Share

Maaf yang tetlambat

Penulis: Purwa ningsih
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-07 09:54:07

Damar terpuruk di dalam hampa, ia masih merasakan mata Arum yang penuh dengan pelangi, namun mobilnya berhenti di depan rumah Hani. Hani begitu bahagia dan membuka pintu, setelah berhari-hari Damar tidak pernah mengunjunginya lagi. Rasa rindu yang membuncah membuat Hani kegirangan. Namun tidak dengan Damar pikirannya kosong hatinya begitu berat.

"Hay ... sibuk, Mas sampai angkat telepon ku saja enggak mau." Hani mendengus kesal sambil bergelagut manja di lengan Damar.

Terdengar Danar menarik nafas beratnya. "Maaf.... "

"Ayo masuk, Mas," pinta Hani menarik tangan Damar.

Damar mengikuti Hani, meskipun hatinya tak ingin. Entah kenapa mobilnya berhenti tadi depan halaman rumah Hani. Apa wanita ini akan seperti Arum yang begitu baik juga penurut? Entahlah ... yang Damar tahu jika Arum belum tergantikan hingga detik ini.

"Minumlah kopinya masih hangat,"

Damar tersenyum kecut. "Iya."

"Lama lo Mas enggak kesini, Hani sampai rindu," goda Hani pada lelaki itu.

"Iya, sibuk di kantor banyak pekerjaan."

"Bagaimana, istrimu masih bertahan? Apa kamu masih betah dengan sikap kampungannya?" tanya Hani membuat wajah Damar berubah jadi memerah menahan amarah yang kian meledak dalam dirinya.

"Apa maksud kamu, Hani?" tanya balik Damar.

Damar naik pitam. Badan dan otak yang lelah membuat egonya kaki ini mendidih di atas kepala. Ia tak ingin lagi mendengar kejelekan Arum dibahas di sini. Karena hanya ada sosoknya yang pantas mendampinginya.

"Ya kan, biasanya kamu yang suka cerita kalau istrimu bla ... bla ... bla. Aneh kenapa jadi begini kamu, Mas?"

Damar terdiam

"Mas ... jangan pergi," rengek Hani.

"Sudah." Damar menaikkan tangannya ke atas pertanda menyerah dan pergi.

Damar mendengus kesal, ia bangkit dan meninggalkan Hani dengan segudang kekecewaan. Hani pun merasa jika kelakuan Damar tidak wajar, apa sebenarnya yang terjadi? Hani berdiri dan berteriak menjatuhkan semua benda yang ada di depannya berhamburan ke lantai.

"Aghh ... awas kau, Mas Damar. Kau harus membayar semuanya." Lirih Hani emosi.

*

Damar mengira telah menang, menyelamatkan harga dirinya sebagai pemimpin rumah tangga dan menalak istrinya. yang nyatanya punya kedudukan tinggi dihatinya. Nyatanya, Damar telah kalah. Harusnya mulutnya tetap bungkam seperti biasanya, apalagi ia tahu emosinya kalau itu belum stabil. Terpancing oleh kakaknya. Sembarangan mengucapkan kata talak itu.

Berkali-kali Damar membanting stir, merasai jiwanya sedang terluka. Kemana lagi ia harus mencari istrinya. Damar kian tersudut dan bingung apa langkah yang harus ia tempuh? Hani semakin tidak terkendali sementara Arum hilang entah kemana?

"Kau keterlaluan." Damar membanting semua barang di atas meja kala itu.

"Bukankah itu yang kau mau? Punya kekasih. Itu sudah kau dapatkan bukan."

Sesak di relung hati Damar.

"Kau egois, Arum, lihatlah dirimu."

"Ya, karena aku wanita kampungan kan."

Damar terdiam, tenggorokannya seakan tercekat kering. Keringat dingin itu menyergapnya dari segala penjuru, membuat Damar menggigil tanpa sebab.

Arum menatapnya sekilas, menunduk lalu berjalan keluar. Dengan air mata yang berderai.

Degup jantung Damar lebih cepat serasa habis lari puluhan meter, ia tidak menyangka jika hatinya sesakit ini. Kejadian waktu itu membuat Damar benar-benar begitu kalut. Pekerjaannya semua berantakan, yang ada dipikirannya hanya Arum. Sungguh pria itu bisa gila rasanya memikirkan semua itu.

