Hari ini Serena kembali mendatangi makam Kaisar sama seperti sebelumnya Ia selalu datang setiap kali jam menunjukkan pukul empat sore. Sudah satu minggu ini Serena tidak pernah absen datang ke tempat peristirahatan mantan kekasihnya itu. "Tolong maafkan aku!" bisiknya yang mungkin sudah ke seratus kali terhitung sejak saat pertama kali datang ke makam Kaisar. Setiap hari Serena datang hanya untuk mengucapkan dua kata 'Maafkan aku' . Tak ada kata lain yang diucapkannya selain dua kata tersebut. Hari ini Ia datang untuk berpamitan pada Kaisar. Serena sudah memutuskan untuk memulai hidup baru di tempat baru juga. Ia menatap sendu pada batu nisan yang bertuliskan Kaisar Danu Atmajda. Perlahan tangannya terulur hendak menyentuh batu nisan tersebut. Namun diurungkannya, sama seperti hari-hari sebelumnya. Sekalipun Serena tidak pernah menyentuh batu nisan atau makam Kaisar. Setiap kali Serena datang ke makam Kaisar, ia akan duduk di tanah samping makam sambil menangis dan mengucapakan maaf
Pov Dirga. Beberapa hari ini aku sangat sibuk dengan bisnis baru yang sedang aku rintis bersama tiga temanku. Aku sudah mengundurkan diri dari perusahaan tempatku bekerja. Perusahaan yang telah membuatku menjadi seorang manager dengan gaji yang cukup besar yang membuatku dapat memiliki rumah, mobil dan tabungan yang lebih dari cukup untuk bisa aku nikmati di hari tua. Pekerjaan itu juga yang membuatku kehilangan banyak waktu bersama anak dan istriku. Terkadang aku merasa menjadi orang yang sangat bodoh. Aku mencari uang untuk keluargaku namun karena terlalu sibuk mencari uang sekarang aku hampir kehilangan keluargaku. Aku sibuk mengejar karir sampai-sampai aku melupakan tugasku sebagai seorang suami dan ayah. Dengan alasan pekerjaan aku membuat jarak antara aku dan putri semata wayang kami. Aku tidak pernah mengajaknya bercanda apalagi memanjakannya, sehingga membuat Zena putri kami lebih dekat dengan Dewa, sahabat istriku di banding denganku. Aku juga tidak punya waktu untuk seked
Pov Dirga. "Tapi Anita mengatakan jika kalian dalam proses perceraian sejak setahun yang lalu," kata Meysa yang membuat emosi tersulut. Ternyata benar apa yang di katakan Serena adikku itu tidak seperti yang aku kira. Anita benar-benar membuatku kecewa kali ini. "Itu bohong." sahutku dengan nada tinggi. "Aku sangat mencintai istriku. Jadi, tidak mungkin aku akan menceraikan dia," Aku berbicara dengan serius."Mana aku tahu jika Anita berbohong, aku pikir kamu memang ingin bercerai. Serena sendiri membenarkan jika kalian sedang proses perceraian." jawabnya membela diri. "Itu karena ucapanmu yang mengatakan kita ada hubungan dan berencana menikah," Aku menatapnya tajam, "Seharusnya kamu tidak mengatakan kata-kata yang sudah membuat istriku terluka. Aku kecewa padamu, bisa-bisanya kamu memberinya saran agar bercerai denganku." Aku benar-benar kesal padanya. Aku mengnggapnya sebagai teman baik, seharusnya di tahu cara menghargai persahabatan kami dengan tidak saling mencampuri urus
