"Aku tidak bisa hidup tanpa Serena dan Zena. Aku mohon jangan pisahkan kami!" ucap Dirga memelas. "Kalau begitu kamu mati saja," ujar Gibran datar tanpa berbelas kasihan. "Aku rela mati, jika memang itu bisa menyembuhkan luka di hati Serena. Dengan sebagai hati aku akan membunuh diriku sendiri jika itu membuat Serena bahagia." kata Dirga serius. Seandainya saja semudah itu cara menebus kesalahan pada Serena. Sayangnya itu bukan yang diinginkan oleh wanita yang sudah memberikan seorang putri cantik untuknya. Sekalipun Serena terlihat dingin dan keras namun hatinya sangat lembut dan hangat. Serena adalah orang yang tidak tegaan dan mudah merasa iba kepada orang lain. "Cih. Kamu mengatakan itu karena kamu tahu Serena seperti apa?" cibir Gibran. "Asal kamu tahu kalau bukan karena Serena, sudah aku pastikan kamu terbaring di ranjang rumah sakit." sambungnya sembari menekan suaranya agar tidak berteriak. "Aku tahu. Aku sadar sepenuhnya istriku itu sangat baik. Dan aku sangat menyesal s
[Ada yang melaporkan Ayahmu karena membeli barang curian. Ayah kamu di tuduh sebagai penadah barang curian.] Mirna menjelaskan dengan terisak. [Karena itu sekarang Ayah kamu berada di kantor polisi untuk dimintai keterangan.] "Astaghfirullah,," ucap Dirga lirih sambil memijit pelipisnya.Kepalanya mendadak pusing mendengar cerita ibunya. Masalahnya dengan Serena belum selesai kini ditambah lagi dengan masalah minimarket keluarganya.[Kenapa bisa seperti itu Bu? Bukannya selama ini Ayah ambil barang langsung dari sales pabrik yang datang ke mini market kita?] tanya Dirga keheranan. Setahu Dirga barang-barang yang di jual di minimarket ayahnya itu di kirim langsung oleh sales pabrik. Bagaimana bisa tiba-tiba ayahnya di tuduh sebagai penanda barang curian. [Iya, dulu memang langsung di kirim oleh sales tapi sejak dua tahun lalu ayahmu mengambil sebagian barang toko dari teman lamanya, namanya Pak Aji.] jawab Mirna [Kata Ayahmu kalau ambil barang di Pak Aji, harganya lebih murah jadi
Pukul 12 malam lebih sepuluh menit, Dirga baru sampai di rumah orang tuanya. Begitu mendengar suara mobil berhenti di halaman rumah, Rahma di ikuti Anita langsung menyambut kedatangan Dirga. "Dirga," Mirna berhambur memeluk putra sulungnya yang baru beberapa langkah berjalan di teras rumahnya. Sambil menangis Mirna mengajak putranya masuk ke dalam rumah lalu meminta Anita untuk mengambilkan air minum untuk kakaknya yang baru sampai setelah menempuh perjalanan jauh. Setelah mereka duduk di ruang tengah Mirna memberitahu putranya itu jika malam ini suaminya harus menginap di kantor polisi untuk kepentingan penyelidikan. Kasus yang di hadapi Hendrawan cukup serius karena yang melaporkan kasus pencurian ini, langsung dari pihak perusahaan yang merasa di rugikan. Tidak hanya satu perusahaan melainkan tiga perusahaan yang sama-sama melaporkan kasus yang sama dengan pelaku yang sama pula. Meski lelah, dengan serius Dirga tetap mendengarkan cerita ibunya. Sambil menyandarkan punggungnya p
Sudah satu minggu ini Dirga mondar mandir antara kantor polisi dan rumah orang tuanya untuk menyelesaikan masalah yang menjerat Hendrawan, ayah Dirga. Setelah menemui perwakilan dari perusahaan akhirnya Hendrawan dapat di bebaskan dengan membayar denda yang nominalnya cukup menguras tabungan Dirga. Namun Dirga tidak mempermasalahkan materi yang harus dikeluarkannya. Bagi Dirga asalkan Ayahnya bisa bebas dari penjara itu jauh lebih penting ketimbang materi yang bisa dicarinya lagi. Hendrawan dapat pulang kembali setelah semua masalah administrasinya selesai. Sekitar pukul 10 pagi Dirga beserta pengacara dan Hendrawan sampai di rumahnya. Mirna langsung menyongsong kedatangan Hendrawan dengan pelukan dan tangis haru. Sama halnya dengan Anita juga putrinya Dara, mereka langsung memeluk Hendrawan sambil menangis bahagia. Berbeda dengan Mirna dan Anita, sejak di kantor polisi sampai di rumah Dira bersikap acuh pada Hendrawan. Ia memilih langsung masuk kamarnya untuk beristirahat setelah
