Mulutku ternganga menatap wanita cantik yang berdiri di hadapanku. Sangking terkejutnya, ponsel yang sedang kupegang jatuh begitu saja di atas sofa.
Di hadapanku berdiri sosok wanita yang begitu cantik dan anggun. Tadinya kukira Bella di dunia nyata sama dengan Bella di dunia maya, yang selalu berpakaian sek*si dan seronok serta selalu memberi gaya yang menggoda.Tapi begitu bertemu langsung, imagenya benar-benar berbeda. Bahkan ia seperti bukan wanita penghibur dengan setelan celana jins panjang, juga baju putih panjang yang begitu lekat membalut tubuhnya, memperlihatkan betapa aduhai lekuk tubuh Bella."Mas ...." Bella melambaikan tangannya di depan wajahku, karena aku hanya mampu ternganga di depan sosoknya. Syukur air liurku tak ikut menetes."Eh, maaf, Bell." Aku buru-buru menguasai keadaan dan beralih tersenyum menatapnya."Sampai ternganga gitu sih, Mas, liatnya," ujar Bella dengan senyum menggoda."Habisnya kamu cantik bAku masuk ke rumah pasca kepergian Ibu. Kutarik koper yang tergeletak begitu saja di depan pintu, terlihat pintu kamar pun masih tertutup rapat.Aku mendengus kesal karena merasa diabaikan oleh Dista. Ah, andai Bella yang jadi istriku, pasti saat ini ia sudah menyambutku dengan tingkah manisnya."Itaa! Buka pintunya! Aku mau masuk," teriakku seraya mengetuk pintu kamar kami.Tak berapa lama pintu pun terbuka. Terlihat mata Dista sembab seperti habis menangis. Dasar cengeng! Baru ribut dengan Ibu begitu saja sudah nangis."Kamu udah masak? Aku lapar!" Tanyaku dengan ketus karena Dista sama sekali tak ada inisiatif menawarkan makan padaku, membuat aku makin kesal saja."Sudah."Astaga ... Datar sekali ia menjawab pertanyaanku. Tak ada niatannya sama sekali menyiapkan makanku. Benar-benar Dista ini makin hari makin banyak minusnya.Kuletakkan koper di sudut kamar dengan kasar. Lalu bergegas berganti baju.
Aku hanya bisa mematung di ambang pintu melihat tatapan Dista yang setajam silet itu. Ia lalu berdiri dan berjalan menghampiriku."Apa ini, Mas?" Tanya Dista seraya mengulurkan kertas yang berada di tangannya itu.Dengan hati yang diliputi kebingungan, kuraih kertas tersebut. Begitu kertas tersebut berada dalam genggamanku, mataku langsung membulat sempurna."Ka--kamu dapat dari mana ini?" Tanyaku begitu gugup melihat kertas yang ternyata adalah struk belanjaanku kemarin bersama Bella. Yang lebih parahnya lagi, barang-barang yang dibeli itu kebanyakan barang wanita."Dari dalam saku kemeja kamu," jawab Dista dengan nada dingin."Aku juga gak tau itu punya siapa," ucapku pura-pura bingung."Struk ini ada dalam saku kemeja kamu, Mas! Masa kamu gak tau ini punya siapa?" Tandas Dista membuat aku semakin gugup, namun aku tak hilang akal untuk memberi alasan pada Dista."Kemarin pakaianku dipinjam teman. Mungkin struk itu milik dia. Lagi pula, kamu mikirlah, tak mungkin aku menghabiskan ua
Sedikit tergesa aku mengendarai mobil menuju rumah sakit. Sedangkan Bella yang duduk di kursi sampingku terus merintih dengan mata tertutup."Sabar ya, Sayang," ujarku kalut karena melihat gerimis mulai turun, ditambah jalanan yang macet memperhambat laju kendaraanku.Setelah menghabiskan waktu lama di jalan, akhirnya kami pun sampai di rumah sakit. Rumah sakit ini searah menuju rumahku, sangat mungkin jika ada orang yang kukenal memergoki kami.Tapi kini aku tak peduli, yang terpenting sekarang adalah kesehatan Bella. Lagi pula hanya ini satu-satunya rumah sakit terdekat.Setelah memarkirkan kendaraan, aku menggendong Bella turun dari mobil, dan berlari menuju IGD. Para perawat dan dokter di sana juga cepat tanggap, mereka langsung membantuku membaringkan Bella di atas brankar.Untuk sesaat rasa was-wasku berkurang karena Bella sudah ditangani oleh ahlinya.Namun, siapa sangka ternyata masalah berikutnya menantiku.Darahku terkesiap saat melihat di ujung ruang IGD, sosok yang sangat
Braak!Ibu Dista menggebrak meja yang berada di depannya dengan sangat keras. Bahkan aku hampir terlonjak sangking kagetnya."Tak usah sesumbar, Bu! Percuma tampilanmu cantik kalau pada akhirnya tetap ditinggalkan oleh suamimu juga!"Emosiku ikut tersulut mendengar Ibu Dista mengungkit-ungkit soal perceraian Ayah dan Ibu. Wajah Ibu pun terlihat berubah suram setelah itu."Cukup, Bu! Cukup! Tolong jangan ungkit soal rumah tangga orang tuaku. Ini masalah antara aku dan Dista, tolong jangan merembet kemana-mana!" Aku mulai angkat bicara, tak terima jika Ibu sedih dibuat manusia-manusia ini."Ibu kamu duluan yang mulai ya, Mas!" Dista ikut menyahut dengan nada tak bersahabat."Sudah, sudah! Kenapa malah jadi ribut sendiri! Kita di sini mau membahas soal rumah tangga kalian, jadi tolong jangan ada yang memancing-mancing masalah lain."Kami langsung diam begitu Ayah Dista kembali angkat suara. Tapi tetap saja dari nada suaranya, bisa ditebak dia masih menyalahkan Ibuku."Jadi sekarang kamu
