Wanita itu sibuk mengecek dan menata rapi kerjaannya, tak berselang lama tugas menumpuk lagi. Hari mulai panas pertanda hari mulai siang, saatnya istirahat Arumi bergegas ke musholla untuk menjalankan ibadah shalat dzuhur. Selesai bergabung dengan Lestari yang sedang asyik menyantap makan siang.
"Tari.... " Arum memanggil sahabatnya.Lestari melambaikan tangan. "Ayo sini pesan makanan ya?" tanyanya."Enggak, lah aku makan roti saja," jawab Arum malas."Nanti kamu sakit Rum, lihatlah kau ini wajahmu begitu pucat."Arum mengangguk pelan. "Baiklah.""Bu, satu lagi ya soto dagingnya." Pesan Lestari pada pemilik kantin."Baik, Mbak Tari."Mereka menikmati makan siang bersama, tak butuh waktu lama Arum sudah mengenal banyak teman disini. Sikap supel dan ramah Arum membuat teman-teman yang baru dikenalnya begitu baik. Arum merasa jika dunianya akan membaik lambat laun.Terkadang Arum sangatlah takut, akan masa depannya seperti apa. Wajar jika ia merasa hatinya semakin hampa, entah seolah ada rasa yang tertinggal jauh, ada di dalam hatinya. Belum lagi kakaknya Elang yang menghilang. Ia tahu pasti bahwa kedepannya semua sudah menjadi rahasia Sang IllahiArum harus yakin tak ada satu pun manusia di muka bumi ini, yang diberi kelebihan tanpa dikaruniai kekurangan. Begitu pula sebaliknya, tidak ada seorang pun yang hanya dikasih kekurangan tanpa disertai kelebihan. Bahkan wanita itu pernah merasa frustasi, namun Arum sadar akan diri ini hanyalah seorang wanita yang lemah dan rapuh. Ada kalanya ada di titik terlemah.Pikiran wanita itu terus melayang sembari menikmati soto di depannya. Yang wanita itu tahu tidak ada manusia yang sempurna. Hanya saja wanita itu sedang berusaha melakukan yang terbaik sebagai seorang hambaNya. Harusnya beginilah cinta, saling menjaga dan melindungi tanpa harus melukai.****"Kamu pulang naik apa, Tari?" tanya Arum sambil berjalan beriringan menuju parkir."Aku bawa mobil. Rum," jawab Lestari."O, baiklah. Aku duluan ya!" pamit Arum.Lestari tersenyum sambil melambaikan tangan. "Iya, hati-hati Rum.""Siap."Mereka berpisah Arum melajukan motor metiknya, senja sebentar lagi tiba. Namun, Arum mengemudikan sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Sambil menghafal jalanan yang sudah lama, namun seprti baru. Banyak gedung baru membuatnya sedikit lupa.Embusan angin menemainya dikala senja tiba. Menit berikutnya motornya sudah terparkir dibangunan bercat abu-abu dengan nuansa minimalis namun begitu indah dipandang mata. Arum turun dan mengambil kunci motor lalu masuk ke dalam rumah Bibinya.Wanita paruh baya itu sedang memasak saat Arum tiba. "Assalamu'alaikum, Bi.""W*'alaikumsalam. Rum," seru Bibi seraya mengecilkan kompor lalu mendekati Arum yang duduk disofa dekat dapur."Bagaimana diterima kerja?" tanya Bibi terlihat beliau tersenyum merekah.Arum mengangguk kecil. "Diterima, Bi," jawab senang Arum."Alhamdulillah ya Allah, selamat ya, Nak."Arum mengangguk pelan. "Iya. Bibi sedang apa?""Bibi, sedang masak kesukaan kamu, sambal goreng ati kentang.""Wah enak, Bi.""Bersihkan badanmu, selesai shalat magrib kita makan bersama ya," suruh Bibi Fatma.Arum mengangguk. "Iya, Bik."Wanita itu berjalan mendekati bunga yang berada di teras depan rumah Bibi Fatma, menatap bunga Lili yang begitu indah, putih bersih dan cantik ... butiran tetes air hujan melekat di kelopak mata membiarkan mentari bebas untuk berkaca. Bunga itu lambang keindahan alam semesta, begitu menakjubkan ibarat cinta yang tanpa ternoda.Walaupun terkadang kesedihan itu diutarakan dengan