"Apa Ayah ingin mendapatkan hukuman yang lebih dari semua ini? Apa Ayah ingin melihat Anita benar-benar jadi Janda?" Dirga menatap tajam laki-laki di depannya. "Teruslah mendo'akan aku bercerai dengan Serena. Itu sama artinya kalian mendo'akan Anita menjadi janda." ujar Dirga menantang Ayahnya. "Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu? Apa yang sudah wanita itu katakan sama kamu sampai kamu setega itu kepada adikmu sendiri." teriak Hendrawan penuh amarah. "Wanita itu pasti sudah menghasutmu sampai kamu bersikap. seperti ini pada keluargamu." tambahnya dengan mata melotot pada Dirga. Dirga memejamkan matanya sejenak untuk mengontrol emosinya yang sudah hampir meledak. "Harusnya Ayah tanya pada anak perempuan Ayah yang sholihah itu," tunjuk Dirga pada sang adik yang hanya duduk diam sambil menundukkan kepalanya. "Tanyakan apa yang sudah dia katakan pada Serena tentang Meysa? Tanyakan juga apa yang dia katakan pada Meysa tentang pernikahan aku dan Serena?" Sekalipun Anita tidak berani
Sudah satu bulan berlalu sejak pertengkaran Dirga dengan ayahnya. Namun sampai hari ini tak sekalipun Dirga mengunjungi atau menghubungi orang tuanya. Meski begitu tak lantas membuatnya lepas tanggung jawab, ia tak pernah lupa mengirim uang setiap bulan ke rekening Mirna sama seperti sebelumnya. Bahkan Dirga menambah jumlah uang yang di kirimnya karena setelah kasus penangkapan Hendrawan, minimarket mereka menjadi sepi. Banyak pelanggan yang tidak lagi berbelanja di toko mereka. Perusahaan makanan instant yang sedang dirintis oleh Dirga dan tiga orang temannya berkembang dengan pesat. Produk-produk yang mereka keluarkan di terima baik di pasaran. Dirga dan kawan-kawannya mengusung tema makanan khas. Tidak hanya makanan khas Indonesia melainkan juga makanan khas dari negara lain, terutama makanan khas dari negara korea yang Sekar sedang digandrungi.Perusahaan yang dinamai dengan 'Selera food' itu memproduksi berbagai jenis makan khas yang di gemari oleh konsumen. Sejak awal berdiri
Setelah dua tahun. Hari ini setelah menyelesaikan pekerjaannya Dirga kembali datang ke komplek rumah orang tua Serena. Seperti hari-hari sebelumnya Dirga tidak pernah absen datang ke depan rumah mertuanya itu untuk mencari keberadaan istri dan anaknya. Sudah satu jam sejak kedatangannya dan ia hanya duduk diam di dalam mobil yang ia parkir beberapa meter dari rumah sang mertua untuk mengawasi rumah itu dari jauh. Hal itu sudah menjadi hal rutin yang ia lakukan sejak dua tahun yang lalu. Dirga tidak pernah sekalipun lupa untuk menyempatkan diri datang datang ke rumah Rahma di sela-sela kesibukannya mengurus perusahaannya. Meski hanya bisa melihat dari jauh saja. Dirga berharap jika suatu hari ia bisa melihat atau hanya sekedar mendengar suara istri dan anaknya. Hari ini pekerjaannya cukup banyak sehingga baru sekitar jam sembilan malam ia sampai di depan rumah mertuanya. Beberapa jam lalu ia mendapat telfon dari orang yang ia suruh untuk membuntuti Gibran. Katanya kakak iparnya itu
Pov Dirgantara. "Bunda sudah bangun?" tanyaku berjalan mendekat ranjang pasien, "Bibi pulang sebentar untuk mengambil beberapa barang yang kemarin tidak terbawa." jelasku ketika wanita paruh baya di depanku celingukan mencari asisten rumah tangganya. Bunda memandangku sejenak lalu membuang mukanya ke arah lain. "Bunda butuh sesuatu? Atau mau ke kamar mandi?" kembali aku bertanya. "Panggilkan saja suster! Setelah itu pergilah!" jawabnya ketus tanpa mau memandang ke arahku. Aku menghela nafas panjang, 'bunda tidak salah. Ini semua karena perbuatanku terhadap Serena sehingga bunda bersikap kasar.' Berulang kali hatiku berbisik mengingatkan aku agar bisa bersabar dengan sikap ketus ibu mertuaku ini. "Saya akan pergi setelah Gibran atau Indira datang. Saya sudah janji pada Gibran untuk menemani Bunda sampai dia kembali dari luar kota." Aku mengulangi penjelasanku tadi malam. "Aku tidak butuh ditemani kamu. Kamu di sini malah bikin saya tambah sakit." ucapnya sambil melirikku sinis.