Sementara hari berganti hari, dan bulan berganti bulan. Arum sedang diapotik membeli obat pesanan Bibi Fatma, ia mengantre setelah namanya dipanggil ia kedepan dan menebus obatnya. Selesai ia berjalan menunggu taksi lewat, kebetulan hari ini ia tidak membawa kendaraan. Arum berjalan mendekati jalan utama dan duduk sambil menunggu, sesaat ia melihat ada gadis kecil mau berlari kearah jalan raya. Sementara ada mobil yang berjalan cepat kearahnya. Arum kaget dan langsung berlari menarik tangan gadis kecil itu, hingga ia tersungkur jatuh di tepi jalanan. "Aghh.... " Teriak Arum kesakitan tangannya berdarah. "Maaf, Tante tidak apa-apa?" tanya gadis kecil itu. "Iya, Tante baik-baik saja Nak.""Aduh maaf ya mbak, terima kasih banyak ya, sudah menolong non Naura. Jika tidak ada mbak. Mugkin Bibi bisa dipecat.""Sama-sama Bi. Lain kali jagainnya hati-hati ya.""Baik Mbak."Selang beberapa menit Levin datang menghampiri, dan meraih tangannya berusaha membangunkan Arum. "Ada-ada saja kamu in
Levin membersihkan luka di siku tangan Arum dengan pelan dan telaten, luka itu terus ditiup bersamaan dengan kapas yang terus meratakan Betadine. Hingga perih dirasakan Arum sambil menggigit bibir bawahnya, namun saat ini luka yang sedang diobati masih sakit luka hatinya. Bibi Fatma memberikan kotak dan gunting, dan kotak P3K yang diberikan pada Levin. Setelah selesai membersihkan kuka Aum. Terakhir, Levin menempelkan kain kasa ke luka tangan Arum. "Nah, sudah selesai. Ingat Rum, membantu boleh asal nyawa kamu juga harus dipikirkan," ucap Levin seraya memotong gulungan plester perekat dengan gunting.Arum trenyuh. Bos galaknya bisa bicara sebijak ini. Bibi Fatma datang membawa dua gelas jus jeruk, untuk Arum juga Levin. "Memangnya kenapa nak? Kenapa bisa lukanya dalam begitu?" tanya Bibi Fatma cemas. "Sok jadi pahlwan sih Bi, masa nolongin anak kecil yang mau tertabrak mobil, ya jadinya gini dia sendiri kan, yang kena musibah." Adu Levi pada sang Bibi. "Sudahlah pak Levin, janga
"Tari, ko pengen makan baso ya. Kita beli di ujung jalan itu yuk, kayaknya enak deh. Rame terus soalnya." Ajak Arum pada sahabatnya. "Aku juga lapar sih, tadi siang kan kita cuma makan roti saja," jawan Tari cemberut."Sudah aku yang traktir deh, kayaknya lagi bokek kan'?"Tari tersenyum malu. "Kok tahu sih, habisnya banyak pengeluaran bulan ini Rum.""Ya ayo, kita makan."Saat mereka mau berangkat Levin datang menghalagi. "Maaf ya Rum, ga bisa nganterin kamu ada meeting soalnya."Arum mengangguk. "Siap pak. Gapapa kok.""Salam buat Bibi ya!"Arum tersenyum. "Iya pak."Mereka sudah sampai di depan warung baso yang sangat ramai. Banyak pengunjung, Arum pengen mampir kesini namun baru kali ini sempat mampir. Dua porsi baso jumbo dipesan Arum juga Tari. Pramusaji datang mengantarkannya. Mereka berdua sedang asyik memanjakan lidah mereka dengan rasa baso yang sangat lezat juga punya ciri khas. Kuahnya sangat kental dilidah. Tak jauh dari kursi yang diduduki Arum dan Lestari ada sepasang