Sudah satu jam Dirga berdiam diri di dalam mobilnya sambil mengawasi rumah mertuanya. Setelah mendengar informasi yang diberikan oleh sahabatnya beberapa jam yang lalu Dirga bergegas menuju rumah sang mertua. Namun dua satpam yang berjaga di rumah ibu mertuanya itu menolak untuk mengizinkannya masuk. Dirga tak menyerah, dia berusaha masuk dengan memanjat pagar namun usahanya gagal karena Gibran mengganti gerbang pagar rumahnya dengan pintu besi yang dilapisi kayu sehingga area rumah tidak terlihat dari luar dan sulit di panjat. Dulu rumah keluarga Serena hanya rumah kecil yang sederhana dengan halaman luas dan berpagar kayu sepinggang orang dewasa. Namun seiring dengan kesuksesan Gibran, rumah mereka berangsur-angsur berubah menjadi besar dan mewah. Bisa dikatakan Dirga jarang berkunjung ke rumah mertuanya sehingga dia cukup terkejut ketika kedatangannya beberapa bulan yang lalu di hadang oleh 2 satpam yang entah sejak kapan di sewa oleh Gibran. Hari ini Dirga kembali dibuat kaget
"Bagaimana jika adik Pak Dirga yang di tampar dan lengannya dilukai dengan pecahan kaca sampai mengalami infeksi? Apa Pak Dirga bisa memakluminya?" tanya salah satu Pengacara Serena. Sontak membuat Dirga tersulut emosinya. Dengan penuh amarah dia menatap tajam pada salah satu pengacara Serena yang mengajukan pertanyaan tersebut. "Anda sangat marah?" Pengacara Serena tersenyum puas. "Pak hakim bisa lihat sendiri. Apapun alasannya, mengangkat tangan pada wanita tidak bisa di benarkan apa lagi di maklumi." tambahnya mengutarakan pendapatnya. Setelah melihat bukti dan mendengar pernyataan dari kedua belah pihak, akhirnya hakim ketua memutuskan untuk menunda sidang sampai jadwal persidangan berikutnya. Hakim juga memberi kesempatan pada kedua belah pihak untuk mencari bukti dan membawa saksi untuk memperkuat peryataan mereka pada sidang selanjutnya. Setelah ketukan terdengar ketukan palu, ketiga hakim meninggalkan ruang sidang. Diikuti Gibran dan dua pengacaranya. Dengan wajah Sumringa
"Aku tidak bisa hidup tanpa Serena dan Zena. Aku mohon jangan pisahkan kami!" ucap Dirga memelas. "Kalau begitu kamu mati saja," ujar Gibran datar tanpa berbelas kasihan. "Aku rela mati, jika memang itu bisa menyembuhkan luka di hati Serena. Dengan sebagai hati aku akan membunuh diriku sendiri jika itu membuat Serena bahagia." kata Dirga serius. Seandainya saja semudah itu cara menebus kesalahan pada Serena. Sayangnya itu bukan yang diinginkan oleh wanita yang sudah memberikan seorang putri cantik untuknya. Sekalipun Serena terlihat dingin dan keras namun hatinya sangat lembut dan hangat. Serena adalah orang yang tidak tegaan dan mudah merasa iba kepada orang lain. "Cih. Kamu mengatakan itu karena kamu tahu Serena seperti apa?" cibir Gibran. "Asal kamu tahu kalau bukan karena Serena, sudah aku pastikan kamu terbaring di ranjang rumah sakit." sambungnya sembari menekan suaranya agar tidak berteriak. "Aku tahu. Aku sadar sepenuhnya istriku itu sangat baik. Dan aku sangat menyesal s
[Ada yang melaporkan Ayahmu karena membeli barang curian. Ayah kamu di tuduh sebagai penadah barang curian.] Mirna menjelaskan dengan terisak. [Karena itu sekarang Ayah kamu berada di kantor polisi untuk dimintai keterangan.] "Astaghfirullah,," ucap Dirga lirih sambil memijit pelipisnya.Kepalanya mendadak pusing mendengar cerita ibunya. Masalahnya dengan Serena belum selesai kini ditambah lagi dengan masalah minimarket keluarganya.[Kenapa bisa seperti itu Bu? Bukannya selama ini Ayah ambil barang langsung dari sales pabrik yang datang ke mini market kita?] tanya Dirga keheranan. Setahu Dirga barang-barang yang di jual di minimarket ayahnya itu di kirim langsung oleh sales pabrik. Bagaimana bisa tiba-tiba ayahnya di tuduh sebagai penanda barang curian. [Iya, dulu memang langsung di kirim oleh sales tapi sejak dua tahun lalu ayahmu mengambil sebagian barang toko dari teman lamanya, namanya Pak Aji.] jawab Mirna [Kata Ayahmu kalau ambil barang di Pak Aji, harganya lebih murah jadi
