Setelah dua tahun. Hari ini setelah menyelesaikan pekerjaannya Dirga kembali datang ke komplek rumah orang tua Serena. Seperti hari-hari sebelumnya Dirga tidak pernah absen datang ke depan rumah mertuanya itu untuk mencari keberadaan istri dan anaknya. Sudah satu jam sejak kedatangannya dan ia hanya duduk diam di dalam mobil yang ia parkir beberapa meter dari rumah sang mertua untuk mengawasi rumah itu dari jauh. Hal itu sudah menjadi hal rutin yang ia lakukan sejak dua tahun yang lalu. Dirga tidak pernah sekalipun lupa untuk menyempatkan diri datang datang ke rumah Rahma di sela-sela kesibukannya mengurus perusahaannya. Meski hanya bisa melihat dari jauh saja. Dirga berharap jika suatu hari ia bisa melihat atau hanya sekedar mendengar suara istri dan anaknya. Hari ini pekerjaannya cukup banyak sehingga baru sekitar jam sembilan malam ia sampai di depan rumah mertuanya. Beberapa jam lalu ia mendapat telfon dari orang yang ia suruh untuk membuntuti Gibran. Katanya kakak iparnya itu
Pov Dirgantara. "Bunda sudah bangun?" tanyaku berjalan mendekat ranjang pasien, "Bibi pulang sebentar untuk mengambil beberapa barang yang kemarin tidak terbawa." jelasku ketika wanita paruh baya di depanku celingukan mencari asisten rumah tangganya. Bunda memandangku sejenak lalu membuang mukanya ke arah lain. "Bunda butuh sesuatu? Atau mau ke kamar mandi?" kembali aku bertanya. "Panggilkan saja suster! Setelah itu pergilah!" jawabnya ketus tanpa mau memandang ke arahku. Aku menghela nafas panjang, 'bunda tidak salah. Ini semua karena perbuatanku terhadap Serena sehingga bunda bersikap kasar.' Berulang kali hatiku berbisik mengingatkan aku agar bisa bersabar dengan sikap ketus ibu mertuaku ini. "Saya akan pergi setelah Gibran atau Indira datang. Saya sudah janji pada Gibran untuk menemani Bunda sampai dia kembali dari luar kota." Aku mengulangi penjelasanku tadi malam. "Aku tidak butuh ditemani kamu. Kamu di sini malah bikin saya tambah sakit." ucapnya sambil melirikku sinis.
"Tinggalkan orang tuamu!" Dirga melebarkan matanya, kaget. Ia tak menyangka jika kalimat itu bisa keluar dari mulut ibu mertuanya yang selama ini terlihat sangat bijaksana di matanya. 'Seperti inikah posisi Kaisar saat itu?' gumamnya dalam hati. Rahma tersenyum remeh, "Dari dulu sampai sekarang kamu tidak akan berubah. Dulu kamu berjanji akan melindungi dan membela Serena namun nyatanya Serena harus membela dirinya sendiri dari keluargamu yang sangat munafik itu," Ujar Rahma ketus. Dirga hanya bisa terdiam. Apa yang di katakan Rahma memang benar. Dulu Dirga pernah berjanji akan lebih peduli dan menjaga perasaan Serena. Namun dirinya tidak mampu menepati janjinya. "Saya mengakui, memang saya telah lalai dalam tanggung jawab saya. Tapi kali ini saya janji... ""Saya tidak lagi percayalah pada janjimu." Rahma memotong ucapan pria yang masih berstatus sebagai menantunya itu. "Saya tidak akan lagi mempertaruhkan nasib anak dan cucu saya di tangan laki-laki seperti kamu." Dirga menghel
"Biarkan saja Dirga tahu. Belum tentu juga Serena bersedia memaafkan dia. Sudah waktunya dia tahu jika hati Zena sudah dimiliki oleh Dewa." "Serena dan Zena ada di kota Bandung. Akan aku beritahu alamatnya jika kau ingin menyusulnya." Kalimat yang di ucapakan Gibran tadi siang masih terngiang-ngiang di telinga Dirga. Sudah dua tahun lebih Dirga berpisah dengan istri dan anaknya. Selama itu tidak sekalipun Serena menghubungi Dirga padahal Dirga tidak pernah mengganti nomor ponselnya. Ia berharap jika suatu hari hati istrinya itu akan terbuka dan menghubunginya. Namun sekalipun Serena tidak pernah membalas pesan yang telah ribuan kali ia kirim. Hatinya mulai ragu akankah cinta Serena masih ada untuknya. Apalagi ada Dewa diantara mereka. Seperti yang pernah dikatakan Aira, Dewa diminta oleh Kaisar untuk menjaga Serena. Bukan tidak mungkin seiring berjalannya waktu Dewa juga mencintai Serena. Terbukti dengan sikap Dewa yang sangat menyayangi dan memanjakan Zena. Untuk yang kesekian
