Arum berjalan mendekati Levin dan Bibi Fatma yang masih duduk di ruang tunggu. Bibi Fatma tersenyum. "Bagaimana, Rum?" tanya Bibi cemas. "Emm, ditunda bulan depan, Bi," ucap Arum sedih. Sang bibi tahu jika Arum begitu terluka, suaminya memang benar-benar tak tahu malu."Ikuti prosedurnya, sabarlah, Rum.""Tapi, Bi ....""Sudah biar diurus sama, Pak pengacara ya."Sesaat Arum menatap mata teduh Bibinya yang ternyata adalah Ibu kandungnya, begitu baik. Dalam keadaan apapun sang Bibi tidak pernah mengedepankan egonya ia berfikir begitu tenang dan juga santai. Selalu ada buat Arum, ia merasa berdosa jika marah kepada orang yang telah berjuang mempertaruhkan nyawa saat melahirkannya. "Iya, Bi."Arum terdiam, apa ia harus kecewa? Haruskah ia berontak, tidak. Dengan pelan Arum memeluk tubuh Bibinya dengan haru. Sang Bibi mengelus rambutanya. Beliau menangis tak mampu mengutarakan kebenarannya kepada Arum. Karena Bibi Fatma tahu jika Arum masih terluka. "Arum.... " panggil Damar. Arum m
Senja sudah mulai menguning, pertanda hari sudah mulai petang. Arum mencoba membuat pisang goreng keju cokelat, dibantu Bibi Fatma, tangan Arum mengaduk pisang dalam pengorengan. Sesaat Levin datang, Arum tengah serius menuangkan adonan ke dalam penggorengan. setelah matang dia angkat dan ditaruh ke sebuah piring. Keadaan Arum sudah membaik, begitu pula dengan tangan kirinya yang kini sudah bisa digunakan walaupun masih agak kaku karena selama ini terbalut perban. "Rum, sibuk." Suara panggilan Levin tidak membuat Arum berhenti mengoles pisang dengan keju juga susu cokelat. "Rum," panggil Levin, lagi."Apa, Pak?" Arum menatap Levin dan tersenyum."Sudah dulu, nanti capek.""Iya, nanti. Tanggung, tinggal satu gorengan lagi." Levin menarik napas dengan kasar, ia tidak mau Arum sakit lagi, Arum dikagetkan oleh sebuah tangan besar di tangannya. "Istirahat dulu," sapa Levin berada di belakangnya. "Sebentar lagi pak? Ini cicipin dulu enak ga? " tanya Arum, sambil berbalik dan kini berh
Senyum mengembang dari Levin ke arah Arum juga sang Bibi, Arum dan sang Bibi hanya saling pandang. Kali ini mereka sudah dibohongi oleh Levin, Levin menyuruh pramusaji membawakan makanan untuk Arum juga Bibi Fatma. Tak seperti yang lain para tamu undangan mengambil sendiri. Ini khusus untuk Arum dan juga Bibi Fatma. Arum dan sang Bibi menikmati hidangan yang mungkin tak asing bagi Bibi Fatma namun, sangat asing dilidah Arum. Dengan pelan ia menikmati setiap sendok yang ia masukkan dalam mulutnya, begitu mengoda lidah. Malam semakin larut tiba saatnya pengumuman penyerahan perusahaan. Arum dan sang Bibi mendampingi Levin di bawah karena Levin yang meminta. "Baiklah kita sambut pemilik perusahan Cahaya groub Bapak Dibyo prambudi.Beliau adalah Presiden Direktur perusahaan."Suara gemuruh tepuk tangan terdengar dari sudut ruangan hotel. "Terima kasih sudah hadir memenuhi undangan kami, akhir-akhir ini Perusahaan kita berkembang pesat sejak tiga tahun terakhir ini. Baru-baru ini aku me