Pukul 12 malam lebih sepuluh menit, Dirga baru sampai di rumah orang tuanya. Begitu mendengar suara mobil berhenti di halaman rumah, Rahma di ikuti Anita langsung menyambut kedatangan Dirga. "Dirga," Mirna berhambur memeluk putra sulungnya yang baru beberapa langkah berjalan di teras rumahnya. Sambil menangis Mirna mengajak putranya masuk ke dalam rumah lalu meminta Anita untuk mengambilkan air minum untuk kakaknya yang baru sampai setelah menempuh perjalanan jauh. Setelah mereka duduk di ruang tengah Mirna memberitahu putranya itu jika malam ini suaminya harus menginap di kantor polisi untuk kepentingan penyelidikan. Kasus yang di hadapi Hendrawan cukup serius karena yang melaporkan kasus pencurian ini, langsung dari pihak perusahaan yang merasa di rugikan. Tidak hanya satu perusahaan melainkan tiga perusahaan yang sama-sama melaporkan kasus yang sama dengan pelaku yang sama pula. Meski lelah, dengan serius Dirga tetap mendengarkan cerita ibunya. Sambil menyandarkan punggungnya p
"Sah" pekik sang penghulu yang langsung di sambut riuh para saksi. "Sah," Suara para saksi terdengar kompak disusul. lantunan do'a dari sang penghulu dan segera diaminkan oleh seluruh yang hadir di ruangan itu. "Alhamdulillah,," Suara lirih Rahma penuh syukur. "Iya Alhamdulillah ya Bun. Akhirnya Mas, Gibran menikah juga," sahut Serena sambil mengelus punggung wanita paruh baya itu. Rahma hanya menghela nafas dengan pandangan yang sendu kearah sepasang pengantin yang nampak bahagia dengan senyum sumringah di wajah keduanya. "Bunda, senyum dong. Pengantinnya mau minta do'a restu," ujar Serena saat Gibran dan Nurida mendekati sang Bunda untuk sungkem. Hari ini adalah pernikahan Gibran dan Nurida. Setelah satu tahun meminta berjuang akhirnya hari ini mereka bisa melangsungkan akad nikah dengan restu dari Rahma. Ya, awalnya Rahma menolak memberi restu Gibran menikahi sahabat Serena itu. Rahma menginginkan menantu yang statusnya sama dengan Gibran. Bukan seorang janda dengan satu ana
"Ru rujuk? maksudnya?" tanya Serena menoleh pada Dirga. "Beberapa bulan yang lalu Anita mengajukan gugatan cerai pada Andika." Dirga menjawab pertanyaan Serena lalu mengalihkan pandangannya pada Hendrawan. "Bukannya perceraian mereka sudah di putuskan pengadilan?" "Iya tapi belum mengikrarkan talak. Selama perpisahan mereka Andika belum pernah mengucap talak." penjelasan Hendrawan mendapat anggukan mengerti dari Dirga. Serena hanya diam tanpa berniat berkomentar. Ia masih tidak percaya mendengar berita perceraian adik iparnya itu. Apalagi selama ini Hendra dan Mirna selalu membanggakan rumah tangga putri bungsunya itu sangat harmonis. "Rena, kenapa tamunya tidak di ajak masuk?" Rahma ikut keluar menyambut besannya itu. Dengan senyum ramah ibu Serena mengulurkan tangannya menyalami kedua orang tua menantunya itu. "Ayo silahkan masuk!" ajak Rahma menggiring besannya itu untuk masuk ke sisi lain ruang tamu yang memang di peruntukkan untuk menjamu tamu yang datang. "Maaf duduknya di