Sesuai keputusan akhir, perceraianku dan Dista pun diproses. Aku tak bisa berbuat banyak, karena pihak keluarga Dista dan Ibu begitu kukuh agar kami bercerai.Namun, hal yang paling membuat aku galau adalah Bella. Bella tak lagi mau, menerima telepon dan membalas pesanku. Ia sepertinya benar-benar sakit hati dengan perkataan Ibu waktu itu.Hari ini aku berencana ke rumah Bella setelah pulang kerja. Sebab, rinduku sudah sangat memuncak padanya."Kusut amat lu beberapa hari ini, Mar?" Hardi mendekatiku saat makan siang di kantin seperti biasa. Lama-lama ia sudah cocok jadi peramal, karena selalu menebak perasaanku dengan benar."Alah, biasalah.""Dista lagi?" Tanyanya."Iya."Aku sengaja berbohong pada Hardi. Tak mungkin aku harus cerita bahwa aku galau karena Bella.Apalagi aku memang masih merahasiakan soal perceraianku dengan Dista pada orang-orang. Lagi pula untuk apa aku membuka-buka hal seperti itu ke muka umum?"Ikut gue lagi gimana nanti sore?" Tawar Hardi sembari menempel-nempe
Setelah menempuh perjalanan yang terasa panjang, aku pun sampai di rumah Ibu. Terlihat di halaman sudah terparkir motor Mas Danis. Dengan terburu aku langsung masuk ke dalam.Tak ada siapapun di ruang tamu, pasti mereka ada di kamar Ibu.Gegas aku menuju kamar Ibu. Dan benar saja, semua sudah berkumpul di sana."Bu, Ibu kenapa? Kok tiba-tiba sakit gini? Bukannya tadi pagi masih baik-baik saja?" Tanyaku begitu duduk di sisi pembaringan Ibu."Ibu tadi pagi jatuh di kamar mandi. Tadi sudah ada dokter yang kemari. Katanya tensi Ibu naik, Ibu punya riwayat darah tinggi," sahut Mas Danis dengan nada datar.Aku sedikit terkejut mendengar penuturan Mas Danis. Sebab yang kami tahu, Ibu tak pernah punya penyakit apapun. Kenapa tiba-tiba sekarang jadi darah tinggi?"Ibu lagi banyak pikiran ya, Bu? Ibu mikirin apa?" Tanyaku lembut seraya menggenggam tangan Ibu.Terdengar Mas Danis mendengus kasar mendengar pertanyaanku."Kamu gak sadar diri, Damar? Ibu itu mikirin kamu terus beberapa hari ini!" T
"Gak lucu, Mas," sahut Bella dengan tersenyum miring. Mungkin ia pikir aku cuma bercanda, padahal ...."Aku serius, Bell," ucapku menatap wajah Bella dengan bersungguh-sungguh.Bella terlihat mulai percaya. Ia menatapku lekat dengan pandangan yang sulit untuk diartikan."Dengan siapa?" Tanyanya terdengar begitu lirih.Kuhirup udara sebanyak-banyaknya sebelum menjawab pertanyaan Bella. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa dadaku begitu sesak."Dengan wanita pilihan Ibu."Praaang!!Bella langsung membanting vas bunga yang berada di meja begitu mendengar jawabanku. Ia bahkan langsung berdiri dari duduknya dengan menatapku nanar. Terlihat air mata sudah menumpuk di sudut-sudut matanya."Ibu lagi, Ibu lagi! Kenapa sih, Mas, hidup kamu harus terus diatur oleh Ibu?" Protes Bella sembari terisak.Aku ikut bangkit, dan merengkuh Bella dalam pelukan agar ia sedikit tenang. Baru kali ini aku melihat Bella mengamuk begitu. Namun, wajar saja ... Mungkin ia begitu kecewa dengan keputusan yang kuambil.
Hanya dalam sekejap saja, makanan Ibu dan Rasti langsung tandas. Bahkan mereka tak ada basa-basi sama sekali untuk menawariku."Kami udah selesai, Mar. Ayo pergi!" Ajak Ibu lalu bersiap-siap hendak meninggalkan kursinya. Ia bahkan langsung memanggil pelayan untuk meminta tagihan."Bu, tunggu dulu." Aku berusaha menahan Ibu untuk duduk kembali."Kenapa?" Ibu menatapku heran."Bu, sepertinya uangku tak cukup untuk membayar semua makanan ini," ucapku setengah berbisik. Namun, Rasti juga sudah pasti bisa mendengar karena jarak kami dekat.Terlihat wajah Ibu langsung memucat begitu mendengar perkataanku."Kamu yang benar, Damar?" Ibu melotot ke arahku."Iya, Bu. Makanya tadi aku kurang setuju waktu Ibu ajak ke sini," terangku tak berdaya.Ibu berdecak kesal. Namun ia tetap membuka tasnya dan mengambil dompet. Dalam hati aku benar-benar berharap uang Ibu cukup untuk membayar tagihan makanan ini."Ibu cuma ada ini," ujar Ibu seraya mengulurkan selembar uang merah.Aku hanya bisa meringis, se