Home / Romansa / Saat Istri Memilih Pergi / Menyakitkan dari apapun

Share

Menyakitkan dari apapun

Author: Purwa ningsih
last update Last Updated: 2022-05-07 09:44:31

Kata orang senja, adalah waktu yang tepat untuk meminta kepada sang pemberi kehidupan. Namun, banyak kejadian menyakitkan yang Arum simpan rapat-rapat di bilik memori dan tak pernah ingin Arum buka lagi. Namun, pada saat tertentu, kenangan menyakitkan itu muncul begitu saja dan membuat Arum tak berdaya untuk menepisnya.

Pada saat ini, wanita itu menyadari kalau tak bisa berpura-pura bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Semua kenangan itu tak bisa dihapus dari ingatannya, seorang istri yang tak diinginkan. Arum merindukan ayah juga Ibunya yang sudah lama pergi. Selama menjadi istri Damar memang tak sekalipun ia kasar padanya. Tapi tidak dengan keluarganya justru bertindak sebaliknya selalu menyakiti.

"Damar, kenapa kau menikahi perempuan yang tidak tahu asal usulnya." Suara sang Ibu meninggi membuat Arum begitu sesak.

"Bu, sudahlah!" Damar mencoba untuk meredam emosi Ibunya.

"Enak ya, sudah ga jelas. Untung Damar sudi menikahimu."

Seketika genangan air mata Arum mengalir deras.

"Bu!" Bentak Damar, membuat sang Ibu semakin murka.

"Kenapa, orang Ibu benar kok."

Wanita itu hanya diam, apa ada yang tidak diketahuinya selama ini tentang ayah dan Ibunya, namun kata Elang jika Ibu mereka meninggal karena kecelakaan.

"Aku minta maaf. Bu."

Lagi, keraguan menyelimuti hati Arum. disertai rasa nyeri yang terasa begitu menyiksa. Karena Arum sendiri tak pernah tahu, bagaimana bisa melalui hari-harinya tanpa sang Ibu di sisinya. Namun, ia sudah terlalu lelah hanya berperan sebagai bayangan yang seakan tak memiliki arti.

Arum menatap kosong ke depan, genangan air mata membasahi wajahnya. Bibi Fatma datang dan memeluknya dari belakang, ia tahu jika Arum begitu terluka. Ia membutuhkan pelukan darinya.

"Sayang, sudahlah jangan bersedih lagi ya, ada Bibi disini."

"Arum tidak kuat Bi, pengen ketemu Ibu," ucapnya sambil menangis.

"Tenang ya, sudah ada Bibi yang ada buat kamu."

Sesak dirasakan Bibi Fatma melihat Arum yang begitu rapuh. Andai saja ia bisa jujur kepada Arum, mungkin bebannya akan sedikit berkurang.

"Sabar, semua pasti akan berlalu, Rum, percayalah. Allah akan membantu hamba-Nya yang sabar."

"Rum tidak kuat, Bi."

"Kuat pasti kamu bisa, Bibi akan membantumu ya."

Rasa yang entah ... namun berharap jika sang pemberi kehidupan memberikan kesempatan untuknya membenahi kesalahannya dimasa lampau. Dan berkata jujur kepada Arumi. Sang Bibi memeluk tubuh ramping Arum sembari mengelus rambutnya. Berharap jika kehidupan Arum akan membaik setelah ini.

*

Jam menunjukkan pukul tujuh pagi wanita itu telah siap berangkat kerja. Karena ada panggilan kerja, sudah saatnya ia belajar mandiri karena tak enak jika menumpang hidup bersama sang Bibi. Sejenak wanita itu berdiri di depan cermin yang ada di ruangan itu. Kemudian memakai bedak tipis juga lipgloss, berharap kehidupannya akan baik-baik saja kedepannya.

Arum menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar. Udara pagi masih begitu cerah, sinar matahari yang mulai masuk melalui ventilasi jendela membuat Arum tersenyum dan berusaha untuk tegar dan kuat menjalani kehidupannya.

Arum keluar dan menemui Bibi Fatma yang masih sibuk menyiram bunga. Ya beliau mempunyai bisnis bunga online lumayan buat kehidupannya sehari-hari.

"Rapi sekali, Rum? Mau kemana?" tanya Bibi yang baru selesai dengan bunga-bunganya.