Pria paruh baya itu mengangguk. "Iya dialah Mama kamu Levin."Deg ... seolah Arum begitu terkejut, inikah jawabannya, Levin adalah kakak kandungnya."Apa ... maksud, Papa?" tanya Levin tak percaya."Iya, Nak beliau mama kamu yang kita cari selama ini," jawab pak Dibyo. Levin mendekat mengulurkan tangan yang gemetar, ia langsung memeluk Bibi Fatma dengan sangat erat. "Mama...."Sambut wanita itu tersenyum hangat. "Kau sudah besar, Nak, maafkan mama tidak bisa menjagamu.""Jadi, Arum itu, Ma...." Kalimat Levin terputus. Bibi Fatma menangis, ia tak sanggup untuk bicara jujur. Ia takut jika luka Arum semakin dalam lagi jika mengetahui jati dirinya. "Dia, adik kamu, Levin." Pak Dibyo terlihat tulus dan mengahmpiri Arum lalu memeluknya. "Tidak, Pa...." Elak Levin. "Iya, Lev. Papa tahu jika mama kamu pergi dulu dalam keadaan mengandung.""Apa ... tidak aku mencintainya, Pa!" Teriak Levin. Sungguh, Levin tak bisa berkata-kata lagi. Semua kalimat yang sudah tersusun rapi, lenyap seketika
Cahaya matahari, menerobos masuk melalui celah-celah dinding jendela yang begitu mewah dari atas kamar hotel. Arum sudah terbangun. Ia berjalan ke arah balkon hotel , kakaknya Levin tertidur disova berselimutkan jas yang ia pakai semalam. Ketika Arum memanggil dan menggoyangkan tubuh Levin, ia merubah posisi tidur menghadap tembok dan menarik jas sampai leher."Mas, Levin!" Panggilan itu nyaris pelan, membuat Levin begitu terluka. Membayangkan jika nanti ia selalu dibangunkan Arum. Saat menjadi istrinya, namun sekarang hanya akan menjadi bayangan belaka. "Mas! Mas Levin! Sudah siang!" lirih Arumi seraya menarik jasnya dengan pelan. "Malas, lah, hari minggu juga, Rum." Levin tanpa membuka mata."Jadi, Mas mau disini saja?" "Ya, aku mau tidur seharian, dan aku tak peduli."Arum tahu hatinya sedang terluka, namun seiring berjalannya waktu pasti ia akan mengerti dan luluh. "Ya ampun, Mas ayolah!" ajak Arum gemas kemudian menarik paksa lengan kakaknya. Arum beeusaha membangunkan Lev
Arum membiarkan semilir angin membelai lembut wajahnya. Desirannya sungguh merdu terdengar, ditambah deburan ombak yang memecah pantai. Perpaduan keduanya bak alulan musik yang menentramkan jiwa. Menghadirkan simpang yang begitu syahdu. Senja mulai menguning suasana pantai terlihat begitu indah ketika sunset terlihat dari tepian pantai. melihat laut terbentang luas juga udara yang begitu menyejukkan hati, kebersamaan Arum dan keluarganya adalah momen yang sangat indah, Levin mengabadikan kebersamaan dengan foto bersama. Arum masih duduk memandang sunset, rasa nyaman dan hangat kembali hadir. Arum merasakan kenyamanan yang luar biasa. Ia beranjak berdiri dan berjalan melewati pasir, ia berjalan tanpa alas kaki, Arum menenteng flatshoes dipinggir pantai. Sementara Levin memperhatikan dari jauh dan masih merasakan detak jantung yang naik turun tak beraturan. Perempuan berwajah cantik itu masih diam, menatap jauh lautan yang tak bertepi. Lelehan air mata sesekali meluncur di pipi mulus
"Baiklah kami pergi dulu, Mas. Naura Tante pergi dulu ya."Gadis kecil itu cemberut. "Ya, Tante kok pergi sih," jawab Naura sedih. "Ya nanti kan bisa ketemu lagi."Gadis kecil itu mengulas senyum. Serius Tante, nanti mau ketemu Naura dan Papa lagi," ucap Naura pada Arumi senang. "Iya, pasti itu.""Baillah, Tante." Naura memeluk tubuh wanita yang sangat ia sayangi. "Mas Rum, pergi dulu ya."Elang mengangguk. "Iya, Rum.""Dah Tante cantik."Arum membalas dengan melambaikan tangan. Arum berjalan di samping Levin. Ada rasa cemburu yang begitu mendalam, namun Levin terlihat tenang. "Rum, siapa dia tampan sekali wajahnya juga seperti artis korea?" tanya Levin menggoda adiknya. Arum menghela nafas berat. "Selama ini, Mama kerja di luar negeri, jadi dia yang selalu ada buat Arum, yang menjaga Arum pas lagi sakit, ya kami berdua berjuang hingga saat ini ia sudah menjadi sukses. Dia kakak Arum, mas.""Oh. Terus...."Dada Levin terasa terhimpit, sepertinya kalimat itu serupa belati yang m