Teringat perjuangan mereka melawan Sang kakak Elang hingga akhirnya direstui. Hanya bermodalkan nekat. Karena keluarga Elang orang yang begitu berbahaya. Yang tak begitu merestui hubungannya. Kenangan-kenangan itu membuat Damar down. Bahkan sering kali Damar pulang larut malam. meninggalkan Arum istrinya hanya sendiri di rumah demi menemani Hani.

Mungkin insting wanita itu tajam, memang benar adanya, buktinya Arum bisa tau hubungannya dengan Hani yang selama ini Damar sembunyikan. Semua kejadian dulu seakan berputar-putar dan menari di otak Damar, luka batin yang Damar torehkan, ternyata begitu dalam.

"Maafkan aku, Rum. Dosaku terlalu banyak sama kamu. Pantas kamu begitu marah dan menghilang seperti ini." Gumamnya.

Konsentrasi kerjanya buyar, ia sangat frustasi memikirkan ini semua.

*

Wanita itu melangkah memasuki ruang kerjanya. Dan duduk sesaat ia tersenyum menatap setumpuk pekerjaannya. Arum mengangkat sambungan telepon, sementara dari sebrang sana suara laki-laki galak sedang berbicara.

[Kerjakan tugasmu, makan siang harus selesai]

Arum mendengus kesal. [baik Pak.]

Ia mengerjakan tugasnya, begitu sulit apalagi ia lama tak memainkan komputer, mata Arum tampak menelisik area yang sangat berantakan di sekitar mejanya.

"Sudah selesai, Rum?" tanya atasannya.

"Maaf sedikit lagi Bu," jawab Arum kaget sambil merapikan kerjaannya.

"Bisa, 'kan?"

Arum mengangguk.

"Selesai, filenya antar keruangan Bos ya? Ruangan paling ujung?" tunjuk Bu Ana, ruangan itu.

"Baik, Bu."

Tak butuh waktu lama, Arum pun bisa mengerjakan dan selesai tepat waktu. Ia berjalan mendekati ruangan yang berada diujung jalan. Ruangan besar dengan pintu kaca tembus pandang, terlihat ruang tamu juga ada, semuanya komplit memang ya, ruangan bos sangat nyaman juga bersih.

Namun terlihat sepi, hanya ada sekertarisnya di luar. Dengan petunjuk wanita bertubuh sintal itu, Arum masuk keruangan sang big bos.

Hari ini, akhirnya Arum bertemu lagi dengan pria yang kemarin ia injak kakinya dengan keras. Sesaat Arum menunduk dan tangannya gemetar melihat lelaki itu lagi, dan rupanya dia adalah bos di perusahaan itu. Tubuhnya tinggi, wajah tampan juga badan yang kekar.

Sesaat tubuh Arum beku tak berani menatap pria itu dan hanya diam.

"Namamu Arumi Syahila?" tanyanya membuka percakapan.

Arum menunduk. "Ya."

"Bawa kesini laporannya?"

Arum menghela napas panjang mendengar jawabannya yang sangat singkat, padat, dan jelas itu.

"Besok kau temani aku meeting."

"Oh. Saya Pak?"

"Iya siapa lagi."

"Apa saya tidak lagi bermimpi?" tanya Arum bingung.

"Ya, kau kan calon istriku."

Arum seketika terdiam. Ingin rasanya ia pergi. Kelakuan pria ini membuat Arum tidak bisa bergerak.

"Sudah jangan cemberut saja, hidupmu itu terlalu dramatis. Santai saja."

Jika bukan bosnya mungkin Arum akan, bicara namun, ia sudah nyaman kerja disini. Biarlah toh Arum juga bisa dibuat tertawa sama bos tengil ini.

"Baik Pak, permisi."

*

Pria itu mengemudi dengan wajah yang berbinar. Pikiran aneh Arum mulai berkeliaran di otaknya. Sesekali pandangannya terarah pada luar jendela mobil sang bos. Tak seperti yang terlihat, ternyata beliau sosok yang tegas juga bukan tipe pria yang cengengesan.

Hening ... hanya terdengan suara deru mesin.