Sudah dari kemarin Dirga dan Serena menempati rumah baru mereka. Tak ketinggalan Rahma dan Gibran juga keluarga kecil Indira ikut menginap sejak semalam. sudan dari selesai sholat shubuh Rahma sibuk mengatur persiapan acara ulang tahun sekaligus tasyakuran rumah baru putri bungsunya. Di bantu dua orang asisten rumah tangga ia sibuk di dapur. Rencananya pada jam 9 pagi akan diadakan pengajian bersama dengan mengundang para tetangga juga saudara dan teman-teman Dirga. Untuk ulang tahun Zena akan diadakan setelah dhuhur. Bukan hanya Rahma, Indira pun begitu. Kakak kedua Serena itu juga sibuk mengatur tempat dan bingkisan untuk para undangan. "Inah, kamu taruh semua bingkisan itu di depan. Di bawah tenda ya!" perintahnya pada seorang asisten rumah tangga yang baru di pekerjakan oleh Dirga sejak dua hari yang lalu. "Periksa juga bingkisan untuk undangan ulang tahun Zena! Jumlahnya kurang atau tidak?" sambungnya lalu berjalan menuju dapur. "Rena, cateringnya datang jam berapa? Acaranya
"Siapa yang akan mengacaukan? Dirga bisa sesukses ini juga karena kita. Enak sekali keluarga Serena, tidak merasakan susahnya sekarang ikut menikmati hasil kesuksesan Dirga," gerutu Hendrawan. "Minta alamatnya. Minggu depan kita berangkat ke sana," "Apa Ayah Tidak malu bicara seperti itu?" Mirna menatap tajam suaminya. "Sudah lupa apa yang Ayah lakukan pada Dirga?" Pertanyaan Mirna sontak menyulut emosi di dada Hendrawan. Dengan rahang yang mengeras pria paruh baya itu membalas tatapan Mirna tak kalah tajam. Namun kali ini Mirna tidak takut apalagi segan. Ia sudah sangat jengah dengan dengan sikap dan perangai suaminya itu. "Aku pikir beberapa bulan ini kamu sudah berubah, tapi nyatanya aku salah. Kamu tetap egois dan tidak mau mengakui salah." "Apa maksudmu?" sentak Hendrawan emosi. "Apa perlu aku mengulangi perkataan Dirga dua tahun lalu? Apa perlu aku mengulik kesalahan suamiku yang tidak pernah mau kamu akui?" Mirna menarik nafas panjang untuk sedikit mengurangi rasa kesalnya
Sekitar pukul setengah tujuh malam, mobil dirga memasuki pelataran rumah besar mertuanya. Serena membuka pintu rumah bersamaan dengan Dirga yang keluar dari mobilnya dengan membawa banyak bawaan di kedua tangannya. "Biar kubantu Mas," ujar Serena segera mendekat dan mengambil satu kotak besar dari tangan kanan Dirga. "Hati-hati itu kue ulang tahun untuk Zena," sahut Dirga sedikit khawatir. "Iya," jawab Serena tersenyum lalu berjalan masuk lebih dulu. "Dimana Zena?" tanya Dirga berjalan dibelakang Serena. "Zena lagi di kamar Bunda bersama Rendy dan Raka." Serena segera meletakkan kuenya di sisi meja makan. "Malam Ga," sapa Indira yang berjalan keluar dari dapur dengan segelas air putih di tangannya. "Malam juga Mbak. Mana Mas Abimana?" sahut Dirga bertanya bersikap ramah."Tu," indira menunjuk ke arah ruang tengah. Dua orang pria duduk sambil berbincang. "Halo Ga," Abimana mengangkat tangannya menyapa yang di jawab anggukan oleh Dirga. Merasa sungkan Dirga hendak berjalan untuk
Setelah sholat shubuh Dirga mendatangi ibu mertuanya untuk memberia tahu jika nanti malam dia akan membuat kejutan ulang tahun untuk putrinya. Dirga meminta Rahma untuk memberi tahu Indira dan Gibran untuk ikut datang. Sebenarnya Dirga ingin mengadakan pesta ulang tahun putrinya itu di rumah baru mereka namun dikarenakan rumah baru mereka belum siap untuk ditempati akhirnya Serena menyarankan untuk memberikan kejutan kecil dan nanti setelah rumah mereka sudah siap akan membuat pesta ulang tahun Zena bersamaan dengan tasyakuran rumah baru mereka. Setelah semua anaknya dan menantunya berangkat Rahma segera menelpon putri ke duanya untuk memintanya datang malam ini seperti permintaan menantu sulungnya. "Tentu saja kami akan datang Bun. Tanpa Bunda telfon aku dan anak-anak sudah berniat ke rumah Bunda sepulang sekolah nanti dan Mas Aby akan menyusul sepulang kerja. Kami tidak akan lupa dengan ulang tahun princess Zena," jawab Indira saat Rahma memintanya datang. Mendengar jawaban putr