"Rum...?" panggil Elang lagi."Apa masih ada, yang kamu sembunyikan, Mas?" tanya Arum penasaran. Elang menarik nafas pelan, ia tahu jika wanita ini sedang terluka. Apa gunanya menutupi rahasia, toh akhirnya Arum akan tahu juga. "Iya, Bibi Fatma adalah Ibu kandungmu."Tangisan itu makin deras, Arum begitu syok mendengar perkataan Elang. Arum menggeleng kasar. "Tidak ... kau bohong, Mas," elak Arum. Elang memberikan sebuah foto usang yang ada di tangannya, Arum pandang kembali dengan perasaan entah. Hanya selembar foto lecek itulah satu-satunya kenangan yang dilihatnya sekarang dengan sang Bibi bersama dirinya. Akan tetapi, gambar itu sudah tidak mampu lagi menghapuskan kesedihannya. Kenapa banyak kebohongan dalam hidupnya. Rasa rindu yang semakin lama semakin mengimpit dadanya, sehingga menjadi gumpalan sesak yang tak tertahankan. Membayangkan lelaki yang sangat ia kagumi ternyata bukan siapa-siapanya. Seolah dunia Arum telah runtuh. Ini lebih menyakitkan dari ditalak Damar. "Rum,
"Aku minta maaf Rum, karena pergi menjauh darimu. Tapi bukan maksud aku menyakitimu."Elang merasakan jika tangan Arum begitu dingin. Ia terus menggosok dengan tangannya agar tubuh Arum kembali mengahangat. Namun, tangan Elang gemetar. Matanya berkaca-kaca. Rasa haru menyelimuti hatinya yang kian terkikis oleh rindu."Kenapa kamu tega mas, sama Arum?" tanyanya sambil terisak. "Maaf Rum.""Kasih tahu alasan Ibu, Eh Bibi Fatma menitipkan aku ke Ibu Ningsih mas." Arum berusaha bangkit dari tidurnya dan duduk bersandar di ranjang. Elang mengelap pipi Arum yang basah, sungguh perhatian Elang dari dulu selalu membuat hati Arum melambung tinggi ke angkasa, seolah dialah wanita yang paling bahagia saat berada di dekat kakaknya ini. "Bibi Arum melakukan yang terbaik Rum, beliau inginkan kau selamat dari keluarga papamu kala itu.""Oh.""Percayalah tidak ada seorang Ibu yang tega terhadap putrinya. Bukankah Bibi selalu baik padamu dari kecil." Elang mengusap rambut Arum dan menenagkannya. A
Fajar kuning sudah nampak di ufuk timur, Arum masih dalam posisi kepala sedikit berat, ia beringsut dan mengendap-endap. Ia berusaha keluar dari rumah besar itu. Berharap ingin pergi dari rumah ini secepatnya. "Kenapa ngendap-ngendap di situ, Rum?" tanya Elang, membuat Arum malu dan berhenti. Arum hanya mengangguk. "Arum mau pulang," jawab Arum tanpa menoleh ke belakang. "Apa kau tidak nyaman, berada di sini?"Elang menepuk pelan bahu Arum. "Ya, aku tahu ini semua enggak mudah untukmu, Rum. Posisi kamu sulit aku mengerti itu.""Arum masih belum siap, menghadapi ini semua.""Semua terserah padamu, Rum. Tapi satu hal yang harus kamu ingat. Jangan pernah berbuat bodoh lagi."Kalimat itu membuat Arum terdiam. Karena ia khilaf, ia sampai mau melompat dari jembatan. Beberapa lama mereka terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Arum dengan hati yang gundah dan Elang dengan hati yang tertekan. "Emm, hari ini Arum harus kerja pagi," jawab Arum cemas. "Sudah, nanti aku antar ya." Ucapn
Arum berjalan mendekati Levin dan Bibi Fatma yang masih duduk di ruang tunggu. Bibi Fatma tersenyum. "Bagaimana, Rum?" tanya Bibi cemas. "Emm, ditunda bulan depan, Bi," ucap Arum sedih. Sang bibi tahu jika Arum begitu terluka, suaminya memang benar-benar tak tahu malu."Ikuti prosedurnya, sabarlah, Rum.""Tapi, Bi ....""Sudah biar diurus sama, Pak pengacara ya."Sesaat Arum menatap mata teduh Bibinya yang ternyata adalah Ibu kandungnya, begitu baik. Dalam keadaan apapun sang Bibi tidak pernah mengedepankan egonya ia berfikir begitu tenang dan juga santai. Selalu ada buat Arum, ia merasa berdosa jika marah kepada orang yang telah berjuang mempertaruhkan nyawa saat melahirkannya. "Iya, Bi."Arum terdiam, apa ia harus kecewa? Haruskah ia berontak, tidak. Dengan pelan Arum memeluk tubuh Bibinya dengan haru. Sang Bibi mengelus rambutanya. Beliau menangis tak mampu mengutarakan kebenarannya kepada Arum. Karena Bibi Fatma tahu jika Arum masih terluka. "Arum.... " panggil Damar. Arum m