"Kerja, Bi. Alhamdulillah Rum dapat panggilan," jawabnya.

"Kerja? Kau yakin akan baik-baik saja, Nak?"

Arum mengangguk. Lagian saatnya Arum meninggalkan kesedihannya, tak pantas juga laki-laki itu ditangisi.

"Bismillah, Rum yakin Bi, tenanglah," ucap Arum tersenyum kearah Bibinya.

"Baiklah, tapi satu pesan Bibi, kamu tidak boleh keluar rumah ini, karena ini juga rumah kamu Nak."

Mata Arum menyipit? Rumahnya? Bibi mungkin bercanda. Toh beliau juga tidak punya siapapun.

"Ah, apa Rum enggak merepotkan, Bi?"

Wanita paruh baya yang cantik itu tersenyum. "Tidak, pintu rumah ini terbuka untukmu, Rum."

"Baiklah, aku berangkat dulu ya, Bi." Arum mencium punggung tangan Bibinya.

"Sekarang?"

"Iya. Nanti mau naik angkot lama nunggunya Bi."

Bibi Fatma tersenyum. " Pakailah mobil Bibi, Rum."

"Tidak usah lah, Bi."

"Kalau tidak tuh motor, kelamaan nanti kalau naik angkot."

"Enggak papa Bi? Arum bawa," tanya Arum senang.

"Boleh Bi."

"Ya, boleh lah, ya sudah. Hati-hati."

Arum membawa motor dan berlalu meninggalkan rumah sang Bibi. Angin pagi ini, membuainya. Menebarkan damai di penjuru hati. Perlakuan Bibi sama seperti seorang Ibu kepada anaknya. Arum tersenyum entahlah ... yang jelas pelukan hangat Bibinya begitu membuat Arum tenang.

*

Arum terus saja melajukan sepeda motor. Dan berbelok serta memarkirkan sepeda motor dan menemui Lestari sahabatnya. Lestari sudah tersenyum sembari melambaikan tangan.

"Astaga Rum, apa kabar? Kamu ini ya, makin cantik saja?" tanya Lestari antusias sambil memeluk erat tubuh sahabatnya.

"Tanyanya satu-satu Tari."

Lestari mengulum senyum. "Habisnya rindu Rum. Bagimana siap bekerja."

"Siap sih siap, tapi kalau enggak diterima bagaimana? Duh aku sudah keringat dingin begini Tari.... "

"Mudah-mudahan diterima, ingat kan lowongannya pas di kamu kok."

"Yakin?"

"Yakin. Sudah Ayo."

Arum menatap takjub bangunan yang menjulang tinggi, juga tempat yang begitu indah. Tertata rapi penuh bunga juga terlihat sejuk, mereka berjalan di atas paving yang tertata sempurna dengan banyak pohon palm di setiap ujung sekilas tampak sempurna setidaknya dimata Arum.

"Maaf, Mbak. Ini lamaran teman saya dan titip ya." Lestari bicara dengan hati-hati.

"Oh, iya. Sebentar, ya, silahkan tunggu di situ mbak." Wanita itu menunjuk ke kursi.

Wanita itu duduk, keringat dingin keluar dari tubuhnya. Menunggu panggilan sambil mengamati sekeliling dengan dada berdebar-debar.

"Maaf, Rum. Aku harus bekerja dulu ya, ingat Bismillah semoga diterima ya."

"Iya, terima kasih sebelumnya Tari."

"Semangat." Lestari adalah sahabat yang sangat ramah.

Arum tersenyum. "Ok."

Menunggu hingga dada Arum tak berhenti berdetak, menanti panggilan rasanya begitu was-was. Semoga saja nasib baik berpihak kepadanya dan wanita itu mendapatkan pekerjaan agar lukanya sedikit terobati karena sibuk.

"Arumi syahilla ... silahkan masuk ke ruangan."

Mbak itu tersenyum. Lalu mengajak Arum memasuki sebuah ruangan dan mulai untuk di wawancara.

"Namanya, Mbak, Arumi Syahila ya?" tanyanya sambil membuka sebuah lampuran lamaran Arumi.

"Benar. saya Arumi Syahila."

"Data anda lengkap dan sepertinya, perusahaan kami sedang membutuhkan bidang yang Anda tekuni selama ini, baiklah selamat bergabung. Semoga bisa bekerja sama. Anda kami terima." Pria itu berkata membuat Arum tak percaya.

