Part 29 (Cekcok II)***"Kirim alamatnya, tenang saja suamiku tidak akan tahu." Setelah itu panggilan terputus. "Kali ini kamu bebas dariku Nana, tapi lain kali aku akan beri kamu pelajaran!" gertaknya. Salma berbalik badan, itu berjalan meninggalkanku. Kutatap punggungnya yang mulai menjauh, tiba-tiba saja aku kepikiran untuk membuntutinya. Kutinggalkan mobilku di sini, lalu mengikutinya dari belakang. Sebisa mungkin aku berhati-hati, entah kenapa aku penasaran dengan apa yang akan dia lakukan. ****Aku menatap sekeliling, melihat Salma memasuki gang sempit ini. Untuk apa dia ke sini? Apa dia dan Mas Reza sekarang tinggal di sini? Aku terus mengikutinya, sampai tak lama dia berhenti di sebuah rumah kecil yang ada di ujung sana. Banyak hal yang muncul di pikiranku. Nampak seorang pria keluar dari rumah itu. Ia memeluk Salma, dan tanpa malu mereka berciuman. Dan yang membuatku syok pria itu bukan Mas Reza. Apa ini pekerjaan Salma? Apa Mas Reza tahu? Rasa ingin tahuku meront
Part 30 (Karma Tak Pernah Salah Alamat!) ****POV Reza. "Ayo kita pulang!" Dengan kasar aku menarik tangan Salma. Hatiku hancur berkeping-keping. Kudapati istriku dijamah pria lain, dan yang membuat dada ini semakin sesak, saat ia tak sama sekali melakukan perlawanan. Aku lupa, mereka suka sama suka. Tidak ada unsur paksaan. Salma rela menjajahkan tubuhnya demi uang. "Apaan sih kamu ini aku belum selesai, gimana kalau dia minta uangnya kembali!" Salma menolak saat aku mengajaknya pulang. Dan apa tadi? Ya Tuhan? Apa yang terjadi dengan hidupku ini. Kenapa aku terus dibuat menderita. Salma kembali melangkah menuju rumah itu. Namun, dengan cepat aku menahannya. Lihatlah dia, kemeja yang ia pakai bahkan tidak sempat di kancing. "Kamu mau ngapain lagi, urusan kita belum selesai!" Ubun-ubunku terasa panas, apa yang ia katakan menyulut emosiku. "Kamu pulang sana dulu! Setelah aku selesai layani dia kita bicara lagi!""Tidak bisa, aku ini suamimu! Aku tidak suka dibantah!""Dia membayar
Part 30 (Karma Tak Pernah Salah Alamat II)***Dua puluh menit berada di jalan, akhirnya kami tiba di rumah. Buru-buru kutarik Salma masuk ke dalam rumah. Lalu kututup pintu kasar. Ia sempat melakukan perlawanan, lantaran kesal kudorong tubuhnya ke sofa. "Kamu ini apa-apaan sih Mas! Kamu kasar banget!""Kamu itu yang apa-apaan! Kamu itu punya suami! Masih pantas kamu berdua bersama dengan pria di luar sana!"Dadaku bergemuruh hebat, gigiku terdengar saling beradu saat kuucapkan itu padanya. "Memangnya kenapa hah?! Ini hidup aku, kamu siapa?"Embusan napas kasar keluar dari rongga hidungku. Salma beranjak bangkit, kulayangkan tamparan di pipinya. "Keterlaluan kamu! Seperti ini tampang aslimu!"Salma memegang pipinya yang panas. Mata itu menyala tajam beradu tatapan dengan mataku. "Dua kali kamu tampar aku, Mas!""Itu pantas kamu dapatkan, istri selingkuh sepertimu harus dikasih pelajaran!""Maling teriak maling! Hellow, ngaca dong Mas. Kamu juga selingkuh! Gak ingat kamu, apa yan
Part 31 (Di ujung Pencarian!) ****Pov AuthorBermodalkan alamat dari Jordan, Zeen mencari kediaman Ari Kusuma. Tepatnya di sebuah desa yang tak jauh dari hiruk-pikuk kota. Setelah bertanya pada salah satu warga yang kebetulan tinggal di sana, mereka berdua pun langsung menyambangi rumah itu."Kau yakin ini rumahnya, Bung?" Haris bertanya sambil mengedarkan pandangan, menatap halaman depan rumah yang diisi dengan berbagai macam tanaman. "Dari alamat yang diberikan Jordan dan keterangan Ibu tadi, harusnya benar ini rumahnya.""Ya sudah kalau begitu tunggu apa lagi, ayo," ajak Haris. Zeen menganggukkan kepala, kedua pria itu lantas berjalan menuju teras rumah. Diketuk pintu, menunggu sahutan dari dalam yang lumayan lama. "Kenapa lama sekali,""Sabar Bung, siapa tahu pemilik rumah ini sedang sibuk di dalam," ujar Haris. Zeen kembali mengetuk pintu, matanya meneliti sekitar. "Iya ... Tunggu sebentar." Tak lama kemudian terdengar suara dari dalam, lalu disusul dengan pintu yang dibuk