"Kamu percaya sama aku kan? Aku bersumpah aku hanya menganggapnya teman. Kami bertemu hanya untuk berbincang dan bertukar pikiran saja." Kembali ia berusaha menyakinkan istrinya itu. Ia tahu jika kediaman Serena karena masih ada kerguan di hati istrinya itu. "Kenapa dulu kamu tidak ingin berbincang dan bertukar pikiran denganku?" tanya Serena yang membuat Dirga terdiam lalu perlahan menegakkan kembali punggungnya. "Apa karena aku tidak enak diajak bicara?" "Karena aku bodoh. Aku tidak tahu caranya berbicara denganmu sehingga kita selalu berakhir dengan bertengkar," jawab Dirga dengan ekspresi khawatir.Dirga sangat menyesal mengapa harus membahas Meysa. Mungkin seharusnya ia tidak membahas sahabat lamanya itu. Ia benar-benar tidak ingin hubungannya dengan Serena kembali merenggang hanya karena seseorang yang sama sekali tidak penting bagi Dirga. "Hemm," Serena menganggukkan kepalanya lalu tersenyum. "Pergilah mandi! Lalu keluar untuk makan malam." Kembali Dirga menghela nafas, mes
Beberapa hari ini Dirga harus pulang terlambat karena harus menyelesaikan persiapan launching produk baru perusahaanya. Jika seminggu kemarin ia sampai rumah pada pukul 10 malam, namun hari ini ia bisa pulang lebih awal. Sekitar pukul delapan malam Dirga sudah sampai di rumah. Serena segera menyambut Dirga begitu mendengar suara mobil suaminya itu memasuki pelataran rumah. Saat Dirga hendak masuk kamar nampak putrinya sedang belajar di ruang tengah. Zena terlihat sangat serius dengan buku-buku di depannya. Gadis kecil itu duduk di atas karpet dengan meja kecil yang menjadi tumpuannya. Zena sama sekali tidak menyadari kepulangan ayahnya. "Mandi dan ganti baju dulu, setelah itu baru menyapanya," ujar Serena setelah menepuk pundak Dirga yang berdiri di depan pintu kamar sembari memandang putri mereka yang sedang serius belajar. "Besok dia ada lomba matematika. Dia agak minder karena ini di Jakarta makanya ia sangat serius belajar," tambahnya bercerita. Dirga menoleh sambil mengerutkan
Serena menggeliat ketika tidurnya merasa terganggu sesuatu yang keras menempel erat di perutnya yang ramping. Satu tangannya meraba pada benda yang terasa keras dan berotot. Seketika matanya terbuka lebar saat ia sadar benda yang melingkar di perutnya adalah sebuah tangan kekar entah milik siapa? Serena mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang. "Astaga.," pekiknya tertahan. Dirga memeluknya dari belakang. "Bikin kaget saja, kamu kenapa tidur di sini?" Serena memukul lengan kekar yang memeluknya itu. Masih dalam keadaan setengah sadar Dirga membuka matanya, "Apa Rena? aku ngantuk besok aja bicaranya," keluh Dirga dengan suara serak dan mata menyipit. "Kamu itu ngapain tidur disini?" tanya Serena. Meski sudah beberapa hari ini Dirga tinggal serumah dengannya tapi Serena belum mengizinkan Dirga untuk tidur satu ranjang dengan dirinya. Jika Dirga tidur dengan Zena maka Serena akan memilih tidur di kamar Bundanya. Serena beranjak bangun dari tidurnya. Dengan posisi duduk ia menatap