Deg

"Apa diterima, Pak?"

Lelaki itu mengangguk. "Iya."

Arum tersenyum lega, ini pertama kalinya ia bekerja. "Iya pak Alhamdulillah."

"Bekerja dengan baik ya."

Arum mengangguk. "Baik, Pak, permisi."

*

Arum pikir setiap luka pasti meninggalkan darah ... nyatanya, tidak. Luka yang Damar tinggalkan hanya berupa perasaan kalah dan putus asa, lalu menjelma menjadi kebencian yang begitu mendalam.

Kali ini wanita itu tengah duduk di kursi kerjanya dengan setangkup harapan, berharap akan ada secercah harapan untuknya. Ia mulai memainkan jemarinya dilayar keyboard yang sudah lama tidak ia sentuh.

"Rum, selamat ya kamu diterima? filenya sudah jadi belum?" tanya Lestari.

Arum mendongak mencari arah suara. "Iya sebentar lagi ... makasih berkat kamu juga kan."

"Bagaimana pernikahanmu?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Lestari.

Hening.

"Talak tiga."

Lestari melotot kaget. "Apa ... gila. Sudah hentikan isak tangismu itu, terdengar bos bisa dipecat nanti. Lagian dunia juga belum kiamat kan jika kamu tidak bersamanya."

"Iya maaf."

"Kau terlalu baik untuk disakiti Rum, bagaimana Damar dulu berjuang mendapatkanmu melawan mas Elang, dengan mudahnya ia berbuat seperti itu."

Arum tersenyum. "Iya, Tari."

*

Mobil Damar melaju membelah jalan raya menuju ke perusahaan untuk mengadakan presentasi. Ia sudah tiba di parkiran perusahaan. Damar langsung mengarahkan ruangan yang sudah siapkan. Meeting selesai Damar dan tim memenagkan tander yang besar, Damar tersenyum bahagia. Namun tidak dengan hatinya.

"Kamu memang hebat Damar, aku bangga padamu." Kata pemimpin perusahaan.

"Terima kasih, Pak," ucap Damar pelan.

"Kita rayakan, kau yang terhebat dan cerdas?"

"Baik, Pak. "

Mereka menasuki area kafe, dan ketiga orang satu tim masuk bersamaan memesan nasi juga lauk ikan bakar gurami. Namun saat mamasuk sudut mata Damar menangkap bayangan seseorang wanita.

"Arum...?" Damar menggosok matanya dan kembali melihat ke arah tadi, namun sosok itu sudah hilang.

Mungkin karena rindunya ia dengan Arum.

Acara selesai hingga malam, mereka kembali pulang. Akhirnya Damar tiba di rumah. Sudah sepi, pastilah soalnya sudah tengah malam. Damar masuk melihat rumahnya begitu berantakan, sepertinya baru ada pesta, minuman juga piring berserakan diatas meja.

Lihatlah kelakuan keluarganya, waktu ada Arum rumah ini tidak ada satupun debu yang menempel.

"Arum di mana kamu? Lihatlah aku begitu rapuh tanpamu." Damar mengacak rambutnya kesal.

Damar bergeming lirih "Aku membutuhkanmu, Rum."

Damar sadar ia lalu duduk. Di pojok kamarnya, rasa bersalah hinggap lagi dalam pikirannya. Terus saja ia meyakinkan diri bahwa Arum pasti kembali, meski di dalam dada sungguh terasa hampa dengan keheningan yang kapan saja bisa membunuh Damar secara perlahan-lahan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Riski ansha Ansha
senang bisa baca ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Saat Istri Memilih Pergi   Pekerjaan Baru

    Wanita itu sibuk mengecek dan menata rapi kerjaannya, tak berselang lama tugas menumpuk lagi. Hari mulai panas pertanda hari mulai siang, saatnya istirahat Arumi bergegas ke musholla untuk menjalankan ibadah shalat dzuhur. Selesai bergabung dengan Lestari yang sedang asyik menyantap makan siang. "Tari.... " Arum memanggil sahabatnya. Lestari melambaikan tangan. "Ayo sini pesan makanan ya?" tanyanya. "Enggak, lah aku makan roti saja," jawab Arum malas."Nanti kamu sakit Rum, lihatlah kau ini wajahmu begitu pucat."Arum mengangguk pelan. "Baiklah.""Bu, satu lagi ya soto dagingnya." Pesan Lestari pada pemilik kantin. "Baik, Mbak Tari."Mereka menikmati makan siang bersama, tak butuh waktu lama Arum sudah mengenal banyak teman disini. Sikap supel dan ramah Arum membuat teman-teman yang baru dikenalnya begitu baik. Arum merasa jika dunianya akan membaik lambat laun. Terkadang Arum sangatlah takut, akan masa depannya seperti apa. Wajar jika ia merasa hatinya semakin hampa, entah seola