tangisan, tapi wanita itu harus kuat dan bangkit dengan segera. Ia yakin mampu menghadapi ujian hidup, tidak suka sembarang mengeluh, dan pantang menyerah. Adanya semangat membuat Arum tetap bisa bertahan hingga saat ini.Iklas dan bersyukur dan lebih percaya diri lagi. Dengan begitu ia bisa melangkah maju dan menghadapi setiap masalah yang datang silih berganti."Arum ... ini untukmu...." Bibi Fatma memberikan bingkisan kotak kecil untuk Arum."Apa ini, Bi?" tanyanya begitu penasaran."Bukalah...!"Wanita itu menaikkan satu alisnya, tak tahu apa yang diberikan oleh Bibi yang selalu baik kepadanya. "Baiklah."Arum dengan cepat membuka bingkisan lalu membukanya, seketika mata Arum melotot wajahnya berubah jadi merah tomat, Arum tak bisa berkata apa-apa. Lalu memeluk Bibinya dengan pelukan hangat."Bi, ini berlebihan sudahlah, aku sudah banyak merepotkan Bibi kan? Kenapa masih dibelikan ponsel semahal ini.""Kau perlu itu Arum, ingatlah! Kau akan sibuk bekerja dan jika ada apa-apa teleponlah, Bibi ya.""Ini berlebihan, Bi. Arum bersyukur sudah dikasih tempat tinggal. Eh malah diberi hadiah pula."Bibi Fatma mengangguk. "Enggak, siapa lagi yang menjaga Bibi kalau tidak kamu, Rum."Wanita cantik itu mengulum senyum menatap Bibinya lalu menatap pansel baru pemberian sang Bibi. Sudah lama juga ia tak memegang ponsel. Sejak saat itu ia malas sekali, bahkan meninggalkan ponselnya di lemari Damar waktu oergi dari rumah itu.*Pagi hari, fajar mulai muncul dari ufuk timur. Arum membantu Bibi memasak untuk sarapan, selesai ia bergegas membersihkan diri untuk berangkat kerja. Karena pekerjaannya baru maka ia harus berangkat awal, apapun itu ia enggak mau membuat atasannya marah. Kata Lestari jika atasan Arum super galak.Selesai sarapan, Arum berdiri dan mencuci piring di wastafel. Lalu beranjak mengambil flatshoes hitam juga tas kesukaannya. Lalu berjalan mendekati Bibinya yang sedang duduk di kursi tamu."Bi, Arum betnagkat ya?" pamit Arum pada Bibinya.Wanita paruh baya itu mengangguk. "Iya Nak hati-hati ya. Ini bekal buat kamu.""Tuh kan, Rum ngrepotin Bibi lagi," ucap Arum enggak enak."Percayalah, tidak ada yang direpotin, Rum."Arum tersenyum. "Terima kasih Bi. Arum berangkat ya."Arum mencium punggung tangan Bibinya.Wanita paruh baya itu mengantarkan sampai di depan teras rumah. Arum meninggalkan rumah bibinya sementara Bibi masih mematung melihatnya hingga tubuh Arum tidak terlihat lagi.Embusan angin di pagi hari membuat Arum merasakan kedamaian. Hatinya kini sedikit demi sedikit sudah berkurang kesedihannya, wanita itu sadar jika bersedih terus tidak akan menolongnya untuk bangkit dari keterpurukan. Motor berbelok ke kantor dan menuju ruang parkir.Sesaat Arum berhenti, saat mendengar percakapan orang diujung jalan dekat lift."Ayolah kita balikan, Lev?""Hah ... kau tak percaya jika aku sudah punya penggantimu," jawab Lelaki itu pada wanita di depannya."Sudahlah, Lev. Jangan berbohong, kebanyakan berkhayal kamu.""Ya sudah, tidak percaya. Asal jangan ganggu aku lagi.""Tidak, aku akan tetap berusaha mendapatkanmu lagi," ancam wanita itu.Pria itu tidak menjawab, matanya tertuju pada Arum diujung koridor. Melihatnya membuat Levin mempunyai rencana. Inilah pembuktian bahwa dirinya akan meminta tolong pada wanita itu.Pria itu mengalihkan pandangan ke arah Arum, dan berjalan mendekatinya."Hey, sayang. Apa kabar?" Pria itu menghampiri Arum, mengulurkan satu tangannya dan mengajaknya ke arah wanita tadi.Arum menatapnya tidak mengerti. "Maaf, apa ini?" tanya Arum bingung."Plis