"Panggilan kamu?" tanya Levin memecah suasana hening.

"Arum, bisa juga Rum," jawab Arum singkat.

"O ... aku harap kau membantuku saat meeting nanti."

Arum menarik nafas panjang. "Bapak yakin, memilih saya."

Levin tersenyum. "Yakin malah."

Bukan Levin namanya, jika ia tak mencari tahu seluk beluk tentang masa lalu Arum, dengan mudah identitas Arum dalam genggaman Pria itu. Mobil berbelok ke arah lokasi meeting, Arum terlihat begitu grogi tangannya dingin. Namun ia harus bisa.

Semua sudah menuggu tinggal kedatangan Levin, la lalu menarikkan kursi untuk Arum dan acara dimulai. Namun ada sepasang mata yang melotot memperhatikan Arum dari jauh. Damar berada disitu namun, Arum tak mengetahuinya karena posisinya agak jauh.

Arum mengerti apa yang diperintahkan oleh Levin, dengan tenang ia melukis permintaan dari sang klien. Mata Damar memanas menahan sesak yang menghimpit dadanya. Kenapa Arum bersama pemilik perusahaan itu apa mereka ada hubungan?

Wajah merah merona, amarah kian terlihat Damar begitu cemburu, melihat Arum sesekali tersenyum ke arah pria itu. Meeting selesai dan tander dimenangkan oleh Levin, wajah kecewa terlihat dari Damar.

"Selamat Pak Levin, anda memenangkannya."

"Terima kasih, Pak."

Mereka keluar ruangan dan Levin masih dipanggil oleh rekan bisnisnya. Sementara Arum menunggu di Koridor depan. Sambil jemari memainkan ponselnya.

"Kamu bahagia?" tanya Damar membuat Arum terkejut.

Arum bergeming. Hening kembali terdiam beberapa menit. Tak ada kata, hanya dua pasang manik mata yang saling terjerat.

"Ya, tentu saja." Akhirnya jawaban itu lolos dari bibir tipis Arum.

Sungguh Damar ingin sekali memeluk tubuh Arum meski hanya sesaat karena rindunya. Arum berusaha bangkit kemudian beranjak ingin meninggalkan Damar. Damar bergerak secepat, mencekal lengannya.

"Plis ... jangan pergi? Kau masih mencintaiku kan?" tanya Damar memohon.

"Kenapa bertanya seperti itu?" Arum tampak kesal. "Bukankah semua sudah selesai." Wanita itu berusaha tersenyum.

"Beri aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita."

"Apa?"

"Pukul aku ... jika aku salah Rum ... pukul."

Damar menarik tangan Arum dan memukulkan kepipinya.

Arum menggeleng dan menagis hingga tak tahan lagi. "Maaf ... aku harus pergi."

"Kumohon, Rum, mengertilah ... aku minta maaf."

"Buat apa? Bukankah aku hanya wanita yang tak bisa memberimu keturunan?"

"Aku tak peduli Rum, asal kau mau kembali lagi."

Arum merasa malas, suaminya benar-benar membuatnya sakit hati.

"Ada apa ini, kenapa kau membuat calon istriku menangis?"

Bab terkait

  • Saat Istri Memilih Pergi   Tak bisa meluapakan

    Levin yang baru kembali dari lantai bawah sangat marah ketika ia menemukan Arum menangis bersama seorang pria. Levin begitu kesal memasang rahang mengeras melihat tingkah Pria itu, yang begitu ambisi menemui Arum. "Siapa pria itu!" Lirih Levin menarik tangan Arum berada di belakang tubuhnya. "Apa yang kau lakukan? Ayo pergi." Teriak Levin."Siapa kau?" Damar menoleh kesal ke arah Arum. "Ayolah, jangan ganggu kami.""Apa kau tidak waras, lihat Arum menangis karenamu.""Dia mantan suamiku, Pak" tangis Arum pecah. Tentu saja perkataan Arum sontak membuat Levin kebingungan pada awalnya, akan tetapi setelah tahu ia berusaha membela Arum. "Rum, aku mohon." Damar berusaha agar Arum memberinya kesempatan bicara. "Lelaki gila, meninggalkan masih saja mengikutimu Rum. Apa dia tak punya etika juga enggak pernah belajar.""Saya tahu, dan silahkan nikahi Arum setelah itu akan aku rebut kembali Arum dari tanganmu.""Hah, kau pikir aku seorang muhalil hah, haha... Jika aku menikahi Arum tidak a