    Last Updated : 2022-05-07
  • Saat Istri Memilih Pergi   Maaf yang tetlambat

    Damar terpuruk di dalam hampa, ia masih merasakan mata Arum yang penuh dengan pelangi, namun mobilnya berhenti di depan rumah Hani. Hani begitu bahagia dan membuka pintu, setelah berhari-hari Damar tidak pernah mengunjunginya lagi. Rasa rindu yang membuncah membuat Hani kegirangan. Namun tidak dengan Damar pikirannya kosong hatinya begitu berat. "Hay ... sibuk, Mas sampai angkat telepon ku saja enggak mau." Hani mendengus kesal sambil bergelagut manja di lengan Damar. Terdengar Danar menarik nafas beratnya. "Maaf.... ""Ayo masuk, Mas," pinta Hani menarik tangan Damar. Damar mengikuti Hani, meskipun hatinya tak ingin. Entah kenapa mobilnya berhenti tadi depan halaman rumah Hani. Apa wanita ini akan seperti Arum yang begitu baik juga penurut? Entahlah ... yang Damar tahu jika Arum belum tergantikan hingga detik ini. "Minumlah kopinya masih hangat,"Damar tersenyum kecut. "Iya.""Lama lo Mas enggak kesini, Hani sampai rindu," goda Hani pada lelaki itu. "Iya, sibuk di kantor banyak

    Last Updated : 2022-05-07
  • Saat Istri Memilih Pergi   Tak bisa meluapakan

    Levin yang baru kembali dari lantai bawah sangat marah ketika ia menemukan Arum menangis bersama seorang pria. Levin begitu kesal memasang rahang mengeras melihat tingkah Pria itu, yang begitu ambisi menemui Arum. "Siapa pria itu!" Lirih Levin menarik tangan Arum berada di belakang tubuhnya. "Apa yang kau lakukan? Ayo pergi." Teriak Levin."Siapa kau?" Damar menoleh kesal ke arah Arum. "Ayolah, jangan ganggu kami.""Apa kau tidak waras, lihat Arum menangis karenamu.""Dia mantan suamiku, Pak" tangis Arum pecah. Tentu saja perkataan Arum sontak membuat Levin kebingungan pada awalnya, akan tetapi setelah tahu ia berusaha membela Arum. "Rum, aku mohon." Damar berusaha agar Arum memberinya kesempatan bicara. "Lelaki gila, meninggalkan masih saja mengikutimu Rum. Apa dia tak punya etika juga enggak pernah belajar.""Saya tahu, dan silahkan nikahi Arum setelah itu akan aku rebut kembali Arum dari tanganmu.""Hah, kau pikir aku seorang muhalil hah, haha... Jika aku menikahi Arum tidak a

    Last Updated : 2022-05-07
  • Saat Istri Memilih Pergi   Di unung Senja

    "Bi...!"Arum menghela napas barat, lalu menatap wajah Bibinya, terlihat jelas wajah Arum yang begitu pucat. "Kenapa Nak, ceritakan biar kau lega."Sesaat Arum merasa seperti ada yang hilang. Entahlah begitu berat jika ia harus berpisah dengan Damar, tak bisa dipungkiri mereka sudah lama hidup bersama. Tak mudah bagi Arum melupakannya begitu saja. "Ayo, ceritakan pada Bibi," ucap Bibi Fatma menenangkan Arum yang begitu sedih. Wanita cantik itu mengangguk. "Entahlah, Bi, Rum begitu sakit. Arum rindu, Mas Elang."Wanita paruh baya itu mengusap rambut Arum dengan pelan. "Kau merindukannya?""Iya Bi, biasanya jika Rum sedih, mas Elang selalu ada," jelas Arum yang begitu merindukan kakaknya. "Sabarlah, pasti nanti bisa ketemu lagi.""Apa, mas Elang enggak sayang sama Arum Bi?" tanya Arum dengan pelupuk mata yang sudah digenangi air mata. "Jangan bilang begitu, dia begitu sayang kan sama kamu hingga dia pergi menjauh." Perkataan sang Bibi membuat Arum curiga. "Maksudnya apa Bi, karena