aku mohon. Bantu aku kali ini saja?" pintanya pada Arum.Sesaat Arum terdiam, tangan pria ini begitu dingin, apa maksudnya? tapi Levin langsung mengajak Arum mendekati wanita cantik, modis, menarik, dan sempurna, menurut kaum Adam dengan pakaian yang serba mini juga memiliki tubuh sintal.Arum tersenyum, kembali berusaha melepaskan genggaman tangan pria asing itu. Namun tangan Levin tak cukup kuat membuat ya tak berkutik saat Levin mencengkerwm tangannya. Dapat Arum rasakan tatapan Pria itu menatap lekat manik mata Arum."Vira ... kenalin ini calon istriku?" Pria itu mengenalkan Arum dengan basa-basi."You are sure ... please dia bukan tipe kamu Levin." Vira tertawa seolah menghina."Kamu jangan meremehkan calon istriku. Lihatlah bola matanya sangat indah dan satu lagi pakaiannya begitu sopan bukan?""Astaga, Levin! Itu balasan yang kamu berikan padaku?" Lagi-lagi Vira menegur."Aku tak memintamu, mengejarku 'kan." Levin seolah mengabaikan Vira.Arum tahu jika pria ini menyembunyikan air mata, yang bisa Arum lihat di balik senyumnya. Siapa lelaki ini? Dan siapa wanita itu? Arum hanya menjadi bahan percobaan mereka. Arum pun mendengus kesal, semoga ia berharap masa lalunya tertutup rapat, jangan sampai menambah luka hatinya."Sayang, ayo kita pergi," Levin merangkul pundak Arum membuat Arum terkejut tak percaya.Arum mengangguk, dan berbohong sekali lagi. "Iya, baiklah.""Levin, kamu keterlakuan."Levin diam, dan mengajak Arum pergi."Akting yang luar biasa ini benar-benar konyol.""Iya ... maaf!"Setelah mereka berdua masuk lift, dengan keras Arum menginjak kaki pria itu dengan kuat. Membuat Levin menjerit kesakitan."Aghhh...."Arum tertawa kecil, sambil menutup mulutnya. "Rasain.""Apaan sih, sakit tahu.""Kenapa kamu tidak jujur? Kebohongan itu akan menyiksa diri kamu sendiri.""Aku tidak bisa, wanita itu seperti ular." Elaknya."Tapi kalau kamu membohonginya, itu jauh akan lebih menyakitkan untuknya."Perkataan wanita ini membuat Levin trenyuh, entahlah...."Sudahlah, terima kasih sudah menolongku tadi." Levin pergi mendahului berjalan keluar lift dan meninggalkan Arum berjalan sendiri.*Damar membuka kelopak matanya yang terasa masih berat, entah jam berapa matanya baru bisa terpejam. Ia lalu bergegas ke dapur. Namun air telah habis, dan meja dapur masih begitu berantakan. Sisa piring juga minuman masih sama seperti semalam, ibu juga kakaknya terlihat sibuk yoga."Astaga perempuan macam apa mereka." Damar bergeming dan membanting lemari es nya.Ingatannya kembali pada masa dimana ia selalu di istimewakan oleh istrinya Arum."Mas, kopinya sudah siap.""Mas, sarapannya sudah siap, juga obat untuk lambung kamu.""Mas, air hangatnya sudah siap, mandilah."Bayangan itu membuat lutut Damar begitu lemas, seolah tubuhnya tak bertenaga."Damar.... " Panggil Herlin pada adiknya.Damar terdiam."Beli makanan gitu kek, kami lapar?""Apa mbak, enggak punya kaki," jawab Damar malas."Damar kok gitu sih, cari pembantu sih Damar. Capek bersih-bersih tau."Tanpa bicara Damar pergi meninggalkan kakaknya, bagaimana bisa ia hidup bersama wanita seperti mereka. Jadi selama ini Arum menderita kah? Astaga kemana saja selama ini Damar tak mengetahui apapun. Lihatlah Damar kau telah kalah dalam hal apapun?Selesai mandi Damar melangkah keluar dan membating pintu, serta membawa mobil, pria itu menginjak gas pikirannya kalut. Karma kah ini jika hidupnya sekarang dikendalikan oleh keluarganya. Rasa sesal di dalam hatinya masih hinggap dan tak kunjung pergi.Damar memarkirkan mobilnya di pinggir jalan yang