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-07
  • Saat Istri Memilih Pergi   Di unung Senja

    "Bi...!"Arum menghela napas barat, lalu menatap wajah Bibinya, terlihat jelas wajah Arum yang begitu pucat. "Kenapa Nak, ceritakan biar kau lega."Sesaat Arum merasa seperti ada yang hilang. Entahlah begitu berat jika ia harus berpisah dengan Damar, tak bisa dipungkiri mereka sudah lama hidup bersama. Tak mudah bagi Arum melupakannya begitu saja. "Ayo, ceritakan pada Bibi," ucap Bibi Fatma menenangkan Arum yang begitu sedih. Wanita cantik itu mengangguk. "Entahlah, Bi, Rum begitu sakit. Arum rindu, Mas Elang."Wanita paruh baya itu mengusap rambut Arum dengan pelan. "Kau merindukannya?""Iya Bi, biasanya jika Rum sedih, mas Elang selalu ada," jelas Arum yang begitu merindukan kakaknya. "Sabarlah, pasti nanti bisa ketemu lagi.""Apa, mas Elang enggak sayang sama Arum Bi?" tanya Arum dengan pelupuk mata yang sudah digenangi air mata. "Jangan bilang begitu, dia begitu sayang kan sama kamu hingga dia pergi menjauh." Perkataan sang Bibi membuat Arum curiga. "Maksudnya apa Bi, karena

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-29
  • Saat Istri Memilih Pergi   Ke rumah sakit

    Levin mengangkat tubuh Arum yang masih tak sadarkan diri. Rasa panik menghantuinya, entah, sepertinya ia sudah mengenal Arum begitu lama wanita ini. Jika terjadi sesuatu padanya apa yang harus dilakukan. "Maaf permisi keluarga dari pasien yang mana?" tanya salah satu perawat. "Sebentar lagi sus," jawab Lestari cemas karena ia sudah menghubungi Bibinya Arum yang masih dalam perjalanan. "Aduh ... pasien harus segera ditangani pendarahannya cukup banyak.""Apa yang dibutuhkan, Sus, saya kakak dari pasien." Bohong Levin pada sang suster. "Baiklah, ikut saya, Bapak harus tanda tangan, segera akan dilakukan kuret karena janinnya tak bisa terselematkan." Jelas sang suster pada Levin. "Apa... jadi dia hamil, sus?" tanya penasaran Lestari. "Iya, Mbak. Mari ikut saya,Pak."Jantung Levin naik turun, ia gemeteran wanita itu begitu menderita. Bagaimana bisa lelaki itu menyakiti wanita sebaik Arum. Ia segera menandatanganinya karena ia tidak ingin melihat Arum kehilangan nyawa dan tak bisa se

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-29
  • Saat Istri Memilih Pergi   Kehilangan sang buah hati

    Damar berlari saat mengetahui jika Arum pun dirawat di tempat yang sama. Saat ia menjenguk Ibunya, ia melihat Bibi Fatma membelikan bubur untuk Arum. Dan saat Damar mengikuti ternyata benar Arum yang sakit. Rasa penasaran Damar kian tersulut, sakit apa sebenarnya Arum? "Pak Levin, ada apa dengan Arum?" tanya Damar sambil berusaha mengatur nafasnya yang habis berlari. Levin memanas, rahangnya mengeras, selama ini dia memang mengenal banyak gadis namun saat melihat air mata Arum hatinya begitu terluka, seolah diri nya ikut merasakan sakit yang Arum rasakan. "Pak, Aku mohon, beritahu ada apa dengan Arum?" tanyanya lagi sambil memohon. Levin tak bisa mengendalikan emosinya. Tangannya mengepal sejurus kemudian melayang menghantam ke wajah Damar dengan sangat keras. "Bughh...."Darah segar mengalir dari sudut bibir Damar. "Aghh, ada apa ini pak Levin.""Coba kau tidak melukainya, Mungkin kandungannya akan baik-baik saja. Lihatlah karena dia stres janinnya tidak bisa berkembang. Suami