    Last Updated : 2022-05-29
  • Saat Istri Memilih Pergi   Ke rumah sakit

    Levin mengangkat tubuh Arum yang masih tak sadarkan diri. Rasa panik menghantuinya, entah, sepertinya ia sudah mengenal Arum begitu lama wanita ini. Jika terjadi sesuatu padanya apa yang harus dilakukan. "Maaf permisi keluarga dari pasien yang mana?" tanya salah satu perawat. "Sebentar lagi sus," jawab Lestari cemas karena ia sudah menghubungi Bibinya Arum yang masih dalam perjalanan. "Aduh ... pasien harus segera ditangani pendarahannya cukup banyak.""Apa yang dibutuhkan, Sus, saya kakak dari pasien." Bohong Levin pada sang suster. "Baiklah, ikut saya, Bapak harus tanda tangan, segera akan dilakukan kuret karena janinnya tak bisa terselematkan." Jelas sang suster pada Levin. "Apa... jadi dia hamil, sus?" tanya penasaran Lestari. "Iya, Mbak. Mari ikut saya,Pak."Jantung Levin naik turun, ia gemeteran wanita itu begitu menderita. Bagaimana bisa lelaki itu menyakiti wanita sebaik Arum. Ia segera menandatanganinya karena ia tidak ingin melihat Arum kehilangan nyawa dan tak bisa se

    Last Updated : 2022-05-29
  • Saat Istri Memilih Pergi   Kehilangan sang buah hati

    Damar berlari saat mengetahui jika Arum pun dirawat di tempat yang sama. Saat ia menjenguk Ibunya, ia melihat Bibi Fatma membelikan bubur untuk Arum. Dan saat Damar mengikuti ternyata benar Arum yang sakit. Rasa penasaran Damar kian tersulut, sakit apa sebenarnya Arum? "Pak Levin, ada apa dengan Arum?" tanya Damar sambil berusaha mengatur nafasnya yang habis berlari. Levin memanas, rahangnya mengeras, selama ini dia memang mengenal banyak gadis namun saat melihat air mata Arum hatinya begitu terluka, seolah diri nya ikut merasakan sakit yang Arum rasakan. "Pak, Aku mohon, beritahu ada apa dengan Arum?" tanyanya lagi sambil memohon. Levin tak bisa mengendalikan emosinya. Tangannya mengepal sejurus kemudian melayang menghantam ke wajah Damar dengan sangat keras. "Bughh...."Darah segar mengalir dari sudut bibir Damar. "Aghh, ada apa ini pak Levin.""Coba kau tidak melukainya, Mungkin kandungannya akan baik-baik saja. Lihatlah karena dia stres janinnya tidak bisa berkembang. Suami

    Last Updated : 2022-05-29
  • Saat Istri Memilih Pergi   Penyesalan

    "Dia yang memberikan aku talak tiga. Hani, demi kekasihnya yang beberapa tahun akhir-akhir ini muncul di hidupnya." Tukas Arum menceritakan semua pada sahabatnya itu.Terlihat Hani begitu syok. Ia tak tahu jika Damar kekasihnya adalah suami sahabatnya terbaiknya Arum. "Oh. Su ... suami kamu, Rum?" tanya Hani tak percaya. Arum masih mengusap sudut matanya yang basah, dan mengangguk. "Iya.""Demi Tuhan, aku minta maaf, Rum." Lagi-lagi Damar memohon"Maksud Mas Damar?" tanya Arum tidak mengerti. Arum telah sadar, apakah wanita itu Hani? Ya, dia ingat betul vidio yang diberikan oleh Lestari. Wajahnya seperti tidak asing saat itu. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibir wanita itu seakan kelu. "Katakan sesuatu, Mas Damar? dan kamu Hani plis? Apa kalian ada hubungan?" tanya Arum lagi kepada keduanya. Damar masih diam layaknya patung. Hanya bibirnya yang kemudian bergetar, menahan sesak yang merelungi hatinya. "Rum, maaf....""Aku lelah, benar-benar tak percaya, Mas, jadi Hani saha