sepi dan keluar mobil. Tubuhnya lunglai ke aspal yang berselimut kan debu. Hujan air mata membasahi pipinya, ia tak sanggup menahan beban yang menghimpit hidupnya."Aghhh ... tidak Arum, maafkan aku ... kumohon kembalilah." Teriak Damar.Tangisnya pecah saat hidupnya saat ini kehilangan separuh dari raganya, separuh hatinya tertinggal di hati Arum. Di temani lalu lalang mobil yang berjalan. Hari mulai terik, namun Damar tak dapat melupakan bayang-bayang wajah perempuan yang dinikahinya beberapa tahun yang lalu, ia menghembuskan rokok ditangan. Merasai sakit yang begitu mendalam.Damar terpuruk di dalam hampa, ia masih merasakan mata Arum yang penuh dengan pelangi, namun mobilnya berhenti di depan rumah Hani. Hani begitu bahagia dan membuka pintu, setelah berhari-hari Damar tidak pernah mengunjunginya lagi. Rasa rindu yang membuncah membuat Hani kegirangan. Namun tidak dengan Damar pikirannya kosong hatinya begitu berat. "Hay ... sibuk, Mas sampai angkat telepon ku saja enggak mau." Hani mendengus kesal sambil bergelagut manja di lengan Damar. Terdengar Danar menarik nafas beratnya. "Maaf.... ""Ayo masuk, Mas," pinta Hani menarik tangan Damar. Damar mengikuti Hani, meskipun hatinya tak ingin. Entah kenapa mobilnya berhenti tadi depan halaman rumah Hani. Apa wanita ini akan seperti Arum yang begitu baik juga penurut? Entahlah ... yang Damar tahu jika Arum belum tergantikan hingga detik ini. "Minumlah kopinya masih hangat,"Damar tersenyum kecut. "Iya.""Lama lo Mas enggak kesini, Hani sampai rindu," goda Hani pada lelaki itu. "Iya, sibuk di kantor banyak
Levin yang baru kembali dari lantai bawah sangat marah ketika ia menemukan Arum menangis bersama seorang pria. Levin begitu kesal memasang rahang mengeras melihat tingkah Pria itu, yang begitu ambisi menemui Arum. "Siapa pria itu!" Lirih Levin menarik tangan Arum berada di belakang tubuhnya. "Apa yang kau lakukan? Ayo pergi." Teriak Levin."Siapa kau?" Damar menoleh kesal ke arah Arum. "Ayolah, jangan ganggu kami.""Apa kau tidak waras, lihat Arum menangis karenamu.""Dia mantan suamiku, Pak" tangis Arum pecah. Tentu saja perkataan Arum sontak membuat Levin kebingungan pada awalnya, akan tetapi setelah tahu ia berusaha membela Arum. "Rum, aku mohon." Damar berusaha agar Arum memberinya kesempatan bicara. "Lelaki gila, meninggalkan masih saja mengikutimu Rum. Apa dia tak punya etika juga enggak pernah belajar.""Saya tahu, dan silahkan nikahi Arum setelah itu akan aku rebut kembali Arum dari tanganmu.""Hah, kau pikir aku seorang muhalil hah, haha... Jika aku menikahi Arum tidak a
"Bi...!"Arum menghela napas barat, lalu menatap wajah Bibinya, terlihat jelas wajah Arum yang begitu pucat. "Kenapa Nak, ceritakan biar kau lega."Sesaat Arum merasa seperti ada yang hilang. Entahlah begitu berat jika ia harus berpisah dengan Damar, tak bisa dipungkiri mereka sudah lama hidup bersama. Tak mudah bagi Arum melupakannya begitu saja. "Ayo, ceritakan pada Bibi," ucap Bibi Fatma menenangkan Arum yang begitu sedih. Wanita cantik itu mengangguk. "Entahlah, Bi, Rum begitu sakit. Arum rindu, Mas Elang."Wanita paruh baya itu mengusap rambut Arum dengan pelan. "Kau merindukannya?""Iya Bi, biasanya jika Rum sedih, mas Elang selalu ada," jelas Arum yang begitu merindukan kakaknya. "Sabarlah, pasti nanti bisa ketemu lagi.""Apa, mas Elang enggak sayang sama Arum Bi?" tanya Arum dengan pelupuk mata yang sudah digenangi air mata. "Jangan bilang begitu, dia begitu sayang kan sama kamu hingga dia pergi menjauh." Perkataan sang Bibi membuat Arum curiga. "Maksudnya apa Bi, karena