Part 32 (Ana, Will You Marry Me?)****"Kita itu mau ke mana sih Ma, dari tadi kok muter-muter terus?" Nana bertanya pada Mama Reni, pasalnya sudah setengah jam mereka berada di jalan. Mantan mertuanya itu belum juga mengatakan tempat mana yang akan mereka tuju."Kita ke Mall yuk Na," usul Mama Reni. "Mau ngapain? Belanja lagi?" tanya Nana seraya menurunkan kecepatan mobil. "Kita beli baju, atau kita beli tas baru gitu," ujarnya. Nana meliriknya sekilas, lalu fokus mengemudi. "Bajuku sudah banyak Ma, yang baru juga belum sempat aku pakai. Masa mau beli lagi?""Kita ke cafe, ngopi?""Aku gak suka kopi Ma."Diembuskan napas pelan, wanita bersanggul itu membalas tatapan Nana memelas. "Terus kita ke mana dong?" tanya Mama Reni. "Kok Mama malah tanya aku, bukannya Mama kan yang tadi ajak aku keluar.""Gimana kalau kita beli kue?""Bukannya Mama udah bikin kue tadi pagi.""Gak tahu ah Mama pusing." Mama Reni melengos membuat Nana geleng-geleng kepala. "Gimana kalau kita ke kantor Pap
Part 32 (Ana, Will You Marry Me?)***Matahari sudah lama terbenam, langit biru cerah kini digantikan dengan gelapnya malam tanpa taburan bintang, hanya ada bulan sabit yang muncul malu-malu dari ufuk timur. Udara di luar pun tak terasa sudah dingin.Gemerlapnya lampu menerangi sepanjang jalan. Nana melempar tatapan keluar jendela, menatap bangunan bertingkat itu dari sana. Sejak pukul 4 sore sampai sekarang jam 7 malam, orang tua Zeen itu mengajaknya pergi ke berbagai tempat. Apa daya Nana, ia tidak bisa menolak. Alhasil ia mengikuti ke mana pun mereka pergi. Mulai dari makan di restoran, sampai ke toko perhiasan. "Sebentar lagi kita sampai rumah," tutur Papa Erick. Hening, tidak ada jawaban. Nana meresponnya hanya dengan anggukan kepala."Mama jadi merasa bersalah ini.""Gak pa-pa, Ma, aku senang kok bisa jalan-jalan sama kalian," jawab Nana. Sepuluh menit berlalu mobil yang dikemudikan Papa Erick akhirnya tiba di halaman rumah. Zeen sudah memberi kabar jika dirinya sekarang ber
Part 33 (Rasa Dengki Yang Mendarah Daging)****"Ana, Will you marry me?" Berulang kali Nana mengerjapkan mata, buliran bening yang menumpuk di sana tak terasa sudah meleleh. Disekanya detik itu juga. Tak bisa Nana bohongi, ia terharu sekaligus bahagia. Terharu dengan ucapan Zeen barusan. Dan bahagia, akhirnya Zeen mau mengungkapkan perasaannya. "Zeen, apa ini mimpi?" Nana kembali bertanya. Sosok pria yang kini berdiri di hadapannya itu adalah Atarik. Di temani gelapnya malam, Zeen memberikan sebuah kejutan yang tidak pernah Nana duga sebelumnya. Pria itu menghias kamarnya dengan balon, dan jangan lupakan puluhan boneka dan mawar yang ada di sana."Ini bukan mimpi Ana, ini nyata," jawabnya. Ia bahkan memanggil namaku seperti dulu. Senyuman tipis terukir di sudut bibir Zeen. Ia masih berjongkok menunggu jawaban dari Nana. Irama jantung pria itu berdetak cepat. Dipandangi Nana dengan cemas. Ia harus siap dengan apa pun keputusan Nana. Ia tidak boleh egois, patah berkali-kali membuatn
Part 34 (Iri? Bilang Bos!) ****POV Nana. [Duh Jeng Reni. Nana sama Zeen memang cocok. Titip salam buat Nana. Semoga setelah menikah nanti mereka berdua cepat dapat momongan. Dan mudah-mudahan ini yang terakhir.]Kujatuhkan pantatku di kursi. Asyik menggulir layar ponselku, menemukan postingan Mama di sana. Iseng, kulihat kolom komentar. [Duh Jeng, kayaknya Reza itu cuman jagain jodoh Abangnya doang.] [Akhirnya kapal Zena berlayar juga, wkwkwk.] Berbagai macam komentar mewarnai postingan Mama di aplikasi biru itu. Namun, tak lama, setelah kugeser ke bawah. Kutemukan salah satu komentar yang begitu menohok. Singkat, padat, namun terasa begitu menyakitkan.[Basi. Jijik, dasar mur*han.] Begitulah komentarnya.Komentar itu dari akun bernama Ira Fratiwi. Yang kuyakini itu akun Ibuku. Aku tersenyum hambar. Apa Ibu tidak pernah merindukanku? Bertahun-tahun ia menelantarkanku. Apa tidak ada sedikit pun niatan untuk memelukku walau hanya sebentar? Di sini aku sedang terluka, tidak ada