    Last Updated : 2022-05-29
  • Saat Istri Memilih Pergi   Anak kecil itu

    Sementara hari berganti hari, dan bulan berganti bulan. Arum sedang diapotik membeli obat pesanan Bibi Fatma, ia mengantre setelah namanya dipanggil ia kedepan dan menebus obatnya. Selesai ia berjalan menunggu taksi lewat, kebetulan hari ini ia tidak membawa kendaraan. Arum berjalan mendekati jalan utama dan duduk sambil menunggu, sesaat ia melihat ada gadis kecil mau berlari kearah jalan raya. Sementara ada mobil yang berjalan cepat kearahnya. Arum kaget dan langsung berlari menarik tangan gadis kecil itu, hingga ia tersungkur jatuh di tepi jalanan. "Aghh.... " Teriak Arum kesakitan tangannya berdarah. "Maaf, Tante tidak apa-apa?" tanya gadis kecil itu. "Iya, Tante baik-baik saja Nak.""Aduh maaf ya mbak, terima kasih banyak ya, sudah menolong non Naura. Jika tidak ada mbak. Mugkin Bibi bisa dipecat.""Sama-sama Bi. Lain kali jagainnya hati-hati ya.""Baik Mbak."Selang beberapa menit Levin datang menghampiri, dan meraih tangannya berusaha membangunkan Arum. "Ada-ada saja kamu in

    Last Updated : 2022-05-29

Latest chapter

  • Saat Istri Memilih Pergi   Indah pada akhirnya End

    Cakrawala memancarkan warna, dan tiba-tiba matahari muncul berada diantara percakapan Erlan dan Reni. Sejenak Erlan bernafas lega melihat wajah gadis itu, lalu menunduk lagi tangannya mencekeram kuat ujung kursi roda yang ia duduki. Seolah harinya begitu ragu akan ketulusan hati Reni. "Karena wanita itu, yang bernama Kamila, kau jadi kecelakaan, Pak?"Reni mendecih, sedangkan Erlan tidak melakukan tindakan apapun. Tidak mengiyakan tidak pula menentang. Merasa ucapan Reni tepat dia mengujar lagi, pertanyaan yang diluar dugaan. "Sudah kubilang, tidak karena siapa-siapa. Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudahlah.""Bisa-bisanya kau menghilang dariku, Pak. Terus mengapa jadi begini? Kenapa jadi lumpuh dikursi roda, Pak?"Erlan meremas rambutnya dengan kasar. Agar Reni mau menghentikan ocehannya. Ia begitu kesal oleh sikap Reni yang tidak menghargainya. "Sudahlah Ren, bukan urusanmu."Reni tersenyum jahat. "Maksudku aku akan menikah lagi. Pak"Kali ini Erlan membulatkan matanya, bahk

  • Saat Istri Memilih Pergi   menuju bahagia

    "Mas, kenapa tak memberi tahu Mbak Reni, padahal dia sudah kesini beberapa kali mencari, Mas."Erlan terdiam. Merasakan detak jantung yang meningkat cepat. Kenapa Dimas tiba-tiba bertanya itu?"Apa aku pantas untuk sekedar dicintai, bahkan untuk berjalan saja aku tak bisa, Dim."Dimas mengehela nafas berat. " Ga boleh putus asa begitu, Mas. Bukankah dokter Reyga juga memberi tahu bahwa untuk kesembuhan, Mas sangatlah besar."Erlan menatap jendela dari balik kamarnya. "Entahlah Dimas, aku merindukan Alifa."Dimas tersenyum, sejak kapan kakaknya ini berubah baik. Bahkan ia tahu jika sang kakak selama ini tak pernah peduli dengan Alifa sang keponakan. "Iya, kapan-kapan kita ke sana ya.""Tidak, Dimas. Aku tak mau membuat Kamila susah dengan hadirku."Dimas tersenyum. "Mas, pikir mbak Kamila orangnya pendendam. Satu hal, Mas. Hati Mbak Kamila itu bagaikan sutra sangat lembut, jadi kayaknya ga ada masalah kalau kita menemui Alifa. Lagian bukankah Alifa adalah masih tanggung jawab Mas Erla