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-29
  • Saat Istri Memilih Pergi   Penyesalan

    "Dia yang memberikan aku talak tiga. Hani, demi kekasihnya yang beberapa tahun akhir-akhir ini muncul di hidupnya." Tukas Arum menceritakan semua pada sahabatnya itu.Terlihat Hani begitu syok. Ia tak tahu jika Damar kekasihnya adalah suami sahabatnya terbaiknya Arum. "Oh. Su ... suami kamu, Rum?" tanya Hani tak percaya. Arum masih mengusap sudut matanya yang basah, dan mengangguk. "Iya.""Demi Tuhan, aku minta maaf, Rum." Lagi-lagi Damar memohon"Maksud Mas Damar?" tanya Arum tidak mengerti. Arum telah sadar, apakah wanita itu Hani? Ya, dia ingat betul vidio yang diberikan oleh Lestari. Wajahnya seperti tidak asing saat itu. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibir wanita itu seakan kelu. "Katakan sesuatu, Mas Damar? dan kamu Hani plis? Apa kalian ada hubungan?" tanya Arum lagi kepada keduanya. Damar masih diam layaknya patung. Hanya bibirnya yang kemudian bergetar, menahan sesak yang merelungi hatinya. "Rum, maaf....""Aku lelah, benar-benar tak percaya, Mas, jadi Hani saha

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-29
  • Saat Istri Memilih Pergi   Anak kecil itu

    Sementara hari berganti hari, dan bulan berganti bulan. Arum sedang diapotik membeli obat pesanan Bibi Fatma, ia mengantre setelah namanya dipanggil ia kedepan dan menebus obatnya. Selesai ia berjalan menunggu taksi lewat, kebetulan hari ini ia tidak membawa kendaraan. Arum berjalan mendekati jalan utama dan duduk sambil menunggu, sesaat ia melihat ada gadis kecil mau berlari kearah jalan raya. Sementara ada mobil yang berjalan cepat kearahnya. Arum kaget dan langsung berlari menarik tangan gadis kecil itu, hingga ia tersungkur jatuh di tepi jalanan. "Aghh.... " Teriak Arum kesakitan tangannya berdarah. "Maaf, Tante tidak apa-apa?" tanya gadis kecil itu. "Iya, Tante baik-baik saja Nak.""Aduh maaf ya mbak, terima kasih banyak ya, sudah menolong non Naura. Jika tidak ada mbak. Mugkin Bibi bisa dipecat.""Sama-sama Bi. Lain kali jagainnya hati-hati ya.""Baik Mbak."Selang beberapa menit Levin datang menghampiri, dan meraih tangannya berusaha membangunkan Arum. "Ada-ada saja kamu in

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-29
  • Saat Istri Memilih Pergi   Lelah

    Levin membersihkan luka di siku tangan Arum dengan pelan dan telaten, luka itu terus ditiup bersamaan dengan kapas yang terus meratakan Betadine. Hingga perih dirasakan Arum sambil menggigit bibir bawahnya, namun saat ini luka yang sedang diobati masih sakit luka hatinya. Bibi Fatma memberikan kotak dan gunting, dan kotak P3K yang diberikan pada Levin. Setelah selesai membersihkan kuka Aum. Terakhir, Levin menempelkan kain kasa ke luka tangan Arum. "Nah, sudah selesai. Ingat Rum, membantu boleh asal nyawa kamu juga harus dipikirkan," ucap Levin seraya memotong gulungan plester perekat dengan gunting.Arum trenyuh. Bos galaknya bisa bicara sebijak ini. Bibi Fatma datang membawa dua gelas jus jeruk, untuk Arum juga Levin. "Memangnya kenapa nak? Kenapa bisa lukanya dalam begitu?" tanya Bibi Fatma cemas. "Sok jadi pahlwan sih Bi, masa nolongin anak kecil yang mau tertabrak mobil, ya jadinya gini dia sendiri kan, yang kena musibah." Adu Levi pada sang Bibi. "Sudahlah pak Levin, janga

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-08
  • Saat Istri Memilih Pergi   Sakit sekali

