akan bisa menghindarinya.Tak terasa penceraian kedua orang tuanya telah terjadi, baru saja hakim memukul palu, mengumumkan putusnya hubungan sakral kedua orang tuanya. Hubungan Fandi dan Reha kini hanya sebatas angan, telah usai dan tak akan bisa kembali seperti semula.Sedari sidang Lyshi hanya diam, ia tak sanggup melontarkan kata. Perpisahan kedua orang tuanya membuatnya amat terpukul, dadanya sesak menerima fakta penceraian itu.Fandi menatap pundak Lyshi, putri sulungnya terus saja menunduk. "Lyshi, jangan nunduk terus. Papa minta maaf, tapi semuanya sudah terjadi, kamu harus berusaha menerima," ujarnya membelai surai kecoklatan putrinya.Lyshi tak menanggapi. Reha rasa dia p
"Lyshi! Kamu sama Era kemana? Kenapa nggak ada dirumah!" geram orang di sebrang sana.Lyshi menjauhkan telinga dari smartwarchnya. Si penelpon itu adalah papanya. "Iya pa, bentar lagi juga pulang kok," ujarnya dengan kesal, padahal ia sedang asik bermain dengan Rama, malah direcokiFandi menghela napas. "Jangan iya-iya terus. Sekarang kamu dimana? Kasih tahu lokasinya ke papa! Mama nyariin kalian," tanya Fandi dengan nada khawatirGadis itu menghembuskan napas berat. "Di lapangan yang kemarin," tutur Lyshi memutusakan panggilan secara sepihak.Rama yang sedari tadi menyimak akhirnya bertanya. "Siapa, Ra?""Papa," ucap Lyshi dengan lesu.Rama menganggukkan kepalanya. "Kamu ke sini nggak izin dulu?" Rama kembali bertanya. Entahlah, Lyshi rasa sekarang lelaki itu banyak bicara.Gadis itu hanya menjawab dengan cengiran kecil.Suasana kembali hening, hanya angin sopoi-sopoi yang berpartisipasi meramaikan suasana siang itu.Hingga suar