Levin mengangkat tubuh Arum yang masih tak sadarkan diri. Rasa panik menghantuinya, entah, sepertinya ia sudah mengenal Arum begitu lama wanita ini. Jika terjadi sesuatu padanya apa yang harus dilakukan. "Maaf permisi keluarga dari pasien yang mana?" tanya salah satu perawat. "Sebentar lagi sus," jawab Lestari cemas karena ia sudah menghubungi Bibinya Arum yang masih dalam perjalanan. "Aduh ... pasien harus segera ditangani pendarahannya cukup banyak.""Apa yang dibutuhkan, Sus, saya kakak dari pasien." Bohong Levin pada sang suster. "Baiklah, ikut saya, Bapak harus tanda tangan, segera akan dilakukan kuret karena janinnya tak bisa terselematkan." Jelas sang suster pada Levin. "Apa... jadi dia hamil, sus?" tanya penasaran Lestari. "Iya, Mbak. Mari ikut saya,Pak."Jantung Levin naik turun, ia gemeteran wanita itu begitu menderita. Bagaimana bisa lelaki itu menyakiti wanita sebaik Arum. Ia segera menandatanganinya karena ia tidak ingin melihat Arum kehilangan nyawa dan tak bisa se
Damar berlari saat mengetahui jika Arum pun dirawat di tempat yang sama. Saat ia menjenguk Ibunya, ia melihat Bibi Fatma membelikan bubur untuk Arum. Dan saat Damar mengikuti ternyata benar Arum yang sakit. Rasa penasaran Damar kian tersulut, sakit apa sebenarnya Arum? "Pak Levin, ada apa dengan Arum?" tanya Damar sambil berusaha mengatur nafasnya yang habis berlari. Levin memanas, rahangnya mengeras, selama ini dia memang mengenal banyak gadis namun saat melihat air mata Arum hatinya begitu terluka, seolah diri nya ikut merasakan sakit yang Arum rasakan. "Pak, Aku mohon, beritahu ada apa dengan Arum?" tanyanya lagi sambil memohon. Levin tak bisa mengendalikan emosinya. Tangannya mengepal sejurus kemudian melayang menghantam ke wajah Damar dengan sangat keras. "Bughh...."Darah segar mengalir dari sudut bibir Damar. "Aghh, ada apa ini pak Levin.""Coba kau tidak melukainya, Mungkin kandungannya akan baik-baik saja. Lihatlah karena dia stres janinnya tidak bisa berkembang. Suami
"Dia yang memberikan aku talak tiga. Hani, demi kekasihnya yang beberapa tahun akhir-akhir ini muncul di hidupnya." Tukas Arum menceritakan semua pada sahabatnya itu.Terlihat Hani begitu syok. Ia tak tahu jika Damar kekasihnya adalah suami sahabatnya terbaiknya Arum. "Oh. Su ... suami kamu, Rum?" tanya Hani tak percaya. Arum masih mengusap sudut matanya yang basah, dan mengangguk. "Iya.""Demi Tuhan, aku minta maaf, Rum." Lagi-lagi Damar memohon"Maksud Mas Damar?" tanya Arum tidak mengerti. Arum telah sadar, apakah wanita itu Hani? Ya, dia ingat betul vidio yang diberikan oleh Lestari. Wajahnya seperti tidak asing saat itu. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibir wanita itu seakan kelu. "Katakan sesuatu, Mas Damar? dan kamu Hani plis? Apa kalian ada hubungan?" tanya Arum lagi kepada keduanya. Damar masih diam layaknya patung. Hanya bibirnya yang kemudian bergetar, menahan sesak yang merelungi hatinya. "Rum, maaf....""Aku lelah, benar-benar tak percaya, Mas, jadi Hani saha