    "Tari, ko pengen makan baso ya. Kita beli di ujung jalan itu yuk, kayaknya enak deh. Rame terus soalnya." Ajak Arum pada sahabatnya. "Aku juga lapar sih, tadi siang kan kita cuma makan roti saja," jawan Tari cemberut."Sudah aku yang traktir deh, kayaknya lagi bokek kan'?"Tari tersenyum malu. "Kok tahu sih, habisnya banyak pengeluaran bulan ini Rum.""Ya ayo, kita makan."Saat mereka mau berangkat Levin datang menghalagi. "Maaf ya Rum, ga bisa nganterin kamu ada meeting soalnya."Arum mengangguk. "Siap pak. Gapapa kok.""Salam buat Bibi ya!"Arum tersenyum. "Iya pak."Mereka sudah sampai di depan warung baso yang sangat ramai. Banyak pengunjung, Arum pengen mampir kesini namun baru kali ini sempat mampir. Dua porsi baso jumbo dipesan Arum juga Tari. Pramusaji datang mengantarkannya. Mereka berdua sedang asyik memanjakan lidah mereka dengan rasa baso yang sangat lezat juga punya ciri khas. Kuahnya sangat kental dilidah. Tak jauh dari kursi yang diduduki Arum dan Lestari ada sepasang

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-08

Bab terbaru

  • Saat Istri Memilih Pergi   Indah pada akhirnya End

    Cakrawala memancarkan warna, dan tiba-tiba matahari muncul berada diantara percakapan Erlan dan Reni. Sejenak Erlan bernafas lega melihat wajah gadis itu, lalu menunduk lagi tangannya mencekeram kuat ujung kursi roda yang ia duduki. Seolah harinya begitu ragu akan ketulusan hati Reni. "Karena wanita itu, yang bernama Kamila, kau jadi kecelakaan, Pak?"Reni mendecih, sedangkan Erlan tidak melakukan tindakan apapun. Tidak mengiyakan tidak pula menentang. Merasa ucapan Reni tepat dia mengujar lagi, pertanyaan yang diluar dugaan. "Sudah kubilang, tidak karena siapa-siapa. Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudahlah.""Bisa-bisanya kau menghilang dariku, Pak. Terus mengapa jadi begini? Kenapa jadi lumpuh dikursi roda, Pak?"Erlan meremas rambutnya dengan kasar. Agar Reni mau menghentikan ocehannya. Ia begitu kesal oleh sikap Reni yang tidak menghargainya. "Sudahlah Ren, bukan urusanmu."Reni tersenyum jahat. "Maksudku aku akan menikah lagi. Pak"Kali ini Erlan membulatkan matanya, bahk

  • Saat Istri Memilih Pergi   menuju bahagia

    "Mas, kenapa tak memberi tahu Mbak Reni, padahal dia sudah kesini beberapa kali mencari, Mas."Erlan terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Kenapa Dimas tiba-tiba bertanya itu?"Apa aku pantas untuk sekedar dicintai, bahkan untuk berjalan saja aku tak bisa, Dim."Dimas mengehela nafas berat. " Ga boleh putus asa begitu, Mas. Bukankah dokter Reyga juga memberi tahu bahwa untuk kesembuhan, Mas sangatlah besar."Erlan menatap jendela dari balik kamarnya. "Entahlah Dimas, aku merindukan Alifa."Dimas tersenyum, sejak kapan kakaknya ini berubah baik. Bahkan ia tahu jika sang kakak selama ini tak pernah peduli dengan Alifa sang keponakan. "Iya, kapan-kapan kita ke sana ya.""Tidak, Dimas. Aku tak mau membuat Kamila susah dengan hadirku."Dimas tersenyum. "Mas, pikir mbak Kamila orangnya pendendam. Satu hal, Mas. Hati Mbak Kamila itu bagaikan sutra sangat lembut, jadi kayaknya ga ada masalah kalau kita menemui Alifa. Lagian bukankah Alifa adalah masih tanggung jawab Mas Erla