Senja sudah mulai menguning, pertanda hari sudah mulai petang. Arum mencoba membuat pisang goreng keju cokelat, dibantu Bibi Fatma, tangan Arum mengaduk pisang dalam pengorengan. Sesaat Levin datang, Arum tengah serius menuangkan adonan ke dalam penggorengan. setelah matang dia angkat dan ditaruh ke sebuah piring. Keadaan Arum sudah membaik, begitu pula dengan tangan kirinya yang kini sudah bisa digunakan walaupun masih agak kaku karena selama ini terbalut perban. "Rum, sibuk." Suara panggilan Levin tidak membuat Arum berhenti mengoles pisang dengan keju juga susu cokelat. "Rum," panggil Levin, lagi."Apa, Pak?" Arum menatap Levin dan tersenyum."Sudah dulu, nanti capek.""Iya, nanti. Tanggung, tinggal satu gorengan lagi." Levin menarik napas dengan kasar, ia tidak mau Arum sakit lagi, Arum dikagetkan oleh sebuah tangan besar di tangannya. "Istirahat dulu," sapa Levin berada di belakangnya. "Sebentar lagi pak? Ini cicipin dulu enak ga? " tanya Arum, sambil berbalik dan kini berh
Cakrawala memancarkan warna, dan tiba-tiba matahari muncul berada diantara percakapan Erlan dan Reni. Sejenak Erlan bernafas lega melihat wajah gadis itu, lalu menunduk lagi tangannya mencekeram kuat ujung kursi roda yang ia duduki. Seolah harinya begitu ragu akan ketulusan hati Reni. "Karena wanita itu, yang bernama Kamila, kau jadi kecelakaan, Pak?"Reni mendecih, sedangkan Erlan tidak melakukan tindakan apapun. Tidak mengiyakan tidak pula menentang. Merasa ucapan Reni tepat dia mengujar lagi, pertanyaan yang diluar dugaan. "Sudah kubilang, tidak karena siapa-siapa. Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudahlah.""Bisa-bisanya kau menghilang dariku, Pak. Terus mengapa jadi begini? Kenapa jadi lumpuh dikursi roda, Pak?"Erlan meremas rambutnya dengan kasar. Agar Reni mau menghentikan ocehannya. Ia begitu kesal oleh sikap Reni yang tidak menghargainya. "Sudahlah Ren, bukan urusanmu."Reni tersenyum jahat. "Maksudku aku akan menikah lagi. Pak"Kali ini Erlan membulatkan matanya, bahk
"Mas, kenapa tak memberi tahu Mbak Reni, padahal dia sudah kesini beberapa kali mencari, Mas."Erlan terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Kenapa Dimas tiba-tiba bertanya itu?"Apa aku pantas untuk sekedar dicintai, bahkan untuk berjalan saja aku tak bisa, Dim."Dimas mengehela nafas berat. " Ga boleh putus asa begitu, Mas. Bukankah dokter Reyga juga memberi tahu bahwa untuk kesembuhan, Mas sangatlah besar."Erlan menatap jendela dari balik kamarnya. "Entahlah Dimas, aku merindukan Alifa."Dimas tersenyum, sejak kapan kakaknya ini berubah baik. Bahkan ia tahu jika sang kakak selama ini tak pernah peduli dengan Alifa sang keponakan. "Iya, kapan-kapan kita ke sana ya.""Tidak, Dimas. Aku tak mau membuat Kamila susah dengan hadirku."Dimas tersenyum. "Mas, pikir mbak Kamila orangnya pendendam. Satu hal, Mas. Hati Mbak Kamila itu bagaikan sutra sangat lembut, jadi kayaknya ga ada masalah kalau kita menemui Alifa. Lagian bukankah Alifa adalah masih tanggung jawab Mas Erla