Sementara hari berganti hari, dan bulan berganti bulan. Arum sedang diapotik membeli obat pesanan Bibi Fatma, ia mengantre setelah namanya dipanggil ia kedepan dan menebus obatnya. Selesai ia berjalan menunggu taksi lewat, kebetulan hari ini ia tidak membawa kendaraan. Arum berjalan mendekati jalan utama dan duduk sambil menunggu, sesaat ia melihat ada gadis kecil mau berlari kearah jalan raya. Sementara ada mobil yang berjalan cepat kearahnya. Arum kaget dan langsung berlari menarik tangan gadis kecil itu, hingga ia tersungkur jatuh di tepi jalanan. "Aghh.... " Teriak Arum kesakitan tangannya berdarah. "Maaf, Tante tidak apa-apa?" tanya gadis kecil itu. "Iya, Tante baik-baik saja Nak.""Aduh maaf ya mbak, terima kasih banyak ya, sudah menolong non Naura. Jika tidak ada mbak. Mugkin Bibi bisa dipecat.""Sama-sama Bi. Lain kali jagainnya hati-hati ya.""Baik Mbak."Selang beberapa menit Levin datang menghampiri, dan meraih tangannya berusaha membangunkan Arum. "Ada-ada saja kamu in
Levin membersihkan luka di siku tangan Arum dengan pelan dan telaten, luka itu terus ditiup bersamaan dengan kapas yang terus meratakan Betadine. Hingga perih dirasakan Arum sambil menggigit bibir bawahnya, namun saat ini luka yang sedang diobati masih sakit luka hatinya. Bibi Fatma memberikan kotak dan gunting, dan kotak P3K yang diberikan pada Levin. Setelah selesai membersihkan kuka Aum. Terakhir, Levin menempelkan kain kasa ke luka tangan Arum. "Nah, sudah selesai. Ingat Rum, membantu boleh asal nyawa kamu juga harus dipikirkan," ucap Levin seraya memotong gulungan plester perekat dengan gunting.Arum trenyuh. Bos galaknya bisa bicara sebijak ini. Bibi Fatma datang membawa dua gelas jus jeruk, untuk Arum juga Levin. "Memangnya kenapa nak? Kenapa bisa lukanya dalam begitu?" tanya Bibi Fatma cemas. "Sok jadi pahlwan sih Bi, masa nolongin anak kecil yang mau tertabrak mobil, ya jadinya gini dia sendiri kan, yang kena musibah." Adu Levi pada sang Bibi. "Sudahlah pak Levin, janga
Cakrawala memancarkan warna, dan tiba-tiba matahari muncul berada diantara percakapan Erlan dan Reni. Sejenak Erlan bernafas lega melihat wajah gadis itu, lalu menunduk lagi tangannya mencekeram kuat ujung kursi roda yang ia duduki. Seolah harinya begitu ragu akan ketulusan hati Reni. "Karena wanita itu, yang bernama Kamila, kau jadi kecelakaan, Pak?"Reni mendecih, sedangkan Erlan tidak melakukan tindakan apapun. Tidak mengiyakan tidak pula menentang. Merasa ucapan Reni tepat dia mengujar lagi, pertanyaan yang diluar dugaan. "Sudah kubilang, tidak karena siapa-siapa. Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudahlah.""Bisa-bisanya kau menghilang dariku, Pak. Terus mengapa jadi begini? Kenapa jadi lumpuh dikursi roda, Pak?"Erlan meremas rambutnya dengan kasar. Agar Reni mau menghentikan ocehannya. Ia begitu kesal oleh sikap Reni yang tidak menghargainya. "Sudahlah Ren, bukan urusanmu."Reni tersenyum jahat. "Maksudku aku akan menikah lagi. Pak"Kali ini Erlan membulatkan matanya, bahk
"Mas, kenapa tak memberi tahu Mbak Reni, padahal dia sudah kesini beberapa kali mencari, Mas."Erlan terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Kenapa Dimas tiba-tiba bertanya itu?"Apa aku pantas untuk sekedar dicintai, bahkan untuk berjalan saja aku tak bisa, Dim."Dimas mengehela nafas berat. " Ga boleh putus asa begitu, Mas. Bukankah dokter Reyga juga memberi tahu bahwa untuk kesembuhan, Mas sangatlah besar."Erlan menatap jendela dari balik kamarnya. "Entahlah Dimas, aku merindukan Alifa."Dimas tersenyum, sejak kapan kakaknya ini berubah baik. Bahkan ia tahu jika sang kakak selama ini tak pernah peduli dengan Alifa sang keponakan. "Iya, kapan-kapan kita ke sana ya.""Tidak, Dimas. Aku tak mau membuat Kamila susah dengan hadirku."Dimas tersenyum. "Mas, pikir mbak Kamila orangnya pendendam. Satu hal, Mas. Hati Mbak Kamila itu bagaikan sutra sangat lembut, jadi kayaknya ga ada masalah kalau kita menemui Alifa. Lagian bukankah Alifa adalah masih tanggung jawab Mas Erla