Bulan purnama telah menampakkan dirinya dilangit yang gelap, cahaya bulan purnama menerangi bumi. Mereka berdua menatap langit nan jauh di sana sedikit bintang yang memenuhi langit. Sekilas Elang menatap wajah Arumi yang makin hari makin dewasa dan cantik. Ia tersenyum dan kembali menatap langit lagi. "Ada apa ya, itu disana kok rame sekali, Mas?""Entahlah, kita lihat yuk."Arum mengangguk. "Ayo."Mereka berjalan ke arah ramai anak-anak muda. Ternyata kata meteka hari ini akan ada pesta kembang api. Arum tersenyum bahagia, dan memegang erat tangan Elang. Menanti kembang api dinyalakan. Mereka duduk berdampingan sambil melihat berbagai permainan para anak muda. Elang menghirup aroma yang menenangkan dari rambut Arum. Lalu ia menoleh ke samping menatap wajah cantik Arhm di bawah sinar rembulan juga lampu hias. 'Ternyata masih sama, ia sangat cantik' gumamnya dalam hati sembari tersenyum dan kembali melihat lalu lalang para pengunjung. Kini mereka ada di pesta kembang api, saat kemb
Cakrawala memancarkan warna, dan tiba-tiba matahari muncul berada diantara percakapan Erlan dan Reni. Sejenak Erlan bernafas lega melihat wajah gadis itu, lalu menunduk lagi tangannya mencekeram kuat ujung kursi roda yang ia duduki. Seolah harinya begitu ragu akan ketulusan hati Reni. "Karena wanita itu, yang bernama Kamila, kau jadi kecelakaan, Pak?"Reni mendecih, sedangkan Erlan tidak melakukan tindakan apapun. Tidak mengiyakan tidak pula menentang. Merasa ucapan Reni tepat dia mengujar lagi, pertanyaan yang diluar dugaan. "Sudah kubilang, tidak karena siapa-siapa. Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudahlah.""Bisa-bisanya kau menghilang dariku, Pak. Terus mengapa jadi begini? Kenapa jadi lumpuh dikursi roda, Pak?"Erlan meremas rambutnya dengan kasar. Agar Reni mau menghentikan ocehannya. Ia begitu kesal oleh sikap Reni yang tidak menghargainya. "Sudahlah Ren, bukan urusanmu."Reni tersenyum jahat. "Maksudku aku akan menikah lagi. Pak"Kali ini Erlan membulatkan matanya, bahk
"Mas, kenapa tak memberi tahu Mbak Reni, padahal dia sudah kesini beberapa kali mencari, Mas."Erlan terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Kenapa Dimas tiba-tiba bertanya itu?"Apa aku pantas untuk sekedar dicintai, bahkan untuk berjalan saja aku tak bisa, Dim."Dimas mengehela nafas berat. " Ga boleh putus asa begitu, Mas. Bukankah dokter Reyga juga memberi tahu bahwa untuk kesembuhan, Mas sangatlah besar."Erlan menatap jendela dari balik kamarnya. "Entahlah Dimas, aku merindukan Alifa."Dimas tersenyum, sejak kapan kakaknya ini berubah baik. Bahkan ia tahu jika sang kakak selama ini tak pernah peduli dengan Alifa sang keponakan. "Iya, kapan-kapan kita ke sana ya.""Tidak, Dimas. Aku tak mau membuat Kamila susah dengan hadirku."Dimas tersenyum. "Mas, pikir mbak Kamila orangnya pendendam. Satu hal, Mas. Hati Mbak Kamila itu bagaikan sutra sangat lembut, jadi kayaknya ga ada masalah kalau kita menemui Alifa. Lagian bukankah Alifa adalah masih tanggung jawab Mas Erla