"Salim dulu," perintah Serena sambil menyentuh pundak putrinya. "Assalamualaikum," ucap Zena memandang Dirga lalu bergegas masuk ke dalam rumah ketika Dirga hendak mendekatinya. DEGH... Seketika raut muka Dirga memerah. Dirga tidak menyangka akan mendapat respon sedingin ini dari putri semata wayangnya. Hatinya seperti di sayat sayat dengan pisau. Ngilu dan perih terasa di dalam dadanya melihat putrinya yang menolak untuk ia dekati. Matanya memandang sendu pada punggung kecil yang bejalan menjauh masuk ke dalam rumah. Serena hanya bisa menghela nafas panjang, ia tidak pernah menginginkan sang putri membenci ayah kandungnya sendiri. Itulah sebabnya dulu ia mencoba untuk bertahan meski hatinya sakit dengan semua sikap Dirga dan keluarganya. Bagi Serena asalkan Dirga bisa memberi perhatian lebih pada putrinya semua sakit hatinya tak ada artinya. Namun sekali lagi Serena kalah oleh takdir. Dirga bukan hanya mengecewakannya. Pria itu juga mengkhianatinya dengan bermain api di belakang
"Maaf, apa benar dia suami Bu Serena?" Pak Rt menunjuk pada pria yang berdiri di belakangnya dengan pakaian yang sudah basah kuyup. "Mas Dirga," Mata Serena membulat melihat Dirga yang basah kuyup sambil menggigil kedinginan. Bukankah pria itu sudah pergi sejak tadi? Mengapa dia masih disini? Pikir Serena. "Benar, pria ini suami Bu Serena?" tanya seorang pria yang berjalan ke depan Serena. "Sejak tadi siang dia berdiri sambil mengawasi rumah Bu Serena," sahut yang lain. "Iya," Serena menjawab dengan tak enak hati. "Maaf sudah membuat tidak nyaman.""Oh jadi benar," ucap bapak-bapak bersamaan. "Kalau ada masalah diselesaikan baik-baik Bu, tidak baik suami jauh-jauh datang dari jakarta malah dilarang masuk." Cibir seorang ibu yang sejak tadi mengintip dari pagar rumah depan. "Iya, Maaf." Serena menunduk sungkan. "Bukan salah istri saya, Bu. Saya yang salah sudah membuatnya marah," Dirga membantah ucapan ibu-ibu tersebut. "Sudah sudah. Sebaiknya kita balik ke rumah masing-masing
Pagi ini Serena hampir tidak bisa bisa mempercayai penglihatannya. Ketika Serena memasuki dapurnya berniat untuk membuat sarapan, betapa terkejutnya saat melihat Dirga sedang membuat roti bakar di ruangan yang hanya berukuran tiga kali empat meter yang hanya dibatasi meja bar. Pria itu sedang sibuk membalik dua roti di atas teflon yang dipanggangnya dia tas kompor. Ketika melihat kehadiran istrinya Dirga meminta Serena untuk membiarkannya untuk membuat sarapan dan menyarankan Serena agar membangunkan putri mereka yang masih bergelung di lautan mimpi. "Bangunkan saja putri kita! Ini sudah siang takut nanti telat sekolahnya," ujar Dirga sambil tersenyum pada Serena yang masih tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dirgantara Putra, laki-laki cuek dan angkuh yang jangankan membantunya memasak, sekedar menungguinya saat memasak saja tidak mau. Lalu apa yang Serena lihat sekarang? lelaki sombong itu sedang membuat roti bakar untuk sarapan pagi mereka. 'Apa dia kembarannya Mas Dirga? Be
Setelah mengantar Zena ke sekolah, Dirga memaksa untuk mengantar Serena ke kafe. Mereka sempat berdebat di parkiran kafe sehingga menyita perhatian beberapa karyawan kafe yang baru datang. Serena meminta Dirga untuk segera pergi dan tidak perlu mengurusi hidupnya dan Zena namun bukan Dirga namanya kalau tidak keras kepala dan kekeh menolak permintaan Serena. Karena tidak ingin menjadi bahan tontonan beberapa karyawannya, Serena memilih mengakhiri perdebatan lalu berjalan masuk ke dalam kafe dengan Dirga yang mengikuti di belakang Serena. "Apa lagi?" sentak Serena mendelik saat menyadari Dirga mengikutinya masuk ke ruang kerja. "Kamu mau apa ikut masuk ke ruang kerja aku?" tanyanya dengan nada kesal. "Kamu belum jawab pertanyaan aku," jawab Dirga santai, "Jam berapa Zena pulang sekolah? Juga jam berapa istriku pulang kerja? Aku akan pergi setelah kamu menjawab dua pertanyaan itu," sambungnya mengulangi pertanyaannya dengan pandangan menelisik setiap sudut ruang kerja Serena. Serena