  • Saat Istri Memilih Pergi   mencintaimu

    Ponsel di tangan Dimas hampir terjatuh saat melihat wanita yang tengah melintas di depannya. Dimas sambil mendorong kursi roda sang kakak Erlan. Mudah-mudahan kakaknya tak mengetahuinya. Namun, sepertinya ia tahu jika Kamila berjalan bersama seorang dokter yang tak lain adalah suaminya. Erlan terdiam, seketika ingatannya tertarik jauh ke masa lalu. Ia pikir selama sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan sosok Kamila. Ternyata, Erlan salah dan salah. Ia begitu terluka saat melihat ke arah sang mantan istri yang terlihat begitu cantik. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah ditorehkannya dulu, tetap saja kenangan indah sebelum luka itu ada, kembali hadir. Dengan cepatnya rasa itu muncul menembus batas pertahanan yang selama ini mereka pertahankan. Namun pecah dihantam gelombang perceraian. Memakai pashmina hitam dan masih sama, wajahnya tampak lebih sangat cantik dan begitu dewasa. Berbagai pikiran berkecamuk antara ingin menegur juga tak ingin bertemu dengannya. Untung

  • Saat Istri Memilih Pergi   Bayangan semu

    "Pak, meeting sudah mau dimulai.""Baiklah, ayo."Dengan hitungan langkah Erlan menuju tempat yang telah disediakan oleh Reni. Hati Erlan terasa berkeping-keping melirik Kamila yang tak melepas genggaman suaminya, Erlan terlihat kesal tidak dapat berdusta jika hatinya belum pulih sepenuhnya melupakan Kamila.Angin senja menerbak membelai wajah Erlan,yang menerpa angin berganti dengan semburat kuning di ujung langit. Ia telah selesai meeting hari hampir magrib. Entah mengapa Erlan begitu sibuk hingga tidak sedikitpun melirik jam di pergelangan tangannya. Saat menoleh Kamila dan suaminya telah pergi dari kafe itu. Dan sudah tak terlihat lagi. Kalaupun saat ini dia berkerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sang Ibu. Semenjak kejadian itu Erlan tak pernah pulang ke rumah. Tak sekalipun dia melihat ponsel sejak kejadian itu, untuk sekedar menjawab panggilan dari adiknya. Hal yang tidak pernah absen dilakukan Erlan selama ini, menuruti perintah sang Ibu. Duh, hari ini rasanya rindu d

  • Saat Istri Memilih Pergi   Penyesalan

    Brakk! Erlan membanting pintu rumah Reni. "Pak sabarlah, mungkin Ibu Pak Erlan masih bergabung. Sudahlah jangan marah-marah terus.""Aku malas selalu dipojokkan, Ren.""Iya aku tahu Pak. Sabar ya." Reni menenangkan Erlan. Erlan berjalan ke arah kamar, sedangkan Reni ke dapur membuat kopi. Terdengar suara barang jatuh cukup keras dari arah kamar, disusul suara dentingan beberapa alat yang berjatuhan, membuat Reni terkejut."Pak ...!"Reni memanggilnya, namun, tak ada jawaban, seketika kamar terasa hening membuat perasaan Reni mulai tidak enak.Khawatir terjadi sesuatu pada Erlan, Reni berjalan cepat kearah kamar, tampak tubuh Erlan yang tersungkur dilantai, dengan mata tertutup."Ya Tuhan, Pak Erlan!"Reni menghampirinya, langsung meraih kepalanya dan meletakkannya di atas pangkuan, Reni berusaha tenang ia tahu jika Erlan lagi banyak masalah. Meskipun hati sangat cemas. "Pak! Ayo ke ranjang." Panggilnya pelan.Ia hanya mengangguk. "Kau sakit, Pak?" tanya Reni lagiErlan memegang ke

  • Saat Istri Memilih Pergi   Kesalahan

    Erlan berjalan melewati jalanan yang sudah sangat ia hapal tiap kelokannya. Beberapa motor melintas mendahului mobil Erlan di sepanjang jalan ia hanya terpaku tak percaya oleh Kamila dan Alifa bersama lelaki itu yang baru sama terlihat sari pandangannya. Perasaannya yang semakin hancur tatakala menginggat semua kejadian saat pernikahaannya dengan wanita yang sangat ia sayangi yang kini sudah hancur. Entah apa yang terjadi dengannya saat ini, Erlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cepat. Mobil berjalan di depan rumah Kamila. Seperti dulu, saat masih kecil, Erlan mencuri waktu untuk bertemu Kamila. Dulu, Ayah Kamila sering terlihat marah karena Erlan menemuinya. Sekarang semuanya sudah berbeda, Ayah Kamila telah pergi, dan saat sang Ibu sudah memberi kebebasan, namun Erlan menghianatinya dan beliau mungkin sudah tidak berdaya. Lucunya, tak pernah sekalipun Erlan meminta maaf pada wanita yang sangat ia sayangi itu. Ah, Erlan mendengus kesal sambil membanting setir mobilnya, kadan