Ponsel di tangan Dimas hampir terjatuh saat melihat wanita yang tengah melintas di depannya. Dimas sambil mendorong kursi roda sang kakak Erlan. Mudah-mudahan kakaknya tak mengetahuinya. Namun, sepertinya ia tahu jika Kamila berjalan bersama seorang dokter yang tak lain adalah suaminya. Erlan terdiam, seketika ingatannya tertarik jauh ke masa lalu. Ia pikir selama sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan sosok Kamila. Ternyata, Erlan salah dan salah. Ia begitu terluka saat melihat ke arah sang mantan istri yang terlihat begitu cantik. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah ditorehkannya dulu, tetap saja kenangan indah sebelum luka itu ada, kembali hadir. Dengan cepatnya rasa itu muncul menembus batas pertahanan yang selama ini mereka pertahankan. Namun pecah dihantam gelombang perceraian. Memakai pashmina hitam dan masih sama, wajahnya tampak lebih sangat cantik dan begitu dewasa. Berbagai pikiran berkecamuk antara ingin menegur juga tak ingin bertemu dengannya. Untung
"Pak, meeting sudah mau dimulai.""Baiklah, ayo."Dengan hitungan langkah Erlan menuju tempat yang telah disediakan oleh Reni. Hati Erlan terasa berkeping-keping melirik Kamila yang tak melepas genggaman suaminya, Erlan terlihat kesal tidak dapat berdusta jika hatinya belum pulih sepenuhnya melupakan Kamila.Angin senja menerbak membelai wajah Erlan,yang menerpa angin berganti dengan semburat kuning di ujung langit. Ia telah selesai meeting hari hampir magrib. Entah mengapa Erlan begitu sibuk hingga tidak sedikitpun melirik jam di pergelangan tangannya. Saat menoleh Kamila dan suaminya telah pergi dari kafe itu. Dan sudah tak terlihat lagi. Kalaupun saat ini dia berkerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sang Ibu. Semenjak kejadian itu Erlan tak pernah pulang ke rumah. Tak sekalipun dia melihat ponsel sejak kejadian itu, untuk sekedar menjawab panggilan dari adiknya. Hal yang tidak pernah absen dilakukan Erlan selama ini, menuruti perintah sang Ibu. Duh, hari ini rasanya rindu d
Brakk! Erlan membanting pintu rumah Reni. "Pak sabarlah, mungkin Ibu Pak Erlan masih bergabung. Sudahlah jangan marah-marah terus.""Aku malas selalu dipojokkan, Ren.""Iya aku tahu Pak. Sabar ya." Reni menenangkan Erlan. Erlan berjalan ke arah kamar, sedangkan Reni ke dapur membuat kopi. Terdengar suara barang jatuh cukup keras dari arah kamar, disusul suara dentingan beberapa alat yang berjatuhan, membuat Reni terkejut."Pak ...!"Reni memanggilnya, namun, tak ada jawaban, seketika kamar terasa hening membuat perasaan Reni mulai tidak enak.Khawatir terjadi sesuatu pada Erlan, Reni berjalan cepat kearah kamar, tampak tubuh Erlan yang tersungkur dilantai, dengan mata tertutup."Ya Tuhan, Pak Erlan!"Reni menghampirinya, langsung meraih kepalanya dan meletakkannya di atas pangkuan, Reni berusaha tenang ia tahu jika Erlan lagi banyak masalah. Meskipun hati sangat cemas. "Pak! Ayo ke ranjang." Panggilnya pelan.Ia hanya mengangguk. "Kau sakit, Pak?" tanya Reni lagiErlan memegang ke
Erlan berjalan melewati jalanan yang sudah sangat ia hapal tiap kelokannya. Beberapa motor melintas mendahului mobil Erlan di sepanjang jalan ia hanya terpaku tak percaya oleh Kamila dan Alifa bersama lelaki itu yang baru sama terlihat sari pandangannya. Perasaannya yang semakin hancur tatakala menginggat semua kejadian saat pernikahaannya dengan wanita yang sangat ia sayangi yang kini sudah hancur. Entah apa yang terjadi dengannya saat ini, Erlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cepat. Mobil berjalan di depan rumah Kamila. Seperti dulu, saat masih kecil, Erlan mencuri waktu untuk bertemu Kamila. Dulu, Ayah Kamila sering terlihat marah karena Erlan menemuinya. Sekarang semuanya sudah berbeda, Ayah Kamila telah pergi, dan saat sang Ibu sudah memberi kebebasan, namun Erlan menghianatinya dan beliau mungkin sudah tidak berdaya. Lucunya, tak pernah sekalipun Erlan meminta maaf pada wanita yang sangat ia sayangi itu. Ah, Erlan mendengus kesal sambil membanting setir mobilnya, kadan