  • Saat Istri Memilih Pergi   mencintaimu

    Ponsel di tangan Dimas hampir terjatuh saat melihat wanita yang tengah melintas di depannya. Dimas sambil mendorong kursi roda sang kakak Erlan. Mudah-mudahan kakaknya tak mengetahuinya. Namun, sepertinya ia tahu jika Kamila berjalan bersama seorang dokter yang tak lain adalah suaminya. Erlan terdiam, seketika ingatannya tertarik jauh ke masa lalu. Ia pikir selama sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan sosok Kamila. Ternyata, Erlan salah dan salah. Ia begitu terluka saat melihat ke arah sang mantan istri yang terlihat begitu cantik. Bagaimanapun pedihnya luka yang pernah ditorehkannya dulu, tetap saja kenangan indah sebelum luka itu ada, kembali hadir. Dengan cepatnya rasa itu muncul menembus batas pertahanan yang selama ini mereka pertahankan. Namun pecah dihantam gelombang perceraian. Memakai pashmina hitam dan masih sama, wajahnya tampak lebih sangat cantik dan begitu dewasa. Berbagai pikiran berkecamuk antara ingin menegur juga tak ingin bertemu dengannya. Untung

  • Saat Istri Memilih Pergi   Bayangan semu

    "Pak, meeting sudah mau dimulai.""Baiklah, ayo."Dengan hitungan langkah Erlan menuju tempat yang telah disediakan oleh Reni. Hati Erlan terasa berkeping-keping melirik Kamila yang tak melepas genggaman suaminya, Erlan terlihat kesal tidak dapat berdusta jika hatinya belum pulih sepenuhnya melupakan Kamila.Angin senja menerbak membelai wajah Erlan,yang menerpa angin berganti dengan semburat kuning di ujung langit. Ia telah selesai meeting hari hampir magrib. Entah mengapa Erlan begitu sibuk hingga tidak sedikitpun melirik jam di pergelangan tangannya. Saat menoleh Kamila dan suaminya telah pergi dari kafe itu. Dan sudah tak terlihat lagi. Kalaupun saat ini dia berkerja keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sang Ibu. Semenjak kejadian itu Erlan tak pernah pulang ke rumah. Tak sekalipun dia melihat ponsel sejak kejadian itu, untuk sekedar menjawab panggilan dari adiknya. Hal yang tidak pernah absen dilakukan Erlan selama ini, menuruti perintah sang Ibu. Duh, hari ini rasanya rindu d

  • Saat Istri Memilih Pergi   Penyesalan

    Brakk! Erlan membanting pintu rumah Reni. "Pak sabarlah, mungkin Ibu Pak Erlan masih bergabung. Sudahlah jangan marah-marah terus.""Aku malas selalu dipojokkan, Ren.""Iya aku tahu Pak. Sabar ya." Reni menenangkan Erlan. Erlan berjalan ke arah kamar, sedangkan Reni ke dapur membuat kopi. Terdengar suara barang jatuh cukup keras dari arah kamar, disusul suara dentingan beberapa alat yang berjatuhan, membuat Reni terkejut."Pak ...!"Reni memanggilnya, namun, tak ada jawaban, seketika kamar terasa hening membuat perasaan Reni mulai tidak enak.Khawatir terjadi sesuatu pada Erlan, Reni berjalan cepat kearah kamar, tampak tubuh Erlan yang tersungkur dilantai, dengan mata tertutup."Ya Tuhan, Pak Erlan!"Reni menghampirinya, langsung meraih kepalanya dan meletakkannya di atas pangkuan, Reni berusaha tenang ia tahu jika Erlan lagi banyak masalah. Meskipun hati sangat cemas. "Pak! Ayo ke ranjang." Panggilnya pelan.Ia hanya mengangguk. "Kau sakit, Pak?" tanya Reni lagiErlan memegang ke

  • Saat Istri Memilih Pergi   Kesalahan

    Erlan berjalan melewati jalanan yang sudah sangat ia hapal tiap kelokannya. Beberapa motor melintas mendahului mobil Erlan di sepanjang jalan ia hanya terpaku tak percaya oleh Kamila dan Alifa bersama lelaki itu yang baru sama terlihat sari pandangannya. Perasaannya yang semakin hancur tatakala menginggat semua kejadian saat pernikahaannya dengan wanita yang sangat ia sayangi yang kini sudah hancur. Entah apa yang terjadi dengannya saat ini, Erlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cepat. Mobil berjalan di depan rumah Kamila. Seperti dulu, saat masih kecil, Erlan mencuri waktu untuk bertemu Kamila. Dulu, Ayah Kamila sering terlihat marah karena Erlan menemuinya. Sekarang semuanya sudah berbeda, Ayah Kamila telah pergi, dan saat sang Ibu sudah memberi kebebasan, namun Erlan menghianatinya dan beliau mungkin sudah tidak berdaya. Lucunya, tak pernah sekalipun Erlan meminta maaf pada wanita yang sangat ia sayangi itu. Ah, Erlan mendengus kesal sambil membanting setir mobilnya, kadan