Ponsel di tangan Dimas hampir terjatuh saat melihat wanita yang tengah melintas di depannya. Dimas sambil mendorong kursi roda sang kakak Erlan. Mudah-mudahan kakaknya tak mengetahuinya. Namun, sepertinya ia tahu jika Kamila berjalan bersama seorang dokter yang tak lain adalah suaminya. Erlan terdiam, seketika ingatannya tertarik jauh ke masa lalu. Ia pikir selama sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan sosok Kamila. Ternyata, Erlan salah dan salah. Ia begitu terluka saat melihat ke arah sang mantan istri yang terlihat begitu cantik. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah ditorehkannya dulu, tetap saja kenangan indah sebelum luka itu ada, kembali hadir. Dengan cepatnya rasa itu muncul menembus batas pertahanan yang selama ini mereka pertahankan. Namun pecah dihantam gelombang perceraian. Memakai pashmina hitam dan masih sama, wajahnya tampak lebih sangat cantik dan begitu dewasa. Berbagai pikiran berkecamuk antara ingin menegur juga tak ingin bertemu dengannya. Untung
"Pak, meeting sudah mau dimulai.""Baiklah, ayo."Dengan hitungan langkah Erlan menuju tempat yang telah disediakan oleh Reni. Hati Erlan terasa berkeping-keping melirik Kamila yang tak melepas genggaman suaminya, Erlan terlihat kesal tidak dapat berdusta jika hatinya belum pulih sepenuhnya melupakan Kamila.Angin senja menerbak membelai wajah Erlan,yang menerpa angin berganti dengan semburat kuning di ujung langit. Ia telah selesai meeting hari hampir magrib. Entah mengapa Erlan begitu sibuk hingga tidak sedikitpun melirik jam di pergelangan tangannya. Saat menoleh Kamila dan suaminya telah pergi dari kafe itu. Dan sudah tak terlihat lagi. Kalaupun saat ini dia berkerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sang Ibu. Semenjak kejadian itu Erlan tak pernah pulang ke rumah. Tak sekalipun dia melihat ponsel sejak kejadian itu, untuk sekedar menjawab panggilan dari adiknya. Hal yang tidak pernah absen dilakukan Erlan selama ini, menuruti perintah sang Ibu. Duh, hari ini rasanya rindu d
Brakk! Erlan membanting pintu rumah Reni. "Pak sabarlah, mungkin Ibu Pak Erlan masih bergabung. Sudahlah jangan marah-marah terus.""Aku malas selalu dipojokkan, Ren.""Iya aku tahu Pak. Sabar ya." Reni menenangkan Erlan. Erlan berjalan ke arah kamar, sedangkan Reni ke dapur membuat kopi. Terdengar suara barang jatuh cukup keras dari arah kamar, disusul suara dentingan beberapa alat yang berjatuhan, membuat Reni terkejut."Pak ...!"Reni memanggilnya, namun, tak ada jawaban, seketika kamar terasa hening membuat perasaan Reni mulai tidak enak.Khawatir terjadi sesuatu pada Erlan, Reni berjalan cepat kearah kamar, tampak tubuh Erlan yang tersungkur dilantai, dengan mata tertutup."Ya Tuhan, Pak Erlan!"Reni menghampirinya, langsung meraih kepalanya dan meletakkannya di atas pangkuan, Reni berusaha tenang ia tahu jika Erlan lagi banyak masalah. Meskipun hati sangat cemas. "Pak! Ayo ke ranjang." Panggilnya pelan.Ia hanya mengangguk. "Kau sakit, Pak?" tanya Reni lagiErlan memegang ke