Ponsel di tangan Dimas hampir terjatuh saat melihat wanita yang tengah melintas di depannya. Dimas sambil mendorong kursi roda sang kakak Erlan. Mudah-mudahan kakaknya tak mengetahuinya. Namun, sepertinya ia tahu jika Kamila berjalan bersama seorang dokter yang tak lain adalah suaminya. Erlan terdiam, seketika ingatannya tertarik jauh ke masa lalu. Ia pikir selama sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan sosok Kamila. Ternyata, Erlan salah dan salah. Ia begitu terluka saat melihat ke arah sang mantan istri yang terlihat begitu cantik. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah ditorehkannya dulu, tetap saja kenangan indah sebelum luka itu ada, kembali hadir. Dengan cepatnya rasa itu muncul menembus batas pertahanan yang selama ini mereka pertahankan. Namun pecah dihantam gelombang perceraian. Memakai pashmina hitam dan masih sama, wajahnya tampak lebih sangat cantik dan begitu dewasa. Berbagai pikiran berkecamuk antara ingin menegur juga tak ingin bertemu dengannya. Untung
"Pak, meeting sudah mau dimulai.""Baiklah, ayo."Dengan hitungan langkah Erlan menuju tempat yang telah disediakan oleh Reni. Hati Erlan terasa berkeping-keping melirik Kamila yang tak melepas genggaman suaminya, Erlan terlihat kesal tidak dapat berdusta jika hatinya belum pulih sepenuhnya melupakan Kamila.Angin senja menerbak membelai wajah Erlan,yang menerpa angin berganti dengan semburat kuning di ujung langit. Ia telah selesai meeting hari hampir magrib. Entah mengapa Erlan begitu sibuk hingga tidak sedikitpun melirik jam di pergelangan tangannya. Saat menoleh Kamila dan suaminya telah pergi dari kafe itu. Dan sudah tak terlihat lagi. Kalaupun saat ini dia berkerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sang Ibu. Semenjak kejadian itu Erlan tak pernah pulang ke rumah. Tak sekalipun dia melihat ponsel sejak kejadian itu, untuk sekedar menjawab panggilan dari adiknya. Hal yang tidak pernah absen dilakukan Erlan selama ini, menuruti perintah sang Ibu. Duh, hari ini rasanya rindu d
Brakk! Erlan membanting pintu rumah Reni. "Pak sabarlah, mungkin Ibu Pak Erlan masih bergabung. Sudahlah jangan marah-marah terus.""Aku malas selalu dipojokkan, Ren.""Iya aku tahu Pak. Sabar ya." Reni menenangkan Erlan. Erlan berjalan ke arah kamar, sedangkan Reni ke dapur membuat kopi. Terdengar suara barang jatuh cukup keras dari arah kamar, disusul suara dentingan beberapa alat yang berjatuhan, membuat Reni terkejut."Pak ...!"Reni memanggilnya, namun, tak ada jawaban, seketika kamar terasa hening membuat perasaan Reni mulai tidak enak.Khawatir terjadi sesuatu pada Erlan, Reni berjalan cepat kearah kamar, tampak tubuh Erlan yang tersungkur dilantai, dengan mata tertutup."Ya Tuhan, Pak Erlan!"Reni menghampirinya, langsung meraih kepalanya dan meletakkannya di atas pangkuan, Reni berusaha tenang ia tahu jika Erlan lagi banyak masalah. Meskipun hati sangat cemas. "Pak! Ayo ke ranjang." Panggilnya pelan.Ia hanya mengangguk. "Kau sakit, Pak?" tanya Reni lagiErlan memegang ke
Erlan berjalan melewati jalanan yang sudah sangat ia hapal tiap kelokannya. Beberapa motor melintas mendahului mobil Erlan di sepanjang jalan ia hanya terpaku tak percaya oleh Kamila dan Alifa bersama lelaki itu yang baru sama terlihat sari pandangannya. Perasaannya yang semakin hancur tatakala menginggat semua kejadian saat pernikahaannya dengan wanita yang sangat ia sayangi yang kini sudah hancur. Entah apa yang terjadi dengannya saat ini, Erlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cepat. Mobil berjalan di depan rumah Kamila. Seperti dulu, saat masih kecil, Erlan mencuri waktu untuk bertemu Kamila. Dulu, Ayah Kamila sering terlihat marah karena Erlan menemuinya. Sekarang semuanya sudah berbeda, Ayah Kamila telah pergi, dan saat sang Ibu sudah memberi kebebasan, namun Erlan menghianatinya dan beliau mungkin sudah tidak berdaya. Lucunya, tak pernah sekalipun Erlan meminta maaf pada wanita yang sangat ia sayangi itu. Ah, Erlan mendengus kesal sambil membanting setir mobilnya, kadan