  • Saat Istri Memilih Pergi   Mencintaimu

    Malam semakin larut, sunyi sepi setelah anak-anak tertidur, Kamila langsung menuju kamar. Reyga sudah menunggu di dalam kamar."Sayang, sudah tidur jangan kecapekan," pinta Reyga pada Kamila untuk beristirahat."Iya Mas, aku baru saja nemenin anak-anak tidur," jawabnya ikut duduk di samping sang suami. "Oh, Mama sudah tidur?""Sudah, Mas." "Sayang terima kasih ya sudah mau menjadi ibu untuk anak-anakku," ucapnya pada Kamila. Kamila saat ini berada pada dada bidang Reyga. Ia menikmati wangi tubuh sang suami, entah akhir-akhir ini Kamila lebih suka berada di bawah ketiak sang suami. Kamila menarik tangan Reyga lalu meletakkan telapak tangan di atas perutnya."Mama sepertinya betah disini, sayang." Kamila mengangkat kepalanya, lalu menumpu dagunya di bahu sang suami. Reyga mengusap pelan perut yang mulai membuncit. Menikmati keanehan yang terasa di dalam perut Kamila saat tangan Reyga berada di sana."Alhamdulillah, itu yang Kamila harapkan, Mas."Reyga mengangguk. "Mungkin, ini aka

  • Saat Istri Memilih Pergi   Arum melahirkan

    Angga berteriak, Elang dan Bu Fatma panik. Elangengbil akih Arum dan menggendongnya ke dalam mobil sedangkan Angga berlari menyetir mobil. Dan mobil meninggalkan rumah milik. arum Dan Elang."Ya Allah, Arum! bangun, Nak! jangan tidur buka matamu, Rum!" Bu Ftama begitu cemas. Elang menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. "Mama Arum, ga apa-apa kan, Bu?" tanya Elang.Bu Fatma tak sanggup menjawab, hanya mampu memeluk kepala putrinya itu dengan erat. "Arum, kenapa, Elang?" tanya Angga dari depan."Tadi juga ga papa kok, Mas Angga," jawab Elang ketakutan dengan suara bergetar."Ya Allah ... sabar dikit lagi kita sampai. Bismillah ... mudahkan ya Allah ...." Angga terus memacu mobilnya menembus jalanan kota yang ramai. Motor-motor didepan masih terus merangsek membelah jalanan yang dipenuhi kendaraan yang padat. Lalu lintas ibu kota yang tau sendirilah padatnya seperti apa.Bu Fatma terus berdzikir benar-benar berada dalam titik pasrah kepada Allah. Pengharapan tertinggi saat ini hanya mem

  • Saat Istri Memilih Pergi   Berlibur

    "Bangun, Mila. Sudah aku masakan air hangat untukmu."Kamila masih menggeliat dan mengucek matanya yang masih terpejam. "Harusnya ga usah repot masakin air segala, Rey," tukas Kamila. "Ya sekali-kali ga papa kan, kan selama ini kamu yang mengurusku. Apa mau aku gendong?"Pagi buta Kamila mendengar gombalan romantis dari suaminya, tiba-tiba bibir Kamila tersenyum kecut mendengarnya."Ayo sudah keburu dingin air hangatnya.""Iya... iya." Gerutu Kamila malas. Kamila menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar mandi dan bersiap menjadi makmum untuk menjalankan salat Subuh berjamaaah dengan suaminya. Di akhiri dengan doa sebagai penutup, Kamila melipat mukena dan kembali menaruhnya di atas nakas. Ia berjalan ke dekat jendela dan menyibak gorden kamarnya. Saat buka pintu jendela suasana masih gelap. Di langit timur nampak semburat warna jingga menebar dari balik bukit nan jauh di sana. Membuat Kamila tersenyum lalu menatap suaminya yang masih bertilawah. "Kami

DMCA.com Protection Status