Erlan berjalan melewati jalanan yang sudah sangat ia hapal tiap kelokannya. Beberapa motor melintas mendahului mobil Erlan di sepanjang jalan ia hanya terpaku tak percaya oleh Kamila dan Alifa bersama lelaki itu yang baru sama terlihat sari pandangannya. Perasaannya yang semakin hancur tatakala menginggat semua kejadian saat pernikahaannya dengan wanita yang sangat ia sayangi yang kini sudah hancur. Entah apa yang terjadi dengannya saat ini, Erlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cepat. Mobil berjalan di depan rumah Kamila. Seperti dulu, saat masih kecil, Erlan mencuri waktu untuk bertemu Kamila. Dulu, Ayah Kamila sering terlihat marah karena Erlan menemuinya. Sekarang semuanya sudah berbeda, Ayah Kamila telah pergi, dan saat sang Ibu sudah memberi kebebasan, namun Erlan menghianatinya dan beliau mungkin sudah tidak berdaya. Lucunya, tak pernah sekalipun Erlan meminta maaf pada wanita yang sangat ia sayangi itu. Ah, Erlan mendengus kesal sambil membanting setir mobilnya, kadan
Malam semakin larut, sunyi sepi setelah anak-anak tertidur, Kamila langsung menuju kamar. Reyga sudah menunggu di dalam kamar."Sayang, sudah tidur jangan kecapekan," pinta Reyga pada Kamila untuk beristirahat."Iya Mas, aku baru saja nemenin anak-anak tidur," jawabnya ikut duduk di samping sang suami. "Oh, Mama sudah tidur?""Sudah, Mas." "Sayang terima kasih ya sudah mau menjadi ibu untuk anak-anakku," ucapnya pada Kamila. Kamila saat ini berada pada dada bidang Reyga. Ia menikmati wangi tubuh sang suami, entah akhir-akhir ini Kamila lebih suka berada di bawah ketiak sang suami. Kamila menarik tangan Reyga lalu meletakkan telapak tangan di atas perutnya."Mama sepertinya betah disini, sayang." Kamila mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang suami. Reyga mengusap pelan perut yang mulai membuncit. Menikmati keanehan yang terasa di dalam perut Kamila saat tangan Reyga berada di sana."Alhamdulillah, itu yang Kamila harapkan, Mas."Reyga mengangguk. "Mungkin, ini aka
Angga berteriak, Elang dan Bu Fatma panik. Elangengbil akih Arum dan menggendongnya ke dalam mobil sedangkan Angga berlari menyetir mobil. Dan mobil meninggalkan rumah milik. arum Dan Elang."Ya Allah, Arum! bangun, Nak! jangan tidur buka matamu, Rum!" Bu Ftama begitu cemas. Elang menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. "Mama Arum, ga apa-apa kan, Bu?" tanya Elang.Bu Fatma tak sanggup menjawab, hanya mampu memeluk kepala putrinya itu dengan erat. "Arum, kenapa, Elang?" tanya Angga dari depan."Tadi juga ga papa kok, Mas Angga," jawab Elang ketakutan dengan suara bergetar."Ya Allah ... sabar dikit lagi kita sampai. Bismillah ... mudahkan ya Allah ...." Angga terus memacu mobilnya menembus jalanan kota yang ramai. Motor-motor didepan masih terus merangsek membelah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang padat. Lalu lintas ibu kota yang tau sendirilah padatnya seperti apa.Bu Fatma terus berdzikir benar-benar berada dalam titik pasrah kepada Allah. Pengharapan tertinggi saat ini hanya mem
"Bangun, Mila. Sudah aku masakan air hangat untukmu."Kamila masih menggeliat dan mengucek matanya yang masih terpejam. "Harusnya ga usah repot masakin air segala, Rey," tukas Kamila. "Ya sekali-kali ga papa kan, kan selama ini kamu yang mengurusku. Apa mau aku gendong?"Pagi buta Kamila mendengar gombalan romantis dari suaminya, tiba-tiba bibir Kamila tersenyum kecut mendengarnya."Ayo sudah keburu dingin air hangatnya.""Iya... iya." Gerutu Kamila malas. Kamila menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar mandi dan bersiap menjadi makmum untuk menjalankan salat Subuh berjamaaah dengan suaminya. Di akhiri dengan doa sebagai penutup, Kamila melipat mukena dan kembali menaruhnya di atas nakas. Ia berjalan ke dekat jendela dan menyibak gorden kamarnya. Saat buka pintu jendela suasana masih gelap. Di langit timur nampak semburat warna jingga menebar dari balik bukit nan jauh di sana. Membuat Kamila tersenyum lalu menatap suaminya yang masih bertilawah. "Kami