Malam semakin larut, sunyi sepi setelah anak-anak tertidur, Kamila langsung menuju kamar. Reyga sudah menunggu di dalam kamar."Sayang, sudah tidur jangan kecapekan," pinta Reyga pada Kamila untuk beristirahat."Iya Mas, aku baru saja nemenin anak-anak tidur," jawabnya ikut duduk di samping sang suami. "Oh, Mama sudah tidur?""Sudah, Mas." "Sayang terima kasih ya sudah mau menjadi ibu untuk anak-anakku," ucapnya pada Kamila. Kamila saat ini berada pada dada bidang Reyga. Ia menikmati wangi tubuh sang suami, entah akhir-akhir ini Kamila lebih suka berada di bawah ketiak sang suami. Kamila menarik tangan Reyga lalu meletakkan telapak tangan di atas perutnya."Mama sepertinya betah disini, sayang." Kamila mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang suami. Reyga mengusap pelan perut yang mulai membuncit. Menikmati keanehan yang terasa di dalam perut Kamila saat tangan Reyga berada di sana."Alhamdulillah, itu yang Kamila harapkan, Mas."Reyga mengangguk. "Mungkin, ini aka
Angga berteriak, Elang dan Bu Fatma panik. Elangengbil akih Arum dan menggendongnya ke dalam mobil sedangkan Angga berlari menyetir mobil. Dan mobil meninggalkan rumah milik. arum Dan Elang."Ya Allah, Arum! bangun, Nak! jangan tidur buka matamu, Rum!" Bu Ftama begitu cemas. Elang menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. "Mama Arum, ga apa-apa kan, Bu?" tanya Elang.Bu Fatma tak sanggup menjawab, hanya mampu memeluk kepala putrinya itu dengan erat. "Arum, kenapa, Elang?" tanya Angga dari depan."Tadi juga ga papa kok, Mas Angga," jawab Elang ketakutan dengan suara bergetar."Ya Allah ... sabar dikit lagi kita sampai. Bismillah ... mudahkan ya Allah ...." Angga terus memacu mobilnya menembus jalanan kota yang ramai. Motor-motor didepan masih terus merangsek membelah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang padat. Lalu lintas ibu kota yang tau sendirilah padatnya seperti apa.Bu Fatma terus berdzikir benar-benar berada dalam titik pasrah kepada Allah. Pengharapan tertinggi saat ini hanya mem
"Bangun, Mila. Sudah aku masakan air hangat untukmu."Kamila masih menggeliat dan mengucek matanya yang masih terpejam. "Harusnya ga usah repot masakin air segala, Rey," tukas Kamila. "Ya sekali-kali ga papa kan, kan selama ini kamu yang mengurusku. Apa mau aku gendong?"Pagi buta Kamila mendengar gombalan romantis dari suaminya, tiba-tiba bibir Kamila tersenyum kecut mendengarnya."Ayo sudah keburu dingin air hangatnya.""Iya... iya." Gerutu Kamila malas. Kamila menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar mandi dan bersiap menjadi makmum untuk menjalankan salat Subuh berjamaaah dengan suaminya. Di akhiri dengan doa sebagai penutup, Kamila melipat mukena dan kembali menaruhnya di atas nakas. Ia berjalan ke dekat jendela dan menyibak gorden kamarnya. Saat buka pintu jendela suasana masih gelap. Di langit timur nampak semburat warna jingga menebar dari balik bukit nan jauh di sana. Membuat Kamila tersenyum lalu menatap suaminya yang masih bertilawah. "Kami