  • Saat Istri Memilih Pergi   Mencintaimu

    Malam semakin larut, sunyi sepi setelah anak-anak tertidur, Kamila langsung menuju kamar. Reyga sudah menunggu di dalam kamar."Sayang, sudah tidur jangan kecapekan," pinta Reyga pada Kamila untuk beristirahat."Iya Mas, aku baru saja nemenin anak-anak tidur," jawabnya ikut duduk di samping sang suami. "Oh, Mama sudah tidur?""Sudah, Mas." "Sayang terima kasih ya sudah mau menjadi ibu untuk anak-anakku," ucapnya pada Kamila. Kamila saat ini berada pada dada bidang Reyga. Ia menikmati wangi tubuh sang suami, entah akhir-akhir ini Kamila lebih suka berada di bawah ketiak sang suami. Kamila menarik tangan Reyga lalu meletakkan telapak tangan di atas perutnya."Mama sepertinya betah disini, sayang." Kamila mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang suami. Reyga mengusap pelan perut yang mulai membuncit. Menikmati keanehan yang terasa di dalam perut Kamila saat tangan Reyga berada di sana."Alhamdulillah, itu yang Kamila harapkan, Mas."Reyga mengangguk. "Mungkin, ini aka

  • Saat Istri Memilih Pergi   Arum melahirkan

    Angga berteriak, Elang dan Bu Fatma panik. Elangengbil akih Arum dan menggendongnya ke dalam mobil sedangkan Angga berlari menyetir mobil. Dan mobil meninggalkan rumah milik. arum Dan Elang."Ya Allah, Arum! bangun, Nak! jangan tidur buka matamu, Rum!" Bu Ftama begitu cemas. Elang menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. "Mama Arum, ga apa-apa kan, Bu?" tanya Elang.Bu Fatma tak sanggup menjawab, hanya mampu memeluk kepala putrinya itu dengan erat. "Arum, kenapa, Elang?" tanya Angga dari depan."Tadi juga ga papa kok, Mas Angga," jawab Elang ketakutan dengan suara bergetar."Ya Allah ... sabar dikit lagi kita sampai. Bismillah ... mudahkan ya Allah ...." Angga terus memacu mobilnya menembus jalanan kota yang ramai. Motor-motor didepan masih terus merangsek membelah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang padat. Lalu lintas ibu kota yang tau sendirilah padatnya seperti apa.Bu Fatma terus berdzikir benar-benar berada dalam titik pasrah kepada Allah. Pengharapan tertinggi saat ini hanya mem

  • Saat Istri Memilih Pergi   Berlibur

    "Bangun, Mila. Sudah aku masakan air hangat untukmu."Kamila masih menggeliat dan mengucek matanya yang masih terpejam. "Harusnya ga usah repot masakin air segala, Rey," tukas Kamila. "Ya sekali-kali ga papa kan, kan selama ini kamu yang mengurusku. Apa mau aku gendong?"Pagi buta Kamila mendengar gombalan romantis dari suaminya, tiba-tiba bibir Kamila tersenyum kecut mendengarnya."Ayo sudah keburu dingin air hangatnya.""Iya... iya." Gerutu Kamila malas. Kamila menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar mandi dan bersiap menjadi makmum untuk menjalankan salat Subuh berjamaaah dengan suaminya. Di akhiri dengan doa sebagai penutup, Kamila melipat mukena dan kembali menaruhnya di atas nakas. Ia berjalan ke dekat jendela dan menyibak gorden kamarnya. Saat buka pintu jendela suasana masih gelap. Di langit timur nampak semburat warna jingga menebar dari balik bukit nan jauh di sana. Membuat Kamila tersenyum lalu menatap suaminya yang masih bertilawah. "Kami

DMCA.com Protection Status