Malam semakin larut, sunyi sepi setelah anak-anak tertidur, Kamila langsung menuju kamar. Reyga sudah menunggu di dalam kamar."Sayang, sudah tidur jangan kecapekan," pinta Reyga pada Kamila untuk beristirahat."Iya Mas, aku baru saja nemenin anak-anak tidur," jawabnya ikut duduk di samping sang suami. "Oh, Mama sudah tidur?""Sudah, Mas." "Sayang terima kasih ya sudah mau menjadi ibu untuk anak-anakku," ucapnya pada Kamila. Kamila saat ini berada pada dada bidang Reyga. Ia menikmati wangi tubuh sang suami, entah akhir-akhir ini Kamila lebih suka berada di bawah ketiak sang suami. Kamila menarik tangan Reyga lalu meletakkan telapak tangan di atas perutnya."Mama sepertinya betah disini, sayang." Kamila mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang suami. Reyga mengusap pelan perut yang mulai membuncit. Menikmati keanehan yang terasa di dalam perut Kamila saat tangan Reyga berada di sana."Alhamdulillah, itu yang Kamila harapkan, Mas."Reyga mengangguk. "Mungkin, ini aka
Angga berteriak, Elang dan Bu Fatma panik. Elangengbil akih Arum dan menggendongnya ke dalam mobil sedangkan Angga berlari menyetir mobil. Dan mobil meninggalkan rumah milik. arum Dan Elang."Ya Allah, Arum! bangun, Nak! jangan tidur buka matamu, Rum!" Bu Ftama begitu cemas. Elang menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. "Mama Arum, ga apa-apa kan, Bu?" tanya Elang.Bu Fatma tak sanggup menjawab, hanya mampu memeluk kepala putrinya itu dengan erat. "Arum, kenapa, Elang?" tanya Angga dari depan."Tadi juga ga papa kok, Mas Angga," jawab Elang ketakutan dengan suara bergetar."Ya Allah ... sabar dikit lagi kita sampai. Bismillah ... mudahkan ya Allah ...." Angga terus memacu mobilnya menembus jalanan kota yang ramai. Motor-motor didepan masih terus merangsek membelah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang padat. Lalu lintas ibu kota yang tau sendirilah padatnya seperti apa.Bu Fatma terus berdzikir benar-benar berada dalam titik pasrah kepada Allah. Pengharapan tertinggi saat ini hanya mem
"Bangun, Mila. Sudah aku masakan air hangat untukmu."Kamila masih menggeliat dan mengucek matanya yang masih terpejam. "Harusnya ga usah repot masakin air segala, Rey," tukas Kamila. "Ya sekali-kali ga papa kan, kan selama ini kamu yang mengurusku. Apa mau aku gendong?"Pagi buta Kamila mendengar gombalan romantis dari suaminya, tiba-tiba bibir Kamila tersenyum kecut mendengarnya."Ayo sudah keburu dingin air hangatnya.""Iya... iya." Gerutu Kamila malas. Kamila menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar mandi dan bersiap menjadi makmum untuk menjalankan salat Subuh berjamaaah dengan suaminya. Di akhiri dengan doa sebagai penutup, Kamila melipat mukena dan kembali menaruhnya di atas nakas. Ia berjalan ke dekat jendela dan menyibak gorden kamarnya. Saat buka pintu jendela suasana masih gelap. Di langit timur nampak semburat warna jingga menebar dari balik bukit nan jauh di sana. Membuat Kamila tersenyum lalu menatap suaminya yang masih bertilawah. "Kami